“Lo nyesel gue ada di sini?” tanya Gio curiga.
Sera diam sebelum mengutarakan kejujurannya, “Gue nggak nyesel lo ada di sini sekarang. Tapi akan lebih baik lo nggak pernah datang ke sini, Gi. Lo nggak ada kewajiban untuk selalu hadir disaat gue susah atau ada masalah,” jawab Sera jujur.
Bukan tidak suka tapi rasanya aneh jika orang yang sudah seperti musuh malah menemaninya disaat ia lemah. Bahkan ia dan Gio tidak ada hubungan khusus, hubungan keduanya hanya sebatas pamannya yang menikah dengan adik sepupu Gio.
Apa yang dikatanya Sera membuat Gio diam. Ia tidak tahu apakah harus kecewa atau biasa saja. Jika ia kecewa, alasannya apa? Toh yang di katakan Sera itu benar, ia tidak memiliki kewajiban.
“Gue nggak ngerasa ini sebuah kewajiban, ini hanya bentuk kepedulian sesama manusia. Dan bukan sama lo saja, ke orang lain pun akan bersikap sama. Lagi pula kita masih ada ikatan keluarga jadi anggap saja alasannya karena itu.”
“Ya baguslah, gue jadi ngerasa nggak punya hutang sama lo,” jawab Sera seenaknya.
“Mending lo tidur, istirahat yang banyak biar besok nggak terlalu capek balik ke Jakarta,” Gio menarik selimut untuk Sera, menutup tubuh wanita itu agar terasa hangat dan nyaman.
Sikapnya yang ketus masih saja ditanggapi tenang oleh Gio membuat Sera merasa sikap pria ini sedikit aneh. Rasanya tidak nyaman kalau Gio bersikap baik padanya.
***
Tim yang berangkat dengan Sera kembali ke Jakarta dengan menggunakan mobil operasioan kantor. Sedangkan Sera kembali bersama Gio.
“Kita mau ke rumah sakit mana?” tanya Sera begitu mobil yang mereka naiki meninggalkan area rumah sakit di daerah Sukabumi.
“Tempat Adel, gue udah cari kamar di sana. Mas Jouvan dan Mas Jeremy juga setuju kok”
“Apa nggak usah ke rumah sakit saja? Nggak bisa gitu langsung pulang?” ucapnya penuh harap.
“Lo belum sembuh, masih perlu pengawasan Dokter terutama lo sempat muntah dan Om lo minta di cek ulang. Jangan minta yang aneh-aneh deh. Jangan hanya memikirkan egois lo saja tapi pikirin tubuh lo yang lagi butuh istirahat dan perawatan,” ucap Gio ketus. Sejak bangun pagi, sikapnya kembali ke mode menyebalkan. Entah karena apa? Mungkin karena terpengaruh dengan ucapan Sera semalam.
Sera mendengus kesal, “Gue baik-baik aja, masih bisa debat sama lo. Lo lebay banget.”
“Ya baguslah. Biar gue nggak ngerasa bersalah kalau mau lawan lo buat debat,” jawabnya santai.
“Dasar cowok aneh. Sebentar-sebentar baik, sebentar-sebentar nyebelin. Awas aja lo,” Sera membatin.
Sepanjang perjalanan keduanya hanya diam. Tidak ada yang ingin memulai percakapan. Hingga akhirnya Sera tertidur pulan karena mengantuk.
Gio fokus mengemudi dan membiarkan Sera tidur. Setidaknya ia tidak merasa canggung seperti sebelumnya. Ingatannya kembali pada saat pagi hari saat ia menyuapi Sera sarapan.
= = = =
“Coba yang di sini Raka, mungkin gue bakalan banyak ketawa,” gumamnya pelan.
Gio menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyendok bubur dan menyuapi Sera.
“Kenapa? Lo nggak mau suapin gue?” tanya Sera begitu melihat ekspresi Gio yang dingin.
“Ya nanti lo bisa minta Raka buat nemenin selama di Jakarta,” jawab Gio datar.
“Lo nggak suka ya kalau gue ngomongin kakak sepupu lo?” entah kenapa tiba-tiba Sera menanyakan hal ini.
Gio mengernyit heran, “Kenapa nggak suka? Bukan urusan gue lo ngomongin siapa. Apalagi Raka saudara gue sendiri. Ya terserah lo.”
Sera hanya mangut-mangut mendengar jawaban dari Gio.
= = = =
Begitu perjalanan berakhir di rumah sakit yang di tuju, dibantu oleh petugas IGD untuk melakukan beberapa pemerikasaan pada Sera. Setelah semua dirasa baik, Sera dibawa ke ruang rawat dengan kursi roda. Gio menemani Sera hingga ruang perawatan sedangkan Jouvan mengurus administrasi yang diperlukan.
Kini Gio dan Jeremy sedang duduk di sofa sambil menunggu Jouvan kembali. Sedangkan Sera tertidur karena mendapat obat pereda sakit kepala. Setelah perjalanan jauh Sera mengeluh sakit dan pusing.
“Gio, terima kasih banyak atas bantuannya. Terima kasih juga sudah nemenin Sera sampai dia sekarang ada di sini,” ucap Jeremy tulus.
Gio tersenyum, “Sama-sama, Mas. Maaf kalau saya melangkahi Mas sebagai Om karena tanpa pemberitahuan justru saya ke Bandung.”
“Nggak masalah, Gio. Saya mengerti sekali kalau kamu peduli dengan Sera. Sekarang lebih baik kamu pulang dan beristirahat. Pasti capek kan ngurusin anak galak ini.”
“Nggak kok Mas. Saya udah mulai terbiasa dengan sikap ajaib Sera,” Gio terkekeh geli.
Jeremy menepuk pundak Gio, “Sera sebenarnya anak yang baik dan manis. Tapi karena keadaan yang membuatnya tumbuh menjadi anak yang keras kepala dan sedikit judes.”
Gio mengernyit heran, “Keadaan apa maksud, Mas?” tanya pria itu hati-hati.
Jeremy tersenyum, “Karena tumbuh tanpa adanya orang tua. Kamu pasti ngerti kan?”
Kedatangan Jouvan membuat obrolan Gio dan Jeremy terhenti.
“Oke udah beres. Mas, kamu balik saja ke kantor, nanti ada Rea yang datang buat jaga Sera.” Jouvan menghampiri Gio, “Gio, makasih banyak udah nyusul Sera ke Bandung. Kami jadi sedikit tenang karena tahu kondisi Sera baik-baik saja dan ditemani sama orang yang tepat.”
“Sama-sama, Mas.”
“Apa dia bikin kamu susah?”
“Nggak kok, Mas. Kan cuma semalam aja jadi nggak ada hal apapun yang membuat saya kesal atau merasa direpotkan,” jawab Gio jujur.
“Syukurlah. Aku seneng kalau kalian dekat,” bisik Jouvan.
“Mas, kami tidak sedekat itu. Saya akan melakukan hal yang sama pada orang lain.”
Jeremy dan Jouvan saling lempar pandang sambil mengulum senyum.
“Baiklah, anggap aku percaya, Gi. Tapi alangkah baiknya jika pertemanan kalian lebih dekat lagi. Jangan pandang Sera adalah keponakan dari suami adik kamu. Pandang Sera sebagai wanita, mungkin akan lebih baik seperti itu. Dari pada Sera harus mengejar cinta yang nggak pernah dibalas, lebih baik membuka hati untuk pria yang lain, kan?”
Gio mengernyit heran, “Maksudnya Mas gimana?”
“Sudah Jou, jangan buat Gio penasaran begitu. Jangan pikirkan ucapan Jouvan, Gi. Sejak punya istri Rea, dia suka ngomong muter dan nggak jelas. Ketularan abg kayaknya,” ujar Jeremy.
“Rea membuat aku lebih merasa muda,” sahut Jouvan sambil tertawa.
“Makanya aku bilang juga apa, nikah yang cepet biar hidup nggak monoton kayak nggak punya arah tujuan,” sindir Jeremy.
“Sekarang nasihat itu cocok untuk Gio. Lebih baik kamu segera mencari pasangan, Gi. Kalau pria sering berdalih, menikah umur berapa pun tidak masalah tapi menurutku rasanya akan lebih bahagia kalau punya istri,” jelas Jouvan.
“Iya Mas. Masih mencoba untuk mencari. Saya juga bukan tipe orang yang gampang suka sama perempuan. Harus menemukan hal yang membuat satu sama lain merasa saling membutuhkan. Itu yang biasanya membuat saya lebih nyaman.”
“Nah pas sekali dengan Sera. Kalian sering bertengkar bak kucing sama tikus. Tapi satu sisi kalian pasti akan merasa kehilangan kalau tidak ketemu. Sera juga tipe tidak mudah jatuh cinta, jadi aku rasa kalian sangat serasi.”
“Aku setuju,” sahut Jouvan menimpali.
Gio tergelak canggung, “Mana mungkin kami cocok padahal suka berantem, Mas. Yang ada tiap hari kami saling cakar”
Jouvan dan Jeremy tergelak sampai lupa kalau Sera sedang tertidur.
“Kalian berdua memang lucu,” ucap Jeremy.
“Ah iya Mas. Kalau begitu saya pulang dulu ya,” Gio memilih segera pergi dari pada harus terjebak dengan dua kakak adik yang begitu bahagia karena berhasil menggodanya.
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*