Ancaman Bertemu

1194 Kata
Selamat membaca! Jika Tuan Firdaus menyampaikan kekecewaannya langsung kepada pemimpin kantor pusat, itu memang bukan hal yang bisa ditangani oleh pemimpin redaksi. Dia biasanya memperlakukanku dengan baik karena itulah aku tidak mungkin membantah permintaannya. Pada akhirnya, kini giliranku yang harus membuatnya tenang. Setidaknya dengan menerima pemecatan ini, Tuan Bimo tidak akan ditekan lagi oleh pimpinan kantor pusat. "Aku tahu, aku telah melakukan sesuatu yang salah hingga menarik perhatian orang dan itu juga menyebabkan Tuan sampai mendapatkan tekanan dari para pemimpin. Jadi aku akan menjalani prosedur pengunduran diri seperti permintaan Tuan." Aku pun berbalik, melangkah menuju pintu ruangan. Namun, di saat aku hendak membuka pintu, suara Tuan Bimo terdengar di belakangku. "Kamu bisa mendapatkan gaji tiga bulan sebagai pesangonmu, ini satu-satunya yang bisa saya lakukan untukmu." Tuan Bimo telah melakukan yang terbaik untukku. Aku tahu dia telah berusaha maksimal untuk mempertahankanku. Hanya saja mungkin tekanan yang didapatnya terlalu besar hingga membuatnya tak berdaya. "Terima kasih, Tuan." Aku membungkuk hormat untuk terakhir kalinya dan mulai melanjutkan langkah kakiku keluar dari ruangan. Setibanya di mejaku, aku mengambil air yang tergelatak di atasnya dan mulai meminumnya sambil membayangkan betapa pahit hidupku saat ini. Kemarin aku diusir oleh calon ibu mertuaku, sekarang pemecatan ini semakin membuatku terpuruk. "Aku tidak punya tempat untuk pergi selain kembali ke rumah mewah tadi malam." Aku menghela napas berat. Merasakan betapa pahit hidupku dalam dua hari ini. Tepatnya sejak kehamilanku. Entah kenapa sejak kehamilan ini, aku seperti merasa hidupku terlalu berat untuk aku jalani. *** Setibanya di rumah mewah, aku dapat mencium aroma makanan yang sangat menggugah selera. "Selamat siang, Nona. Makan siang Nona sudah saya siapkan." Bi Lusi tersenyum menyambutku. Seketika kedua kaki ini aku arahkan menuju meja makan. Kebetulan selama perjalanan pulang rasa lapar memang sudah mengusikku. "Terima kasih ya, Bi." Aku pun kembali diam. Menikmati makanan sambil bertanya-tanya apakah semua kemalangan yang menimpaku karena kehamilan ini. Jelas aku sangat depresi memikirkan semuanya, tapi itu sama sekali tidak mengganggu nafsu makanku yang masih saja lahap memakan makanan ini. Ketika aku akan selesai makan, Bi Lusi meletakkan setumpuk buku di atas meja. Aku pun mendongak sesaat sebelum menundukkan kepalaku lagi untuk melanjutkan aktivitas makanku. "Nona, ini adalah buku yang dikirim oleh Sekretaris Han. Silakan membacanya ketika Anda punya waktu!" Aku mengambil sebuah buku dan mulai membukanya. Dapat kulihat jelas jika buku-buku ini adalah tentang wanita hamil. “Aku tidak ingin membacanya. Lagi pula aku juga bingung akan aku apakan buku-buku ini setelah melahirkan nanti." "Tapi, Nona, sekretaris Han mengatakan bahwa Nona pasti akan membutuhkan buku-buku ini untuk mengisi waktu Anda, apalagi sekarang Nona sudah tidak bekerja." Aku segera mengangkat kepalaku dan menatap Bi Lusi dengan rasa heran. "Bagaimana dia tahu kalau aku sudah tidak lagi bekerja?" Bi Lusi pun hanya menggelengkan kepalanya. Tanda bahwa dia tidak tahu tentang apa yang aku tanyakan. "Maaf Nona, saya juga tidak tahu. Saya hanya mendengar apa yang dikatakan oleh Sekretaris Han." "Kenapa dia bisa tahu? Ini sangatlah aneh. Sekretaris Han itu sepertinya tahu segalanya," gumamku berpikir keras. Ini benar-benar membingungkan. Bagaimana bisa pria itu tahu sementara dia tidak berada di sana saat aku dipecat, bahkan aku juga tidak mengatakan hal ini kepada Pak Tama, sopir yang mengantarku pulang ke rumah ini. Aku pun meletakkan sumpitku dan mengitari meja makan. Memikirkan segala sesuatu yang memungkinan untuk Sekretaris Han mengetahui tentang pemecatanku. Sampai akhirnya, aku merasa buntu. Semua terasa mustahil dan sangat membingungkan. “Apakah kamu punya nomor telepon Sekretaris Han?” Aku bertanya pada Bi Lusi. Namun, wanita itu hanya menggelengkan kepala. "Tapi tunggu dulu deh, Nona. Sepertinya ada, sebentar ya, aku akan mencarinya." Bi Lusi mulai melihat ponselnya. Mencari nomor Sekretaris Han dari panggilan terakhirnya kemarin. "Ini ketemu, Nona. Apakah Nona ingin mencatatnya di ponselmu?" "Tidak perlu, Bibi sebutkan saja, aku akan mengingatnya." Ini adalah salah satu keterampilan yang aku miliki sebagai seorang reporter. Menghafal dengan cepat berbagai hal yang aku dapatkan. "Terima kasih ya, Bi. Sekarang aku akan menghubungi Sekretaris Han dulu." Aku pun mulai menghubunginya dan tak perlu waktu lama, panggilan itu terhubung dengan cepat. "Nona Dinda, apa ada sesuatu yang Anda butuhkan sampai Anda menghubungi saya?" Sekretaris Han bertanya dengan nada yang sopan. "Saya ingin melihat bos Anda," jawabku tanpa basa-basi. Menanyakan apa yang memang ingin aku tanyakan kepada Sekretaris Han. Namun, pria ini tampaknya telah mengantisipasi permintaanku dan menjawab dengan sangat santai."Tenang saja, Nona! Nanti akan ada saatnya Anda akan bertemu dengan beliau." Aku sudah dapat menebak jika jawaban seperti itulah yang akan keluar dari mulutnya. Jawaban yang membuatku merasa seperti dipermainkan. Amarahku mulai mengambil alih pikiranku hingga terbesit untuk mengancamnya. "Saya ingin bertemu dengannya atau saya akan memukuli perut saya! Bukan tidak mungkin saya bisa keguguran karena hal itu." Aku begitu yakin jika atasan Sekretaris Han benar-benar menginginkan anak yang aku kandung ini. Kalau tidak, dia pasti tidak akan menahanku di sini, bahkan sampai mempekerjakan beberapa pelayan untuk melayaniku. Tak hanya itu, aku pun mulai menduga-duga kalau pemecatanku hari ini adalah karena campur tangannya agar aku tidak lagi bekerja dan bisa fokus dengan kehamilanku. Itulah kenapa Sekretaris Han bisa mengetahuinya tanpa aku beritahu. "Aku tidak mungkin salah. Sepertinya semua kejadian yang menimpaku ini memang saling berkaitan," gumamku lebih percaya pada insting yang aku punya. Ancamanku hanya ditanggapi dengan keterdiaman. Membuatku kembali mengulanginya lagi. "Coba bayangkan jika saya bukan hanya memukul perut saya, tapi juga melompat-lompat. Kau pasti bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada anak ini?" Setelah cukup lama terdiam, Sekretaris Han pun mulai membuka suaranya. "Jika Anda memukul anak itu, Anda tidak akan pernah tahu siapa ayah dari anak itu. Nona Dinda adalah seorang reporter, pasti Anda adalah wanita yang pintar. Jadi tentunya keputusan yang akan lakukan tidaklah baik. Apa Anda ingin membuang kesempatan untuk mengetahuinya?" "Apakah Anda pikir saya mau menghabiskan waktu dengan kehamilan ini hanya untuk mendapatkan imbalan bertemu dengan seseorang? Aku sudah dapat menebak bagaimana akhir dari semua ini, setelah saya melahirkan, saya pasti akan diusir dari rumah ini dan atasan Anda akan mengambil anak yang saya lahirkan. Jadi untuk apa saya harus menunggu sampai 9 bulan ke depan untuk pergi dari sini?" Sekretaris Han terdiam lagi di seberang sana. Dia seperti bingung menjawab perkataanku. Wajar saja, profesiku adalah seorang reporter. Jadi aku bisa dengan mudah membalikkan situasi untuk mendesak lawan bicaraku agar dapat mengerti apa yang aku inginkan. "Nona, saya harus melaporkan hal ini dulu ke atasan saya." "Saya tidak sabar untuk menunggunya. Pokoknya saya akan tunggu sampai besok malam. Kalau dia tidak menemui saya, maka saya akan melakukan apa yang saya katakan tadi." Tanpa menunggu jawaban dari Sekertaris Han, aku langsung memutuskan sambungan telepon dan duduk di sofa dengan marah untuk waktu yang lama. "Ya Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku?" gumamku sambil mengatur napasku memburu karena merasa sangat kesal. Saat ini, aku coba menyiapkan hati untuk bertemu dengan pria itu. Pria yang telah menghamiliku. Dalam pikiranku, aku mulai membayangkan jika pria tua dengan perut buncitnya yang akan aku temui. Setidaknya pria itu harus mengakui perbuatannya sehingga aku bisa melampiaskan semua amarah ini dengan menampar wajahnya beberapa kali. Namun, seketika aku teringat dengan Arga. Kecurigaanku kembali mengarah padanya. "Semua ini pasti ada hubungannya dengan Arga." Aku pun melangkah menuju kamar. Memilih untuk melepas penat yang terasa kalut dalam pikiranku dengan memejamkan kedua mata. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN