Pemecatan

2195 Kata
Selamat membaca! Saat pria itu mendekatiku, bau tembakau samar yang sangat aneh mulai merayap ke hidungku. Walaupun samar-samar, tapi aku merasa seperti pernah mencium bau ini di suatu tempat sebelumnya. Alih-alih berjabat tangan denganku, pria itu malah duduk di sofa yang berada di seberangku dan melihat ID card yang mengalung pada leherku. "Nama Anda, Devina?" "Oh ini." Aku melihat ID card milik Devina yang memang aku gunakan sebagai akses agar aku bisa masuk ke kantor ini. Pertanyaan dari pria itu benar-benar membuatku semakin gugup. "Maaf, Tuan, tapi saya bukan Devina. Saat ini, dia sedang mendapatkan tugas lain ke luar kota. Jadi saya yang menggantikannya untuk mewawancarai Anda." Aku masih terus menatap wajah pria yang memang tengah menjadi sorotan karena prestasinya dalam dunia bisnis. Bagaimana tidak, hanya dalam beberapa tahun, Wijaya Grup telah berkembang menjadi perusahaan yang sangat besar di Jakarta. Wijaya grup didirikan oleh dua pengusaha muda, salah satunya adalah pria ini. Pria bernama Firdaus Tanuwijaya yang masih berusia 28 tahun. Tak hanya sukses dalam mengembangkan perusahaan, dia juga berasal dari keluarga pejabat yang sangat terpandang. Jadi pasti ada hal menarik yang bisa diberitakan untuk pengusaha muda yang representatif seperti dia. Namun sayangnya, draf wawancara yang dibuat Devina hanya menyangkut pertanyaan-pertanyaan umum yang sangat sering ditanyakan oleh reporter lain. Ini seperti sebuah percakapan yang lebih terkesan menyanjung segala kelebihan dari seorang Firdaus Tanuwijaya. Selain prestasi dalam dunia bisnis, aku juga menilai jika pria ini memiliki wajah dengan rahang yang terpahat nyaris sempurna. Tak ada celah untukku bisa menemukan kekurangan dari pria ini, bahkan aku bisa dengan mudah mensejajarkan ketampanannya dengan beberapa artis tanah air. Aku masih menatapnya dengan penuh kekaguman. Hanya diam, termangu tanpa kata. Lidahku terasa kelu bukan karena takut, melainkan karena tersihir oleh karisma dari pria ini. Sampai akhirnya, suara ketukan jari yang perlahan semakin terdengar keras di telingaku, menjadi sebuah tanda bahwa aku harus segera tersadar dalam keterdiaman ini. Terlebih saat suara baritonnya terdengar mulai menyapaku. "Nona Dinda, apakah ada bunga di wajah saya?" Spontan pertanyaan itu membuatku gugup, tentu saja tidak ada bunga karena aku tidak menemukan itu di wajahnya. Aku menatap keningnya yang tegas dan menjawab dengan jujur. "Aku hanya merasa seperti pernah melihatmu di suatu tempat." Pria itu mengerucutkan bibirnya dan tertawa kecil. "Mungkin Anda melihat saya pada tayangan wawancara untuk siaran berita lain. Akhir-akhir ini saya memang sering menerima undangan wawancara dengan media lain." Seketika jawaban itu mulai menepis anggapanku bahwa aku sebelumnya pernah bertemu dengan pria ini. "Tuan Firdaus benar, orang seperti dia pasti sering diundang ke berbagai media untuk wawancara, apalagi jika itu diukur dari segi kesuksesannya saat ini. Sudah pasti setiap media pasti ingin meliputnya," batinku yang mulai mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Tanpa membuang waktu, aku pun langsung menyalakan alat perekam dan wawancara resmi dimulai. Sesi demi sesi pertanyaan sudah terlewati. Semua sesuai dengan draft wawancara yang telah dibuat oleh Devina. Namun menjelang akhir wawancara, tiba-tiba ponselku berdering. Suara itu terdengar mengganggu dari dalam tasku. "Ya ampun, aku lupa menonaktifkan ponselku," gumamku merasa tidak enak karena suara dering dari benda pipih itu sedikit mengganggu jalannya wawancara. Sambil terus mendengar jawaban dari Tuan Firdaus, kedua mataku mulai melirik tas yang memang dalam kondisi terbuka. "Arga." Aku lihat nama pria itu tertera di layar ponselku. Pria yang memang sedang aku cari selama 24 jam ini. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyambungkan telepon dan seketika melangkah keluar dari ruangan untuk menjawab panggilan dari Arga. “Kamu di mana, Arga?” Begitu panggilan tersambung, aku langsung bertanya tanpa basa-basi. "Dinda." Dia memanggilku dengan suaranya yang lembut seperti biasa. "Kamu dari tadi menghubungiku ya?" "Kamu belum jawab pertanyaanku, sekarang kamu ada di mana?" "Aku ada urusan bisnis ke luar kota. Jadi kemarin itu rencananya begitu mendadak. Makanya, aku sampai tidak punya waktu untuk memberitahumu." "Oke." Saat ini, aku tidak terlalu peduli tentang alasan Arga tidak menjawab teleponku karena aku punya hal yang lebih penting untuk ditanyakan padanya. "Sekarang lupakan masalah itu! Ada hal yang lebih penting yang ingin aku tanyakan. Coba jelaskan padaku, apa yang terjadi pada malam itu setelah aku menemanimu di acara pesta rekan kerjamu? Pesta satu setengah bulan yang lalu, apa kamu ingat tentang itu Arga?" "Sudah lama sekali, bagaimana aku bisa mengingatnya?" Arga menjawab dengan sedikit terbata. Membuat keraguannya terdengar jelas di telingaku. "Dinda, aku masih ada pertemuan dengan klien saat ini. Nanti aku akan menghubungimu lagi ya." "Arga, jangan tutup teleponnya!" Aku menggertakkan gigi dan memanggil namanya. "Kenapa saat aku terbangun di pagi itu aku berada di hotel? Dan kenapa kamu tidak ada di sana saat aku bangun? Kalaupun kamu pergi, kenapa kamu tidak membawaku pulang ketika aku minum terlalu banyak?" "Dinda, bukannya aku sudah pernah menceritakan berulang kali padamu? Saat itu, Bos meminta aku segera menemuinya setelah aku mengantarkanmu ke kamar hotel. Di kamar hotel aku membiarkanmu tidur dan tidak ada apa pun yang aku lakukan." "Jadi kamu tidak menyentuhku?" "Tentu saja tidak." Jawaban itu seketika membuat kekehanku mulai terdengar. Bagaimana bisa aku hamil? Apa mungkin janin yang ada di rahimku ini jatuh dari langit? "Oke, kalau kamu memang tidak menyentuhku, coba kamu jelaskan, bagaimana mungkin aku bisa hamil saat ini?" Aku berusaha menanyakan hal itu dengan sangat tenang setelah terdiam kembali dari kekehan kecilku. Mungkin aku satu-satunya wanita di dunia yang sedang mengandung seorang bayi yang aku sendiri tidak tahu siapa ayahnya dan berulang kali terus mempertanyakannya. "Dinda." Suara Arga tidak terdengar terkejut setelah aku memberitahu kehamilanku dan itu membuatku dapat menyimpulkan jika Arga seolah-olah telah mengetahuinya. "Aku akan membicarakan tentang hal ini ketika aku kembali." "Maksud kamu? Jadi apa kamu tahu sesuatu tentang kehamilanku ini? Tolong jawab, Arga! Apa benar kamu tahu sesuatu?" tanyaku memberondong pertanyaan demi pertanyaan dengan suara yang mulai meninggi. Terlebih ketika Arga hanya diam tanpa menjawab satu pertanyaan dariku. "Kenapa kamu diam saja? Arga, cepatlah kembali! Aku butuh penjelasan darimu!" Akhirnya aku tidak bisa menahannya lagi, aku berdiri di belakang tangga dan meneriakkan kalimat ini dengan histeris. Namun bukan jawaban yang aku dapat, Arga tiba-tiba memutuskan sambungan telepon kami lebih cepat daripada yang biasa dilakukannya. "Kenapa ditutup Arga?" geramku sambil menatap layar ponsel sudah tidak lagi tersambung pada Arga. Aku pun mulai menarik napas dalam-dalam. Mengendalikan amarah yang kian menyesakkan d**a. "Ya Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa semua bisa serumit ini?" Sambil menekan d**a, aku kembali berbalik. Kedua mataku seketika membuat sempurna saat melihat Tuan Firdaus telah memasuki lift dan pergi meninggalkan ruangan. "Tuan Firdaus! Hei, Tuan mau ke mana? Kita belum selesai wawancara." Dengan cepat aku pun berlari beberapa langkah. Namun terlambat, pintu lift menutup di depan mataku tanpa bisa aku tahan. Wajah pria tampan itu hilang dari pandanganku, bahkan walau sempat melihatku. Namun, Tuan Firdaus seolah acuh hingga pintu lift itu menutup. "Ya Tuhan, kenapa pria itu malah pergi?" Aku mengalihkan pandangan mata, melihat angka yang tertera pada lift. Tujuanku adalah mengejarnya dan menyelesaikan wawancara yang sempat terhenti karena aku menjawab telepon masuk dari Arga. Hal yang tentu saja bodoh dan membuatku tak henti-hentinya merutuki itu di dalam hati. Setelah memastikan lantai yang dituju oleh Tuan Firdaus, aku kembali berlari menuju tangga darurat. Namun, seseorang wanita tiba-tiba menghentikanku. "Nona Dinda, saya sekretaris Tuan Firdaus." Kalimat itu sukses menghentikan langkahku yang hampir kupacu. Aku melihat wanita itu, memindai penampilannya dan dapat aku pastikan kalau dia memang seorang sekretaris. "Oh maaf, Nona. Tadi saya terpaksa keluar dari ruang pertemuan karena harus menjawab panggilan yang mendesak." Tahu akan kesalahanku, aku pun buru-buru menjelaskan pada wanita ini karena aku tahu dia pasti akan bertanya tentang alasan, kenapa aku pergi meninggalkan Tuan Firdaus dalam sesi wawancara yang memang belum selesai. "Tuan Firdaus meminta saya untuk memberi tahu bahwa Anda adalah reporter yang paling tidak profesional sepanjang hidupnya. Dia sangat menyesal karena Anda tidak menghargai waktu yang dia berikan untuk wawancara." Penilaian itu membuatku tercengang. Ingatanku langsung tertarik ke belakang. Tepatnya saat aku meliput kenaikan harga minyak goreng dengan langsung terjun ke lapangan. Saat itu, aku bahkan sampai menyamar jadi salah satu ibu-ibu untuk ikut mengantri minyak goreng di sebuah pasar tradisional. Desakan dan antrian yang panjang laksana ular menjadi hal yang harus aku rasakan kala itu. Jadi kata-kata tidak profesional yang disematkan oleh Tuan Firdaus sungguh menampar keras kesadaranku. "Dia hanya menilai dari situasi sekarang ini. Semudah itu dia mengatakan aku tidak profesional," batinku sambil terus mengendalikan rasa kesalku. Tak ingin hari ini menjadi hari yang semakin buruk, aku pun berulang kali meminta maaf kepada sang sekretaris. Harapanku hanya satu, Tuan Firdaus mau membuat janji ulang untuk wawancara denganku. "Tolong sampaikan maaf saya ini kepada Tuan Firdaus, tapi tadi saya benar-benar harus menjawab panggilan itu. Kalau memang Tuan Firdaus tidak ada waktu senggang saat ini, kita bisa membuat janji di lain hari." Wajah penuh harap itu kuperlihatkan. Namun, sekretaris itu tetap dingin menanggapinya. "Maaf, Nona Dinda, tapi Tuan Firdaus benar-benar sedang sibuk. Seperti yang saya katakan tadi, Anda sudah membuang waktunya hingga beliau merasa Anda tidak menghargai waktu yang telah diberikan kepada Anda," ucap sekretaris itu sambil menyerahkan naskah wawancara yang aku tinggalkan di ruangan. "Sekalipun Anda adalah reporter yang ditugaskan sebagai pengganti sementara harusnya Anda menjalankan tugas ini dengan baik. Saya tahu naskah wawancara ini adalah milik orang lain, tapi seharusnya Anda bisa lebih tulus menjalani tugas ini." Setelah puas berbicara dengan kata-kata yang seolah merendahkan kinerjaku, sekretaris itu pun kemudian masuk ke dalam lift. Meninggalkan aku yang hanya dapat menghela napas sambil menelan pahitnya rasa kecewa karena telah gagal dalam tugas ini. "Ya Tuhan, sekarang bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" gumamku merasa bingung. *** Setibanya di kantor redaksi, aku yang masih belum bisa tenang karena telah merusak wawancara dengan Tuan Firdaus seketika dibuat terkejut saat Vinda datang menghampiriku. Wajahnya tak sama seperti tadi pagi. Kali ini Vinda tampak menunjukkan rasa simpatinya padaku. Hanya ada senyuman yang terlihat samar. Senyuman yang seolah mempertegas apa yang akan aku terima karena kegagalan dalam wawancara dengan Tuan Firdaus. "Dinda, pimpinan redaksi mencarimu, tapi kamu harus hati-hati ya! Tadi aku mendengar bahwa kamu tidak menyelesaikan wawancara dan ada keluhan dari Wijaya Group. Sekarang kamu benar-benar telah membuat pemimpin redaksi marah." Tidak ada pilihan lain yang dapat aku lakukan setelah Vinda menyampaikan hal tersebut, aku pun mulai memberanikan diri melangkahkan kaki menuju ruangan Tuan Bimo. Setibanya di sana, aku langsung membuka pintu ruangan pimpinan setelah mengetuknya dan dipersilakan masuk. Sebenarnya aku takut setelah mengetahui dari Vinda jika pimpinan redaksi sangat marah, bahkan pria paruh baya itu sampai melepas topi yang biasa dikenakannya hingga memperlihatkan permukaan kepalanya yang licin tanpa sehelai rambut pun. "Ya Tuhan, apa gosip itu benar adanya?" Aku seketika teringat tentang kabar burung yang beredar di kantorku bahwa orang yang dapat melihat kepala botak Tuan Bimo itu harus siap menerima kemurkaannya. Ingatan itu membuatku tidak berani duduk. Akhirnya aku tetap berdiri, walau dengan kedua kaki yang sudah gemetar. "Tuan Bimo, Vinda bilang Tuan mencari saya." Tuan Bimo masih terdiam dalam waktu yang lama. Tak ada sepatah kata pun. Membuatku hanya menatap kepalanya yang botak dengan linglung. Keheningan yang terasa pekat itu tiba-tiba pecah. Suara yang terdengar berat dari Tuan Bimo semakin membuat bulu kudukku meremang. "Dinda, pergilah ke departemen personalia!" Aku memasang wajah bingung mendengar perkataannya. "Untuk apa, Tuan? Memang apa yang harus aku urus di sana?" “Prosedur pengunduran diri, apa lagi!” Pemimpin redaksi berteriak padaku. Semakin membuat kedua kakiku bergetar, bahkan aku nyaris pingsan karena hal itu. “Tuan Bimo, saya hanya menjawab panggilan telepon sebentar.” Aku sangat sedih saat harus menjelaskan hal tersebut. Hal yang tentunya tidak dapat diterima karena memang aku sudah melakukan kesalahan fatal hingga membuat Tuan Firdaus pergi meninggalkan ruang pertemuan saat wawancara belum selesai. Aku mengaku salah, tetapi bukankah agak berlebihan jika aku sampai dipecat? "Dinda, apakah kamu reporter baru?" Mendengar pertanyaan itu lidahku seakan membeku. Aku tak sanggup menjawabnya selain hanya menggelengkan kepala. "Kalau tidak, seharusnya kamu tidak sampai melakukan hal itu! Apakah kamu tahu siapa yang kamu wawancarai? Butuh waktu lama untuk membuat janji dengan Tuan Firdaus dari Wijaya Grup. Sekarang orang-orang mengeluh dan kecewa dengan kinerja dari kantor redaksi kita. Asal kamu tahu, saya itu hanya pemimpin redaksi dari cabang kecil ini. Jadi saya tidak bisa melindungi kamu, saya benar-benar tidak bisa membela kamu!" Tuan Bimo tampak begitu murka sampai menggebrak meja dengan sangat keras. Suara itu memacu detak jantungku berkali-kali lipat lebih kencang dari sebelumnya. "Ya Tuhan, kenapa bisa jadi seperti ini?" batinku ingin protes. Namun aku mengurungkannya dan coba meredakan amarah Tuan Bimo. Aku mundur selangkah, merasakan keringat sudah mulai membasahi telapak tanganku. "Tuan Bimo, cuaca di luar memang sangat panas. Makanya mungkin Anda jadi mudah sekali tersinggung. Bagaimana jika aku membuatkanmu segelas es lemon tea? Apa Anda mau?" Tuan Bimo tampak menghela napas panjangnya. Aku dapat melihat jelas senyuman getir terulas dari kedua sudut bibirnya. "Dinda, kamu sudah 3 tahun bekerja di sini. Seharusnya saya bisa mempertahankan kamu di kantor ini, tapi kapasitas saya di sini sangat terbatas. Jadi tolong mengertilah! Ini bukan masalah ringan karena kantor pusat langsung yang meminta saya untuk memecat kamu." Aku pun pasrah mendengarnya. Tak punya tenaga membela diri. Pada akhirnya, keterdiamanku membuat Tuan Bimo tahu bahwa aku sudah mengerti posisinya yang sebenarnya tetap ingin mempekerjakanku, tapi desakan dari kantor pusat membuatnya tak bisa berbuat lebih untuk membelaku. Amarahnya bukan langsung tertuju padaku, tapi lebih ke arah kecewa karena dia tidak bisa menyelamatkanku dari pemecatan ini. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN