Siapa Yang Melakukannya?

1840 Kata
Lima menit yang lalu, Reva baru saja memesan ojek online. Sebenarnya Melin tetap ingin mengantarnya dan juga ingin mengunjungi ibu Reva, tapi seperti biasanya Reva akan menolaknya dengan alasan tidak ingin merepotkannya. Melin sudah begitu baik padanya, dia tak ingin terlihat seperti sedang memanfaatkan Melin. Setelah merapikan meja kerjanya, Reva mengambil tasnya dan bergegas untuk turun ke bawah. Melin dan Celin sudah pulang lebih dulu, jadi dia hanya sendiri sekarang, yaa walaupun tetap ada rekan kerjanya yang menyapa dan mengajaknya berbicara sebentar, sekedar sebagai formalitas saja. "Reva." Reva menoleh, sang direktur berdiri di sana, di depan pintu ruangannya. "Pak Devin? Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Reva setelah Devin berada di dekatnya. "Saya hanya ingin mengembalikan ini." Kotak bekal berwarna coklat milik Reva ada di sana. "Tadi saya cuci. Maaf kalau tidak terlalu bersih," lanjutnya membuat Reva sedikit terkejut. "Harusnya saya saja yang cuci, Pak. Tapi terimakasih, Pak," ucap Reva mengambil kotak bekal tersebut dan memasukkannya ke dalam paperbag yang dia tenteng. "Tidak masalah," jawab Devin. "Kamu ingin pulang?" tanya Devin lagi dan Reva mengangguk. "Saya antar? Saya juga mau pulang," ucapnya kembali membuat Reva terkejut dan gugup? Mau di terima tapi takut tidak sopan, mau menolak takut pak direktur ini tersinggung. Kenapa ketika di hadapan Devin, Reva selalu serba salah? "Em, anu, Pak. Saya sudah pesan ojek online. Dan sepertinya sudah di depan. Jadi.." Reva menggantung ucapannya. Dia tak tau harus mengucapkan apa, dan berharap Devin mengerti maksudnya. "Ah, begitu ya. Saya mengerti. Ya sudah, kalau begitu saya antar kamu ke depan. Yang ini saya tidak terima penolakan," ucap Devin mutlak. "Eh?" "Ayo." Devin berjalan mendahului Reva. Namun melihat Reva yang tak kunjung bergerak, membuat Devin berbalik dan meraih tangan Reva yang menganggur. "Ayo," ucapnya di sertai senyum manisnya, menggenggam tangan Reva dan membawanya menuju lift. Bolehkah jika Reva baper sekarang? Tidak apa 'kan kalau Reva menganggap ini adalah sebuah 'perhatian' kecil dari Devin terhadapnya? Ah, memikirkannya saja Reva jadi malu dan gugup, apalagi kalau dugaannya itu benar. "Ibu! Jantung Reva kenapa?" batin Reva berteriak. Sampai di dalam lift, mereka sama-sama terdiam. Reva diam karena merasa malu, dan Devin diam karena tau Reva sedang malu. Dia tak ingin merusak moment manis ini dengan membuka suara dan membuat Reva melepas tautan tangan mereka. Sungguh, Devin suka moment ini. Pintu lift terbuka. Tangan mereka masih terpaut omong-omong. Seperti enggan untuk melepaskannya. Mereka berjalan keluar, menuju abang ojek yang ternyata memang sudah menunggu di depan sana. "Terimakasih, Pak. Sudah repot-repot mengantar saya ke sini," ucap Reva tersenyum. "Tak masalah, saya 'kan juga sekalian ke sini," jawab Devin juga tersenyum. "Kalau begitu__" "Ehem!" Dehaman itu membuat ucapan Reva terhenti. Mereka berdua menoleh ke asal suara. Melihat sang pelaku, Reva hanya berdecak dan memutar bola matanya malas. Dia lagi. Sedangkan Devin hanya mengernyit bingung, sepertinya pria ini tak asing untuknya. Dan di detik berikutnya, Devin kembali memasang raut datarnya. Dia mengingat pria ini. "Oh waw. Apakah kalian akan menyeberang jalan?" tanya Ervan pada mereka berdua namun tatapannya mengarah pada tautan tangan itu yang sama sekali belum terlepas. "Mau apa lagi kau di sini?" tanya Reva ketus menatap tak suka pada Ervan. Ervan berdecak, dan melangkah mendekat. Ervan melepaskan tautan itu dan menarik Reva untuk berdiri di sampingnya. "Apa yang kau lakukan?" tanya Devin ingin kembali menarik tangan Reva namun Ervan menghalanginya. "Apa? Aku akan membawanya pulang. Salah kah?" tanya Ervan menaikkan alisnya sebelah, menatap remeh pada Devin. "Aku tak mau pulang denganmu. Lepaskan!" ketus Reva berusaha melepaskan cengkraman Ervan di tangannya. "See? Lepaskan dia sebelum aku melakukan kekerasan," ucap Devin menatap Ervan tajam. "Aku tidak peduli. Memangnya siapa kau? Pacar? Suami? Kakaknya? Tidak 'kan?" ucap Ervan semakin membuat Devin jengkel. "Aku atasannya, dan setidaknya aku punya tanggung jawab padanya karena dia adalah karyawanku. Lalu kau? Kau bukan siapa-siapanya." ucap Devin menunjuk Ervan. Ervan tersenyum miring. "Aku calon suaminya. Kau mau apa?" ucapan Ervan membuat Reva memelototkan matanya dan menggeleng cepat saat Devin menatapnya. Apa-apaan pria gila ini? Lancang sekali mulutnya menyebut dirinya sendiri calon suami Reva. Kenal saja tidak. "Dasar pria gila! Jangan sembarang kau. Kita bahkan tak saling kenal!" sarkas Reva tak terima. "Sudahkan? Jadi mulai sekarang kau jangan ganggu calon istriku," ucap Ervan santai. Tangannya yang tadi memegang tangan Reva, kini beralih di bahu Reva, merangkul gadis itu menghapus semua jarak di antara mereka. "Hey! Lepaskan aku! Lepaskan tanganmu!" teriak Reva meronta namun Ervan semakin mengeratkan rangkulannya dan menatap Reva tajam. Reva terdiam setelah mendapat tatapan itu. Itu sangat menakutkan, pria ini menakutkan dan menyeramkan. Tatapan tajam yang diberikannya membuat Reva takut. "Ayo," ucap Ervan membawa Reva menuju mobilnya yang berada tak jauh dari sana. Devin yang melihat itu hanya terdiam sambil terus menatap kepergian Reva dan Ervan. Dia berfikir benarkah Reva memilih laki-laki itu? Apakah itu berarti dirinya sudah tak mempunyai harapan untuk Reva? Hah, rasanya ada yang retak di dalam sana. Devin kemudian berjalan menuju mobilnya, dan pergi meninggalkan kantor untuk pulang ke rumah. Dia butuh berendam di air hangat saat ini. Abang ojek online yang sedari tadi menonton pertunjukan di depannya hanya dapat menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. Dia tak tau apa yang terjadi di antara mereka, yang dia tau adalah, dia total terabaikan di sini. Dan juga, penumpangnya pergi begitu saja. "Hah! Nasib-nasib," ucapnya menghela nafas dalam lalu pergi dari gedung itu. ***** Di dalam mobil, baik Ervan maupun Reva sama-sama bungkam. Tak ada yang memulai pembicaraan, karena memang tak ada yang ingin mereka bicarakan. Reva sebenarnya sudah ingin mencecar Ervan saat ini. Banyak pertanyaan di kepalanya, dan juga. Dia sudah ada janji dengan Melin dan Mbak Nisa. Hadiah untuk Baby Cio juga belum dia siapkan. Namun melihat rahang tegas Ervan dan kuatnya kedua tangan Ervan meremat setir mobil membuat Reva cukup tau untuk tidak membuka suara sekarang. Dia tak ingin menjadi korban amukan Ervan. Di tatap saja dia sudah gemetar, apalagi mendengar Ervan marah. "Menjauhlah darinya," ucap Ervan membuka pembicaraan. Reva menoleh menatap Ervan yang masih setia pada jalanan di depan sana. "Dia atasanku. Mana bisa," jawab Reva dengan nada di buat setenang mungkin. "Berhenti dari sana," ucap Ervan lagi membuat Reva sepenuhnya menatap pria itu. Kalau saja Reva anak miliarder mungkin dia tak akan susah memikirkan pekerjaan. Dan pria tidak waras ini dengan entengnya berbicara berhenti? Hey! Reva belum siap jadi gelandangan kalau dia mau tau. "Aku tak seperti kau yang hidup serba mewah. Kau pikir gampang mencari pekerjaan?" jawab Reva membuat Ervan akhirnya menoleh. "Aku yang akan memberimu pekerjaan," ucap Ervan membuat Reva mendengus kesal. Dia tau kalau Ervan itu sangat berpengaruh, tapi dia bukan wanita yang suka memanfaatkan orang lain. Dan secara tak langsung, Ervan baru saja mencapnya begitu. "Aku tak butuh bantuan darimu," ucap Reva sarkas. Ervan menghentikan mobilnya mendadak, untuk saja kepala Reva tak membentur dashboard. "Kau--" Ucapan Reva terhenti saat Ervan kembali menatapnya dengan tatapan yang tajam. Nyalinya tak akan sampai kalau begini. Apalagi sekarang Ervan mulai mendekatkan tubuhnya pada Reva sampai Reva mundur dan tersandar pada jendela mobil. "Kalau begitu tinggal bersamaku, maka kau tak perlu bekerja," ucap Ervan tepat di depan wajahnya. Mata Reva membola mendengarnya. Dia tidak salah dengar? Permintaan macam apa itu? Dia pikir Reva ini wanita seperti apa? Reva refleks mendorong Ervan. Plak! Tamparan itu membuat Ervan sedikit menoleh ke samping. Pertama kali dalam hidupnya dia di tampar oleh seorang gadis yang baru dia kenal. Cukup berani, pikirnya. "Kau pikir aku wanita apa sampai kau memintaku untuk tinggal di rumahmu? Kau tidak punya malu ya berbicara seperti itu pada seorang wanita? Kita tak punya hubungan apa-apa selain dua orang yang tidak saling kenal. Jadi jangan lewati batasanmu jika tak ingin aku tampar seperti itu lagi," ucap Reva menggebu-gebu menatap penuh amarah pada Ervan. Ervan hanya diam di tempat, tak menunjukkan ekspresi apa-apa. "Aku memintamu tinggal bukan berarti aku menjadikanmu 'pelayanku'. Aku juga tak serendah itu berbuat pada seorang wanita," ucapnya kembali melajukan kendaraannya. Reva terdiam. Jadi dia salah paham? Haruskah dia meminta maaf karena sudah berfikir yang tidak tidak? Ah tidak, pria ini lebih banyak melakukan kesalahan padanya. "Sudah kubilang, kau mirip dengan mendiang adikku, sangat malah. Jadi aku hanya mencoba untuk melindungimu," ucap Ervan lagi. Reva tak menanggapinya kali ini dan hanya menoleh pada jalanan yang mereka lalui. "Aku bisa menjaga diriku sendiri," gumam Reva pelan. ***** "Coba kamu telpon lagi, telpon biasa aja," ucap Nisa pada Melin. Mereka sedang memasak sekarang, namun Reva belum juga datang. Tadi Reva mengatakan kalau dia akan ikut membantu, namun sedari tadi mereka menghubungi Reva, Reva tak menjawabnya. "Gak di angkat juga Mbak," ucap Melin cemas. "Ke mana lagi sih tu anak. Bikin khawatir aja," ucap Melin kembali mencoba menghubungi Reva. "Kamu tenang dulu, mungkin dia masih di tempat ibunya. Maklum aja, mungkin dia kangen," ucap Nisa menenangkan. "Tapi ini udah dua jam lebih loh Mbak. Kalau dia di jahatin gimana? Aku gak tenang kalau kayak gini," ucap Melin semakin gelisah. Nisa hanya bisa mengusap punggung Melin untuk menenangkan. Dia paham rasa khawatir yang Melin rasakan sekarang. Reva sudah di anggap adik oleh mereka, dan Nisa tau betul Melin masih trauma dengan apa yang dulu pernah di alami oleh adiknya. "Kita tunggu sebentar lagi, kalau belum juga dapat kabar, baru kita cari," ucap Nisa dan Melin hanya mengangguk. Sedangkan di lain tempat, Reva baru saja sampai di unitnya. Tadi dia tidak jadi mengunjugi sang ibu karena terlalu lama membeli hadiah untuk Baby Cio, tentunya bersama Ervan. Namun saat dia membuka pintu, Reva mematung. Paperbag yang dia bawah jatuh begitu saja. Keadaan apartemennya sangat tidak bisa di bilang baik-baik saja. Ini keadaan terkacau yang pernah dia lihat selama dia tinggal di sini. Barang-barangnya berserakan di lantai, pecahan kaca dari gelas dan piring berserakan di mana-mana, bahkan pajangan fotonya juga. Yang lebih parah adalah, saat dia melihat ke arah kamarnya yang pintunya terbuka lebar, kasurnya sudah separuh terbakar, sofanya juga. Sepertinya pelaku sengaja membakarnya lalu memadamkannya. Tapi untuk apa? Siapa yang melakukan ini semua padanya? Reva ingat dia tak memiliki musuh, tapi mengapa ini semua terjadi padanya? Apa salahnya sehingga mereka sekejam ini padanya? "Ibu~ hiks ...." Reva terisak sambil terus memanggil ibunya. Dia tak tau lagi harus berkata apa, dia tak punya siapa-siapa dan sekarang tempatnya pun di rusak oleh seseorang. Reva ingin menyusul ibunya saja kalau begini. "Hiks ... ibu ..." Reva terjatuh dan bersandar pada pintu. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Ke mana dia akan pergi? Di mana dia akan tinggal? Seakan teringat sesuatu, Reva sejenak meredakan tangisnya dan menyeka air matanya kasar. Dia segera berdiri dan berlari menuju kamarnya. Di bukanya lemari pakaian yang semua bajunya sudah tak berbentuk lagi karena di gunting. Matanya menelisik lemari itu dan menemukan koper miliknya. Segera dia membuka koper itu dan menghembuskan nafas lega. Air matanya kembali terjatuh saat mengambil sebuah foto yang terselip di sana. "Untung aja Reva masih punya foto ibu yang ini," gumamnya mencium dan memeluk foto berukuran lebih kecil dari telapak tangannya itu. Reva bangkit, dia harus pergi sekarang. Namun baru saja ingin pergi, langkahnya terhenti saat melihat sebuah kertas yang menempel di pintu kamar mandinya, juga sebuah pisau yang di penuhi darah yang tertancap di kertas itu. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN