"ANNEEE!?"
Kedua mata hitam Gabriel membelalak terbuka. Dan dengan segera, pria itu segera menoleh ke sampingnya. Melihat tempat di sebelahnya kosong, lelaki itu kembali memalingkan mukanya dan tangan kirinya menutupi mukanya. Masih telentang, perlahan Gabriel mengusap wajahnya dan juga rambutnya. Keringat tampak membasahi tubuh berototnya yang saat ini terlihat polos.
Menyender di kepala tempat tidurnya, kembali kepala pria itu menoleh ke sebelahnya dan menghela nafas berat. Sama seperti beberapa hari lalu, tempat di sampingnya kosong dan dingin. Terlihat tidak ada seorang pun yang tampak pernah tidur di sana.
Perlahan, pria itu bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Di dalam sana, ia membersihkan dirinya sambil melamun dan sejenak, membiarkan air yang cukup panas menerpa kepalanya yang saat ini terasa sangat berat. Tangan kanan pria itu terlihat mer*mas kencang d*danya yang kembali terasa sakit.
Beberapa menit kemudian, pria itu keluar dari kamar mandi dan mulai berpakaian dengan lambat. Ia mengenakan kemeja hitam dan jas hitam, tanda berkabung.
Mengikatkan dasinya di lehernya, Gabriel berhenti dan memandang bayangannya sendiri. Pria itu terpaku menatap dirinya sendiri di sana. Tampak sosoknya yang tampan dan tinggi balas melihatnya. Sosok itu terlihat dingin dan tanpa ekspresi. Benak pria itu bertanya-tanya, apakah memang kepergian isterinya tidak memberikan pengaruh apapun pada dirinya?
Menggelengkan kepalanya, pria itu baru akan keluar ketika matanya menatap lemari pribadi isterinya. Mereka berdua memiliki lemari pakaian yang identik, tapi Gabriel sama sekali tidak tahu isi lemari isterinya.
Membukanya pelan, ia sedikit terkejut ketika melihat isinya yang hampir kosong. Wanita itu ternyata telah mengosongkannya dan Gabriel baru teringat, kalau tiga minggu sebelumnya mereka memang memutuskan untuk berpisah. Pemikiran kalau isterinya akan meninggalkannya padahal mereka baru berjanji akan memperbaiki hubungan ini, membuat Gabriel kecewa. Ternyata Arienne hanya membohonginya saat itu.
Isterinya memang adalah seorang aktris yang lihai, tapi apakah ia akan setega itu berbohong padanya untuk hal sepenting ini?
Menggertakan giginya, pria itu baru akan menutup pintu lemari itu ketika ia melihat laci yang sedikit terbuka. Tampak ada sesuatu yang menyembul di sana.
Penasaran, ia akhirnya membuka laci itu dan tampak di depannya ada sebuah map yang berisi dokumen perceraian yang pernah diberikannya dulu, serta sebuah amplop putih yang sepertinya diselipkan buru-buru. Pria itu akhirnya mengambil keduanya dan duduk di tepi tempat tidurnya.
Membuka dokumen itu, Gabriel tahu kalau Arienne akan menandatanganinya. D*danya kembali terasa sakit saat ini, dan sedikit membuatnya mulai sesak. Ada apa dengan dirinya?
Ia membuka halamannya dan sepertinya tidak ada tanda apapun yang diberikan oleh isterinya di sana. Wanita itu tampaknya menyetujui pembagian harta yang diaturnya saat mereka berpisah nanti. Pria itu baru akan menutupnya saat ada sederet kalimat pendek yang tertulis di kertas paling belakang dokumen itu.
Saat membacanya, Gabriel membeku dan matanya nanar. Tangannya gemetar mengelus tulisan tangan yang ia tahu pasti adalah tulisan tangan isterinya.
'Theodore Gabriel Hamilton. Aku akan selalu mencintaimu, meski kita berpisah nanti. Ingatlah itu, hon.'
Kepala pria itu masih menunduk, ketika dengan perlahan ia meraih amplop putih yang tergeletak di tempat tidur dan membuka isinya. Dan apa yang tertera di sana akhirnya membuat mata pria itu berkaca-kaca. Tanpa bisa dicegahnya, tetesan demi tetesan jatuh membasahi kertas yang masih dipegangnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Gabriel menangis. Ia juga akhirnya bisa mengeluarkan perasaannya yang tergumpal selama ini, baru setelah dua hari isterinya meninggalkan dirinya.
Merosot dari tempat tidur, tangan kiri Gabriel menutup mukanya dan bahu pria itu mulai terguncang keras. Ia semakin menunduk dan isakannya yang penuh kesakitan perlahan terdengar dari mulutnya. Selama beberapa waktu, pria itu hanya bisa tersedu-sedu dalam duduknya. Hati pria itu hancur, saat meyadari kalau ia telah kehilangan dua nyawa yang ternyata sangat disayanginya. Dan ia telah sangat terlambat, untuk bisa mengutarakan perasaan terdalamnya pada mereka berdua.
***
"Kau tidak apa-apa, Theo?"
Menoleh ke samping, tampak adiknya Stephen Samuel Hamilton sedang memandanginya dengan iba. Pria itu baru datang dari Amerika, ketika mendengar kemalangan yang telah menimpa kakaknya.
Tampak kepala Gabriel menggeleng pelan. Ia tidak menjawab apapun dan kembali hanya memandang peti mati isterinya yang tergeletak dingin di depan.
Selama prosesi, Gabriel hanya mengangguk dan menjawab terima kasih tiap ada seseorang yang mengucap belasungkawa padanya. ia benar-benar seperti robot. Pria itu bahkan baru menyadari kehadiran Gwendolyn ketika wanita itu akan mencium pipinya. Refleks, tangan Gabriel mendorong pelan bahu wanita di depannya itu. Matanya memandang dingin dan tanpa kehidupan. Rautnya jauh lebih pucat dibanding sebelumnya.
"Jangan pernah menyentuhku lagi, Gwen. Aku tidak mau membuat prosesi kematian untuk isteriku, menjadi hari kematian untuk dirimu juga. Tolong jangan memancingku lagi."
Menghela nafasnya berat, wanita itu akhirnya mengalah. Ia tahu kalau ia tidak memiliki celah apapun untuk dapat memasuki hati pria di depannya ini, meski isterinya telah tiada.
"Baiklah. Aku mengerti. Tapi kalau kau membutuhkan apapun, tolong katakan padaku. Bagaimana pun, kita berdua telah mengenal cukup lama. Aku tidak mau kehilanganmu, sebagai teman. Sebagai partner bisnis. Setidaknya, kau bisa memperlakukanku sebagai temanmu kan, Theo?"
Tanpa ekspresi, pria itu mengangguk. "Aku akan mempertimbangkannya. Terima kasih."
Penuh kekalahan, Gwendolyn akhirnya meninggalkan area pemakaman itu. Bahkan hanya untuk menjadi teman dari pria idamannya, lelaki itu masih mempertimbangkannya. Untuk apa ia menunggunya selama ini kalau begitu? Percuma saja.
Gabriel masih berdiri mematung di depan makam isterinya, ketika ia merasakan bahunya ditepuk pelan. Hari mulai menggelap dan langit mendung, padahal jam masih menunjukkan waktu di bawah 10 pagi.
Saat menoleh, ia bersitatap kembali dengan adiknya. Tampak jelas raut adiknya yang mengkhawatirkan kakaknya saat ini. "Theo. Ayo kita pulang. Tidak baik terlalu lama di sini."
Kepala Gabriel hanya mengangguk pelan. "Aku akan segera pulang, setelah meletakkan bunga ini."
Sejenak keduanya terdiam dan kepala Gabriel berpaling pada adiknya. "Isterimu. Bagaimana kondisinya?"
Tampak bahu Stephen terangkat ketika ia menarik nafasnya dalam. "Waktunya sudah semakin mendekati. Cukup tiba-tiba. Padahal kemarin saat berangkat, ia belum menunjukkan tanda apapun dan dari dokter pun memperkirakan kalau baru akan dua bulan lagi kemungkinan lahirnya. Aku minta maaf dia tidak bisa hadir sekarang, karena situasinya cukup mengkhawatirkan."
Merasakan pedih di hatinya, Gabriel membuang muka dan menatap kejauhan. Perlahan, angin dingin mulai meniup area itu dan menimbulkan bunyi seperti orang bersiul. "Anakmu. Laki-laki atau perempuan?"
Kali ini senyuman sumringah tampak di bibir Stephen. "Kalau dari hasil USG, perempuan. Tapi kami berdua tidak masalah diberikan apapun, selama ia sehat. Kami sudah menunggunya cukup lama, Theo."
Alis gelap Gabriel berkerut dalam. Entah apa yang dipikirkannya. "Nana. Nana baik-baik saja kan?"
Stephen menelengkan kepalanya dan ia mengangguk. Suaranya terdengar sedih. "Dokter sudah memeriksa Nana. Ia sedikit shock saat mendengar kabar itu, tapi segera diberikan obat penenang oleh dokter. Dia sudah tidak apa-apa, Theo. Mungkin kau harus mengunjunginya nanti, untuk membuatnya lebih baik. Karena kau tahu, kalau Nana cukup dekat dengan Arienne selama ini."
Gabriel menunduk dan memainkan salah satu untaian mawar putih yang dipegangnya. Bunga kesukaan Arienne. "Aku akan mengunjunginya nanti. Kalau sudah selesai di sini."
"Theo... Memangnya apa yang mau kau lakukan lagi di sini? Bukannya aku tidak bersimpati padamu tapi kalau kau sadar, sudah dua hari ini pola makanmu berantakan. Mukamu pucat seperti mayat, brother. Aku tidak mau sepeninggal Arienne, kau juga jatuh sakit. Kau kan tahu isterimu cukup cerewet dalam mengatur pola makanmu selama ini."
Suara kekehan pelan terdengar dari Gabriel. Kali ini, rautnya terlihat lebih rileks dan pria itu menepuk bahu adik lelakinya. Masih meletakkan tangannya di bahu Stephen, Gabriel tiba-tiba menarik adiknya ke dalam pelukannya. Ia menepuk punggung pria yang lebih muda itu pelan dan baru melepasnya.
"Kau jangan khawatir, Stephen. Aku berjanji akan pulang, setelah semuanya selesai di sini. Kau pulanglah duluan. Temui isterimu dan tolong temani Nana selama kau di sini. Kau mau kan, brother?"
Melihat kembali senyum kakaknya setelah dua hari ini pria itu seolah mati, akhirnya membuat Stephen mengangguk. "Baiklah. Tapi jangan terlalu lama. Hujan di saat musim salju begini, akan membuatmu sakit."
Tangan Gabriel mer*mas bahu bidang Stephen. "Just go home, Steve. Aku akan menyusul sebentar lagi."
Dengan enggan, akhirnya Stephen pun beranjak dari posisinya. Saat berjalan, ia masih menyempatkan diri menoleh ke belakang dan menatap punggung kakaknya yang terlihat membungkuk. Pria itu masih berdiri di tempatnya meninggalkannya tadi.
Sedikit terburu-buru untuk menghindari hujan yang mulai turun, Stephen melangkah ke area jalanan dan baru akan membuka pintu mobilnya saat ia menoleh kembali. Entah kenapa, tapi jantungnya berdebar lebih kencang saat ini.
Kedua matanya yang berwarna kelabu membelalak saat ia menyaksikan kakaknya jatuh berlutut, kemudian tersungkur di depan makam isterinya. Belum ada 5 menit ia meninggalkannya di sana!
Panik, Stephen membalikkan tubuhnya dan berlari menuju tempat kakaknya. Teriakannya saling berlomba dengan suara guntur yang saling-silang menderu dari atas kepalanya. Hujan semakin bertambah deras.
"Theodore!?"
Dengan segera, Stephen membalikkan tubuh Gabriel yang tadinya menelungkup dan memeriksa denyut nadinya. Penuh rasa ketakutan, pria itu berusaha memberikan bantuan pernafasan dan juga CPR pada tubuh kakaknya yang tergolek di bawahnya.
"Theodore! Bangunlah! Ya Tuhan..."
Setelah beberapa lama, akhirnya Stephen menyerah ketika ia kembali memeriksa denyut nadi dan juga pergerakan pupil kakaknya yang sama sekali tidak memberikan reaksi apapun. Pria itu kemudian terduduk sambil memeluk Gabriel erat dan matanya mengalirkan air. Tubuhnya mengayunkan badan kakaknya, seolah sedang menimangnya. Kepalanya tertunduk dalam di bahu pria yang sudah tidak bergerak itu.
"Theo... Theo... Apa yang harus aku katakan pada Nana, Theo...? Apa yang harus kukatakan padanya...?"
Selama beberapa saat, Stephen hanya bisa memeluk kakaknya dan menangisi kepergiannya.
Dan ketika hal ini sampai ke telinga Grandmamma, wanita tua itu berdiri dari duduknya dengan mendadak. Ia menjatuhkan pigura kecil yang selama ini berada di pangkuannya, membuat kacanya pecah.
"Gabriel... Gabriel... Kamu pergi juga, sayang... Kamu juga pergi meninggalkan aku..."
Tidak lama setelah mengatakan itu, Grandmamma pun pingsan di pelukan Stephen.
Berita kematian Theodore Gabriel Hamilton segera menyebar dengan sangat cepat. Kematian mendadak seorang pengusaha muda yang menyusul isterinya, sangat mengejutkan dunia bisnis yang baru saja berduka karena kehilangan sosok seorang wanita cantik yang juga seorang pengusaha sukses.
Suami-isteri yang sangat rupawan dan juga tidak kekurangan suatu apapun itu, akhirnya pergi meninggalkan dunia. Mereka meninggalkan sejumlah harta benda, yang tidak tahu akan diwariskan pada siapa.
Pria itu pada akhirnya memang pulang. Tapi ia telah berpulang, untuk menyusul isterinya di atas sana.