"Kamu yakin gak ikut sama Kakak?" tanya Melin entah untuk yang ke berapa kalinya.
Reva melihat jam di pergelangan tangannya sebentar lalu kembali menatap Melin dan tersenyum.
"Iya Kak. Lagian aku 'kan udah pesen taxi," jawab Reva.
Mereka sedang di tepi jalan sekarang, menanti taxi online yang akan mengantar Reva pulang. Namun sudah 15 menit lamanya mereka menunggu, taxi yang katanya sudah dekat itu belum juga sampai. Entah sudah dekat mana yang supir itu maksud.
"Mending kamu ikut Melin aja, Rev. Taxinya gak dateng-dateng dari tadi" ucap Gunta di angguki Melin dan Celin yang ikut menemaninya.
Reva kembali tersenyum. Bersyukur sekali dia mendapat rekan yang sangat perhatian seperti mereka ini.
"Gak apa-apa, Kak. Aku nunggu taxi aja, udah terlanjur juga," jawabnya.
"Kamu masih aja manggil, Kak. Panggil Abang aja. Abang agak gimana gitu kalau di panggil, Kak," ucap Gunta meralat ucapan Reva.
"Hehe, lupa, Bang. Aku biasanya manggil Kak soalnya," ucap Reva menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal, dan Gunta hanya mengangguk menanggapi.
Mereka kembali menanti taxi yang sedari tadi mereka nanti. Namun tetap saja, taxi itu belum juga datang. Padahal hari sudah sangat sore, hampir malam malah.
"Ck. Lo kok keras kepala banget sih Rev. Kalau aja dari tadi lo nebeng si Melin, gue udah rebahan tau gak," ucap Celin dengan nada kesalnya.
Gunta hanya memelototkan matanya menatap Celin dan bergumam tak jelas seolah mengatakan kalau Celin keterlaluan. Sedangkan Melin langsung menjitak kepala belakangnya membuat Celin mengaduh.
"Lagian siapa nyuruh lo di sini sih. Malah nyalahin adek gue," ucap Melin ikut kesal.
Celin hanya menggerutu tak jelas sambil terus mengusap kepalanya yang di jitak Melin.
Reva terkekeh kecil melihat ketiganya. Walaupun begitu, Celin adalah wanita yang baik sama seperti Melin, hanya saja dia terlalu blak-blakan dalam berekspresi.
"Sorry ya, Kak. Besok pagi aku bawain bekal deh buat Kakak, sebagai permintaan maaf," ucap Reva menatap Celin yang langsung tersenyum lebar padanya.
"Beneran nih?" tanyanya semangat.
Melin dan Gunta mendengus mendengarnya.
"Iya beneran. Kakak mau di masakin apa?" tanya Reva dan Celin tampak berpikir.
"Gak usah di tanyain, Rev. Dia pemakan segalanya kok. Dulu waktu gak ada uang, batu aja dia goreng," jawab Gunta mendapat delikan tajam dari Celin.
Reva tergelak mendengarnya. Goreng batu? Yang benar saja.
"Terserah lo aja deh, Rev. Yang penting jangan ada brokolinya, gue alergi soalnya," ucap Celin akhirnya.
"Oke siap. Kak Melin sama Bang Gunta? Mau aku masakin apa?" tanyanya menatap Melin dan Gunta bergantian.
"Eh, gak usah, Dek. Ntar Kakak masak sendiri aja di rumah," jawab Melin menolaknya halus.
"Iya Rev. Abang mah gampang ntar tinggal beli di kantin," timpal Gunta.
"Hilih, sok sok-an nolak lo berdua. Padahal dalam hatinya tuh udah teriak-teriak pengen yang gratis," cibir Celin menatap sinis keduanya.
"Dih, kita bukan lo ya yang suka manfaatin orang," jawab Melin membuat Celin melotot.
"Manfaatin lo bilang? Kurang ajar banget lo!" ucapnya kesal.
Tin! tin!
Melin yang baru saja ingin membalas ucapan Celin memilih untuk mengalihkan tatapannya pada klakson taxi di depan sana.
"Udah gak usah berantem, Kak. Taxinya udah dateng tuh, makasih ya udah repot-repot nemenin aku. Aku pulang dulu ya, janji deh besok aku bawain kalian bekal. Bye semuanya," ucap Reva cepat dan langsung berlari kecil menuju taxi.
"Hati-hati Dek," ucap Melin melambaikan tangannya.
"Jangan lupa bekalnya besok, Rev," timpal Celin ikut melambaikan tangannya.
Reva hanya membalas dengan acungan jempol dan membalas lambaian mereka sebelum kemudian taxi itu membawanya menuju apartment.
"Maaf Mbak saya telat, tadi taxi saya mogok," ucap sang supir pada Reva.
Reva menatapnya dari spion mobil dan tsrsenyum.
"Iya gak apa-apa, Pak," jawab Reva seadanya dan kembali fokus pada ponselnya.
"Lo yakin Reva aman sendirian?" tanya Celin pada Melin yang masih menatap taxi yang sudah membawa Reva tadi berjalan menjauh.
"Yakin. Gue yakin dia pasti udah siap siaga juga buat jagain Reva," jawab Melin tanpa menatap Celin.
"Emangnya dia bilang apasih sama lo sampai lo sepercaya ini?" giliran Gunta yang bertanya.
"Dia ngirim beberapa foto sama gue. Foto Reva yang lagi di buntutin sama orang-orang aneh. Gimana gue gak percaya kalau dia punya bukti itu," jelas Melin dan mereka berdua hanya mengangguk mengerti.
"Ya udah, yuk pulang. Besok kita bujuk lagi Reva supaya mau tinggal di rumah lo," ucap Celin dan Melin mengangguk pelan.
Mereka kemudian berjalan menuju mobilnya masing-masing dan pergi meninggalakan kawasan kantor untuk pulang ke rumah masing-masing.
*****
"Bagaimana?" tanya Ervan pada anak buahnya di seberang sana.
"Dia aman, Bos. Saya sendiri sudah memastikan kalau dia sudah masuk ke dalam apartment dan mengunci pintunya," jawab anak buahnya.
Ervan menghembuskan nafas lega dan mengangguk mengerti.
"Kerja bagus. Pantau terus keadaan di sana. Pastikan dia aman," ucap Ervan kembali memberi perintah.
"Baik, Bos. Sesuai perintah, Anda," jawabnya.
Ervan memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak dan meletakkan ponsel tersebut di atas meja kerjanya.
"Aku pastikan untuk tidak segan-segan membunuhmu kali ini, jika kau berani menyentuhnya, Zack," ucap Ervan pelan.
Rahangnya mengeras, tangannya terkepal bahkan buku-buku jarinya memutih menahan amarah.
Ancaman itu masih terdengar jelas di pendengarannya.
Flashback on
Baru saja akan membuka pintu mobil, namun pergerakan Ervan terhenti. Tangannya yang terulur dia tarik kembali, dia yang awalnya hanya terdiam kemudian berbalik badan.
Satu sangannya memegang tas dan satu lagi di masukkan ke dalam saku jasnya, bersandar di pintu mobil.
"Kau mulai terang-terangan rupanya," ucapnya entah pada siapa.
Tak lama kemudian, seorang pria dengan pakaian serba hitam keluar dari sebalik dinding tempatnya bersembunyi. Menyembunyikan kedua tangannya di saku jaket kulitnya dan berjalan mendekat ke arah Ervan, ikut menyandar di pintu mobil di depan Ervan.
"Aku tak suka sembunyi-sembunyi seperti pengecut di depanku ini," jawabnya tenang membuat Ervan terkekeh pelan.
Pria itu menggeser topinya sedikit ke atas sehingga memperlihatkan wajahnya yang tampan.
"Pengecut? Bukankah itu nama tengahmu?" tanya Ervan dengan nada meremehkan.
Zack tertawa pelan mendengarnya. Apakah baru saja musuhnya ini melempar lawakan?
"Aku lihat gadis itu cukup cantik, ah bukan, sangat malah," balas Zack menatap Ervan yang menatapnya datar.
"Awalnya aku mengira dia adikmu. Bukankah mereka sangat mirip?" Lagi, Zack berucap dan Ervan hanya mendengarnya dengan raut datar.
Zack mengeluarkan satu tangannya, dan menunjukkan sebuah foto pada Ervan.
"Lihat? Benar-benar mirip," ucapnya tak lupa dengan senyum miring yang tercetak jelas di wajahnya.
Tangan Ervan terkepal melihat itu. Ervan tentu tau, foto itu pasti baru saja di ambil oleh anak buah Zack. Karena Ervan juga memiliki foto yang sama, di mana Reva dan ketiga rekannya berdiri di pinggir jalan menunggu sebuah taxi.
"Lalu?" tanya Ervan mengangkat alis matanya sebelah, masih mempertahankan posisinya dan berusaha untuk santai.
"Lalu? Hahahah ...." Zack tertawa mendengar ucapan Ervan.
"Aku pikir kau tertarik padanya," ucap Zack pelan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baguslah, aku akan lebih mudah mendekatinya," lanjutnya membuat Ervan semakin emosi.
Ervan berdiri tegap masih menatap Zack dengan raut datarnya dan tatapan yang tajam, sampai seringaian itu tampak jelas di wajahnya.
"Aku baru tau pekerjaan sampinganmu adalah seorang penguntit," ucapnya membuat senyum Zack kian luntur.
"Tak apa. Aku pikir itu cocok denganmu, loser," ucap Ervan menekankan kata terakhirnya dan menatap remeh pada Zack.
Ervan tersenyum menang melihat raut kesal Zack, mudah baginya membalik keadaan dan membuat Zack emosi.
Ervan berbalik dan membuka pintu mobilnya. Namun seperkian detiknya kepalan tangan Zack hampir saja mengenai kepala Ervan kalau saja Ervan tak mengelak.
Dengan gerakan cepat Ervan menendang perut Zack membuatnya terhuyung ke belakang.
Ervan mencengkram kuat jaket yang di pakai Zack, membawa Zack untuk berdiri.
Brak!
Meringis pelan kala Ervan membenturkan tubuh Zack pada pintu mobil tempatnya bersandar tadi.
"Berhati-hatilah padaku kali ini. Aku tak akan berpikir dua kali untuk melenyapkanmu jika kau berbuat kesalahan yang sama," ucap Ervan penuh penekanan tepat di depan wajah Zack.
Zack tersenyum miring.
"Tutup mulut sampahmu itu. Dasar pembunuh!" ucap Zack berteriak di akhir kalimatnya.
Bugh!
Zack kembali tersungkur dengan darah segar yang mengalir di sudut bibirnya.
"Jangan samakan aku dengan orang sepertimu kep*rat!" bentak Ervan kembali melayangkan pukulan di wajah Zack.
"Siapa di sana!" teriak seseorang membuat tangan Ervan menggantung di udara.
Menghempas kasar tubuh Zack yang sudah babak belur lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu.
*****
Memasukkan empat kotak makanan ke dalam paperbag, tak lupa dengan minuman dan cemilan yang dia buat sendiri ke dalam paperbag lainnya.
Reva tersenyum melihat hasil kerjanya. Setidaknya ini sebagai bentuk rasa terimakasihnya pada rekan-rekan kerjanya.
Melihat jam di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul 6.15. Melepas apron yang melekat di tubuhnya dan memutuskan untuk mandi, bersiap pergi ke kantor.
Tak butuh waktu lama bagi Reva, kini dia sudah rapi dengan setelan kantornya, hanya butuh sedikit parfum dan polesan make up tipis, sudah dapat menambah kecantikannya berkali-kali lipat.
Ponselnya berdering, melihat nama Melin yang tertera di sana, Reva langsung mengangkatnya.
"Iya Kak, ini udah mau turun," jawab Reva sambil mengambil paperbag yang tadi dia siapkan.
"Gak usah, Kakak tunggu di bawah aja. Daa Kak."
Reva menyimpan ponsel di tasnya, baru saja ingin melangkah ke luar, Reva kembali memundurkan tubuhnya dan menatap dirinya sekali lagi di cermin besar itu.
"Di gerai aja kali ya?" tanyanya pada dirinya sendiri.
"Gak deh, bagusan gini. Ntar gerah lagi kalau di gerai," ucapnya lagi sambil tersenyum menatap cermin.
Reva melangkah keluar, membuka pintu apartment dan kembali menguncinya.
"Astaga!" pekik Reva kaget saat melihat Ervan sudah berdiri tepat di belakangnya.
Kapan pria itu ada di sana? Pikirnya.
"Kau membuatku hampir mati!" ucap Reva ketus dan berjalan melewati Ervan.
"Kejam juga caramu menyambut tamu," ucap Ervan berjalan di belakang Reva.
Reva menulikan pendengarannya. Tak ada gunanya berdebat dengan Ervan, itu hanya akan membuat moodnya hancur.
Masuk ke dalam lift, begitupun Ervan yang setia mengekor di belakangnya, dan itu membuat Reva jengah.
"Apa kau tidak mempunyai pekerjaan lain selain mengikutiku?" tanya Reva di dalam lift.
"Aku? Aku punya. Ini adalah salah satu pekerjaanku," jawabnya enteng.
Reva memutar bola matanya malas mendengar itu.
"Terserah kau saja," ucap Reva memilih mengabaikan keberadaan Ervan.
Ting!
Reva kembali menenteng paperbag itu dan berjalan keluar. Baru saja Reva ingin melambaikan tangan pada Melin yang sedang menunggunya di depan sana, tangannya segera diturunkan oleh Ervan dan membawanya ke arah lain.
"Eh eh, mau apa kau?" tanyanya panik.
Ervan tak menjawab dan terus berjalan menuju mobilnya.
"Lepaskan aku! Apa kau ingin menculikku? Apa kau penjahat? Tunggu, apa kau ingin memperk*saku?" ucap Reva sedikit berteriak dan memelototkan bola matanya.
Ervan berhenti melangkah dan berbalik menatap Reva.
"Perhatikan ucapanmu gadis bodoh," ucap Ervan mendorong pelan kepala Reva menggunakan telunjuknya.
"Lepaskan! Kakakku sudah menjemputku!" ucap Reva kembali memberontak.
Ervan tak mendengarnya, dia tetap berjalan dan membuka pintu mobil lalu mendorong Reva pelan untuk duduk di sana.
"Apa kau tuli? Aku tak mau pergi denganmu!" ucap Reva kesal.
Ayolah, ini masih terlalu pagi untuk menghancurkan moodnya.
"Aku tak butuh persetujuan darimu," jawab Ervan enteng dan mulai melajukan mobilnya.
"Kau pikir kau siapa seenaknya mengatur hidupku!" ucap Reva meninggikan suaranya.
Ervan hanya diam tak menjawab, dan itu membuat Reva semakin kesal.
"Ck. Dasar pria gila!" ketusnya dan memilih memperhatikan jalanan dari kaca mobil.
Ervan tersenyum melihatnya, setidaknya dia bisa tenang setelah memastikan gadis ini aman sampai ke kantor.
*****