Tidak sampai setengah jam kemudian, tampak pintu ruangan Gwendolyn terbuka dan Gabriel keluar dari sana. Ricard yang melihatnya hanya sekilas menangkap kalau wanita itu sedang berdiri membelakangi pintu dan bahunya terlihat tertunduk. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan ia tampak menangis.
Menoleh pada atasannya, pria tampan itu bertanya pelan. "Apa yang terjadi padanya, Tuan Hamilton? Anda memukulnya?"
Merapihkan kerah jasnya, Gabriel mendengus kasar dan menyerahkan berkas-berkas yang tadi sempat ditinggalkan asistennya di ruangan. "Kau kira aku pria yang rendah dan akan melakukan itu pada seorang wanita lemah, Ricard? Dia menangis hanya karena ketakutan kehilangan hartanya kalau Gregorio sampai menceraikan dirinya nanti. Dan dia sudah menandatangani berkas-berkas ini."
Mengerjapkan kedua matanya, Ricard menerima berkas itu. "Bagaimana cara Anda-"
"Aku akan menceritakannya nanti. Untuk saat ini aku ingin segera kembali ke Jerman, Ricard. Semua urusan kita sudah beres kan?"
"Ya Tuan Hamilton. Semua agenda Anda semuanya sudah beres. Anda mau kembali ke hotel sekarang?"
Tidak sabar, Gabriel mengangguk dan kedua pria itu dengan langkah cepat menuju lift. "Ya. Apakah kita bisa kembali sore ini ke Jerman?"
"Akan coba saya koordinasikan tapi saya tidak yakin, Tuan Hamilton."
Alis tebal Gabriel berkerut. Ia memandang sekilas asistennya saat mereka keluar dari lift dan menuju mobil mereka di pelataran parkir. "Apa maksudmu kau tidak yakin?"
"Saat landing tadi, pilot sempat mengatakan persediaan avtur di bandara sedang menipis dan baru akan selesai dipasok besok pagi. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu dicek ulang oleh bagian engineering karena saat di atas tadi, sepertinya pilot menabrak seekor burung atau semacamnya yang menyebabkan salah satu mesin bermasalah. Lebih baik dipastikan semua dulu Tuan, agar tidak ada kecelakaan nantinya."
Meski tidak suka, pada akhirnya Gabriel mengangguk kaku dan kedua pria itu pun bergerak untuk menuju hotel tempat mereka menginap.
Sesampainya di kamar, Gabriel langsung membuka keseluruhan bajunya dan ia menuju kamar mandi. Penuh kemarahan, pria itu menggosok badannya sampai bersih. Ia benar-benar merasa jijik dengan dirinya sendiri, ketika mengingat sentuhan Gwendolyn tadi di tubuhnya.
Entah mengapa, dalam hatinya yang terdalam ia merasa telah mengkhianati isterinya. Ia telah membiarkan dirinya dicium dan disentuh oleh wanita lain, membuat hatinya merasa sangat bersalah pada isterinya.
Puas membersihkan tubuhnya dan dengan berbalut jubah mandi tebal, pria itu menuju tempat tidur lalu duduk di salah satu sisinya. Ragu-ragu, ia mengangkat gagang telepon portable yang ada di sana dan mulai melakukan panggilan internasional. Beberapa kali pria itu menggigit bibirnya dan tubuhnya menegang, saat akhirnya terdengar suara sahutan pelan dari seberang sana.
"Halo?"
"Arienne?"
Sedikit ada jeda sebelum suara di sana mulai terdengar cerah. "Gabe? Ini kamu?"
"Ya... Kamu ada di rumah?"
Kekehan pelan wnaita itu, membuat bibir maskulin Gabriel tersenyum tanpa sadar.
"Tentu saja aku di rumah, Gabe. Kalau tidak, bagaimana aku bisa mengangkat telepon darimu seperti ini?"
Sejenak keduanya terdiam, saling menikmati alunan nafas masing-masing. Dan keheningan itu dipecahkan oleh suara Arienne yang bertanya pelan pada suaminya.
"Kapan kamu pulang, Gabriel?"
Mata hitam Gabriel bergerak-gerak dan penuh dengan emosi saat ini. "Besok aku pulang, Anne."
