Gio berjalan malas menghampiri seorang wanita yang tengah berdiri di pinggir jalan. Di sebelahnya terpakir mobil mewah berwarna putih. Melangkah penuh sesal karena mau saja meladeni keinginan wanita itu.
“Akhirnya kamu datang juga,” Levia begitu senang saat melihat sosok Gio datang di saat ia meminta bantuan.
Gio menatap malas, “Kamu harusnya telpon orang bengkel, kenapa malah aku yang di suruh ke sini? Mobil semewah ini kok bisa mogok, aneh,” cibir Gio.
“Gio, jangan ketus gitu sama aku bisa nggak sih?” Levia melingkarkan tangannya di lengan Gio. “Aku mau kamu yang nganterin aku pulang. Mobilnya nanti diurus orang suruhan Papa,” ucapnya dengan nada manja.
Gio melepas tangan Levia dengan cepat, “Jangan kayak gini. Kita nggak ada hubungan apa-apa jadi sikap kamu juga harus di jaga. Lagian ini di tempat umum, siang bolong pula. Jangan aneh-aneh deh,” ucap Gio dengan nada ketus.
Levia mendenggus kesal, “Iyaiya, ya udah ayo kita pulang.” Tanpa menunggu persetujuan Gio, wanita itu sudah melenggang menuju mobil milik Gio.
Gio menghela napas dengan keras, bisa-bisanya ia datang begitu saja saat mantan pacarnya itu menghubunginya. Ia datang apakah karena mengenal Levia atau ia masih peduli dengan wanita itu sehingga tidak tega jika melihatnya kesusahan. Gio sendiri tidak tahu. Yang jelas kenangan manis di masa dulu kembali muncul seiring kembalinya Sera ke kehidupannya.
Gio hanya diam saja saat berdua dengan Levia di dalam mobil. Wajahnya datar dan dingin. Berbeda dengan Levia, ia begitu bahagia mengetahui Gio masih peduli dengannya, saat ia meminta tolong pria itu ternyata datang. Walaupun sikap Gio ketus dan dingin, setidaknya ia masih punya kesempatan memulai pertemanan lagi dengan Gio. Ini seperti menjadi angin segar bagi Sera bisa bersama Gio di mobil yang sama,
“Gio, kita makan siang dulu yuk. Kamu masih inget nggak tempat makan favorit kita dulu? Aku kangen deh sama makanan di sana. Gimana kalau kita sekarang pergi ke tempat itu?” ajak Levia antusias.
“Nggak bisa, aku lagi sibuk. Ini gara-gara kamu maksa makanya aku datang,” jawab Gio ketus.
Levia berdecak, “Ck. Kamu ih nggak kangen sama aku apa? Mumpung udah di sini sekalian makan siang aja. Anggap sebagai tanda terima kasih aku karena kamu udah meluangkan waktu buat jemput aku, padahal kamu lagi sibuk,” tiba-tiba saja Levia menyenderkan kepalanya di lengan Gio.
Gio yang terkejut, mobilnya di belokkan ke kiri dan melakukan rem mendadak. Untung saja di belakang mobilnya tidak ada kendaraan yang lain. “Kamu apa-apain sih, Via? Kamu mau kita kecelakaan? Tolong dong duduk yang bener dan jangan ganggu aku kalau lagi nyetir. Sikap kamu bahaya banget tau nggak,” nada bicara Gio meninggi, ia terlihat sangat kesal.
Levia tersentak mendengar ucapan Gio. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Air matanya perlahan keluar. Itulah jurus andalan Levia selama ini. Dengan mudahnya menagis hingga membuat Gio tidak tega. Sejak dulu sifatnya masih sama, pura-pura lemah demi menarik simpati Gio.
Gio menoleh ke arah Levia. Ia melihat wanita itu tertunduk dengan tangan sibuk menghapus air mata yang meleleh di pipinya. Gio merasa bersalah karena membuat Levia menangis. Itulah kelemahannya, tidak pernah bisa tahan melihat wanita menangis, bagaimanapun kesalnya Gio pada Levia.
“Maaf, aku nggak ada maksud bentak kamu,” ujarnya pelan.
“Gio, kamu tahu kan aku nggak suka dibentak. Apalagi yang bentak aku itu kamu, rasanya sakit banget,” ucapnya sambil setengah terisak.
Gio menatap Levia, “Iya aku minta maaf. Kamu juga lain kali jangan melakukan hal yang membuat aku kaget. Kalau kita kecelakaan, gimana?”
“Tapi dulu aku biasa ngelakuin hal itu. Bahkan kamu juga seneng kalau aku bersikap manja sama kamu. Kenapa sekarang reaksi kamu berlebihan sekali?” tanya Levia dengan sedikit terisak.
“Kan aku udah bilang, kita nggak ada hubungan apa-apa. Berbeda dengan yang dulu. Jadi aku harap kamu tahu batasan kita sampai mana,” jelas Gio dengan sabar.
Gio kembali melanjutkan perjalanan tanpa menunggu Levia selesai dengan tangisnya. Walaupun tidak tega tapi Gio tidak mau terpengaruh dengan kesedihan wanita itu.
“Kita ke mana, Gi?” tanya Levia. Ia belum memberi tahu harus mengantar ke mana. Karena Levia sendiri tidak tinggal dengan orang tuanya. Ia memiliki apartemen sendiri.
“Ke rumah kamu, ke mana lagi?” sahut Gio.
“Kita nggak jadi makan siang?”
“Aku udah bilang kan lagi sibuk,” jawab Gio dingin. Matanya fokus menatap ke arah depan.
Levia putus asa, ia bingung bagaimana caranya merayu pria di sebelahnya. “Tapi aku kan belum kasih tahu kamu, aku mau pulang ke mana.”
“Mau pulang ke mana emangnya?”
“Rumah orang tua aku,” jawab Levia datar.
“Iya, dari awal juga tujuan aku mengantar pulang ya ke rumah orang tua kamu,” jawab Gio.
Saat hening menyelimuti keduanya, ponsel yang Gio simpan di saku celananya berdering. Gio segera menepikan mobilnya kembali karena tidak mau menerima telepon dalam kondisi mengemudi.
Ia melihat ke layar ponsel dan ternyata yang menghubunginya adalah adiknya yaitu Sera.
“Halo, Re?” jawab Gio begitu mendengar suara Rea.
“Kak Gio, Rea boleh minta tolong nggak?” tanya Rea di seberang.
“Iya, kamu mau minta tolong apa, Re?” tanya Gio cemas.
“Minta tolong buat jemput kak Sera di rumah sakit. Hari ini dia sudah boleh pulang. Harusnya Rea yang jemput kak Sera tapi tiba-tiba aku mual terus dari pagi.”
Gio mengernyitkan alisnya “Kamu sakit? Mau ke dokter?” tanya Gio cemas.
“Kayaknya cuma masuk angin aja deh kak”
“Suami kamu di mana?”
“Mas Jouvan dan mas Jeremy lagi ke Bandung urusan kerjaan tadi pagi. Dia juga maunya nggak pergi karena kasian liat aku mual muntah, tapi aku paksa dia buat tetap pergi. Terus supirnya papa lagi nganter mama ke rumah temannya. Jadi intinya nggak ada bisa jemput kak Sera. Kak Gio bisa bantu kan?” jelas Rea dengan suara lemah.
“Iya, Re. Aku pasti bantu kamu buat jemput Sera sekarang” jawab Gio.
“Makasih Kak. Jangan berantem ya, kasihan kak Sera baru sembuh. Kalau udah sampai, kabari Rea ya,” pesan Rea di akhir panggilan.
Gio menghela napas kembali. Rasanya hari ini ia harus menghadapi dua wanita yang membuat pikirannya kacau. Tapi ada sedikit rasa senang bertemu Sera dari pada harus bertemu dengan Levia.
“Siapa yang nelpon?” tanya Levia penasaran. Sejak tadi ia hanya sebagai pendengar percakapan antara Gio dan Rea. Ia bertanya hanya untuk tahu tujuan Rea menelepon Gio hingga membuat kebersamaan keduanya terganggu.
“Rea. Minta tolong jemput keponakannya di rumah sakit.”
“Reporter berita itu?” tanya Levia ketus. Wajahnya terlihat tidak suka mendengar fakta ini.
Gio mengangguk, “Aku antar kamu pulang baru aku pergi”
“Aku ikut,” celetuk Levia.
Gio melirik ke arahnya “Jangan ngaco, ngapain kamu ikut?”
“Tapi Gi..”
“Kamu minta tolong aku buat jemput terus nganter pulang. Sekarang aku turutin dan jangan ngelunjak lagi, Levia” jawab Gio yang mulai kesal.
Levia melipat tangannya di dad@, “Bilang saja kamu nggak mau di ganggu lagi sama cewek itu. Kamu ada hubungan apa sih sama dia? Kamu suka ya sama cewek itu?” tanya Levia dengan kesal.
“Terserah aku. Mau aku suka atau tidak, sama sekali bukan urusan kamu,” sahut Gio.