Brak!
Pintu apartemen yang tadinya sedikit tertutup sekarang terbuka lebar di iringi bunyi yang keras.
Reva yang tadinya meletakkan kepalanya di lututnya, mendongak melihat siapa yang masuk.
Ervan berdiri di sana, nafasnya terengah dan terlihat sekali raut khawatir di wajahnya.
"Kau!" tunjuknya pada Reva yang tampak tak bereaksi apa-apa.
"Kenapa tak mengangkat teleponku! Apa kau tak tau aku mencemaskanmu hah!" teriaknya lagi pada Reva.
Reva hanya diam dan kembali meletakkan kepala di atas lututnya, di lipatan tangannya. Dia tak dapat berpikir jernih saat ini, dia saja tidak tau ponselnya ada di mana sekarang.
Ervan menghembuskan nafas kasar. Dia harus bisa mengontrol emosinya saat ini.
Berjalan kearah Reva dan mensejajarkan posisinya dengan Reva. Dia tak mengeluarkan suara apa-apa, namun bahunya bergetar, tanda dia menangis.
"Jangan kau tahan. Menangis saja." ucap Ervan padanya.
Lama Reva tak merespon akhirnya dia menegakkan kepalanya, menatap Ervan yang masih setia berada di depannya. Bibir Reva bergetar menahan tangis, air matanya bahkan sudah luruh begitu saja.
Tangan Ervan terulur menghapus air mata di pipi Reva dan memberikan senyum lembut.
"Menangislah." ucap Ervan lagi.
"Hiks.. hiks.. ibu.. hiks.."
Reva menangis dengan tatapannya masih menatap Ervan. Bahkan tanpa berkedip pun air matanya jatuh dengan sangat deras. Sungguh, hati Ervan ikut berdenyut nyeri melihat kerapuhan Reva saat ini.
Tanpa menunggu lagi, Ervan membawa Reva ke dalam pelukannya. Memberikan kenyamanan dan ketenangan pada Reva, tapi tangis Reva malah semakin keras, menangis tersedu-sedu di pelukan Ervan.
Biarlah seperti ini. Reva tidak peduli jika nanti ada orang yang melihat mereka, dia juga tak peduli dengan apa yang akan Ervan ucapkan setelah ini padanya. Yang dia tau, dia sekarang hanya membutuhkan ini. Membutuhkan seseorang tempatnya menumpahkan semua bebannya saat ini.
"Menangislah, aku di sini." ucap Ervan sembari tangannya mengusap rambut Reva dengan tempo yang teratur.
Reva tak berbicara apa-apa selain isakan yang keluar dari mulutnya. Kedua tangannya meremat kuat pada jas Ervan, dan sesekali memukul d**a Ervan seakan melampiaskan amarahnya. Ervan tak mempermasalahkan itu.
"Aku bersumpah akan menghancurkanmu Zack. Sialan kau!" batin Ervan marah.
Hampir satu jam Ervan memeluk Reva yang sesekali masih terdengar isakan darinya. Perlahan, Reva mengurai pelukannya dan menunduk sambil membersihkan jejak air mata di wajahnya.
"Kau sudah tenang?" tanya Ervan dan Reva hanya mengangguk kecil.
"Terimakasih." cicitnya hampir tak terdengar, namun Ervan masih dapat mendengarnya.
"Tidak masalah. Ayo, ikutlah denganku." ucap Ervan mengulurkan tangan pada Reva.
Reva menatap tangan itu dan Ervan bergantian. Dan menggeleng pelan membuat Ervan menghembuskan nafas lelah.
"Lalu kau masih akan tetap tinggal di sini? Ini sudah tak layak huni." ucap Ervan lembut.
Percayalah, Reva adalah orang kedua setelah adiknya yang melihat dan mendengar Ervan bersikap lembut seperti ini.
Seakan teringat sesuatu, Reva kembali mendongak dan menatap Ervan lekat.
"Antar aku." lirihnya.
Ervan mengerti jika sekarang Reva ingin pergi ke suatu tempat. Mengingat keadaan Reva yang seperti ini, jadi mau tak mau dia tetap menuruti permintaan Reva, walaupun dia sendiri tak tau akan kemana.
