Rhea berjalan lunglai memasuki apartmentnya. Dia melemparkan tasnya kesembarang tempat dan merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Rhea memejamkan matanya, kembali terngiang permintaan Oris pagi tadi. Terbesit wajah Oris yang terlihat memelas padanya meminta bantuan. Satu sisi, Rhea ingin membantu sahabat kecilnya itu. Tetapi disisi lain, pernikahan bukan sebuah permainan. Pernikahan adalah sakral, tak bisa disamakan dengan permainan.
Benar, jika Rhea memang masih menyimpan rasa pada Oris selama ini, bahkan saat dirinya memulai hubungan dengan Reyhan saat itu, setengah hati Rhea masih berharap pada Oris. Dan Rhea pun tak meragukan perasaan Oris padanya sejak dulu. Namun, untuk melangkahkan kakinya ke jenjang yang lebih tinggi lagi sangat dibutuhkan berbagai pertimbangan.
Rhea membuka matanya, meraih ponsel yang dilemparnya diatas bantal dan membuka pesan w******p, lalu menghubungi Vivi, salah satu sahabatnya sejak sekolah dulu. Panggilan berdering, Rhea menunggu beberapa saat hingga akhirnya panggilan itu tersambung.
"Vi ... " lirih Rhea.
Terdengar suara gerusukan dari seberang telepon, hingga akhirnya terdengar suara Vivi yang baru saja menutup pintu kamar.
"Kenapa lo Rhe?" tanya Vivi.
"Lagi apa lo?" tanya Rhea,
"Baru nidurin anak gue, kenapa suara lo lemes banget?"
Rhea menghela napas panjang seraya memainkan jemarinya.
"Oris ngajakin nikah," sahut Rhea.
"Hah!? Lo serius? Si Smile Meris udah balik?" Pekik Vivi.
"Ya, gue serius vi. Gue bahkan baru ketemu dia kemarin di nikahannya Reyhan, mantan gue itu."
"Kok bisa?"
"Takdir. Gue sama Oris aja gak sangka bakal ketemu disana. Secara kebetulan, Oris juga diundang ke acara itu. Gue gak tau sih gimana-gimananya, yang jelas semalem gue tidur diapartment dia dan paginya dia ngajakin gue nikah. Gimana dong vi? kasih gue masukan."
"Lo dijebol?!!" Pekik Vivi lagi.
"Bhangke emang lo Vi, otak lo isinya gituan mulu," ketus Rhea.
"Lah, kan lo sendiri yang bilang, lo tidur di apartment si Oris. Gak kepikiran aja gitu, si Oris kuat iman gak ngapa-ngapain perawan disamping dia."
"Ko jadi bahas perawan sih! Vi, gue lagi minta saran soal Oris ngajakin nikah ke gue," rengek Rhea.
"Lo masih berharap sama Oris kan?"
Rhea mengangguk, walau tahu Vivi tak akan tahu apa yang dilakukannya.
"Dan Oris masih nunggu lo sampe detik ini kan?"
Rhea mengangguk lagi.
"Gue yakin, semua jawaban dari pertanyaan gue adalah ya! Yaudah, lo tinggal jawab iya aja. Kalian udah dewasa, tinggal kalian doang yang belum nikah dari anak-anak GAS. Lo mu jadi perawan tua sampe kapan? Sampe kadal mesir berubah jadi buaya?"
"Mendadak banget Vi, lagian Oris ngajakin gue merit karena dia minta bantuan sama gue," sahut Rhea frustasi.
"Bantuan? Maksud lo?" tanya Vivi kebingungan.
Rhea menghela napas dalam-dalam sebelum memulai menceritakan alasan Oris mengajaknya menikah.
"Oris mau dijodohin sama Belia Adinoto demi mendapatkan saham untuk laboratorium ibunya, dan gue yakin lo bakal terkejut siapa Belia Adinoto sebenarnya."
"Siapa? Gue udah siapin mental buat denger cerita lo."
"Tuti Maryati, si parasit, si virus anak-anak GAS dulu."
"Serius?!! Lo yakin?!"
"Ya. Itu yang Oris katakan. Gue harus gimana ini Vi?"
"Lo rela gak Oris nikahin si Tuti?"
"Ya enggak lah! jangankan Tuti, Oris nikahin cewe lain aja gue gak rela," sahut Rhea.
"Okey, berarti jawaban dari segala pertanyaan lo itu adalah iya."
"Gue jawab, iya?" tanya Rhea lagi meyakinkan.
"Ya! Lo jawab, iya. Theo balik nih, gue tutup ya. bhay istrinya smile meris," tutup Vivi.
Rhea menurunkan ponsel dari telinga setelah panggilannya berakhir. Gadis itu kembali mengingat percakapannya dengan Vivi barusan. Semua yang Vivi katakan, memang benar. Tetapi, menikah?? semua diluar dari bayangan Rhea. Sahabat yang akan berubah status menjadi suami. Bahkan rasa canggung pun pasti akan sangat kental terasa seperti saat dirinya mencium Oris untuk pertama kalinya.
Rhea membalikkan posisi tubuhnya menjadi tengkurap, kepalanya meminggir menatap bingkai foto dirinya dan Oris di atas nakas. Berkali-kali matanya mengerjap. Ia mengingat kembali perlakuan Oris setelah mengajaknya menikah tadi pagi.
Sikap Oris sangat tenang. Bahkan, ketika Rhea meminta diantarkan pulang dan malah dibawa untuk bertemu teman-temannya, Oris sangat bersikap biasa, seperti tidak mengatakan apapun pada Rhea. Bahkan, Oris tak membahas lagi percakapan mereka tadi pagi.
Rhea menelungkupkan wajahnya diatas tempat tidur dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Berkali-kali, helaan napas panjang terdengar.
Ddrrrrttt...
Ddrrrrttt...
Terdengar suara getaran ponsel disampingnya. Rhea menoleh dan mengambil ponsel tersebut. Dia mengerutkan keningnya saat melihat nomer tidak dikenal menghubunginya.
Rhea menggeser tombol merah, menolak menerima panggilan tersebut lalu menaruh kembali ponselnya.
Ddrrrrtttt...
Ddrrrtttt...
Ponselnya kembali bergetar. Rhea kembali mengambil ponselnya dan melihat siapa yang meneleponnya kali ini. Rhea memejamkan mata saat melihat nama Reyhan terpampang dilayar ponselnya. Rhea melirik jam dinding di atas rak buku yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Rhea menggeser tombol hijau, lalu dengan enggan, Rhea menempelkan ponsel pada telinganya.
"Mmm ... "
"Kamu udah tidur Rhe?" tanya Reyhan diseberang telepon.
"Kalau gue udah tidur, gue gak akan nerima telepon lo. Mau apa?" tanya Rhea dengan nada ketus.
"Siapa cowok kemarin?" tanya Reyhan tanpa basa-basi.
"Calon suami gue," jawab Rhea singkat.
"Rhe, aku gak bercanda iya. Aku nanya serius,"
"Siapa yang bercanda? Gue serius!" sungut Rhea.
"Rhe, hubungan kita belum berakhir. Apa maksud kamu kaya gini?"
Rhea mendengkus sebal. Gadis itu bangun dan duduk di atas tempat tidurnya dengan raut wajah kesal.
"Belum berakhir?! Hubungan kita udah berakhir sejak lo kasih undangan itu sama gue. Dan gue berhak buat ounya hubungan dengan cowok manapun. Lo udah gak ada urusan lagi sama gue. Paham?!" Tekan Rhea.
"Rhe, aku gak pernah bilang hubungan kita berakhir,"
"Lo emang egois Rey!!" pekik Rhea seraya memutuskan sambungan teleponnya.
Napas Rhea memburu menahan rasa kesal yang memuncak di hatinya. Setelah semua yang Reyhan lakukan padanya, kini pria itu mengatakan hal yang tidak masuk akal.
Ddrrrttt...
Ddrrrttt...
Ponselnya kembali bergetar. Rhea menatap nomer tidak dikenal kembali menghubunginya. Rhea mengambil ponsel itu, lalu menggeser tombol hijau. Ia menempelkan ponsel itu ke telinganya.
"Halo."
"Rhea ... ini aku, Oris," jawabnya dari seberang telepon.
Rhea terdiam sesaat. Berusaha mengatur perasaannya yang tidak karuan.
"Darimana kamu dapet nomer aku?" tanya Rhea. Gadis itu melipat bibirnya, menyesali pertanyaan bodohnya itu.
Terdengar kekehan kecil dari Oris. "Gimana jawaban kamu Rhe?"
Rhea menghela napas. Pertanyaan yang ditakutkannya sejak tadi, kini terlontar dari mulut Oris. Rhea menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur kembali, menatap langit-langit kamarnya, dan meyakinkan hatinya atas jawaban yang akan ia berikan pada Oris. Rhea membuka mulunya hendak memberikan jawaban dengan cepat.
"Aku gak akan ulangi lagi jawaban aku iya Ris,"
"Apa jawabannya?"
"Ya. Aku terima tawaran kamu. Aku gak rela kalau kamu harus nikah sama si Tuti. Jangankan Tuti, sama cewek lain pun, Aku gak rela."
"Aku akan urus semuanya. Besok kita akan menikah."
***