Rain Bowie

Part 9

“Pagi Radafa. Ini bekalnya, Rain yang masak sendiri khusus buat Radafa.” Kata Rain sumringah.

Lagi, lagi dan lagi Radafa mengacuhkan Rain. Ia seakan tak perduli terhadap semua yang sudah Rain lakukan untuknya. Manusia es batu memang benar adanya.

“Radafa, nanti Rain pulang bareng Radafa kan?” Tanya Rain hati-hati.

“Gue pulang sama Salsa.” Balasnya dingin.

Deg

Hati Rain bergemuruh, apa Radafa sebenci itu pada Rain? Ingin rasanya Rain menitikkan air matanya sekarang, namun ia coba tahan. Ia tak mau kejadian sewaktu Radafa membuat Rain menangis terulang lagi.

Rain tersenyum. “Oh sama Salsa lagi, yaudah hati hati ya nanti. Oiya, satu lagi,  Radafa jangan ngebut ngebut.”

“Iya.” Balas Radafa tanpa menatap mata Rain.

****

Hari – hari berlalu, sudah 2 minggu Radafa tidak mengantar Rain pulang karena harus mengantar Salsa. Padahal dia sendiri yang menyiyangkan keinginan Rain, tapi malah dia sendiri juga yang mengingkarinya.

Rain tak tahu penyebabnya apa, Radafa yang dingin, akhir – akhir ini bertambah lagi sikap dinginnya. Namun itu semua tak membuat Rain mengubah sikapnya pada Radafa, seperti biasa setiap pagi dia selalu memberikan Radafa bekal yang ia masak sendiri, terkadang nasi goreng, sandwich, ataupun nasi dan lauk pauk lainnya. Tak lupa juga Rain tak pernah absen untuk  selalu menganggu dan mencari perhatian  Radafa.

“Ya anak – anak sudah 2 minggu ini kalian berlatih dengan hasil yang cukup bagus. Ibu akan memberitahu yang akan mengikuti olimpiade fisika adalah Radafa dan Rain sementara Agnes, Bagas dan Salsa mengikuti lomba cerdas cermat dengan moderatornya adalah Bagas, Agnes pendamping kiri dan Salsa pendamping kanan. Sudah jelas?” Terang Bu Menik, kelima siswa pun mengangguk paham.

“Baiklah kalau begitu, kalian sudah boleh pulang.”  Tambah Bu Menik sambil membereskan buku bukunya lalu keluar kelas.

“Ka Rain!” Panggil Radafa  seraya menepuk pundak Rain.

“Bagas. Ngagetin Rain aja nih.” Gerutu Rain. Bagas terkekeh dengan tampang tak berdosa.

“Besok sibuk?” Tanya Bagas

“Mmm... Engga.”

“Gimana kalo besok kita jalan?” Tawar Bagas

Dan dengan wajah polos Rain menjawab. “Jalan? Bukannya setiap hari kita jalan ya? Bentar lagi juga kita mau jalan kan keluar kelas.”

Bagas tersenyum kecut. “Ka Rain... maksud jalan tuh pergi. Hangout.”

Rain hanya ber oh ria, paham.

“Gimana? Ka Rain mau?” Tanya Bagas memastikan.

“Besok Rain pergi sama gue.” Sergah Radafa secara tiba tiba.

“Udah sore, ayo pulang.” Tambah Radafa, ia memegang pergelangan tangan Rain dan menariknya. Sementara Rain hanya mengikuti Radafa tanpa memedulikan Bagas.

Setelah sampai di parkiran sekolah Radafa mulai menyiapkan motornya dan lagi lagi Rain hanya diam mematung. “ Cepet naik.” Ujar Radafa memberi perintah.

“Eh iya.” Rain dengan cepat menaiki motor Radafa. Namun, setelah Rain sudah siap Radafa belum juga menancapkan gasnya, ia malah membalikkan tubuhnya sehingga kini posisi Rain dan Radafa saling berhadapan.

“ Lo belum pake ini.” Ucap Radafa seraya memakaikan helm bogo berwarna hitam ke kepala Rain.

Rain yang mendapatkan perlakuan itu merasa perutnya seperti digelitiki ribuan kupu kupu lagi, pipinya pun panas dan berubah warna menjadi seperti merah tomat yang masak dan tak lupa jantungnya kali ini berdegup kencang yang berbeda dari biasanya.

Selesai memakaikan helm untuk Rain, Radafa menatap Rain sejenak. “Muka lo kena tawon? Merah gitu.” Tanya Radafa, reflek Rain segera memegang pipinya, malu.

“ Radafa, mmm... ud daah ah buruan.” Pinta Rain dengan gugup.

“ Iya.”

Di sepanjang perjalanan Radafa dan Rain diam tak bersuara. Rain masih bingung kenapa Radafa mendadak bersikap seperti ini kepadanya. Meskipun tatapan matanya dingin, namun aura yang ditunjukkan Radafa tadi tak seperti biasanya. Perlakuan Radafa tadi menurut Rain sangat manis dan sangat jauh berbeda dari biasanya juga.

Sadar ketika Radafa berhenti bukan di rumahnya, melainkan di sebuah tempat makan lesehan Rain pun segera buka suara. “Lho, kita ko turun di sini?”

“Turun.” Tita Radafa.

“Rain gamau turun. Radafa belum jawab pertanyaan Rain tadi tau.” Tolak Rain, ia melipatkan kedua tangannya di depan perutnya dan  wajahnya ia palingkan dari hadapan Radafa.

Radafa membuka jaketnya seraya membalas. “Gue laper, kita makan dulu.”

Rain membulatkan matanya tak percaya. “Radafa bisa laper juga ternyata.”

“Gue masih manusia, Rain.” Balas Radafa dengan tampang datar.

“Hihihi, yauda ayo Radafa.” Ucap Rain, ia pun turun dan membuka helmnya.

Suasana di tempat ini tidak begitu ramai, meskipun lesehan dan berada di tempat terbuka, kebersihan di tempat makan ini sangat terjaga. Dan yang membuatnya menjadi point plus bagi Radafa adalah menu makanan di sini tidak kalah enak dengan restaurant berbintang lainnya.

“Lo mau pesen apa?” Tanya Radafa sembari melihat daftar menu yang sudah disediakan di masing masing meja.

“Mmm... Rain mau... tahu bacemnya 3, tempe bacemnya 2, ayam bakar 1, nasi putih di atasnya pake bawang goreng , cah kangkung, sambelnya... Rain mau sambel bawang deh terus minumnya pengen es teh manis.” Balas Rain. Radafa terkejut dengan yang Rain pesan, tubuhnya saja yang kecil tapi porsi makan Rain besar.

“Ada lagi?” Tanya Radafa lagi. Siapa tahu Rain akan menambah pesanannya lagi.

Rain meperlihatkan wajah yang sedang berpikir. “Oiya, lalapan kemanginya jangan lupa yang banyak.”

“Udah?”

Rain mengangguk antusias. “Udah!”

Radafa pun pergi untu memesan makanan, 15 menit kemudian makanan telah tersaji di atas meja mereka. “Wah... Rain pengen cepet makannya.” Ucap Rain, ia pun dengan segera mengangkat kedua tangannya, berdoa.

“Aamiin....”

“Selamat makan Radafa.” Kata Rain. Mereka pun makan bersama dengan tenang. Semilir angin malam yang membelai wajah Radafa dan Rain semakin menambah indahnya malam ini.

Sesekali Radafa melirik, melihat Rain yang sedang makan dengan lahap,  Radafa sempat bepikir bahwa Rain sangat lapar karena jadwal  Rain yang sibuk ditambah lagi tak pernah sekalipun ia melihat Rain membeli makanan di kantin atau luar sekolah. Jadi, Rain hanya mengandalkan bekal yang ia bawa saja.

Lagi. Tanpa sepengetahuan Rain, sudut bibir Radafa tertarik. Meskipun tipis, malam ini Rain sudah berhasil membuat Radafa tersenyum. Radafa pun melanjutkan makannya kembali.

“ Oiya, besok kita emangnya mau pergi kemana?” Tanya Rain dengan makanan yang masih ia kunyah di mulutnya.

“Tunggu besok.” Balas Radafa singkat.

Rain mengerucutkan bibirnya kecewa. “Radafa nih kebiasaan, sukanya ngasih teka teki terus.” Gerutu Rain.

Radafa tak menanggapinya, ia masih terus melanjutkan mengunyah  makanannya yang tinggal sedikit lagi.

Beberapa menit sudah berlalu, Radafa dan Rain sudah menghabiskan makanan mereka. “Radafa, perut Rain kenyang banget.” Rain mengusap perutnya yang Rata dari luar bajunya.

“Pulang.” Ucap Radafa.

“Ayo! Mamah Rain pasti udah nyariin.” Ajak Rain dengan semangat.

Jam sudah menunjukkan pukul 19.20 tak terasa Rain sudah sampai di rumahnya dengan selamat. “Radafa, makasih banyak ya buat hari ini.” Ucap Rain seraya tersenyum manis yang menapilkan deretan gigi rapihnya.

“Iya. Yaudah, gue pamit ya.” Balas Radafa.

“Eh... tunggu dulu.”

“Kenapa?”

“Hati hati di jalan ya. Dah.” Rain melambaikan tangannya yang dibalas anggukan oleh Radafa.

Sampai punggung Radafa sudah tak terlihat, Rain pun segera masuk ke dalam rumahnya.

Rain yang sudah sampai di ruang keluarga melihat Rani yang sedang menonton televisi dengan tenang.  Rain pun menghampiri Rani dengan hati hati. “Assalamualaikum Mah, maaf Rain telat pulangnya.” Ucap Rain, ia mengigit bibirnya, cemas.

“Waalaikumsalam Rain.” Balas Rani dengan wajah yang tak menggambarkan amarah sedikitpun. Dan itu membuat Rain bingung, mengapa Rani tidak marah ataupun cemas? Apa Rani sudah tidak peduli lagi dengannya?

“Lho, Mamah ko ngga marah sama Rain?” Ujar Rain.

Rani menautkan alisnya, bingung. “Lho, kenapa juga mamah harus marah sama Rain?”

“Ishh... Rain kan pulang telat. Nih liat udah jam 19.25 lho.”

Rani tertawa melihat tingkah putrinya yang sangat menggemaskan ini. “Rain, Radafa udah kabarin ke mamah ko kalo dia mau ngajak kamu makan. Yaaa selama kamu sama Radafa si mamah bakalan kasih izin.” Pernyataan Rani barusan membuat Rain merasa malu. Ah...... sudahlah lebih baik sekarang ia ke kamarnya saja untuk menetralisir rasa malunya itu.

Sampai di kamar, segera Rain ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang sudah berkeringat seharian, tak lupa piyama begambar panda kesukaanya itu sudah ia ambil dari lemari untuk kemudian ia pakai.

“Huft...” Rain menghembuskan napas beratnya. Sembari tidur, Rain melihat keluar jendela agak lama, kemudian Rain bangkit untuk melihat bintang dari balkon kamarnya.

“Pah, sekarang papah lagi ngapain? Mmmm... tunggu pah biar Rain tebak, pasti papah lagi liat Rain juga ya di atas langit?” Gumam Rain sembari terseyum menatap langit.

“Oiya pah Rain mau cerita, ehh... tapi... Rain malu pah.” Rain menundukkan kepalanya, seketika itu ada semilir angin yang berhembus lembut  menyentuh wajah dan membelai rambut Rain dengan mesra. Seakan akan itu adalah jawaban dari Bram, papahnya.  Rain pun tersenyum dan kembali menatap langit.

“Iya pah, Rain bakalan cerita.”

“Jadi..” Rain menggantungkan ucapannya sejenak.

“Jadi, Rain punya teman namanya Radafa. Menurut Rain dia itu manusia yang jutekkkk banget, Radafa juga mukanya selalu datar, mau marah ataupun senang Radafa ga pernah nunjukkin ekspersi yang lagi dia rasakan. Oiya pah, ada satu hal yang papah harus tahu kalo Radafa udah pernah buat Rain nangis sampai 2 kali, waktu di parkiran supermarket sama di sekolah, hihihi. Emang nyebelin ya pah Radafa tuh. Mmm... Tapi, papah jangan marah ya sama Radafa. Di balik itu semua Radafa sebenarnya orang yang baik banget. Papah tau ga? Tadi Radafa ngajak Rain buat makan bareng di warung lesehan, Rain jadi inget waktu kecil papah juga sering ngajak Rain dan mamah ke warung lesehan. Dulu banget ya pah, Rain jadi kangen, hehehe. Aaaa udah ah, ko Rain jadi nangis gini si pahh?(sambil menyeka air matanya). Balik lagi ya pah ke Radafa, kebetulan Rain mau nanya nih pah, kenapa ya setiap Radafa kasih Rain perhatian dalam bentuk sekecil apapun jantung Rain selalu berdebar? Kencang banget lagi, Rain jadi takut jantungan pah. Selain itu, setiap ucapan Radafa yang bikin Rain senyum pasti imbasnya muka Rain selalu merah kaya tomat dan rasanya itu panas. Pah.... Rain takut kalo Rain punya alergi. Rain mau cerita sama mamah tapi Rain malu. Apa Rain perlu periksa ke dokter jantung sama kulit aja ya pah? Ah... Rain bingung pah harus nyembuhin alergi Rain ini kaya gimana. Oiya, Rain baru inget kalo besok Radafa bakalan ke rumah ngejemput Rain. Iya pah... Radafa ngajakin Rain buat pergi. Katanya si ke suatu tempat, Radafa ngga kasih tau kita besok mau pergi kemana. Emang ya pah, Radafa itu suka banget kasih Rain teka teki. Papah bakalan kasih Rain izin kan?   Makasih banyak ya pah, hembusan angin tadi cukup ko jadi jawabannya. Mmm.. Pah, ngga kerasa Rain udah lama berdirinya, banyak nyamuk nih pah yang ngegigitin tangan Rain. Hihi. Yaudah pah, kalo gitu Rain mau masuk ke kamar ya.  Makasih banyak papah udah mau dengerin cerita Rain malam ini. Rain mau tidur ya pah, selamat malam pah.”

Sudah berada di dalam kamar lagi, Rain menutup jendela dan mematikan lampu kamarnya. Rain sudah tebaring, tubuhnya pun sudah ia lapisi selimut. Perlahan mata Rain menutup dan akhirnya Rain sudah berada di alam bawah sadarnya.