"Aku akan mengantarmu. Ayo." ucapnya menuntun Reva untuk berdiri.
Sebelum pergi dari sana, Ervan mengambil tas yang tadi Reva bawa lalu menyampirkan di pundaknya, sementara dia memegangi kedua pundak Reva untuk berjalan.
Reva tak protes kali ini. Tenaganya terkuras cukup banyak akibat menangis, jadi dia terima saja perlakuan Ervan kali ini.
*****
Di kediaman Nisa, kini sedang heboh-hebohnya. Melin sudah menangis sedari tadi memikirkan hal-hal negatif yang terjadi pada Reva. Nisa juga khawatir dan gelisah, tapi dia juga harus menenangkan Melin saat ini. Bahkan suaminya sudah menyuruh orang untuk mencari Reva, termasuk Gunta dan Celin yang kini juga berada di sana membantu mencari Reva.
Apalagi saat Reza dan Gunta yang baru saja kembali dari apartment Reva memberitahu kondisi apartemen Reva membuat mereka semua terutama Melin menjadi semakin gelisah.
"Kamu tenang Melin. Semuanya pasti baik-baik aja. Reva pasti baik-baik aja." ucap Nisa mengusap punggung Melin yang memeluknya.
"Gimana aku bisa tenang, Kak. Hiks.. dia sampai sekarang gak ketemu." jawab Melin masih terisak.
Sungguh, Melin sudah sangat menyayangi Reva seperti adiknya sendiri, walaupun baru beberapa hari mereka saling mengenal, tapi Reva benar-benar mengingatkannya pada sosok adiknya yang sangat dia sayangi.
"Gue yakin kita bisa nemuin Reva. Kalau dia ada masalah, dia pasti datang kesini kok. Kita tunggu aja dulu, ya." ucap Celin ikut menenangkan Melin.
Nisa menoleh ke arah pintu, di sana dia melihat suaminya masuk. Nisa menatapnya dengan tatapan bertanya seraya berucap 'Gimana?' tanpa suara.
Reza mengangguk dan menengok ke belakang.
Nisa masih diam menatapnya. Dan tak lama kemudian Gunta datang dengan memapah Reva dan juga seorang pemuda yang ikut membantu Reva berjalan.
"Melin, itu Reva." ucapnya membuat Melin langsung menegakkan tubuhnya dan berlari ke arah Reva.
"Reva. Kamu kenapa Dek? Ya ampun, Kakak khawatir banget sama kamu." ucapnya langsung memeluk Reva.
"Kak.. hiks.." Reva kembali menumpahkan air matanya di pelukan Melin.
Melin beralih menatap Ervan yang ada di belakang Reva. Ervan hanya diam sambil membuang nafas kasar.
"Melin, bawa Reva ke dalam dulu. Bersih-bersih dan biarin dia istirahat." ucap Nisa dan langsung di angguki oleh Melin.
"Ayo, Dek." ucapnya menuntun Melin berjalan menuju kamar tamu.
"Dokter Ervan. Mari duduk dulu, saya akan buatkan minuman. Kemarikan, tas Reva biar saya yang simpan." ucap Nisa mengambil tas yang sedari tadi tersampir di pundak Ervan, lalu beranjak menuju dapur.
Gunta dan Celin saling tatap. Jadi Mbak Nisa mengenal Ervan? Dan apa tadi? Dokter? Ah ya, mereka sampai tidak menyadari kalau sekarang Ervan masih mengenakan jas putih khas seorang dokter.
"Tidak perlu. Saya akan pergi." ucap Ervan berbalik ingin pergi.
"Tunggu, Dokter. Bisakah kau menjelaskan apa yang terjadi? Kami tidak paham dengan yang Reva alami saat ini." ucap Dokter Reza membuat Ervan kembali berbalik menatapnya.
Ervan menatap ketiga orang itu bergantian lalu membuang nafas berat.
"Saya jelaskanpun kalian tak akan mengerti." ucapnya.
"Ah ya, sementara ini jaga dia. Dan tidak perlu memanggil saya dokter, ini bukan rumah sakit." lanjutnya kemudian pergi meninggalkan rumah Reza.
Reza hanya menghela nafas panjang. Tentu tak mudah membuat Ervan menjelaskan semuanya.
"Mas, Ervan itu dokter?" tanya Celin yang tidak dapat menahan rasa penasarannya.
"Iya, dia kerja di rumah sakit tempat Mas kerja." jawab Reza dan Celin membulatkan mulutnya.
"Dia bukannya pewaris D'Fam Company ya, Bang?" tanya Gunta selanjutnya.
"Iya. Abang juga gak tau kenapa dia milih jadi dokter." jawab Reza lagi.
"Loh, Dokter Ervannya mana?" tanya Nisa membawa nampan berisi gelas air.
"Baru aja pergi, Mbak." jawab Celin dan Nisa hanya mengangguk.
"Ya udah, ayo minum dulu. Tadi Mbak belum sempat suguhin kalian minum." ucap Nisa menaruh nampan tersebut di atas meja.
"Mas, temenin mereka dulu ya. Aku mau angetin makanan dulu. Kita makan malam dulu nanti." ucap Nisa dan Reza hanya mengangguk.
"Mbak tinggal ya." pamitnya pada kedua juniornya itu dan mereka hanya mengangguk.
*****
Melin sedang menyiapkan baju ganti untuk Reva, sedangkan Reva masih berada di dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tak lama Reva keluar menggunakan bathrobe dengan wajah yang lebih segar dari sebelumnya, walaupun masih terdapat kesedihan yang mendalam di sana.
Melin tersenyum kecil.
"Kamu ganti baju dulu ya. Udah Kakak siapin. Kakak ambilin kamu makanan dulu." ucap Melin dan melangkah keluar setelah mendapat anggukan dari Reva.
Reva selesai dengan urusan bajunya, kini dia duduk di tepi ranjang sambil memeluk lututnya. Dia tak lagi menangis, karena rasanya air matanya mengering karena terlalu lama menangis sedari tadi.
Tak lama, Melin pun masuk membawa nampan berisi makanan lengkap dengan segelas coklat hangat.
"Minum dulu." titah Melin memberikan coklat hangat itu pada Reva.
Reva meletakkan kembali gelas itu, dan menatap Melin yang juga menatapnya. Melin tersenyum dan mengelus rambut Reva penuh sayang.
"Kalau kamu belum siap cerita, Kakak gak bakal maksa. Kamu makan dulu ya, setelah itu istirahat." ucapnya seraya mengambil piring yang berisi nasi lengkap dengan lauknya dan siap menyuapi Reva.
"Kak." Reva menahan pergelangan tangan Melin yang akan menyuapinya.
Melin menatapnya dan seakan mengerti, Melin lalu meletakkan piring tersebut di nampan di atas meja.
"Kakak siap dengerin kamu." ucapnya menatap sepenuhnya pada Reva.
Reva menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
"Aku di terror Kak." ucapnya menundukkan kepala.
Melin masih diam mendengarkannya walaupun dia sangat terkejut mendengarnya.
"Apartmentku hancur. Bener-bener hancur. Aku gak tau mereka siapa dan salahku apa sama mereka. Aku rasa__ aku rasa aku gak punya musuh. Apa salahku, Kak.. mereka jahat banget. Padahal cuma di situ kenangan terakhir aku sama ibu, Kak.. hiks.. kalau aku kangen ibu gimana Kak? Aku gak bisa pake baju ibu lagi hiks.. aku bahkan gak bisa lagi makan di piring kesukaan ibu. Kak, hiks.. semua kenangan ibu udah hancur Kak.. mereka hancurin semuanya Kak.. hiks.. hiks.. mereka Kak, mereka.." Reva tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya.
Melin dengan cepat merengkuh Reva ke dalam pelukannya. Reva kembali menangis sejadi-jadinya sambil terus meracau. Melin tak tega melihat adiknya seperti ini. Melihat betapa rapuhnya Reva membuat air matanya ikut luruh. Memilih menangis dalam diam agar Reva tak mengetahuinya.