Melindungi

1817 Kata
Selesai dengan salah satu 'pekerjaannya' Ervan kini sudah sampai di rumah sakit tempatnya bekerja. Memarkirkan mobilnya dengan rapi di tempat biasanya, lalu keluar berjalan menuju rumah sakit itu. Seperti biasa, situasi rumah sakit selalu ramai oleh pasien, perawat, dokter dan keluarga dari pasien yang berlalu lalang di sana. Tapi bukan Ervan namanya kalau tidak mengetahui perubahan kecil yang terjadi di sekitarnya. Membenarkan letak kacamata yang sedari tadi bertengger indah di hidung mancungnya, lalu menekan tombol kecil di ujung tangkai kacamata berbahan plastik tersebut. "Kuberi waktu 10 menit. Semua hama ini harus sudah hilang," ucapnya sambil terus berjalan santai menuju ruangannya. "Mereka mengganggu penglihatanku," lanjutnya lalu kembali menekan tombol tersebut. "Dokter Ervan." Di depan sana ada Zaki, Nanda, Riska dan juga Dokter Reza. Sejak kapan mereka bertiga dekat dengan Dokter Reza? Pikir Ervan. "Jadi Dokter benar-benar mengabaikan ucapan kami kemarin?" tanya Zaki dengan nada serius, juga kesal. "Apa harus saya turuti?" Ervan balik bertanya dengan nada bicara yang membuat Zaki dan Nanda semakin dongkol. Ingin rasanya mengacak-acak wajah tampan Ervan, tapi mereka urungkan mengingat seluruh penghuni rumah sakit akan menyembeli mereka karena melihat wajah sang dokter idola mereka hancur. "Arg! Apa ucapanku kurang serius untuk kau tanggapi? Mengertilah jika kami mengkhawatirkanmu. Ck. Anak ini," gerutu Zaki melipat tangannya di d**a. Itu Zaki ucapkan dengan jujur. Walaupun sikap Ervan yang sangat menyebalkan dan akan membuat sakit hati jika mendengar kata-kata pedasnya, namun mereka sangat tau bagaimana sifat Ervan selama ini. Dia pria misterius yang sulit untuk di tebak. Kadang teka-teki yang dia mainkan dapat membuat mereka terkejut dan tersentuh di waktu bersamaan. Ervan hanya menyampaikan rasa pedulinya dengan cara yang sedikit berbeda, itulah yang mereka simpulkan. "Jangan menaruh rasa khawatir pada saya," ucapnya menatap mereka bergantian. Sempat tersenyum tipis saat mendengar kata khawatir dari teman-temannya, namun Ervan tetaplah Ervan. Si dokter dingin yang mati-matian mempertahankan julukan 'ice doctor' yang diberikan padanya. "Huh ...." Terdengar Nanda menghela nafas kasar. "Sudahlah Ki, dokter kepala batu ini tak akan mendengarkan apapun yang kau ucapkan. Biarkan dia melakukan sesuka hatinya, kita sudah memberi peringatan padanya sebelum ini," ucap Nanda menatap malas pada Ervan. Ervan tak menanggapi, sedangkan Dokter Reza dan Riska hanya diam di tempatnya. Mereka tak tau ke mana arah pembicaraan Zaki, Ervan dan Nanda. "30 menit lagi ada operasi," ucap Ervan akhirnya. "Saya permisi," ucapnya kembali berjalan menuju ruangannya. "Lihat dia. Hey! Setidaknya pikirkan keselamatanmu Dokter Tampan!" ucap Zaki sedikit berteriak membuat semua orang yang ada di sana menatapnya. Nanda menjitak kepala Zaki. Apa-apaan dia berteriak seperti itu? Membuat malu saja. "Dasar bodoh!" ketus Nanda padanya dan Zaki hanya mencebik kesal. ***** Tok! tok! tok! Devin menatap pintu ruangannya yang di ketuk. "Masuk," jawabnya. Entah dia sadari atau tidak, bibirnya sedikit melengkung ke atas melihat Reva perlahan masuk ke dalam ruangannya. "Maaf mengganggu, Pak," ucap Reva masih berdiri di sana. "Masuklah Reva," ucap Devin meletakkan berkas-berkas yang tadi sempat dia baca. Reva melangkah mendekat dan berdiri di depan Devin yang di halangi oleh meja kerja sang direktur. "Saya tidak merasa memanggilmu. Ada apa Reva?" Seperti biasanya Devin berbicara tegas namun lembut padanya, apalagi senyum tipis itu tak lepas dari wajahnya. Menjadi atasan saja seperti ini, bagaimana jadinya kalau dia adalah kekasih Reva? Eh. Menggeleng pelan, menghalau semua pemikiran bodohnya barusan. Apa yang barusan dia pikirkan? Kekasih heh? Mimpi saja kau Reva! "Saya hanya ingin memberikan ini, Pak." Sebuah kotak bekal berwarna coklat muda itu mengalihkan perhatian Devin saat Reva menyodorkannya. Salahkan Gunta yang tidak hadir hari ini. Jadilah satu bekal yang dia bawa tidak ada yang memakannya. Ingin memberikannya pada rekannya yang lain, namun Melin melarangnya. Dan ini adalah usulan Melin, untuk memberikan bekal ini pada Devin, hitung-hitung sebagai permintaan maaf karena kemarin sempat mengatai dan memaki Pak Bos. Yaa walaupun itu tidak di sengaja dan bosnya sudah memaafkan, tetap saja Reva merasa tidak enak. "Ini untuk saya?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri. Reva mengangguk ragu. Sungguh, Reva sangat malu sekarang. Jangan sampai Devin menganggapnya sebagai wanita yang caper, dan dirinya semakin buruk di mata Devin. "Saya membawa ini untuk Pak Gunta, karena Beliau berhalangan hadir, jadi saya memberikannya untuk, Bapak," jawab Reva menjelaskannya. Devin tampak mengangguk-angguk kecil. "Saya pikir kamu murni membawakan ini untuk saya." Respon yang di luar dugaan Reva. "Eh?" "Bu---bukan begitu, Pak. Ah bagaimana ya." Reva mengusap tengkuknya gelagapan. Apa yang harus dia lakukan? Sang bos sedang salah paham padanya. Reva jadi merasa terjebak dengan ucapannya sendiri. "Oh god, tolong Reva," batinnya. Melihat raut cemas Reva, membuat Devin tertawa pelan. "Lucu," batin Devin "Saya bercanda. Kemarikan," ucapnya dan Reva langsung memberikannya. Membuka tutup kotak bekal itu dan langsung saja bau harum udang menguar, masuk ke indra penciumannya. "Saya lupa, kapan terakhir kali saya makan nasi goreng udang. Terimakasih Reva, ini terlihat sangat enak. Saya akan menghabiskannya," ucap Devin kembali menutupnya. Reva tersenyum senang melihat responnya. Semoga saja direkturnya ini juga menyukai rasanya. "Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi," ucap Reva sedikit menunduk dan berjalan ke luar ruangan Devin. "Saya seperti memiliki istri," gumam Devin tersenyum menatap kotak bekal itu. "Cih. Istri katanya? Menjadi ketombenya saja kau tak pantas," cibir seseorang menatap layar komputer miliknya. ***** Seorang pria paruh baya tengah duduk dengan santainya di kursi sofa ruangan Ervan. Sudah 20 menit lebih dia di sana, namun belum juga mendapati tanda-tanda kedatangan sang putra. Melirik jam di pergelangan tangannya, dan menghela nafas lelah. "Bahkan operasinya sudah selesai 10 menit yang lalu. Apa dia menghindar dari ayahnya sendiri?" gumam Papa Haris. Ceklek Pintu ruangan terbuka menampilkan Ervan yang masih memakai pakaian operasinya. Ervan yang melihat sang ayah hanya mendengus, biasanya sang ayah tidak akan betah menunggu lebih dari 5 menit. Tapi kenapa pria tua itu masih ada di sana? "Kamu sengaja menghindari Papa?" tanya Papa Haris pada Ervan. "Tidak," jawabnya singkat sambil berjalan menuju kamar mandi. "Kenapa susah sekali melihat dirimu yang dulu, Nak?" lirih Papa Haris mendengar jawaban Ervan. Tak lama Ervan keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih fresh dan pakaiannya yang sudah di ganti. "Papa mau bicara sama kamu," ucap Papa Haris lagi. "Ervan masih sibuk, Pa," jawabnya datar. "Hanya lima menit. Luangkan waktumu lima menit saja untuk Papa. Bisa?" tanya papanya dengan nada sedih. Ervan mendengus pelan. Dia tidak marah pada papanya ini, dia bahkan sangat menyayanginya. Hanya saja Ervan kesal, dia kecewa pada sang papa. Sangat kecewa malah. Rasa itulah yang menutup rasa sayang Ervan padanya dan membuat sifatnya pada sang papa menjadi seperti ini. "Ervan pernah luangin waktu Ervan seharian buat Papa, tapi ke mana? Papa bahkan gak datang waktu Azira dimakamkan," jawabnya dingin. Mengingat itu semua membuat dadanya kembali sesak. Rasa kecewa yang kini dia rasakan semakin bertambah besar. Apalagi melihat wajah papanya membuat dia kembali teringat pada wajah sang adik yang meregang nyawa waktu itu. "Nak, Maafin Papa." Hanya itu yang dapat Papa Haris ucapkan. Dia tau dia bersalah, dia tau ini adalah kesalahannya. Karena sifat egoisnya waktu itu yang mementingkan perusahaannya, dia jadi di benci oleh putranya. Bahkan dia tak dapat melihat wajah putrinya untuk yang terakhir kali. Dia menyesal, sungguh. Sangat menyesal. "Keluar, Pa," ucap Ervan tanpa menatap Papa Haris. "Nak---" "Pa!" teriak Ervan menatap tajam sang papa yang terkejut karena teriakannya. Ervan menutup matanya, berusaha meredam emosinya yang sedang memuncak. Jangan sampai dia menyakiti papanya ini. Ervan berjalan menuju jendela, menatap ke luar rumah sakit. "Tinggalin Ervan sendiri, Pa," ucap Ervan lagi. Terdengar helaan nafas pasrah dari sang papa. Papa Haris berdiri dan berjalan mendekat, berhenti beberapa langkah di belakang Ervan. "Nak, kamu boleh marah, tapi jangan benci sama Papa, ya. Setelah Azira, Papa cuma punya kamu. Jangan buat Papa semakin menyesal dengan kehilangan kamu juga, Ervan," ucap Papa Haris dan Ervan hanya diam mendengarkan. "Tolong maafin Papa. Dan Papa mohon pulang, Nak. Balikin Ervan Papa yang dulu. Papa janji gak akan berbuat kesalahan yang sama," lanjutnya. Papa Haris melangkah ke depan, ingin mengusap kepala Ervan. Dia rindu pada anaknya ini. Namun dia urungkan, mengingat Ervan masih marah padanya. Tangannya menepuk pelan bahu Ervan lalu pergi dari ruangan anaknya itu. "Ervan juga gak mau kayak gini Pa," gumam Ervan setelah kepergian papanya. Dia rindu, saat-saat di mana papanya mengusap atau mengacak-acak rambutnya saat akan pergi ke luar rumah. Namun Ervan tak lagi merasakannya, dan biarlah kini keegoisannya menang, lagi. ***** Entah yang ke berapa kalinya, Reva kembali menoleh ke belakang, ke sudut kantin tepatnya di meja belakang yang tak jauh dari tempat dia dan rekannya sedang makan siang. Ada yang aneh menurutnya. Dia beberapa kali melihat pria dengan setelan hitam itu berlalu lalang di area parkir, dan sesekali seperti menatap ke arah jendela ruangannya. Sekarang pria itu malah duduk di sana, tak melakukan apa-apa selain memainkan ponselnya. "Rev. Lo kenapa?" tanya Celin yang melihat Reva melamun. Reva menoleh dan tersenyum tipis. "Gak apa-apa, Kak. Cuma mikirin kerjaan aja," jawabnya kembali menyuap makanannya. "Gak ada yang spesial kali, Dek, dari pekerjaan sampe di pikirin gitu," tutur Melin mendapat anggukan dari Celin. Reva hanya cengengesan menampilkan detetan giginya yang rapi. Mereka kembali terdiam, memilih fokus untuk menghabiskan makanan masing-masing. Kecuali Reva yang fokusnya terbagi pada pria misterius yang mencurigakan baginya itu. Ting! Melin mengambil ponselnya yang terletak di atas meja, membuka pesan yang ternyata dari Mbak Nisa. Selesai membacanya, Melin tersenyum dan menatap Reva dan Celin bergantian. "Mbak Nisa ngajak makan malam nih, di rumah dia. Gimana? Mau 'kan?" tanyanya pada mereka berdua. "Gue nggak deh kayaknya. Mama gue lagi di sini soalnya," jawab Celin dan Melin hanya mengangguk mengerti. "Kamu bisa 'kan Dek? Kasian Mbak Nisa katanya mau masak banyak," ucap Melin menatap Reva. "Bisa kok, Kak. Tapi nanti aku pulang dulu, mau ambil sesuatu buat baby Cio," jawabnya mendapat anggukan dari Melin. "Yaudah, sekalian aja nanti Kakak yang anter," ucap Melin dan Reva dengan cepat menggeleng. "Gak usah, Kak. Aku gak langsung pulang nanti," ucapnya membuat Melin dan Celin bingung. "Mau kelayapan dulu lo?" tanya Celin padanya. "Nggak, Kak. Aku mau ke rumah Ibu nanti," ucapnya tersenyum tipis. Celin dan Melin mengangguk paham. Mereka memang sudah tau tentang keluarga Reva. "Hehe, Sorry Rev. Gue gak tau," ucap Celin merasa tak enak hati. "Gak apa-apa, Kak," jawabnya tersenyum. ***** "Rusak apartment gadis itu, buat surat ancaman untuknya," ucap pemuda itu pada bawahannya. "Akan saya laksanakan, Bos," jawabnya. Pemuda yang di panggil bos itu langsung memutus sambungannya sepihak. "Maafkan aku gadis cantik. Kau harus menjadi korban di sini," ucap pemuda itu menatap foto seorang gadis di sana. ***** "Awasi dia. Ikuti ke manapun dia pergi. Dan pastikan dia tak mendapat luka apa-apa," ucap Ervan dan langsung memutuskan sambungannya. Jika saja ini bukan rumah sakit, dapat dipastikan dia sudah membuat tempat ini hancur, rata dengan tanah sebagai pelampiasan kemarahannya. "Sialan kau Zack!" teriaknya memukul dinding di belakangnya "Jika dia terluka aku benar-benar akan membunuhmu Zack. Aku akan menghabisimu!" Lagi Ervan berteriak di akhir kalimatnya. "Bagaimana jika gadis ini bernasib sama seperti adikmu?" Ervan merobek asal kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di sana. "Maka kau akan benasib lebih parah daripada itu," gumam Ervan pelan. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN