Chapter 9 - Don't wanna let go

1476 Kata
"Tidak ada lagi yang tertinggal?" Kepala hitam Gabriel menggeleng pelan. Terlihat pria itu sudah siap dengan koper besarnya dan menatap isterinya dalam diam. Pikirannya kalut salut ini. Tersenyum, Arienne merapihkan syal yang meliliti leher suaminya yang jenjang. "Jangan lupa jaga makanmu di sana. Cuaca sangat dingin. Aku tidak mau kamu sakit selama bekerja di sana. Ya, Gabe?" Lagi, kepala Gabriel hanya mengangguk. Pandangannya turun. Entah kenapa, tapi ia tidak sanggup untuk menatap isterinya yang saat ini sedang berdiri di depannya. Tidak menyadari kekalutan suaminya, kedua tangan mungil Arienne mengusap sepanjang lengan suaminya dan akhirnya menggenggam kedua tangan besar suaminya erat. Ia menimang-nimangnya sebentar dan mengusapnya pelan. Ketika akhirnya melepasnya, tiba-tiba tangan Gabriel mencekal pergelangannya. Mata hijau Arienne membesar dan pandangannya bertanya. "Gabe...?" Masih belum mampu berkata-kata, Gabriel hanya memandang isterinya. Kedua bola matanya yang gelap bergerak-gerak. Entah kenapa, tapi hatinya sangat gelisah sejak beberapa hari ini. Nurani terdalamnya tidak ingin pergi meninggalkan wanita ini. Ia ingin tinggal di sisi isterinya saat ini. Dan dorongan itu sangat kuat. Baru saja mulutnya hendak membuka, suara Arienne tiba-tiba memotongnya. "Jangan katakan kalau kamu tidak ingin pergi, Gabe." Kedua mata pria itu mengerjap cepat. Tampak isterinya tersenyum geli tapi rautnya terlihat sangat cantik. Penuh rayuan, isterinya mendekat pada suaminya dan mengusap d*da keras pria itu. "Kamu masih belum puas setelah seharian kita berbulan madu kemarin, Gabe? Kamu ingin mengulanginya lagi?" Pertanyaan itu membuat Gabriel merasa malu dan pipinya memerah. Memang benar. Seharian kemarin, keduanya hanya berada di kamar tidur, kamar tamu, kamar mandi, melakukan yang seharusnya dilakukan saat mereka berbulan madu dulu. Tapi mereka baru melakukannya setelah lima tahun menikah. Hubungan Gabriel dengan isterinya cukup dingin selama ini. Meski keduanya dapat memberikan nafkah batin bagi pasangannya, namun hal itu dilakukan sekedar kewajiban. Pria itu cukup puas selama ini untuk tidak mencari selingan di luar terutama karena kesibukannya pun, membuatnya tidak memiliki n*fsu yang besar terhadap wanita. H*sratnya saat ini adalah untuk mengembangkan bisnisnya. Namun tetap saja, kepuasan dari isterinya yang memberikan efek ekst*si baru dirasakannya dua hari ini. Ia ketagihan. Ia ketagihan dengan isterinya sendiri. Dan ia baru menyadarinya sekarang. Menelan ludahnya dengan gugup, kepala pria itu berpaling dan ia melepaskan diri dengan cukup kasar. Sama sekali tidak menyadari pandangan isterinya yang berubah sendu dengan cepat. Bel yang berbunyi tiba-tiba, menyelamatkan Arienne dari emosinya yang mulai menyentuh titik terendah saat ini. Wanita itu hampir saja meneteskan air mata lagi di depan suaminya. "Mungkin itu Ricard. Aku akan membuka pintunya." Pandangan Gabriel mengikuti langkah ringan isterinya yang beranjak menuju pintu depan. Hati pria itu berada dalam dilema, membuat d*danya mulai terasa nyeri. Dua hari lalu dengan mulutnya sendiri, ia memberikan ultimatum pada isterinya untuk berpisah. Tapi hanya dalam waktu dua hari ini, isterinya sukses membuat dunianya jungkir-balik dengan hebatnya. Gabriel mulai mempertanyakan keputusannya. Apakah ia memang ingin berpisah dari wanita ini? Pintu yang terbuka menampilkan sosok seorang lelaki yang tampan dan berpakaian necis. Dengan tenang, Arienne menyambut asisten suaminya dengan bahasa Perancis. "Ricard. Masuklah." "Nyonya Hamilton. Permisi." Melangkah memasuki ruangan tamu, dengan sigap Ricard meraih koper atasannya. "Hanya ini saja bawaan Anda, Tuan Hamilton? Ada lagi?" "Tidak. Aku hanya akan membawa itu saja." Pria Perancis itu mengangguk singkat. "Saya akan membawanya sekarang kalau begitu, Tuan Hamilton." Setelah Ricard menghilang dari pandangan, barulah Gabriel menoleh pada isterinya. Wanita itu tampak cantik dengan gaun santainya yang berwarna biru muda. Kembali, Gabriel merasakan keengganan untuk meninggalkan wanita ini, membuatnya sejenak berdiri terdiam di hadapan Arienne. "Aku pergi dulu, Anne." Senyuman cantik wanita itu kembali terlihat dan ia mengangguk. "Hati-hati." Dengan berat, Gabriel melangkahkan kakinya menuju pintu keluar tapi berhenti saat mendengar panggilan pelan dari isterinya. "Gabriel?" Menoleh, tampak Arienne mendekatinya dan memegang kedua lengannya yang berbalut coat panjang. Matanya yang hijau memandang suaminya dengan tenang. "Gabe. Aku ingin meminta sesuatu. Untuk yang pertama dan mungkin terakhir kalinya?" Susah payah, pria itu menelan ludahnya. Tenggorokannya tiba-tiba terasa sangat kering mendengar kata-kata isterinya yang sangat terus terang itu. "Apa yang mau kamu minta?" Menengadahkan keningnya, Arienne kembali tersenyum lembut pada suaminya. Dahinya menyentuh dagu pria itu yang sedikit berbelah. "Tolong cium keningku sebelum kamu pergi. Kamu mau kan?" Terasa r*masan yang kencang di d*da Gabriel tapi dengan datar, ia mengangguk dan memegang sisi kepala isterinya dengan lembut. Pelan, ia menempelkan bibirnya ke kening wanita itu. Menghela nafasnya, Gabriel menutup kedua matanya dan semakin memperdalam kecupannya di dahi isterinya. Kedua tangannya mengusap rambut isterinya dengan sangat lembut dan pelan. Ia juga merasakan tangan Arienne yang berada di pinggangnya terasa mencengkeram jas luarnya dengan lebih erat. Dalam hati masing-masing, keduanya merasakan keinginan yang kuat untuk tidak berpisah. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang cukup berani untuk mengutarakan pikirannya pada pasangannya. Setelah beberapa lama, barulah Gabriel melepaskan isterinya. Sambil menatap Arienne dengan pandangan lembut yang baru kali ini ditampilkannya, tangan besarnya mengusap kepala wanita itu pelan. "Tiga minggu lagi aku pulang. Jaga dirimu." Masih terpatri senyum di bibir seksi itu dan isterinya mengangguk. "Sampai jumpa." Tampak Arienne mengantarkan suaminya sampai pintu depan dan tetap setia menunggu sampai suaminya pun menghilang dari pandangannya dalam lift yang menutup. Kembali ke kamar tidurnya, Arienne membuka lemari pakaian pribadinya dan membuka salah satu laci yang ada di sana. Tampak ia mengeluarkan sebuah berkas dan membawanya ketika ia duduk di sisi tempat tidur. Wanita itu terlihat membaca sekilas dokumen itu dan kemudian mencoretkan sesuatu di sana. Setelah selesai, ia mengamati kembali benda di tangannya dan rautnya tampak berfikir. Terlihat seulas senyum lembut di sana, dan ia kembali menuliskan sesuatu di atas permukaan kertas itu. Dan ketika ia meletakkan penanya di tempat tidur, tampak aliran air menuruni kedua pipinya yang berwarna merah muda. Selama beberapa saat, wanita itu hanya terduduk di tempat tidur dan pandangannya terarah pada dokumen yang masih ada di pangkuannya. Barulah ketika hari sudah mulai gelap, ia bangkit dari duduknya dan menyimpan kembali berkas itu di salah satu lacinya. Sejenak, ia menempelkan telapak tangannya di sana dan kemudian menengadah memandang isi lemari yang ada di depannya. Sebaiknya aku mulai berkemas. Sangat tenang, Arienne mengambil kopernya dan kemudian mulai memasukkan beberapa barang pribadinya di sana. Wanita itu pun tampak tenggelam dalam kegiatannya selama beberapa waktu. Sementara itu di dalam pesawat yang saat ini sedang menerbangkan seorang pria ke negara Paman Sam, tampak sosok Gabriel yang sedikit gelisah di tempat duduknya. Beberapa kali pria itu meneguk minuman keras, padahal belum ada satu pun makanan yang memasuki lambungnya. Saat pria itu baru akan meneguk minumuannya kembali, tangannya ditahan oleh seseorang. Tampak Ricard yang duduk di sampingnya, memandangnya dengan sorot khawatir. "Tuan Hamilton. Lebih baik, perut Anda diisi dulu sebelum mulai minum lagi. Saya khawatir Anda akan sakit kalau minum dalam keadaan kosong begini." Rasa marah mulai berkumpul di d*da Gabriel. ia tidak suka untuk diatur-atur oleh seseorang. Tapi sebelum ia dapat mengatakan apapun, asistennya kembali berbicara. "Kalau Anda lupa, Anda harus mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Nyonya Gallant di Perancis nanti dan Anda tahu sendiri wanita itu seperti apa. Anda tidak mau sampai harus beberapa kali lagi membuat janji temu dengan dia kan, kalau pertemuan yang pertama nanti gagal hanya karena Anda sakit?" Menelan ludahnya, Gabriel akhirnya menurut dan membiarkan gelas scotch-nya diambil oleh Ricard. Ia menyenderkan tubuhnya di kursi dan menghela nafasnya dalam. Ia memandang ke luar jendela. Kedua matanya menatap awan-awan putih yang seperti kapas lembut, saling berkejar-kejaran dengan sosok angin yang tidak kasat mata. Hatinya mulai merasa perih. Belum apa-apa, ia sudah ingin pulang. Kembali ke rumahnya lagi. Dan bersama dengan isterinya lagi. Pria itu akhirnya mengepalkan kedua tangannya dan rautnya mengeras. Ia menoleh pada asistennya. "Ricard. Pada pertemuan nanti, tolong pastikan kalau wanita itu tidak bisa berbuat apapun lagi. Aku sudah muak dengan segala intervensi kotornya pada perusahaanku. Dan kalau perlu, aku akan memintanya untuk menarik kembali dana investasinya nanti." Mata Ricard tampak mengerjap cepat dan jelas, pria itu sangat terkejut. "Anda yakin, Tuan Hamilton? Ia akan meminta kompensasi yang luar biasa besar nanti." Senyum miring terbit di bibir maskulin Gabriel. "Dia tidak akan berani, Ricard. Aku punya kartu As-nya. Aku tadinya tidak berniat menggunakannya, tapi aku akan mengeluarkannya kalau dia masih keras kepala." Pandangan Ricard terlihat takjub dan pria tampan itu mengangguk. "Baik, Tuan Hamilton. Saya juga sudah mempersiapkan semua yang dibutuhkan untuk pertemuan itu nanti. Saya kira, secara data pun ia tidak akan bisa menemukan celah yang dapat merugikan kita nantinya." Kepala Gabriel mengangguk satu kali dan ia kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia tampak sudah mengambil keputusan saat ini. Arienne. Dalam tiga minggu ini, aku akan menguji diriku. Aku akan menguji seberapa besar kebutuhanku akan dirimu. Kalau memang terbukti aku sangat membutuhkanmu, maka aku akan menjilat ludahku sendiri. Kita lihat saja nanti, apakah memang kamu sepenting itu bagi diriku. Seorang Theodore Gabriel Hamilton akhirnya bersedia untuk merendahkan dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Namun sayangnya, takdir ternyata tidak semurah hati itu pada dirinya. Dalam waktu tiga minggu lagi, sebuah tragedi siap untuk memporak-porandakan dunia dua manusia yang baru saja mulai akan memulai kisah mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN