“Dasar, ih, kenapa jadi suka halu,” kata Wijaya sembari menepuk dahi.
Beranjak mengambil air untuk mencuci wajahnya. Kemudian, mengambil handuk putih kecil untuk dibawa lari keliling perumahan. Beruntung, luka kakinya telah mengering, walaupun belum sepenuhnya. “Semoga tidak ada acara mengejutkan lagi,” lirihnya sembari memakai sepatu dengan duduk di teras rumahnya.
Mulai meninggalkan halaman rumahnya untuk meningkatkan kesehatannya. Sebuah kesehatan tidak bisa hanya dengan memakan makanan yang bergizi saja, tapi juga harus seimbang dengan olahraga. Tepat di perempatan depan, Wijaya bertemu dengan Aura yang sedang lari pagi juga.
Aura menyapa dengan gayanya yang sedikit membuat Wijaya merasa tidak nyaman. Gayanya untuk memikat Wijaya, terkesan begitu murah. “Jaya, kamu besok senggang tidak?” tanyanya dengan jemari yang mulai merambah di lengan kanan Wijaya, “besok jalan bareng, ya,” sambungnya dengan bibir yang mengerucut karena tidak suka jemarinya disingkirkan oleh Wijaya.
“Besok gue mau pergi,” jawab Wijaya sembari mengusap keringat yang berhasil turun ke pipi.
“Ke mana?” jawabnya.
“Enggak semuanya tentang gue harus diceritakan ke orang lain. Tidak semua tentang orang lain harus kamu tahu. Kamu juga harus tahu, tidak semua orang merasa senang dengan sikap kamu. Mungkin, ada cowok yang tertarik dengan gaya centilmu, tapi tidak dengan gue,” kata Wijaya pergi meninggalkan Aura yang terduduk di tepi jalan.
Tak disangka, Aura pergi mengikuti Wijaya yang kini tengah duduk di salah satu warung pinggir jalan. Aura duduk di sebelah Wijaya tanpa permisi. “Kenapa sih kamu cuek banget sama aku?” tanya Aura tanpa menatap ke arah Wijaya. Matanya fokus ke arah depan melihat pegawai warung yang tengah memasak.
“Karena gue enggak suka kalau ada orang yang mencari tahu tentang gue sampai segitunya,” jawab Wijaya menyeduh air putih dalam kemasan yang ada di meja.
“Memang tipe perempuan yang kamu mau kaya apa?” tanyanya sebelum pergi ke arah penjual untuk memesan makanan. Sedangkan, Wijaya masih sibuk dengan ponselnya.
Tidak lama kemudian, Aura telah kembali duduk di tempatnya. Kembali lagi dia berulah. Mencoba untuk membuat Wijaya tertarik dengannya. Tapi, hal itu justru membuat Wijaya semakin tidak nyaman berada di sebelah Aura.
“Jaya .... “
“Apa lagi?” jawab Wijaya yang merasa tidak nyaman dengan keadaan sekitar. Warung yang ramai dengan pengunjung dan tatapan matanya yang memperhatikan ke arah meja Wijaya. Rasanya, semakin tidak nyaman.
“Apa tipe perempuan idaman kamu?” ulangnya karena belum mendapatkan jawaban dari lawan bicaranya. Lawan bicara yang terlihat tak suka dengan dirinya. Aura mengambil kerupuk yang ada di dekat Wijaya. Sengaja, Aura menyenggol botol air mineral yang tidak tertutup dengan rapat, sehingga tumpah tepat di pakaian Wijaya.
“Maaf, Aura tidak sengaja. Biar Aura lap ya, pakaiannya,” katanya sembari mengambil tisu yang ada di meja. Tisu milik warung yang disediakan untuk pengunjungnya.
“Gak usah,” kata Wijaya menyingkirkan tangan Aura yang sedang berusaha untuk membersihkan air yang membasahi baju putihnya.
Tiga menit kemudian, makanan yang dipesan Wijaya telah tersaji di meja. Dia menikmatinya sampai sendok terakhir. Kemudian, membayar lalu pergi meninggalkan tempat. Dia telah merasa tidak nyaman di tempat itu. Selain adanya Aura, ia juga tidak nyaman dengan pakaiannya yang basah. Tidak ingin menjadi pusat perhatian dari para wanita yang menatapnya.
