Akhirnya, dengan segala bujuk rayu yang dilakukan oleh Ronan, mampu menyeret Gio untuk bertemu dengan teman-teman mereka sewaktu SMA. Kenapa dengan bujuk rayu, karena Gio tahu akal busuk Ronan. Ia yakin orang yang ia hindari pasti akan muncul sebentar lagi, tanpa perlu mengatakan pada dirinya.
“Gi, adik lo udah nikah ya?” tanya Fery. Pria yang berprofesi sebagai dokter ini tahu bagaimana kedekatan Gio dengan Rea. Bukan rahasia lagi jika Gio dan Rea bak sepasang sepatu, selalu bersama sebagai teman tapi tidak bisa bersatu karena keduanya saudara.
Gio mengangguk. “Iya, dua minggu lalu”
“Wah sampaikan salam gue ke adik lo. Semoga rumah tangganya selalu bahagia” Ucap Fery tulus.
“Gue denger duda ya? Yang kemarin ada masalah sama desainer terkenal itu? Siapa namanya?” tanya Dion.
“Clara” sahut Irene. “Oh iya, gue denger istri pertamanya meninggal kecelakaan karena di sengaja ya?” kali ini yang antusias bertanya adalah Irene. Wanita satu-satunya yang ada di sana.
“Kalian update banget soal berita. Iya yang kalian bilang itu semua bener” sahut Gio.
“Si Fery sama Dion senang nonton berita karena ada reporter cantik yang namanya Sera itu. Jujur deh lo berdua ngefans kan?” cecar Ronan.
“Lo tahu aja selera mata kita” jawab Dion jenaka, di susul gelak tawa yang lain kecuali Gio.
Ronan memajukan tubuhnya ke arah Dion yang duduk di seberangnya, “Kalian mau kenalan nggak sama cewek itu?” Ronan mengerling nakal.
“Pasti maulah dua orang ini. Tapi sayang, cuma mimpi” sahut Irenen dengan nada mengejek.
Gio sejak tadi memperhatikan gerak gerik Ronan. Dan Ronan tentu tahu kalau ia sedang di tatap tajam oleh Gio. Tapi ia tetap cuek saja.
Ronan mengedik ke arah Gio, “Nih teman kita kenal baik sama Sera. Lo berdua bisa nodong sama Gio buat dikenalin. Kapan lagi coba punya kesempatan emas kayak gini”
Tiga pasang mata kini menatap tajam ke arah Gio. Pria itu hanya diam kaku, dengan mata kengedip beberapa kali.
Sedangkan Ronan terkekeh geli melihat ekspresi Gio yang menahan kesal padanya.
“Lo kenal sama dia?” Dion terlihat sangat antusias. Matanya berbinar-binar mendapat informasi baru.
“Teman baik?” Fery.
“Pacaran?” tebak Irene.
Belum mendapat jawaban dari Gio, sosok yang di tunggu akhirnya muncul juga.
“Hai semua. Maaf nunggu lama, tadi masih ada meeting” Levia Sutidjo. Anak dari pengusaha tambang yang cukup terkenal. Levia anak satu-satunya dan sekarang ikut mengelola perusahaan keluarganya. Pintar, berparas cantik dan tubuh proporsional. Sempurna bagi setiap orang yang memandang. Tidak terkecuali Gio, pria itu juga jatuh hati pada Levia tapi dulu.
“Wih tuan putri makin cantik aja nih” sapa Irene sambil melakukan ritual ciium pipi kanan dan kiri dengan Levia.
“Thank. Lo juga makin cetar. Apalagi bisnis tas mewahnya kayaknya lancar banget nih” sahut Levia.
“Iya dan lo harus beli di gue” sambung Irene.
“Gampang lah” jawabnya.
Setelah dengan Irine, kini giliran menyapa Ronan, Dion da Fery yang sudah berdiri menunggu giliran.
Satu sosok yang sejak tadi duduk diam tanpa bereakasi. Wajahnya dingin tanpa ada keramahan untuk seorang Lavia. Wanita itu menghampiri tempat duduk Gio dengan wajah sumringah.
“Kok kayaknya kamu nggak senang sih liat aku datang?” tanya Levia yang tengah berdiri di samping Gio.
Irene saling lirik dengan tiga pria itu, merasa hawa dingin sedang menyelimuti meja mereka “Duh udah lama nggak ketemu kok masih aja kaku kayak kanebo kering” sindir Irene.
Levia tersenyum, ia membungkukkan badannya ke arah Gio.
Cup!
Satu kecupan lembut mendarat di pipi Gio. Pria itu menoleh, wajahnya merah bukan karena merasa malu tapi geram dengan sikap mantan pacarnya. Tangannya refleks menyentuh pipi kanannya dan mengusap beberapa kali. Seakan tidak sudi jejak bibir wanita itu melekat pada kulitnya.
“Kamu nggak usah aneh-aneh. Aku nggak suka cara kamu kayak gini” Gio bangkit dari duduknya dan meninggalkan kelima orang itu.
Levia mengejar Gio yang berlalu dari hadapannya, “Gio, tunggu dulu. Kamu jangan marah karena hal sepele begini” serunya.
Sisa empat manusia yang masih terkejut dengan kemarahan Gio. Mereka cukup kaget dengan tindakan Levia yang bisa menyulut kemarahan Gio.
“G*la. Tumben gini lihat Gio marah” ucap Irene.
Ronan mengangkat bahu, “Hatinya masih sakit karena ulah Levia dulu. Wajar saja dia murka tiba-tiba dikecup begitu. Gue nggak habis pikir kok cewek jaman sekarang nekat kayak nggak ada rasa malu” ucap Ronan heran.
“Udah berapa tahun sih kejadiannya kok dia nggak bisa maafin si Via? Gue yakin pasti Gio masih ada rasa sama Levia” tebak Dion.
Fery meyikut Dion, “Jangan sembarangan. Nanti orangnya dengar. Kalau menurut gue, Gio udah nggak ada perasaan cuma dia masih sakit hati dengan cara Levia mutusin dulu. Gila aja ditinggal saat lagi butuh dukungan. Kalau cinta dan sayang kan harus suport bagaimana pun kodisinya”
“Gue setuju banget sih soal itu. Harusnya Levia bertahan bukan minggat” sahut Dion.
“Ron, lo nggak tahu gitu si Gio punya pacar atau deket sama orang lain? Masa putus dari Levia dia jomblo terus?” Irena merasa takjub Gio sekuat itu menyendiri. Seingat dia, Irene pernah mengatakan keduanya sama-sama menjalin hubungan untuk pertama kali. Gio adalah cinta dan pacar pertama bagi Levia dan begitu juga dengan Gio. Levia adalah yang pertama mampu meluluhkan hati ketika banyak wanita mengejar dan menggilai si atlet Taekwondo.
Ronan mendesah pelan, “Lo nggak tahu dunianya cuma di isi oleh adiknya. Apalagi beberapa tahun kemarin Rea mengalami banyak kesulitan. Tentu fokusnya Gio menjaga adiknya. Gua yakin Gio belum membuka hati pada siapa pun”
Irene mengangguk “Kalau gue jadi adiknya mungkin udah suka sama abang sendiri. Kalian tahu kan gimana romantisnya itu cowok waktu pacaran sama Levia. Sama pacarnya aja manis apalagi sama adiknya yang super duper dimanja itu”
“Kelainan lo suka sama saudara sendiri” sindir Fery.
“Eh tapi mungkin nggak sih kalau Gio yang suka sama adiknya?” mendadak ucapan Dion membuat suasana hening.
Ronan melempar kacang ke arah Dion, “Ngaco lo. Gio nggak kayak gitu. Dia normal, nggak punya perasaan sama Rea. Gila aja kayak nggak ada cewek lain aja. Rasa bersalah dan tanggung jawab bikin dia bersikap berlebihan pada adiknya”
Dion menggaruk tengkuknya, “Ya siapa tahu, kayak di n****+-n****+ gitu. Suka sama saudara sendiri terus ternyata mereka malah nggak ada hubungan darah”
Irene tergelak, “Lo suka baca n****+ ternyata. Bedakan dunia nyata dan dunia halu Dion. Heran gue sama lo”
“Eh Ron ngomong-ngomong soal si Sera. Kok Gio bisa kenal sih?” Fery teringat kembali dengan topik di awal sebelum terjadi perang dingin.
“Yah lanjut lagi nih. Gue kira udah lupa” Ronan tertawa lebar.
“Lanjut lah, kapan lagi?” sahut Dion.
“Oke dengar baik-baik ya. Jadi Sera itu keponakan dari suaminya Rea” jawab Ronan.
Fery menggeleng takjub, “Gilaa! Dunia kadang terasa sempit banget ya. Kok bisa kebetulan banget”
“Yes, gue bisa minta tolong Gio buat ngenalin ke Sera. Lumayan banget bisa temenan sama cewek cantik” ujar Dion.
Ronan tergelak, “Ya semoga lo berhasil ngerayu si Gio”
“Kalau itu gue jamin susah dan kalian pasti gagal. Kayak nggak tahu tabiat itu anak” ucap Irene.
“Namanya juga usaha. Sesuatu yang berharga emang sulit untuk didapat. Begitu pun sosok wanita cantik macam Sera. Yang antri pasti banyak, emang elu nggak laku-laku sampai sekarang” sindiri Fery.
“Eh kampreet, gue bukannya nggak laku tapi gue punya standar tinggi kalau urusan calon suami. Nggak bisa sembarangan dong”
“Ya elah ini bocah-bocah ngapain ribut sih” protes Ronan.