"Akh, sial! Si Selvi kenapa udah bangun segala, sih?" gumam Alan kembali menutup pintu kamar lalu menguncinya, sementara suara istrinya semakin lantang terdengar memanggil namanya. "Gawat! Gawat! Gawat! Bisa mati saya kalau si Selvi sampe tahu."
"Apa istri Om udah bangun?" tanya Ayunda, tubuhnya masih dibalut menggunakan selimut.
"Astaga, kenapa kamu masih telanjang, Ayunda? Cepetan pake baju kamu!" bentak Alan dengan nada suara yang sedikit ditahan.
"Bajuku robek, Om. Om sendiri yang merobek bajuku semalam."
Alan seketika memejamkan kedua matanya seraya mengusap wajahnya kasar. Ia mulai mengingat kejadian semalam di mana dirinya menarik paksa pakaian yang dikenakan oleh Ayunda hingga robek bahkan tidak layak lagi untuk dipakai. Namun, Alan tetap saja tidak ingin Selvi memergokinya sedang berduaan dengan Ayunda sementara tubuh wanita itu masih polos tanpa busana.
"Saya gak mau tau, cepat pake baju kamu sekarang juga. Mau robek kek, mau nggak kek! Saya gak peduli, saya gak mau kalau istri saya sampe ngeliat kamu telanjang, cepat!"
Ayu memutar bola matanya kesal. Jika pria itu begitu takut terhadap istrinya, mengapa Alan melakukan hal yang tidak senonoh kepadanya semalam? Bagian intinya masih menyisakan rasa nyeri, bahkan untuk mengangkat satu kakinya saja Ayunda harus memekik seraya memejamkan kedua matanya.
"Om berbalik dulu," pinta Ayu seraya memegangi celana dalam miliknya.
"Astaga! Kamu benar-benar nyebelin," decak Alan seraya berbalik menghadapi pintu. "Kenapa saya harus tidur sama kamu sih?"
Ayu menatap sinis punggung Alan, ia pun mulai mengenakan satu-persatu pakaian miliknya pelan dan sangat hati-hati sembari menahan rasa nyeri. Bukan hanya bagian intinya saja yang sakit, tapi sekujur tubuhnya pun terasa remuk karena dihujam tak henti tanpa ampun.
Akan tetapi, belum sempat Ayu mengenakan seluruh pakaian miliknya, pintu kamar tiba-tiba saja diketuk kasar mengejutkan Alan dan Ayunda tentu saja. Wanita itu bergegas menyelesaikan apa yang sedang ia lakukan dengan tergesa-gesa.
"Mas Alan, aku tau kamu ada di dalam!" sahut Selvi dengan nada suara lantang. "Cepat buka pintunya sebelum aku dobrak ini pintu!"
Tubuh Alan seketika gemetar. Wajahnya pun kian pucat lengkap dengan keringat dingin yang seketika memenuhi pelipis wajahnya. Jantung pria itu berdetak kencang bahkan sangat kencang seperti hendak melompat dari tempatnya bersarang.
"Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan sekarang?" gumam Alan, suaranya terdengar samar-samar oleh Ayunda yang sudah berpakaian lengkap.
"Jangan bawa-bawa nama Tuhan segala, Om. Sekarang cepat buka pintunya biar istri Om tahu apa yang udah Om lakuin sama aku semalam," pinta Ayu setengah berbisik dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Diam kamu!" bentak Alan. "Kalau Selvi sampai tau kita habis ngelakuin itu, habis saya! Mati saya! Emangnya kamu mau bertanggung jawab, hah?" jawab Alan juga setengah berbisik.
"Ko jadi Om yang minta aku tanggung jawab? Seharusnya aku dong yang minta tanggung jawab sama Om. 'Kan Om yang udah--"
"Sttt! Ga usah banyak omong! Kamu juga salah, kenapa kamu datang ke sini tengah malam?" sela Alan, bahkan belum sempat Ayu mengatakan apa yang hendak ia sampaikan.
Pintu kembali diketuk kasar dan tidak sabar. "Aku tau kamu ada di dalam, Mas! Cepat buka pintunya, aku bisa denger suara kamu!" teriak Selvi penuh emosi.
Wanita itu mengetuk pintu tiada henti kasar bahkan seperti hendak merobohkannya. Mau tidak mau dan dengan sangat terpaksa, Alan mulai meraih knop pintu lalu menggenggamnya kuat. Pria itu pun menoleh dan menatap wajah Ayunda yang terlihat ketakutan. Gara-gara wanita itu hidupnya berada di ambang kehancuran. Sampai akhirnya, kunci pun diputar dan Alan memutar kenop pintu hingga terbuka lebar.
"b******k kamu, Mas!" bentak Selvi seraya mendorong pintu kasar membuat Alan hampir saja terjungkal.
"Dengarkan Mas, Sayang. Mas bisa jelaskan. Ini tak seperti apa yang kamu pikirkan," ujar Alan hendak meraih telapak tangan istrinya.
Selvi menghempaskan kasar tangan suaminya kemudian melayangkan telapak tangannya ke udara kemudian mendarat di wajah suaminya keras dan bertenaga. Kedua matanya nampak memerah dan berair, ia benar-benar merasa kecewa kepada suaminya itu.
Selvi mengalikan pandangan matanya kepada Ayunda yang sedari tadi hanya terdiam dengan tubuh gemetar. "Dasar w************n! Apa diluaran sana udah gak ada laki-laki single sehingga kau menggoda suamiku, hah? Kalian bahkan ngelakuinnya di kamar ini? Astaga!" decak Selvi, suara isakan mulai terdengar samar-samar.
"Maafkan aku, Nyonya Selvi. Aku benar-benar--" Ayu terpaksa menahan ucapannya karena Alan tiba-tiba saja menyela.
"Tunggu dulu, Sayang. Mas sama dia gak ngapa-ngapain, kami cuma--"
"Diam kamu, Mas," bentak Selvi dengan bahu yang berguncang akibat menahan isakan.
Wanita itu pun berjalan ke arah ranjang lalu memeriksa sprei berwarna putih yang terlihat berantakan. Tangis Selvi semakin pecah memekikkan tatkala noda darah yang terlihat masih segar terlihat jelas di atas sprei.
"Ini apa, Mas? Kamu masih mau ngelak, hah?" teriak Selvi penuh emosi lalu mengalihkan pandangan matanya kepada Ayunda. "Dasar wanita gak tau diri! w************n! Haaaa!"
Selvi berjalan menghampiri Ayu lalu mendaratkan telapak tangannya di satu sisi wajah Ayu keras dan bertenaga. Kedua sisi wajahnya bahkan mendapatkan masing-masing satu tamparan. Ayu memekik seraya terisak saat telapak tangan majikan dari ibunya itu mendarat menyisakan rasa panas dan sakit dikedua sisi wajahnya.
Bukankah ia hanya korban di sini? Alan yang memaksanya melakukan hal itu, merenggut satu-satunya harta yang ia miliki sebagai seorang wanita. Lantas, mengapa hanya dirinya saja yang dihakimi di sini? Ayu menggigit bibir bawahnya keras, masa depannya benar-benar hancur, selama sisa hidupnya pun ia akan di cap sebagai perebut suami orang.
"Dasar wanita kurang ajar, aku kasih ibumu pekerjaan dan tempat tinggal. Ini balasan kamu, hah?" teriak Selvi seraya menjambak rambut Ayu kasar hingga membuat Ayu berteriak kesakitan.
"Haaa! Maafkan saya, Nyonya. Saya gak bermaksud buat menggoda suami Nyonya. Sungguh!" rengek Ayunda sembari menangis sesenggukan. "Lepaskan aku, Nyonya. Sakit!"
Selvi menghempaskan kepala Ayu keras dan bertenaga hingga tubuhnya terjungkal kemudian mendarat di atas lantai. Rasanya benar-benar sakit luar biasa. Wanita itu bahkan tidak bergegas bangkit, tenaganya seakan habis tidak bersisa. Untuk beberapa saat, Ayu berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
"Ya Tuhan, cabut saja nyawaku dari pada Engkau hadapkan aku pada cobaan yang tak bisa aku lewati," batin Ayu merasa pilu.
"Sudah cukup, Sayang. Mas mohon maaf, Mas khilaf," ucap Alan berjalan menghampiri dengan bola mata memerah penuh penyesalan.
"Menyesal?" tanya Selvi tersenyum menyeringai seraya mengusap wajahnya kasar. "Aku mau kita cerai. Kita udah sepakat bahwa tidak boleh ada pengkhianatan di pernikahan kita. Jika itu sampai terjadi, maka kamu harus angkat kaki dari rumah ini dan semua yang kamu miliki akan jadi milikku, Alan Damian!"
Bersambung