Keesokan harinya, Wijaya telah siap untuk pergi ke bandara. Tapi, ternyata ada halangan yang datang. Ya, Aura, perempuan yang selalu mengejarnya. Dia datang ke rumah Wijaya seorang diri. Air matanya yang luruh, entah air mata asli atau hanya berpura-pura. Jelas saja, hal itu tidak penting bagi Wijaya. Tapi, saat itu juga, Wijaya merasa kasihan dengan perempuan itu.
“Ada apa, Ra?” tanyanya.
“Jaya, aku ikut kamu pergi, ya,” katanya sembari mengusap air matanya.
Wijaya menggelengkan kepalanya. Dia tidak mengerti dengan dirinya yang bisa dibuai oleh air mata Aura. Dia pikir, terdapat suatu masalah yang harus diselesaikan, sehingga dengan mudahnya air mata itu mengaliri wajahnya. Wijaya meminta bantuan ibunya agar menangani Aura sesaat. Sedangkan, dirinya masuk ke dalam mobil.
Beberapa saat kemudian, Aura telah pergi. Ratih masuk ke dalam mobil untuk mengantarkan Wijaya ke bandara. Beberapa waktu kemudian, mereka telah sampai di bandara dengan selamat. Dari hari yang lalu, Wijaya menjadikan pelajaran bahwa mengecek kondisi mobil sebelum pergi itu penting.
Wijaya mencium tangan ibunya untuk meminta restu sebelum terbang tinggi. “Mama akan mendoakan kamu,” kata Ratih mencium kening anaknya.
Wijaya tersenyum manis, kemudian masuk ke dalam bandara. Menempuh perjalanan jalur udara ke pulau tujuan. Meninggalkan kota tempatnya dibesarkan untuk beberapa waktu. Walaupun, tidak rela berjauhan dari ibunya, tapi Wijaya harus bisa untuk melakukan hal itu. Demi sebuah suksesnya pendidikannya.
Beberapa waktu kemudian, Wijaya telah sampai di tanah Sumatra. Berkeliling Kota Palembang. Duduk di salah satu halte sembari menikmati sebotol air teh yang dibeli dari penjual keliling.
“Mas, boleh duduk di sebelahnya?” tanya seorang perempuan yang begitu cantik dengan kerudung berwarna hitam itu. Wijaya mengangguk dengan memberi senyum tipis. Perempuan itu duduk di sana dengan tenang. Membuka ponselnya untuk menerima telepon. Hanya dalam beberapa menit saja, sambungan telepon itu telah ditutup. “Mas, mau ke mana?” tanyanya.
“Belum tahu, Mbak. Nanti cari hotel saja daerah di sini.” Wijaya menyimpan ponselnya ke dalam saku celana.
“Memang, Mas dari mana?” tanyanya lagi yang masih bersikap manis.
“Jakarta. Saya ke sini untuk penelitian. Ya, walaupun belum terkonsep secara matang,” jawab Wijaya yang kelepasan menceritakan tentang dirinya. Padahal, gadis itu tidak menanyakannya.
“Jauh, ya,” lirihnya kembali fokus dengan ponselnya.
Sepuluh menit kemudian, perempuan itu telah pergi dari tempat. Wijaya masih bingung untuk mencari tempat untuk menginap. Melihat ke sekitar halte, tapi tidak menemukan sebuah hotel. Tapi, ada beberapa kos yang bisa disewa untuk beberapa hari.
Wijaya melangkah ke arah kos, tapi ternyata, tempat itu hanya menerima perempuan saja. Lagi-lagi, keputusannya tidak direncanakan secara matang. Efeknya, dia kebingungan di kota orang. Wijaya melihat salah satu penjual tisu yang melintas di depannya. Bertanya tentang kos atau hotel terdekat. Apesnya, pria tua itu tidak mengetahuinya.
“HP,” lirihnya yang teringat dengan ponselnya.
Membuka di internet untuk mencari tahu tentang penginapan terdekat. Mengingat, waktu semakin sore dan harus segera mendapatkan tempat berteduh malam ini. Wijaya menemukan salah satu kos yang tidak terlalu jauh dari tempat di mana dia berdiri saat ini. Menaiki taksi yang baru saja melintas, Wijaya menuju tempat yang ditemukannya salam internet.
“Terima kasih, Pak,” kata Wijaya sembari memberikan uang seratus ribu sebagai ongkos. Kemudian, masuk ke dalam kos itu untuk memesan satu ruangan. Beruntung, masih ada satu ruang yang belum terpakai. Membayarkan uang sebagai uang muka, lalu masuk ke dalam ruangannya.
“Dasar kecoa!” teriaknya.