Sangat jelas terdengar nada gembira dari wanita itu. "Benarkah! Akhirnya...!"
Gabriel menelan ludahnya susah payah, sebelum akhirnya ia mengeluarkan keberanian untuk bertanya. "Kamu rindu padaku, Anne?"
Kembali jeda yang singkat terdengar. Suara wanita itu lirih saat ia berkata pelan. "Aku rindu padamu, honey. Kalau kamu sendiri? Rindukah kamu padaku?"
Mencengkeram gagang telepon yang dipegangnya, Gabriel mengangguk. "Ya. Aku juga rindu padamu."
Pengakuan pria itu menghasilkan jeda yang cukup lama. Belum terdengar jawaban apapun dari seberang, membuat alis Gabriel berkerut dalam. "Anne?"
"Ya...?"
"Kamu dengar kata-kataku tadi?"
Suara wanita itu terdengar lirih. "Ya, aku dengar Gabe..."
Entah karena apa, tapi Gabriel mulai merasakan jantungnya berdegup cepat. Terasa ada aliran rasa takut yang mulai menjalar di tubuhnya. "Anne? Kamu tidak apa-apa?"
Setitik kegembiraan terdengar dari suara halus Arienne. "Aku tidak apa-apa, Gabe. Aku hanya terlalu gembira mendengarmu mengatakan itu untuk pertama kalinya."
Kata-kata isterinya membuat rona di pipi Gabriel yang bertulang tinggi. Pria itu terlihat salah tingkah dalam duduknya, membuatnya menunduk dan memainkan dengan gugup tali panjang jubahnya yang menjuntai. Baru kali ini, Gabriel merasakan perasaan hangat saat ia berkomunikasi dengan isterinya.
"Aku akan pulang besok. Kamu akan ada di rumah, kan?"
Kembali suara tawa yang halus terdengar di telepon, membuat bulu kuduk Gabriel meremang. Pria itu sangat ingin melihat sosok cantik isterinya yang saat ini sedang terbayang di pelupuk matanya.
"Aku akan menunggumu. Tidak. Mungkin besok aku akan menjemputmu di bandara, hon!"
Raut Gabriel berubah cerah. "Kamu mau menjemputku? Tidak perlu repot-repot, hon. Besok aku dan-"
"Jam berapa pesawatmu akan landing?" Terdengar suara Arienne yang tidak sabar memotongnya.
Biasanya Gabriel akan naik pitam saat ada seseorang yang memotong kata-katanya tapi kali ini, pria itu malah tertawa gembira sampai lesung pipinya terlihat jelas. "Kamu tidak sabar sekali. Memangnya kamu akan melakukan apa padaku, Anne?"
Kedua mata hitam Gabriel melotot ketika suara isterinya berubah rendah, menghasilkan d*sahan yang seksi dan penuh rayuan. "Aku akan melakukan persis seperti yang terakhir kali kita lakukan di kamar mandi, Gabriel... Kamu tentu masih ingat, kan...?"
Pria itu masih belum mampu berkata-kata ketika suara isterinya kembali terdengar. "Sekarang, pergilah ke kamar mandi, suamiku... Aku akan memberimu hadiah istimewa, untuk ulang tahunmu besok..."
Menurut, Gabriel segera memasuki kamar mandi dan duduk di atas kloset. Ia membuka jubah mandinya dan melebarkan kedua kakinya. Terlihat, salah satu tangannya memegang asetnya saat ini. Kedua mata hitamnya mengerjap-ngerjap cepat dan nafasnya mulai memberat saat pria itu mendengarkan sesuatu dari telepon yang masih dipegangnya. Warna merah mulai menjalari wajah dan menuruni lehernya dengan cepat.
Menutup kedua matanya, kepala Gabriel mendongak tinggi dengan alis yang berkerut dalam. Tangannya yang di bawah aktif memberikan r*ngsangan pada senjatanya sendiri. Semakin lama, gerakan pria semakin cepat dan akhirnya ia pun berteriak, seiring dengan isi senjatanya yang memuncrat kencang ke beberapa penjuru. Pria itu masih menempelkan telepon di telinganya dan ia kembali mengerang saat mendengar rintihan dari seberangnya. Suami-isteri itu memperoleh kepuasan dalam waktu bersamaan.
Terengah-engah, barulah kelopak mata Gabriel membuka dan ia melihat hasil perbuatannya tadi. Pria itu mend*sah, merasa malu dengan kelakuannya. "Oh, Arienne... Kamu benar-benar gila, hon... Darimana kamu mempelajari hal ini?"
Kekehan penuh kepuasan terdengar dari wanita itu. "Kamu pasti akan terkejut hon, saat tahu apa saja yang dibicarakan oleh para wanita saat mereka berkumpul. Karena isinya sama persis seperti kalau kaummu bergosip tentang para lawan jenisnya, Gabe."
Tawa geli terdengar dari tenggorokan Gabriel. Suara tawa yang baru kali ini dikeluarkannya. "Aku sangat penasaran apa lagi ilmu yang sudah kamu pelajari, Anne."
Kali ini, suara Arienne berubah lembut. "Kalau begitu, pulanglah Gabriel. Pulanglah padaku, dan aku janji akan membuatmu penasaran tentangku."
Kata-kata isterinya membuat Gabriel sejenak terdiam, sebelum akhirnya bibir maskulin pria itu tersenyum lembut. Ia telah membuat keputusan. "Aku akan pulang padamu, honey. Selalu."
Ada jeda sebentar sebelum akhirnya wanita itu berbicara lagi, dan suaranya terdengar bergetar. "Gabriel? Kamu serius mengatakannya?"
Senyuman masih terpatri di bibir pria itu. "Aku telah memikirkannya. Mungkin keputusanku saat itu terlalu terburu-buru. Aku minta maaf padamu, Anne. Tapi, apakah kamu masih mau memberikan kesempatan padaku? Kali ini aku ingin mencobanya, hon. Aku ingin mencoba memperbaiki hubungan kita."
Tidak lama, terdengar suara tangisan pelan. "Kamu serius, Gabe? Kamu tidak mempermainkan aku, kan?"
Tangisan isterinya yang baru pertama ini didengarnya langsung, membuat kedua mata Gabriel berkaca-kaca. Pria itu tidak mengetahui apa yang dirasakannya, yang jelas beban yang tadinya bersarang di d*danya terasa terangkat dengan cepat.
"Untuk apa aku bercanda, Anne? Aku telah mempertimbangkannya matang-matang. Dan aku rasa, kita punya banyak hal yang harus dibicarakan ulang kalau kita memang mau membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius nantinya. Kamu setuju, kan?"
Dengusan ingus terdengar dari arah sana dan kembali bibir pria itu tersenyum. Isterinya mulai tidak bersikap jaim dan berani memperlihatkan kekurangannya. "Tentu saja, Gabe. Aku akan menunggumu karena banyak hal yang ingin aku katakan juga padamu, honey."
"Memangnya apa yang ingin kamu katakan padaku, hon? Bukan yang jelek-jelek kan?"
Arienne tertawa dengan keras di seberang. Sangat terdengar jelas suaranya yang ringan. Tampaknya isterinya pun merasakan beban yang berat dirasakan mulai terangkat.
"Ohhh... Sangat banyak yang ingin kukatakan padamu, hon! Aku akan membuat telingamu memerah nanti saat kamu mendengarnya..."
Pertama kalinya Gabriel tertawa membalas perkataan isterinya dan selama beberapa saat, terdengar seruan dan tawa yang mengalir dari arah kamar mandi. Tempat yang tadinya dikutuk oleh pria itu, akhirnya menjadi tempat yang ternyata membuatnya merasa hangat saat sedang mengobrol dengan isterinya.
Untuk yang pertama kalinya, akhirnya suami-isteri itu mengobrol dengan tanpa beban dan penuh dengan kejujuran. Mereka akhirnya berani untuk melepas topeng mereka selama ini, dan mencoba menampilkan diri mereka apa adanya pada pasangannya.
Mereka sama sekali tidak menyadari adanya bayang-bayang kegelapan yang mulai menghampiri keduanya. Karena ini adalah pertama dan terakhir kalinya mereka berbicara karena besok, keduanya tidak akan dapat menikmati kebersamaan satu dengan lainnya.
Kesekian kalinya, takdir yang menyedihkan akan kembali hadir di tengah-tengah pasangan itu.