Selamat membaca!
Pikiranku masih terus mencerna setiap perkataan dari pria itu. Bahkan di saat terdesak seperti ini otakku biasanya lebih cepat untuk memahami. Namun, tidak untuk situasi saat ini. Benar-benar membuatku sulit menemukan jawaban atas semua yang terjadi.
"Apakah pria yang telah membuatku hamil memintaku untuk tinggal di sini?" Pertanyaan itu yang akhirnya aku ucapkan setelah terdiam beberapa detik.
Pria itu tidak mengatakan ya atau tidak. Sampai akhirnya, pintu mulai terbuka. Seorang wanita berusia sekitar 40 tahun keluar dari rumah dan mengulas senyuman padaku. "Nona Dinda, ayo cepat masuk, di luar terlalu dingin."
Aku yang masih bingung dengan semua ini hanya bisa mengikuti langkah wanita itu yang terus menuntunku, tapi pria itu tak ikut masuk. Rumah mewah dengan segala furniture-nya membuatku sangat kagum hingga langkahku terhenti.
"Rumah ini benar-benar mewah ...." gumamku merasa takjub dengan seisi rumah yang terus kupandangi.
Aku masih berdiri, mematung kagum tanpa kata tepat di ambang pintu. Tanpa henti aku terus mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan kedua mata yang berbinar. Aku belum pernah tinggal di rumah sebesar ini sebelumnya. Ruang tamunya seperti lapangan basket, bahkan saking luasnya ada suara-suara yang menggema terdengar di sini.
Di tengah kebingunganku, wanita itu sudah meletakkan sepasang sandal di bawah kakiku.
"Nona Dinda, cepat ganti sandal Anda! Anda sudah benar-benar basah kuyup, sekarang kita naik ke atas untuk mandi dan mengganti semua pakaian Anda."
“Siapa pria itu? Apa Anda mengenalnya?” Sambil memakai sandal, aku pun bertanya pada wanita itu.
"Oh, maksud Nona, Sekretaris Han."
"Sekretaris Han? Sekretaris siapa dia?" tanyaku kembali penasaran.
Wanita itu pun hanya menggelengkan kepala. "Maaf, Nona, tapi saya hanya tahu bahwa dia adalah Sekretaris Han. Oh ya, perkenalkan nama saya adalah Lusi Merlina."
Aku masih terus mendengarkan ucapan dari wanita yang akhirnya aku panggil dengan sebutan Bi Lusi. Mengikuti arah jari telunjuknya yang juga memperkenalkan seorang wanita lain di depan sana. "Kalau wanita muda itu namanya Anggi, dia bertugas membersihkan kamar Anda dan saya yang memasak."
Tak pelak kata-kata Bi Lusi semakin membuatku bingung. Rumah mewah dan dua pelayan ini semakin membuat pikiranku seperti benang kusut. Belum juga pertanyaan tentang kehamilanku terjawab, aku masih dipusingkan dengan alasan kenapa Sekretaris Han membawaku ke rumah ini dan atas perintah siapa?
Kini aku pun naik ke atas untuk mandi, mengikuti langkah Bi Lusi yang terus berjalan di depanku.
Setelah mandi dengan air hangat, tubuhku tak lagi kedinginan. Kini aku sudah duduk di depan meja rias sambil meniup rambutku dan berpikir keras. Mengingat sekali lagi tentang apa yang sudah aku lalui selama aku menjalin hubungan dengan Arga. Sampai akhirnya, mulai terbesit dalam pikiranku. Suatu kejadian setelah acara pesta dengan relasi Arga, di mana saat itu aku minum hingga mabuk dan menginap di hotel tersebut.
"Apa jangan-jangan kejadian itu yang membuatku hamil?" Aku mengingat semakin keras. Pagi di mana aku terbangun hanya seorang diri di kamar hotel dengan bercak darah pada permukaan sprei di tempat tidur dan tanpa mengenakan pakaian sehelai pun. Saat itu, aku mulai berpikir apakah Arga telah melakukan sesuatu padaku ketika kami mabuk.
"Waktu itu Arga tidak bisa menjelaskan apa-apa padaku karena dia sendiri sedang mabuk, tapi kalau aku ingat-ingat lagi, entah kenapa aku seperti merasa ada orang lain yang masuk ke kamar, tapi siapa ya? Semua dalam pikiran terlihat samar, sulit sekali untuk mengingatnya dengan jelas," batinku sambil mengepal tanganku kuat-kuat. Menahan amarah yang mulai menelusup dalam diri.
Lamunanku seketika sirna, di saat Bi Lusi yang tengah mengeringkan rambutku mulai menyapa.
"Nona, apa Anda masih kedinginan? Kalau iya, apa perlu saya menyalakan pemanasnya?"
"Tidak perlu, Bi," jawabku dengan mengulas senyum. "Oh ya, apakah Bibi tahu siapa pemilik rumah ini?" tanyaku berharap Bi Lusi dapat memberi jawaban atas pertanyaanku.
Namun, Bi Lusi menggelengkan kepalanya, tanda bahwa wanita itu tidak bisa menjawab apa yang kutanyakan.
"Maafkan aku, Nona, tapi aku benar-benar tidak tahu, aku juga dipekerjakan di sini oleh Sekretaris Han dan dia juga yang membayarku setiap bulannya."
"Aneh sekali. Itu artinya yang tahu hanya Sekretaris Han saja," gumamku semakin berpikir keras dengan semua yang terjadi.
Tak berapa lama kemudian, Anggi datang membawakan semangkuk sup yang terlihat sangat lezat. Membuatku mulai berpikir bahwa keputusanku untuk tinggal di rumah ini adalah hal yang benar.
"Aku sangat beruntung, di sini aku mendapatkan pelayanan yang baik dan juga tempat tinggal. Jadi sebaiknya aku ikuti saja perintah Sekretaris Han. Setidaknya sampai aku tahu siapa pria yang telah menghamiliku, tapi aku masih sangat yakin jika ini semua ada hubungannya dengan kejadian waktu di hotel itu. Mungkin saja pria pemilik rumah ini yang masuk ke kamarku dan sengaja meniduriku. Setelah dia tahu aku hamil, pria itu menginginkan aku tinggal di sini agar anak yang ada di dalam kandunganku ini bisa selalu dalam pengawasannya," gumamku masih terus berpikir dengan segala hal yang sulit kutemui jawabannya.
***
Keesokan paginya, aku terbangun dengan tubuh yang hangat. Sejak semalam selimut tebal selalu aku kenakan. Kamarku benar-benar sejuk, pendingin ruangan dan tatanan kamar yang rapi semakin membuat tidurku pulas hingga aku hampir terlambat untuk terjaga. Hari ini aku tetap harus bekerja dan Bi Lusi tahu tentang itu karena aku sudah mengatakannya semalam.
"Selamat pagi, Nona." Kalimat itu terdengar sopan di telingaku begitu aku membuka pintu depan rumah. Aku sudah siap untuk berangkat kerja dan sebuah mobil ternyata sejak tadi menungguku di halaman. Tampak pengemudinya adalah pria yang sama saat mengantarku ke rumah mewah ini semalam.
"Iya, selamat pagi juga."
"Silahkan, Nona. Saya akan mengantar ke tempat kerja Anda."
Keterlambatan ini membuat aku sulit menolak. Aku benar-benar semakin kagum dengan semua perlakuan orang-orang di rumah ini yang begitu baik padaku. Hal yang pastinya mereka lakukan atas perintah dari si pemilik rumah.
Sepanjang jalan aku terus berpikir, seperti apa sosok pria itu. Hal yang menggelitikku adalah ketika aku membayangkan sosok pria itu dengan kepala botak dan perutnya yang tambun. Seketika aku menahan gelak tawa dengan kuat. Sampai akhirnya, pria yang sejak tadi mengendarai mobil mulai memperkenalkan diri.
Ketika dia menyebutkan namanya, aku jadi teringat dengan Arga Haditama, calon suamiku.
Menurutku Arga adalah sosok manusia yang lemah, antara aku dan dia, dialah yang selalu mudah menyerah. Aku pun coba menghubungi Arga dalam perjalanan ke tempat kerja, tetapi dia tidak menjawab.
Aku tidak tahu ke mana dia pergi, begitu juga dia yang tidak tahu di mana aku sekarang.
Setiap kali aku memiliki konflik dengan ibunya, dia selalu memilih untuk melarikan diri dan dia akan kembali ketika situasinya tenang. Walaupun seperti itu, aku tidak bisa marah padanya. Arga selalu berlutut di depanku, bersikap romantis, dan menghiburku dengan segala cara yang dia punya. Jadi, inilah alasan mengapa rencana pernikahan kami selalu saja diundur.
Ketika aku tiba di kantor redaksi, rekanku yang bernama Vinda Aprilia mengatakan bahwa pemimpin redaksi sedang mencariku.
Kemarin sore, aku memang meminta izin untuk pergi ke rumah sakit. Setelah itu, aku tidak kembali lagi ke kantor. Aku khawatir karena hal itu, aku akan mendapatkan masalah.
Langkahku sempat terhenti di depan ruangan. Menarik napas panjang, lalu mulai aku buka pintu ruangan setelah Tuan Bimo mempersilahkanku untuk masuk.
"Silahkan duduk, Dinda!" Kata-kata itu yang diucapkan sesaat setelah aku menampakkan diriku dengan langkah yang ragu. Tak biasanya Tuan Bimo memintaku untuk menemuinya.
"Ada wawancara hari ini, tapi Devina sedang ada tugas lain. Jadi kamu yang akan mengambil alih tugas itu. Ini adalah draf wawancara yang sudah Devina buat, kamu bisa mengambilnya dan langsung pergi ke sana."
Tanpa bisa menolak, aku pun mengambil transkrip yang disodorkan padaku. Baru membuka lembar pertama pada transkrip wawancara itu, aku sudah dapat melihat siapa yang akan aku wawancarai nanti. Seorang pria yang seketika membuatku ragu untuk mengambil alih tugas ini.
"Wawancara dengan Firdaus Tanuwijaya, Wakil Presiden dari Wijaya Grup."
Sebelumnya aku tidak pernah melakukan wawancara secara personal, aku lebih sering mendapatkan tugas untuk meliput berita yang akan dimuat di surat kabar.
"Bagaimana ini? Aku merasa tidak sanggup dengan tugas wawancara ini. Terlebih pria itu merupakan orang penting di kota Jakarta. Dia adalah seorang pengusaha muda yang cukup terkenal," batin ini mulai ragu sambil merasakan ujung-ujung jariku tiba-tiba terasa dingin. Mungkin ini efek dari rasa gugup yang seketika kurasakan.
"Tuan Bimo, apa tugas ini tidak diberikan kepada Vinda saja yang lebih berpengalaman dalam wawancara ini? Lagi pula saya ada janji lain dengan narasumber untuk berita yang akan cetak besok."
Tuan Bimo menatap tajam. Aku dapat melihat jika dia tidak suka dengan penolakanku. Wajahnya benar-benar tak bersahabat dan membuatku semakin serba salah.
“Apa kamu tahu kalau calon ibu mertuamu datang ke kantor ini sebelum aku pulang kerja kemarin?” Tuan Bimo mengubah topik pembicaraan dan ketika aku mendengarnya, rasa gugup itu kian menjadi dalam pikiranku.
"Untuk apa dia datang ke sini?" jawabku dengan cepat, menatap ragu karena Tuan Bimo begitu serius melihatku.
"Dinda, kamu bekerja di kantor ini sejak kamu lulus dan semenjak itu kamu sudah kerja keras hingga ada di posisi saat ini. Awalnya, aku tidak punya hak untuk ikut campur dalam kehidupan pribadimu, tetapi Ibu Sarah datang ke kantor ini kemarin. Dia menangis dan menceritakan semua tentangmu. Banyak yang mendengarnya hingga mempengaruhi nama baikmu di kantor ini."
Pandanganku mulai kembali melihat transkrip wawancara itu. Aku merasa tidak punya pilihan lain. Kedatangan Ibu Sarah, membuatku kehilangan hak untuk bernegosiasi. Tak bisa menolak. Aku benar-benar di hadapkan dengan sesuatu yang membuatku takut jika nantinya aku akan melakukan kesalahan dalam wawancara perdanaku.
"Sekarang kamu bisa pergi, Dinda. Lakukan yang terbaik, saya percaya kamu pasti bisa dan tidak akan mengecewakan saya."
"Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi." Aku pun pamit. Beranjak pergi keluar dari ruangan setelah Tuan Bimo tersenyum singkat. Ini adalah pembuktian di mana aku tidak boleh mengecewakan atasanku jika masih ingin bekerja di kantor ini.
Setibanya di pelataran kantor, aku melihat mobil mewah yang mengantarku masih tampak menunggu di sana. Aku mulai menghampirinya, mendekatkan wajahku pada jendela sisi kemudi.
"Pak, apakah Anda tidak ada pekerjaan lain?"
"Pekerjaan saya hanya ini, Nona Dinda. Anda itu 'kan seorang reporter dan Anda pasti pergi ke berbagai tempat untuk meliput berita. Jadi saya harus stand by untuk menunggu Anda. Sekarang ke mana kita pergi, Nona?"
"Wijaya Grup," jawabku karena memang aku sedang terburu-buru untuk segera tiba di sana. Tanpa menolak tawarannya, aku masuk ke dalam mobil. Menempati kursi tepat di belakang kemudi.
"Kenapa, Pak? Apa Bapak tidak tahu jalannya?" Aku bertanya setelah pria itu hanya terdiam tanpa berkata apa pun.
"Saya tahu, Nona." Dia tampak mengangguk buru-buru dan langsung menyalakan mobil.
Di awal kehamilan ini, aku merasa sedikit mengantuk hingga membuatku sulit mengingat arah untuk menuju Wijaya Grup yang jaraknya bisa ditempuh dalam setengah jam dari kantorku ini. Untungnya Pak Tama mengetahui jalan ke sana dengan baik. Jadi aku bisa memanfaatkan waktu selama perjalanan untuk mengistirahatkan tubuhku yang sempat tegang setelah bertemu dengan Tuan Bimo.
"Kenapa Ibu Sarah sampai datang ke kantorku? Sekarang aku benar-benar merasa malu karena itu artinya beberapa orang di kantorku pasti tahu masalah yang aku hadapi. Bahkan bisa saja mereka tahu tentang kehamilanku ini," batinku hanya bisa menghela napas berat. Menyandarkan tubuhku sambil memijat pelipisku yang terasa sedikit pening.
***
Setibanya di Wijaya Grup, aku langsung melangkahkan kakiku menuju resepsionis. Karena sebelumnya Devina sudah membuat janji, resepsionis itu pun mengantarku ke ruangan Tuan Firdaus.
"Jantungku benar-benar berdebar. Ya Tuhan, tolong bantu aku. Semoga wawancara ini berjalan dengan baik," gumamku sesaat setelah sang resepsionis mempersilakan aku untuk duduk ketika sudah tiba di ruangan Tuan Firdaus.
"Anda bisa menunggu dulu ya, Nona. Tuan Firdaus masih ada meeting dengan klien," ucap resepsionis itu membuyarkan rasa gugupku.
Mengetahui hal itu, aku pun mulai memanfaatkan waktu dengan membaca kembali transkrip wawancara yang telah dibuat oleh Devina.
Hanya beberapa menit saja aku menunggu, sepasang kaki mulai terdengar dari luar ruangan. Suara yang semakin mendekat. Knop pintu kini mulai bergerak. Pintu pun terbuka, sosok pria yang tampan itu masuk. Aku berdiri menyambut kedatangannya, mengulurkan tangan untuk menjabat tangan pria itu.
"Selamat siang, Tuan Fir ...."
Bersambung ✍️