"Pak, saya ijin hari ini. Ada urusan keluarga," ujar Rhea meminta ijin pada Nazzar melalui telepon.
"Urusan keluarga? Tumben banget! Terus, gimana laporan kamu? Saya perlu hari ini. Besok CEO ShadowTech akan datang dan mulai bekerja kembali di kantor pusat," Cecar Nazzar.
"Saya kerjakan besok pagi pak. Saya belum pakai cuti tahunan saya loh pak. Saya minta cuti satu hari ini aja,"
"Yakin besok siang laporan kamu semuanya sudah selesai? Besok siang tim divisi kita akan meeting sama CEO dan ketua tim tiap divisi lainnya."
Rhea menghela napas kesal mendengar racauan Nazzar. Bertambah lagi kebencian Rhea pada Nazzar setelah Reyhan dan Calista, adik Nazzar menikah. Gadis itu mengeratkan rahangnya seraya berdiri dari tempat tidurnya.
"Laporan help desk analyst saya bakal selesai besok sebelum meeting sialan itu!! Dasar perjaka tua!!" maki Rhea yang kemudian mematikan sambungan teleponnya.
"Aaaaiiissshhhhh... dasar perjaka tua gila!! nyebelin banget sih lo jadi orang!!" pekik Rhea kesal.
Setelah semalam Rhea menyetujui permintaan Oris, hari ini pernikahan mereka akan dilakukan dikantor urusan agama setempat. Sejak pagi, Rhea masih menunggu kabar dari Oris untuk jam pelaksanaan akad nikah mereka.
Kini, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Rhea yang sudah bersiap menggunakan dress putih selutut, dengan rambut yang dibiarkan setengah terurai, menunggu telepon dari Oris.
Ponsel yang sedari tadi digenggamnya bergetar. Rhea segera menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan dari Oris.
"Semua pengurusannya udah selesai. Kamu dimana? Aku jemput sekarang," Ujar Oris.
"Aku di apartment. Nanti aku kirim alamatnya," sahut Rhea.
"Aku tunggu." Setelah panggilannya ditutup, Rhea segera mengirimkan alamatnya pada Oris.
'Gue harap, ini keputusan paling benar yang gue ambil. Ayah, bunda, Rhea ijin menikah sama Oris.' batin Rhea.
***
Sebuah mobil Ferrary merah berhenti telat dipelataran parkir kantor urusan agama. Dari pintu sisi kanan, Oris keluar dari dalam
mobil, menutupnya lalu berlari kecil memutari depan mobil untuk membukakan pintu sisi kiri mobil.
Oris mendapati, Rhea sedang menarik napas gugup. Oris tersenyum lembut, lalu menyentuh tangan Rhea sesaat, hingga gadis itu menatapnya.
Oris mengangguk, memberi isyarat agar Rhea segera keluar dari dalam mobil.
"Aku gugup, Ris."
"Aku juga gugup, tapi aku jamin semuanya akan berjalan lancar. Ayo kita masuk," ajak Oris. Rhea pun mengaitkan tangannya pada lengan Oris dan ikut berjalan ke dalam.
Disana sudah ada empat orang menunggu. Seorang penghulu, seorang dari kantor urusan agama, dan dua orang lagi adalah saksi pernikahan yang notabene adalah anak buah dan manager Oris, tanpa sepengetahuan Rhea.
Acarapun dimulai. Sang wakil dari kantor urusan agama mulai mengatakan prosesi ijab kabul secara sakral, dengab dijawab oleh Oris bahkan dalam sekali tarikan napas. Kedua saksipun mengatakan sah dan mereka semua mengucapkan hamdallah, yang kemudian dilanjut dengan penandatanganan buku nikah mereka.
Setelah selesai, merekapun keluar dari gedung kantor urusan agama dan berjalan menuju pelataran parkir.
"Kita akan adakan resepsi pernikahan setelah urusan aku dan mama selesai. Maaf Rhe, pernikahan yang selalu kamu idam-idamkan sejak dulu, malah jadi kaya gini," cetus Oris saat mereka berdua sudah masuk ke dalam mobil.
Rhea menoleh pada Oris dengan senyum manis tercetak dikedua sudut bibirnya.
"Aku gak masalah Ris. Bahkan, nikah sama kamu aja diluar dari pemikiran aku," sahut Rhea.
"Makasih iya Rhe. Sekarang tinggal aku meluruskan buat menolak perjodohan yang mamah aku mau." Oris menggenggam tangan Rhea lembut.
Kini, status mereka bukan lagi sahabat, melainkan gelar baru yang sangat terasa berbeda untuk mereka. Senyum merekah tak hilang dari wajah Oris yang kini sedang melajukan mobilnya. Sebelah tangannya terus menggenggam tangan Rhea, seperti tak ingin melepasnya.
"Kemana kita sekarang?" tanya Rhea.
"Ke apartment kamu," sahut Oris.
Rhea seketika menoleh pada Oris dengan tatapan menyelidik. Kedua tangan Rhea disilangkan ke dadanya membentuk huruf X untuk menghalangi bagian depan tubuhnya.
"Kamu mikir apa sih Rhe? Bukan seperti yang kamu bayangin," celetuk Oris.
"Terus mu ngapain ke apartment aku?"
Oris melirik sesaat pada Rhea, lalu kembali menatap jalanan didepannya seraya tersenyum jahil.
"Mau ngelakuin apa yang dilakuin pengantin baru," jawab Oris sekenanya.
"Oris!!" pekik Rhea yang mengundang gelak tawa Oris.
Rhea merengut kesal mendengar jawaban Oris. Jika benar Oris akan melakukan itu padanya, Rhea benar-benar akan marah pada sahabat yang kini sudah menjadi suaminya itu. Rhea belum siap melepas tempat terindahnya pada siapapun termasuk Oris.
Mereka pun tiba dihalaman parkir apartment Rhea. Oris sudah lebih dulu keluar dari dalam mobil, sedangkan Rhea malah enggan untuk keluar. Oris yang mengerti apa yang Rhea takutkan, terkekeh dan membukakan pintu mobil untuk Rhea.
"Ayo!" Ajak Oris.
"Ogah!" Sahut Rhea kesal.
"Loh, kenapa?" Goda Oris.
"Gak usah nanya!"
Oris setengah berjongkok dan menggenggam kedua tangan Rhea.
"Aku, cuma ajak kamu buat ambil pakaian kamu aja. Bukan mau macem-macemin istri aku sendiri," jelas Oris masih sedikit menggoda.
Rhea menoleh cepat pada Oris. "Kenapa kamu gak bilang dari awal coba?"
"Aku kangen marahnya kamu," goda Oris lagi.
"Dasar aneh!!" gerutu Rhea seraya keluar dari dalam mobil.
Rhea berjalan lebih dulu memasuki lift, disusul Oris yang setengah berlari menyusul Rhea masuk. Pintu lift tertutup, Rhea menekan tombol angka empat hingga lift membawa mereka menuju lantai empat dimana apartment Rhea berada.
Rhea memasukkan serangkaian nomer untuk membuka kunci pintunya. Tak lama, terdengar bunyi bip, lalu Rhea menarik gagang pintu untuk membukanya.
"Kamu tinggal sendiri disini?" tanya Oris.
"Iya lah, sama siapa lagi!?" jawab Rhea seraya berjalan masuk ke kamarnya.
Oris mengikuti dari belakang, memasuki kamar Rhea.
"Siapa aja yang pernah kamu bawa kesini?" tanya Oris lagi.
Rhea mengambil beberapa pakaian untuk bekerja dan sehari-harinya, lalu memasukkannya pada sebuah koper berwarna biru muda. "Gak ada! cuma kamu aja."
"Reyhan?" Tanya Oris semakin penasaran.
Pria itu merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur Rhea, menunggu jawaban dari gadis disisinya.
Rhea menghentikan kegiatannya, lalu menoleh dan menatap tajam pada Oris yang sedang berbaring.
"Reyhan gak pernah tau dimana alamat apartment aku. Dan aku, gak pernah diapa-apaim sama dia," sahut Rhea dengan penuh penekanan.
Oris bangun dan mengambil bingkai foto dirinya dan Rhea di atas nakas. Pria itu tersenyum lembut menatap foto mereka saat masih remaja.
"Rhe!" Panggil Oris.
"Hmm..." jawab Rhea tanpa menoleh sedikitpun pada Oris.
Tiba-tiba, sebelah tangan Oris meraih wajah Rhea dan membawanya berbalik, laku mencium lembut bibir merah mudah yang selama ini dirindukannya.
Perlahan, ciuman itu berubah jadi sebuah lumatan, hingga pakaian yang sedang dilipat Rhea terjatuh. Oris melepas ciumannya lalu menatap dalam iris coklat Rhea dengan jarak yang sangat dekat.
"Love you, Rhea," bisik Oris yang kemudian kembali melanjutkan ciumannya.
Rhea menutup matanya seraya menikmati sentuhan bibir Oris. Semakin intens lumatan yang Oris lakukan, membuat Rhea melepaskan bibirnya dari bibir Oris. Napas mereka saling memburu.
"Ris ... Aku belum siap," bisik Rhea.
"Aku tau itu," sahut Oris berbisik.
Rhea tersenyum dengan mata masih terus menatap lurus pada iris pria itu.
"Kamu cuma milik aku. Bukan Tuti atau Belia atau siapapun itu,"
"Ya! Dan kamu, milik aku. Bukan Reyhan atau mantan-mantanmu yang lain."
***