Selama dua minggu lebih perjalanannya ke luar negeri, adalah siksaan bagi Gabriel. Pria itu dengan sangat angkuh berusaha menepiskan rasa rindunya pada isterinya sendiri, yang malah membuatnya uring-uringan selama ia berada di kamar hotel.
Ia masih dapat menyisihkan perasaannya di siang hari, ketika kesibukannya menghadiri banyak konferensi bisnis dan juga pertemuan dengan beberapa pengusaha yang cukup menyita waktunya seharian penuh. Tapi beda ceritanya dengan saat ia sudah kembali ke kamar hotelnya yang besar, luas tapi sepi. Beberapa kali pria itu merasa mengalami halusinasi ketika ia melihat ke arah tempat tidur besar yang ada di tengah ruangan. Ia seolah dapat melihat sosok isterinya yang polos, tampak terbaring seksi dengan senyuman di wajahnya.
Pemandangan yang semakin lama semakin menyiksanya ini, seringkali membuat tubuh Gabriel merasakan panas dan gemetar tanpa diinginkannya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia pun terpaksa melakukan kegiatan yang selama hidupnya sama sekali tidak pernah dilakukannya di kamar mandi.
Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, seorang Theodore Gabriel Hamilton harus memuaskan dirinya sendiri di ruangan yang sempit itu. Selama ini, ia selalu punya wanita-wanita cadangan yang siap untuk memuaskan kebutuhannya sebelum akhirnya pria itu menikahi isterinya.
Tapi untuk kali ini, pria itu tidak mau wanita lain selain isterinya. Ia menginginkan Arienne Liliana Dalton untuk menghangatkan tubuhnya dan juga tempat tidurnya yang mulai terasa dingin. Seringkali pria itu mengerang dalam tidurnya, dan bangun dengan tubuh yang lemas serta basah di bagian s*langkangannya.
Pria itu akhirnya mengakui kalau ia merindukan isterinya. Merindukan tapi bukan berarti ia membutuhkan wanita itu sampai menggagalkan perceraiannya, bukan?
Untuk yang satu itu, Gabriel masih keras kepala. Ia akan menunggu sebentar lagi sebelum mengambil keputusan nantinya. Karena keputusan itu akan menentukan jalan hidupnya ke depannya nanti.
Namun sikap keras kepalanya itu akhirnya berubah, ketika pria itu menemui Gwendolyn Gallant di Perancis.
Bersama asistennya Ricard, Gabriel akhirnya mengakhiri perjalanan bisnisnya di Perancis dan memiliki janji temu dengan salah seorang isteri investor yang bernama Gwendolyn Gallant. Wanita itu memiliki nama gadis Simon namun sejak menikahi suaminya, ia merubah nama keluarganya menjadi Gallant mengikuti pria itu.
Gwendolyn adalah wanita yang berparas manis, cenderung biasa saja. Namun di balik itu, ia memiliki aset yang sangat luar biasa. Wanita itu juga sangat lihai di ranjang, membuatnya beberapa kali menjadi teman penghangat malam bagi para pengusaha-pengusaha muda yang cukup kesepian sebelum ia akhirnya menikahi suaminya. Dan salah satu pria yang pernah merasakan keahliannya adalah Theodore Hamilton.
Gabriel pernah menjadi teman satu malam bersama wanita itu, dan kapok setelahnya.
Wanita itulah yang membuat Gabriel tidak mau memiliki teman kencan yang agresif di tempat tidur. Bukannya ia tidak menyukai variasi saat berhubungan int*m, tapi cara-cara yang dilakukan oleh wanita itu menurutnya terlalu ekstrim untuk seleranya dan ia juga merasa kelakuan wanita itu terlalu jorok, untuk dilakukan di tempat tidur yang seharusnya bersih dari yang namanya makanan maupun hal-hal lainnya yang sebaiknya dilakukan di tempat lain.
Sayangnya, Gwendolyn justru telah tertarik pada Gabriel jauh sebelum kencan satu malam mereka. Pria itu juga adalah satu-satunya pria yang menurutnya sangat susah untuk diseret ke tempat tidur. Perlu rayuan maut dan juga jurus alkohol yang disertai sedikit obat per*ngsang yang pada akhirnya membuat lelaki itu mau menuruti keinginannya, menghabiskan satu malam dengannya.
Pria itu sebenarnya mengetahui akal bulus Gwendolyn malam itu, tapi memutuskan untuk membiarkannya. Saat itu, ia juga cukup kesepian dan membutuhkan pelampiasan. Tapi pengalamannya dengan wanita itu, membuat lelaki itu segera mundur yang malah membuat Gwendolyn semakin penasaran sampai akhirnya ia harus gigit jari, ketika Gabriel memutuskan untuk menikahi perempuan lain.
Tapi wanita itu berniat untuk mencoba peruntungannya lagi, melalui pertemuan mereka di Perancis.
Melihat pria yang dirindukannya memasuki ruangannya, senyum Gwendolyn terbit di bibir tebalnya yang berwarna merah. Wanita itu sudah mempersiapkan dirinya beberapa hari sebelum pertemuan ini. Ia memastikan kalau tubuhnya wangi dan mulus sempurna, siap untuk menerima pria itu di tempat tidurnya.
"Theodore...". Terdengar suara penuh rayuan Gwendolyn dan dengan percaya diri, wanita itu mencium pipi Gabriel yang mulai ditumbuhi bakal jenggotnya.
Kedua tangan Gwendolyn berada di bahu bidang Gabriel dan mer*masnya kuat. Betapa ia merindukan untuk menyentuh kulit pria ini dan juga menciuminya. Meski mereka hanya pernah berhubungan satu kali saja, tapi hal tersebut meninggalkan kesan mendalam karena wanita itu sudah menyukai sosok Gabriel, jauh sebelum ia bertemu dengan pria ini dalam sebuah pesta beberapa tahun lalu.
Sebelum Gwendolyn semakin serakah dengan mulai mencium bibirnya, tangan Gabriel segera memegang pinggang wanita itu dan menahannya. Kedua mata hitamnya memancar tajam. "Cukup, Gwen."
Alis sempurna Gwendolyn terangkat tinggi dan bibir tebalnya terbuka. Wanita itu mend*sah dan kepalanya mendongak, penuh dengan undangan. Salah satu tangannya yang berkuku panjang mulai menuruni tubuh Gabriel dan hampir meraih aset pria itu, ketika pergelangannya ditahan dengan cukup kencang.
"Aku bilang cukup, Gwen! Jangan memaksaku untuk melakukan kekerasan padamu. Aku tidak mau merusak hubungan baikku dengan suamimu, hanya karena aku menamparmu nanti."
Terkekeh pelan, wanita itu mundur dan akhirnya menoleh pada Ricard yang berdiri kaku di belakang atasannya. Tampak mata cokelat Gwendolyn berbinar cerah saat melihat pria tampan itu.
"Halo, Ricard. Kita bertemu lagi."
Kaku, kepala Ricard mengangguk. Pria itu tidak menyukai partner bisnis atasannya ini. "Nyonya Gallant."
Jawaban yang cukup dingin itu membuat Gwendolyn mengulum senyum di bibir merahnya. "Kalian berdua sama sekali tidak asyik!"
Wanita itu akhirnya berbalik dan melangkah menuju sofa besar yang ada di ruangan dan menghempaskan tubuh gitar Spanyol-nya di sana. Sambil lalu, ia mengibaskan tangannya yang bercat netral pada masing-masing kursi yang masih kosong di sana.
"Silahkan duduk, Tuan-tuan. Jangan terlalu kaku seperti itu."
Masih membungkam, dua pria itu akhirnya duduk di hadapan Gwendolyn. Tanpa basa-basi, Ricard langsung mengeluarkan sejumlah berkas di depan kedua orang yang posisinya lebih tinggi dari dirinya.
"Tuan Hamilton. Ini berkas-berkasnya."
Sambil mengangguk, Gabriel meraih berkas itu. Ia membacanya sekilas dan mengulurkannya di atas meja pada Gwendolyn. Tampak wanita itu mengernyitkan kedua alisnya dan matanya menyipit. "Apa ini?"
"Berkas perjanjian baru. Ini adalah proposal dari Hamilton untuk perpanjangan perusahaan Gallant sebagai investor, tapi tentu saja ada beberapa hal yang ter-update dan harus disesuaikan dengan kondisi sekarang."
Kali ini, raut Gwendolyn benar-benar menunjukkan ekspresi tidak suka. "Aku sama sekali tidak pernah diberitahu kalau akan ada proposal baru, Theodore. Karena aku sudah cukup puas dengan perjanjian kita yang pertama. Gregorio pun tidak pernah mengatakan apapun padaku sebelum ini."
"Gregorio sudah menandatanganinya. Tapi karena perjanjian ini dibuat atas nama kalian berdua, maka aku membutuhkan tanda tanganmu juga, Gwen."
Terkejut, Gwendolyn langsung meraih dokumen itu dan secara singkat membacanya. Isi berkas itu sebagian besar dapat dimengertinya karena ia pernah menjadi sekretaris dari Gregorio, sebelum akhirnya menjadi isterinya. Dengan cukup cepat, wanita itu menyadari beberapa hal yang tidak disukainya.
"Apa maksudmu kau ingin mengangkat seorang CEO untuk perusahaan di Perancis ini, Theo? Jarak antara Jerman dan Perancis tidak jauh. Kau masih bisa melakukan pertemuan rutin langsung denganku, dengan tanpa adanya intervensi dari orang asing yang tidak perlu."
Cukup marah, wanita itu melemparkan berkas tersebut ke meja. "Aku tidak akan pernah menyetujuinya.'
Menoleh pada Ricard, Gabriel berkata dingin. "Keluarlah sebentar, Ricard. Aku perlu bernegosiasi secara pribadi dengan Nyonya Gallant saat ini."
Meski ragu-ragu, tapi akhirnya Ricard mengangguk dan pria itu pun keluar dari ruangan kerja Gwendolyn. Barulah setelah terdengar pintu yang tertutup pelan, wanita itu beringsut mendekati pria yang masih duduk itu. Hatinya gembira karena menyangka Gabriel memang ingin berduaan saja dengan dirinya.
Berani, tangan Gwendolyn berada di aset Gabriel dan mulai mer*mas benda itu dengan konstan. "Kau tidak perlu berputar-putar seperti itu kalau hanya karena ingin berduaan denganku, Theo... Tanpa kau minta pun, aku sudah akan menyerahkan diriku padamu, cintaku..."
Tanpa diduga, tangan kiri Gabriel mencengkeram kencang rambut cokelat wanita itu dan menengadahkan kepalanya. Raut pria itu terlihat mengeras dan bibirnya terkatup rapat saat ia berbicara. "Sudah kukatakan Gwen, jangan menyentuhku lagi! Kau ternyata wanita yang benar-benar bebal rupanya!"
Menyangka kalau pria itu hanya pura-pura, tangan Gwendolyn masih berada di senjata Gabriel dan kembali mengelusnya. Dan kali ini, Gabriel benar-benar menarik rambut wanita itu sampai beberapa helainya rontok. "Akh!? Lepaskan, Theo! Kau mulai menyakitiku!"
"Aku bilang, jangan menyentuhku lagi! Atau perlu kupatahkan lehermu sekarang, baru kau mau mengerti!?"
Sadar kalau pria itu serius, akhirnya tangan Gwendolyn melepaskan benda itu dan kedua tangannya mencengkeram pergelangan Gabriel yang masih berada di kepalanya. Ia benar-benar kesakitan dan matanya mulai mengeluarkan air di sudutnya. "Lepaskan rambutku, Theo! Kau membuatnya rontok!"
Pria itu dengan kasar menghempaskan kepala Gwendolyn, membuat tubuh wanita itu membentur sofa di belakangnya. Pria itu berdiri dari duduknya dan menjauhi wanita di depannya. Tampak ia menyarungkan kedua tangannya di kantong celananya, mencegahnya untuk berbuat lebih brutal lagi. Hatinya benar-benar sedang dikuasai oleh amarah saat ini.
Ketika kedua mata hitam itu memandangnya lagi, Gwendolyn menelan ludahnya. Baru kali ini sepanjang mengenal Gabriel, ia mendapatkan tatapan penuh kebencian seperti yang dilihatnya sekarang.
"Sekali lagi kau menyentuhku Gwen, maka aku mungkin benar-benar akan memb*nuhmu. Yang berhak dan boleh menyentuhku, hanya isteriku sendiri. Kau dan tanganmu itu silahkan mencari pria lain yang bisa memuaskan n*fsumu. Tapi aku ingatkan, jangan pernah kau mengangguku, keluargaku dan juga orang-orang yang ada di perusahaanku. Karena kalau kau sampai melakukannya, akan aku pastikan Gregorio menceraikanmu dengan tanpa sepeser uang pun!?"
Menghela tubuhnya untuk bangkit dari posisinya, mata cokelat Gwendolyn memancarkan sinar yang sama dengan Gabriel. Penuh kemarahan, wanita itu menggertakan giginya dan matanya mulai menyipit.
"Oh ya? Kau kira akan semudah itu kau lepas dariku, Theo? Kau tidak tahu apa yang bisa kulakukan kalau kau sampai melakukan sesuatu yang tidak kusukai. Aku akan menarik dana-ku dari perusahaanmu dan kau bisa menikmati hidupmu yang melarat, saat tidak ada investor yang mau menanamkan uang di sana!?"
Mendengar ancaman itu, kali ini kedua mata Gabriel-lah yang memicing memandang wanita itu. "Kau yakin mau melawanku, Gwen? Karena kalau kau memang menantangku, maka dengan senang hati aku akan menerimanya. Dan kau harus tahu, kalau aku tidak akan rugi sama sekali nantinya."
Pandangan Gwendolyn sedikit berubah. "Apa maksudmu?"
Menyeringai mengerikan, Gabriel mengambil berkas lain dari atas meja dan melemparkannya ke pangkuan wanita itu. "Kau lihat dan nilai sendiri. Putuskanlah, apakah kau memang mau melawanku atau tidak."