Benar saja, Gio menepati ucapannya. Ia mengantar Levia sampai di rumah orang tua wanita itu dengan selamat. Walaupun Levia kembali memaksanya untuk mampir dengan alasan kedua orang tuanya ingin bertemu, Gio tetap pada pendiriannya. Ia segera pergi dan menjemput Sera di rumah sakit.
Sesampai di rumah sakit, Gio langsung pergi menuju kamar tempat Sera di rawat. Saat sampai di depan pintu, Gio tidak langsung masuk. Ia berdiri sebentar di depan pintu sambil menarik napas dan menenangkan dirinya.
Ia mengetuk pintu lalu membukanya perlahan. Gio menemukan Sera yang sedang duduk di atas tempat tidur. Ia juga sudah berganti pakaian dan siap untuk pulang.
“Gio...” sapanya dengan wajah terkejut.
“Hai..” sapa Gio dengan kaku. Ia menghampiri Sera dengan ragu.
Sera nampak bingung, “Kok lo di sini?” tanya Sera bingung. Padahal yang ia tunggu adalah Rea.
“Tadi Rea telpon gue, minta tolong buat jemput lo karena dia lagi nggak enak badan,” Gio duduk di pinggir tempat tidur. Begitu dekat dengan Sera.
Sera yang sedang duduk santai, memundurkan tubuhnya sedikit. “Kok nggak Om Jou atau Om Jer?” Sera jelas penasaran karena masih ada yang lain yang lebih cocok mengurusnya.
“Mereka lagi ke Bandung. Lo keberatan kalau gue yang jemput?”
Sera menggeleng cepat, “Ah, nggak kok, cuma kaget aja. Rea juga nggak ada bilang kalau yang kemput adalah lo.”
“Mungkin karena sakit jadi dia nggak ingat harus ngasi tahu lo. Ya udah tunggu di sini dulu, gue urus administrasi kepulangan lo dulu” Gio beranjak dari duduknya dan bersiap untuk keluar.
“Gi...” panggil Sera begitu Gio memutar tubuhnya untuk pergi.
Gio berbalik “Iya?”
“Thank you,” ucap Sera dengan tulus.
Gio membalas dengan senyuman. Tanpa pria itu sadari, senyumannya begitu memikat siapa pun yeng melihat. Sikap Gio sangat manis saat ini.
Gio menuju bagian administrasi mengurus segala kelengkapan untuk kepulangan Sera. Tidak perlu ditanya lagi, semua karyawan bahkan perawat yang kebetulan melihat Gio mereka begitu terpesona akan sosok pria itu. Tubuhnya tingggi tegap, dengan alis tebal, hidung mancung dan bibir yang sexy, wajar saja bisa memikat siapa pun melihatnya. Tapi reaksi Gio selalu cuek dan dingin karena sudah sering mendapat perlakuan seperti itu.
“Terima kasih, Bapak Gio. Semua administrasi dan pembayarannya sudah lengkap. Ibu Sera bisa pulang sekarang,” ucap salah satu karyawan.
“Terima kasih,” jawab Gio lalu pergi dengan membawa berkas administrasi milik Sera. Sebenarnya semua biaya ditanggung oleh perusahaan Sera. Gio hanya mengurus sisanya saja.
Gio kembali ke kamar Sera. Saat ia masuk, Gio mendapati Sera sedang membereskan beberapa barangnya.
“Lo ngapain? Jangan banyak gerak,” Gio segera mendekati Sera dan mengambil alih tugasnya memasukkan beberapa baju ke dalam tas pakaian milik Sera.
“Nggak apa-apa, Gi. Gue bisa kok,” Sera masih kukuh dengan pendiriannya. Padahal kakinya masih bengkak dan tangannya masih diperban.
Gio melingkarkan tangannya ke tubuh Sera, menuntun wanita itu duduk kembali di sofa yang ada di ruangan itu. “Lo duduk, biar gue beresin semua. Luka lo masih sakit kan, jadi mending istirahat.”
“Tapi, Gi..”
“Ser, sekali aja dengerin gue. Oke?” Gio setengah membungku.
“...” Sera mengangguk paham. Hari ini entah kenapa ia tidak ingin berdebat dengan Gio. ia tahu diri, pria ini rela membuang wakatunya demi menggantikan tugas Rea mengurusnya.
Gio kembali melanjutkan tugas Sera, tidak lama karena hanya sedikit barang.
“Udah beres, ayo kita pulang,” Gio menghampiri Sera dengan tangan satu membawa tas milik wanita itu.
Sera beranjak dari duduknya, tapi tiba-tiba kakinya terasa nyeri kembali. Wajahnya terlihat kesakitan tapi ia tidak bersuara.
Gio melihat kesakitan Sera, “Kaki lo sakit? Duduk dulu kalau gitu,” Gio membantu Sera duduk kembali.
“Sakit dikit. Nggak masalah kok, ayo pulang.”
Gio berjongkok di hadapan Sera, maraba kaki Sera dengan hati-hati.
Sera kaget dengan tindakan pria itu, ia merasa tidak nyaman, “Gi, lo mau apa?” tanya Sera heran. Apalagi jarak keduanya begitu dekat.
Gio mendongak, melihat wajah Sera yang terlihat sedikit memerah, “Nggak cuma mastiin lukanya nggak berdarah lagi. Lo tunggu di sini ya, gue mau pinjam kursi roda buat lo sampai di parkiran.”
“Nggak usah Gi, gue bisa jalan kok,” Sera berusaha menghindari tatapan intens dari Gio. Tidak biasanya ia merasa seaneh ini saat bersama pria yang sudah menjadi musuhnya.
“Gue bisa aja gendong lo, tapi nggak mungkin pasti lo malu di lihat orang. Jadi lebih baik pakai kursi roda. Tunggu ya,” ucap Gio kemudian ia pergi meninggalkan Sera.
“Kok gue jadi kalem gini ya. Biasa gue nggak tahan buat nggak bersikap ketus sama ini cowok” gumam Sera. Tanpa disadari tangannya menyentuh dad@ kirinya karena merasa jantungnya berdegub tidak seperti biasa.
Setelah keduanya sudah di dalam mobil, Gio mulai menjalankan mobilnya meninggalkan rumah sakit tempat Sera di rawat beberapa hari.
“Lo nggak sibuk sampai bisa jemput gue?” tanya Sera.
“Nggak kok. Ini kan minggu jadi nggak ada kerjaan.” Padahal sebelumnya ia mengaku sibuk kepada Levia hanya untuk menghindari mantan pacarnya.
“Nggak ke sanggar?”
“Sore nanti baru ke sana.”
Sera mengangguk paham. “Oh iya, kok lo nggak pernah jenguk gue ke rumah sakit? Sibuk banget ya?”
Gio menoleh sebentar ke arah Sera, “Kan Raka udah sering nemenin lo di sini. Sesuai dengan harapan lo waktu di Sukabumi kan?” ucapan Gio terdengar sedang menyindir Sera.
“Lo marah?” tanya Sera dengan nada penasaran.
“Nggak kok. Kenapa harus marah?” sahut Gio dengan tenang.
“Waktu itu gue cuma bercanda kok. Tapi ternyata lo masukin ke hati. Sory ya, Gi.” ucap Sera tulus. Ternyata karena ucapannya membuat Gio merasa kehadirannya tidak di butuhkan.
“Nggak usah minta maaf. Kan semakin berkurang intensitas ketemu kita berdua. Jadi semakin sedikit juga potensi lo marah-marah nggak jelas sama gue.”
Sera mendengus sebal, “Lo juga jadi nggak darah tinggi kalau nggak ketemu sama gue. Itu kan maksud lo sebenarnya?”
Gio tergelak, pernyataan Sera terasa menggelikan untuk didengar, “Kan gue selalu sedia obat untuk darah tinggi. Jadi sebelum ketemu lo, gue udah minum duluan,” Gio hanya bergurau.
Sera memukul lengan Gio, kesal dengan ucapan pria itu, “Ih nyebelin. Emang gue makanan berlemak sampai bikin lo darah tinggi?”
Gio tidak marah atau pun kesal mendapat pukulan dari Sera yang bahkan tidak terasa sakit “Bercanda kok.”
Hening kembali menyelimuti keduanya hingga sampai di apartemen Sera.
“Thank ya Gi udah bantuin gue. Hati-hati pulangnya.” ucap Sera sebelum keluar dar mobil milik Gio.
“Tunggu, Ser,” Gio menahan tangan Sera ketika gadis itu sudah membuka pintu.
Sera menatap Gio, “Kenapa?”
“Gue harus pastiin lo sampai di apartemen lo dengan keadaan baik. Tunggu di sini.” Gio keluar dari mobil, kemudian jalan mengitari mobil untuk membantu Sera keluar dari mobil.
“Tas gue, Gi.”
“Nanti gue bawa naik. Ribet nanti kalau gue bawa. Sekarang pegang tangan gue,” Gio mengulurkan tangannya ke arah Sera.
“Gi, ini lebay banget nggak sih? Gue bisa kok jalan,” Sera tidak kesal hanya merasa tidak enak dengan Gio karena memberinya perhatian terlalu banyak.
“Nggak kok, daripada kaki lo sakit lagi.”
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*