Chapter 12 - The tragedy

1591 Kata
Keesokan harinya, dengan tidak sabar Arienne mematut dirinya di depan kaca besar lemarinya. Beberapa kali ia mengganti bajunya, karena merasa tidak ada yang pas untuk menyambut suaminya nanti. Ketika akhirnya ia memilih satu pakaian yang dirasa menggambarkan hatinya saat ini, wanita itu berputar-putar di depan kacanya dan pipinya terlihat memerah. Ia sudah memulas wajahnya dengan make-up tipis, dan menggerai rambut pirangnya yang cukup panjang. Wanita itu tersenyum lebar dan mengelus perutnya yang rata. Mengambil amplop putih dari tas tangannya, Arienne menyimpan benda itu di laci lemarinya. Ia memutuskan akan mengatakan hal ini pada suaminya, saat mereka benar-benar sudah dalam keadaaan santai. Ia tidak mau membebani Gabriel dulu, sebelum merasa yakin 100% dengan hubungan mereka berdua. Memandang kembali kamar tidurnya, matanya bersibobrok pada koper besarnya yang terletak di pojokan ruangan. Beberapa hari lalu, ia telah selesai merapihkan pakaiannya dan siap untuk membawanya pergi saat Gabriel pulang nanti. Tapi pembicaraan mereka tadi malam, membuat wanita itu menutup bibirnya dan kedua matanya berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak menyangka suaminya akhirnya ingin mempertahankan pernikahan mereka. Sepertinya perjalanan bisnis kali ini membawa berkah bagi mereka berdua. Tampak Arienne menarik nafasnya dalam. Aku akan membereskannya nanti, setelah memastikan kalau Gabriel memang tidak ingin berpisah dariku. Ia pun memakai coat panjangnya dan memasang topinya. Ia juga melilitkan syal yang tebal di lehernya. Dan menepuk d*danya sendiri, wanita itu bertekad dalam hatinya. Ia bertekad akan menyatakan perasaannya pada pria itu. Arienne ingin belajar untuk lebih jujur dengan dirinya sendiri. Apapun respon suaminya nanti, setidaknya ia akan merasa lebih lega telah mengutarakan isi hatinya selama ini. Menyemangati dirinya sendiri, ia pun mengambil tas tangannya dan keluar dari kamar tidur. Baru saja ia mengambil kunci mobil dari meja samping, telepon tiba-tiba berbunyi nyaring. Memandang jam tangannya yang menunjukkan angka 16.00, wanita itu melihat masih ada waktu sebelum ia berangkat ke bandara. Pesawat Gabriel mendarat di jam 17.15 dan perjalanan ke bandara hanya akan memakan waktu 45 menit, kalau cukup lancar. Suaminya sebenarnya ingin berangkat tadi pagi, tapi ternyata masalah mesin di pesawat jetnya lebih parah dan harus menunggu sparepart lebih dulu, membuatnya masih harus menunggu sampai sore baru akhirnya pesawat itu aman untuk mengudara. Tidak sabar untuk menemui suaminya, Arienne bergegas menjawab dering telepon yang tidak berhenti itu. "Halo? Oh! Grandmamma!" Menyadari yang meneleponnya ada Grandma Gabriel, Arienne langsung merasa sumringah. Wanita tua yang berusia 75 tahun itu sejak dulu selalu menjadi tempatnya berpaling saat ia merasa sedih di rumahnya. Meski Arienne tidak pernah mau menceritakan apapun pada wanita tua itu, tapi pelukan Grandmamma selalu membuatnya tenang dan merasa memiliki kekuatan kembali. "Anne? Kamu masih di rumah? Gabriel pulang hari ini, kan?" "Ya, Nana. Gabe pulang hari ini. Aku baru saja akan berangkat untuk menjemputnya." Tidak seperti biasanya, ada jeda yang singkat. "Nana?" "Gabriel hari ini berulang tahun bukan? Yang ke-33 tahun?" Mengerjapkan matanya sedikit bingung, Arienne mengangguk. "Benar, Nana. Gabe ulang tahun hari ini. Kami berencana untuk makan malam nanti di restoran." "Hubunganmu dengan Gabriel baik-baik saja kan, Anne?" Menelan ludahnya, Arienne berusaha untuk lebih berhati-hati untuk menjawab. Grandmamma entah kenapa, seperti memiliki insting yang kuat selama ini kalau menyangkut hubungannya dengan Gabriel. Hal ini membuatnya tidak bisa berbohong pada wanita tua itu. "Jangan khawatir, Nana. Memang sempat ada masalah, tapi kami sudah bisa mengatasinya." Sekali lagi, ada jeda yang terasa. "Gabriel sudah menyatakan perasaannya padamu?" Pertanyaan aneh itu membuat kedua alis Arienne berkerut dan dengan ragu-ragu, ia menjawabnya pelan. "Nana? Kenapa Nana menanyakan ini padaku? Apakah Gabe mengatakan sesuatu padamu?" Tahu pertanyaannya sia-sia, di seberang sana Grandmamma menutup kedua matanya erat. Tangannya yang keriput mer*mas gagang telepon yang sedang dipegangnya. Menelan ludahnya, wanita tua itu berusaha untuk mengulas senyum di bibirnya. "Tidak. Anak itu tidak mengatakan apapun padaku. Kamu jemputlah Gabriel sekarang di bandara, sayang. Aku tidak mau dia terlalu lama menunggumu nanti." Setelah mengucapkan salam perpisahan, wanita tua itu menutup teleponnya. Pandangannya beralih pada sebuah foto kecil yang sejak tadi berada di pangkuannya. Tampak ia mengusap pelan foto hitam-putih itu dan tidak lama, tetesan air tampak mulai jatuh membasahi foto yang berada di pigura kecil itu. Dalam foto itu terlihat sosok seorang pria muda yang tampan. Pria itu memiliki sepasang mata yang tajam berwarna hitam. Bibirnya maskulin dan tidak tersenyum. Raut wajah yang ada di foto itu sangat menyerupai sosok cucu lelakinya. Kedua mata tua Grandmamma menatap sedih foto itu dan suaranya bergetar lirih. "Gabe... Nasib Gabriel tidak akan seperti dirimu, kan? Itu semua hanya kebetulan, kan...?" Tidak ada yang tahu apa yang dimaksud oleh wanita tua itu, yang saat ini sedang memandang keluar jendalanya. Tangannya mencengkeram foto itu dan hatinya berdoa. Ia berdoa agar firasatnya selama puluhan tahun ini salah sama sekali. Sementara itu, pesawat yang membawa Gabriel dan Ricard perlahan memasuki bandara internasional di kota B, Jerman. Tidak sabar, pria itu gelisah di tempat duduknya dan kakinya bergoyang-goyang. Ricard yang melihatnya hanya tersenyum simpul. "Anda terlihat tidak sabar sekali, Tuan Hamilton. Apakah ada yang ingin segera Anda temui nanti?" Menoleh pada asistennya, Gabriel hanya tersenyum samar tapi matanya berbinar. "Aku tidak sabar bertemu dengan isteriku, Ricard. Kami punya janji makan malam hari ini." Senyum Ricard semakin lebar. "Anda tenang saja, Tuan Hamilton. Dalam beberapa menit lagi, Anda sudah akan bisa menemuinya. Nyonya akan menjemput Anda, kan?" "Ya. Dia akan menjemputku. Oh! Pesawatnya sudah berhenti. Ayo, Ricard!" Kepala asistennya menggeleng-geleng melihat kelakuan bos besarnya. Baru kali ini, pria itu terlihat tidak sabar untuk pulang ke rumah dan menemui isterinya. Tampak tubuh Gabriel yang berdiri di dekat pintu bergerak-gerak gelisah, dan sambil lalu hanya mengucapkan terima kasih pada pilot dan juga pramugara. Dan setelah pintu itu pun terbuka, kaki-kaki panjangnya terlihat bergegas untuk menuruni tangga dan sedikit berlari-lari kecil, ia menuju lokasi kedatangan untuk mencari isterinya. Belum melihat sosok wanita itu, Gabriel akhirnya keluar dari bangunan bandara dan mata hitamnya menelusuri pelataran parkir yang mulai dipenuhi oleh mobil-mobil di sana. Tampak senyum mulai terbit di bibirnya ketika ia mengenali seorang wanita yang melambaikan tangannya dari kejauhan. Wanita yang berbaju hijau dan bermantel cokelat itu tampak sumringah dan terlihat berjalan cukup cepat untuk menghampirinya. Tersenyum lebih lebar, Gabriel baru akan melangkahkan kakinya mendekati wanita itu ketika terdengar seruan kencang dari arah sampingnya. "AWASSS...!?" Baru saja ia menoleh ke sumber suara, sebuah mobil sedan tampak melaju kencang dan terlihat kehilangan kendali di jalanan yang licin karena salju. Dan tanpa bisa dihindari lagi, moncong dari mobil itu menabrak wanita yang baru saja mulai menyebrang di zebra cross dengan kencang. Tubuh wanita itu melayang sejenak di udara dan dengan keras menghantam kaca depan mobil tersebut dan menimbulkan retakan lebar di sana. Dan ketika mobil yang kehilangan kendali itu pada akhirnya menabrak mobil lain yang sedang terparkir, barulah mobil itu bisa berhenti dan menyebabkan tubuh wanita yang ada di kap mobil tersebut terlempar beberapa meter di depannya. Terlihat tubuh mungil itu terguling beberapa kali di jalanan yang bersalju, sebelum akhirnya berhenti dalam posisi yang telentang. Kejadian yang sangat cepat itu sejenak membuat orang-orang yang menyaksikannya terpana dan belum bergerak. Waktu seolah berhenti saat ini. Barulah ketika ada yang berteriak lirih, keributan pun mulai terjadi. Orang-orang mulai mengerumuni lokasi itu dan beberapa mulai berseru dan segera memanggil petugas yang ada di bandara. Semua orang tampak sibuk dan panik. Semuanya kecuali satu orang. Gabriel yang melihat peristiwa itu hanya bisa terpaku di tempatnya. Kelopak matanya melebar dan ia baru merasakan gemetar di tubuhnya ketika tanpa sengaja seseorang menabrak bahunya. Kedua mata hitamnya mengerjap dan dengan nafas memburu, kaki-kakinya dengan cepat menghampiri sosok wanita yang saat ini sedang dikerubuti oleh banyak orang. Susah payah, pria itu akhirnya bisa meringsek ke depan dan memandang tubuh yang terbujur di depannya. Wanita yang ada di depannya mengenakan gaun berwarna hijau yang cantik. Ia juga mengenakan coat panjang berwarna cokelat, lengkap dengan syal dan sepatu boot yang senada. Kepalanya pun dilindungi oleh topinya yang masih bertengger di sana. Rambut pirangnya yang panjang tampak terurai menutupi wajahnya. Pelan, Gabriel menghampiri tubuh wanita itu. Orang-orang hanya memandanginya dalam keheningan, dan merasa kasihan pada pria yang mereka anggap keluarga wanita yang menjadi korban tabrak itu. Mereka pun perlahan mulai mundur, mencoba memberikan ruang pada pria tersebut. Lutut Gabriel gemetar hebat, membuatnya jatuh berjongkok di sisi wanita itu. Tangannya yang bersarung kulit dengan lembut menyingkirkan helai demi helai rambut yang menutupi wajahnya dan pria itu tertegun. Wajah isterinya terlihat masih cantik sempurna. Pipinya merona cantik dan bibirnya berwarna merah muda. Hidung mungilnya terlihat memerah karena udara dingin. Hanya saja, kedua mata hijaunya yang terbuka tampak lebih menggelap. Pupil wanita itu terlihat membesar dan hampir menutupi iris matanya yang hijau. Melihat pemandangan itu, Gabriel tahu kalau isterinya sudah tidak bernyawa lagi. Isterinya telah pergi meninggalkan dirinya. Tapi hatinya sama sekali tidak mau menerima kenyataan ini, meski otaknya sudah menjerit kencang di dalam kepalanya. Telinganya terasa berdenging dengan suara-suara teriakan di dalam. Masih belum bisa bersuara, tangan pria itu dengan hati-hati mengelus lengan isterinya dan menggoyang-goyangkannya lembut. Hal yang dilakukan oleh Gabriel tampak membuat sesuatu yang tadinya tertahan di dalam mulai keluar, dan perlahan-lahan mulai menodai salju yang tadinya berwarna putih suci. Mata pria itu mulai berkaca-kaca saat ia mengamati tubuh isterinya. Terlihat aliran yang berwarna merah gelap mulai keluar dari bagian bawah tubuh wanita itu. Aliran itu semakin lama semakin membesar, membentuk sungai merah di antara kumpulan salju yang berwarna putih. Dan bersamaan dengan itu, terasa tetesan demi tetesan salju yang turun dari angkasa, seolah merasa turut berduka dengan kejadian ini. Tidak merasakan sama sekali dinginnya udara di sekitarnya, bibir Gabriel akhirnya mengucapkan kata yang selama ini tergumpal di tenggorokannya. "Anne...?" Belum mendapatkan respon apapun dari wanita yang telentang di bawahnya, pria itu akhirnya tidak bisa menahan dirinya lagi dan ia mulai berteriak kencang. "ARIENNEEE...!?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN