Chapter 15 - A baby boy named Thunder

1260 Kata
Situasi hari itu sangat suram. Cuaca yang mendung sejak pagi sama sekali tidak berubah, sampai akhirnya hari pun berganti malam. Hujan yang turun dari langit semakin menderas, mengancam terjadinya bencana banjir di beberapa lokasi. Suara petir yang menggelegar di angkasa dan membelah kegelapan pun, tampak meredam jeritan seseorang yang saat ini sedang berjuang untuk nyawanya. "Oh! Oh, Steve...! Aku tidak kuat lagi!?" Jeritan isterinya membuat Stephen meneteskan air matanya. Setelah tadi pagi kehilangan kakaknya, pria itu harus menghadapi cobaan kalau isterinya pun akan bertaruh nyawa di hari yang sama. Lelaki itu berusaha menyisihkan rasa dukanya dan memberikan kekuatan pada isterinya melalui ciuman yang beberapa kali ia berikan pada wanita yang tengah berjuang itu. "Sedikit lagi, sayang... Sedikit lagi..." "Nyonya Hamilton! Berikan dorongan terbaik Anda, Nyonya! Kepala anak Anda sudah mulai terlihat!" "Kamu dengar itu, sayang? Berikan dorongan terbaikmu, Sharon! Anak itu sebentar lagi akan datang." Menguatkan hatinya, tangan Sharon yang sedang digenggam Stephen mencengkeram lengan suaminya dengan kencang. Wanita itu akhirnya mengeluarkan tenaga terakhirnya dan teriakannya membahana di lorong rumah sakit yang cukup ramai. "ARGHHH...!?" Dan setelah teriakan kencang itu, akhirnya kepala kecil yang berambut hitam itu pun menyembul ke dunia. Teriakan melengking yang tinggi keluar dari kepala kecil itu, sebelum akhirnya sang dokter segera menangani bayi yang baru lahir itu dan membawanya ke hadapan orang tua baru yang menatap sosok kecil itu dengan pandangan takjub dan terharu. Doker yang masih menggendong bayi merah itu pun tersenyum pada pasangan itu. "Tuan dan Nyonya Hamilton, bayi Anda. Dia adalah bayi lelaki yang sangat sehat dan luar biasa." Kedua orang itu saling berpandangan dengan terkejut. Stephen menoleh pada sang dokter. "Laki-laki? Bukannya dari hasil USG seharusnya perempuan, dok?" Sharon menerima uluran bayi itu dan meletakkannya di d*danya. Tampak wanita itu meneteskan air mata bahagia dan ia mengusap-usap kepala kecil itu dengan pelan. Ia mendongak pada suaminya. "Tidak masalah perempuan atau laki-laki, Steve. Yang penting dia sehat meski lahir prematur." "Jenis kelamin bayi terkadang dapat berubah, Tuan Hamilton. Hal itu mungkin saja terjadi. Tapi memang keanehannya di sini adalah meski bayi Anda lahir prematur, tapi ia memiliki kondisi fisik yang sama seperti kalau Anda melahirkan sesuai dengan waktunya, Nyonya Hamilton. Ini adalah keajaiban dari Tuhan untuk Anda berdua karena diberikan bayi yang sehat walafiat." Pasangan orang tua itu tersenyum sangat lebar dan mereka mengangguk. "Anda benar sekali. Kami juga tidak pernah mempersoalkan mengenai jenis kelaminnya, yang penting ia sehat. Terima kasih, dokter." Semua orang yang ada di ruangan sama sekali tidak menyadari, kalau bayi yang baru lahir itu mulai merasa gelisah dalam posisinya. Kedua matanya yang masih memejam erat, membuatnya sedikit merasa panik dan benaknya mulai bertanya-tanya. Aku ada di mana? Kenapa gelap sekali? Perutnya yang merasa lapar, membuatnya tidak menolak ketika ia disodorkan sebuah benda yang keras tapi terasa lembut ke dalam mulutnya. Mengikuti nalurinya, ia mulai menghisap benda itu dan merasakan cairan yang lezat mulai mengalir keluar dan membasahi kerongkongannya yang terasa kering sebelumnya. Setelah merasa kenyang, entah kenapa benaknya mulai berkabut. Ia tidak bisa berfikir dan akhirnya kembali tenggelam dalam dunia mimpi. Sepertinya, ia sering merasakan kelelahan akhir-akhir ini. Menyerah pada rasa kantuknya, ia pun tertidur kembali dalam buaian yang terasa nyaman dan hangat ini. *** "Dia sangat mirip Theodore." "Kamu benar. Dia sangat mirip Theo. Dan Theo sangat mirip dengan kakak Grandmamma dulu." "Kakak dari Nana yang telah meninggal? Kakek Terrence Gabriel?" "Ya. Aku jadi heran, kenapa semua orang yang ada nama Gabriel memiliki wajah yang mirip seperti ini?" "Apa kita harus memberinya nama Gabriel juga?" Stephen mengelus rambut isterinya. "Entahlah, sayang. Bagaimana menurutmu?" Sharon yang sedang memangku bayinya mengusap bayi itu pelan. Ia mendongak memandang suaminya. "Sejujurnya, aku cukup kasihan pada kakakmu, Steve. Ia kehilangan isterinya yang sedang mengandung dan tidak lama, ia juga akhirnya menyusul keluarganya. Takdirnya sangat menyedihkan sekali. Aku ingin agar anak kita memiliki takdir yang berbeda, dan nama Gabriel adalah nama dengan arti yang indah. Tidak ada yang salah dengan nama itu." Pria yang baru menjadi ayah itu tersenyum lembut. "Kalau begitu nama apa yang kamu pikirkan, sayang?" "Dia lahir di saat bumi sedang berguncang, Steve. Aku ingin memberinya nama Thunder. Dan aku ingin menyelipkan nama Gabriel di dalamnya, untuk mengenang kakakmu dan juga kakekmu. Thunder Gabriel Hamilton. Seseorang yang lahir di hari yang penuh petir tapi dia juga adalah orang yang mendapatkan anugerah kekuatan dari Tuhan. Bagaimana menurutmu?" Mengecup kening isterinya, Stephen mengangguk dan tersenyum penuh haru. "Nama yang sangat bagus sekali. Terima kasih, sayang..." Kedua orang itu masih bercakap-cakap singkat, namun bayi itu sudah tidak bisa menangkapnya lagi. Ia kembali tenggelam dalam dunia yang berkabut, membuatnya sedikit marah karena ia merasa tubuhnya yang aneh dan membuatnya cepat merasa lelah, padahal ia baru saja terbangun beberapa menit yang lalu. Nama... Siapa namaku...? Benaknya berputar-putar namun ia masih belum mengingat apapun. Ia akhirnya tidak sadar dan kembali ke dalam dunia penuh impiannya. *** "Thunder sayang... Kita akan mandi dulu ya..." Kedua mata hitam bayi yang besar itu tampak bergerak-gerak. Tangan dan kakinya pun tampak bergerak-gerak ketika tubuhnya dimandikan dengan lembut. Bayi itu juga terdengar mengeluarkan pekikan kecil, ketika tubuhnya dibalur dengan minyak bayi dan juga bedak yang berbau harum. "Kamu senang ya, Thunder? Anak mama yang lucu..." Mata bayi itu mengerjap-ngerjap cepat dan kakinya menendang-nendang ke udara. Reaksinya dipahami oleh wanita yang baru melahirkan itu sebagai rasa bahagia. Perempuan itu sama sekali tidak tahu, kalau ada gejolak perasaan yang sangat hebat tengah menghantam d*da kecil itu. Karena bayi itu dalam masa pertumbuhan, membuat konsentrasi dan daya ingatnya pun terbatas. Hal ini membuat jiwa yang ada di dalamnya masih mengalami kebingungan orientasi terhadap waktu dan juga tempat. Apa ini? Ya Tuhan! Aku menjadi bayi!? Oh Tuhan! Baru saja ia akan memberontak dari pelukan wanita itu, tiba-tiba tubuhnya sudah ditimang dan ditepuk-tepuk hangat. Nalurinya sebagai seorang bayi membuat jiwa yang ada di dalamnya perlahan menyerah. Tubuh bayi itu perlahan melemas dan ia pun mulai tertidur di bahu wanita yang sedang memangkunya itu. Oh, s*alan...! Kenapa tubuh ini lemah sekali! Aku harus... Aku harus... Suara protes orang yang di dalamnya perlahan melemah dan ia pun terbuai dengan rasa hangat dan nyaman yang telah ditawarkan padanya. Nanti... Nanti saat aku terbangun, baru aku akan... akan... "Bagaimana dia?" Sharon menoleh dan tersenyum pada Grandmamma yang tampak berdiri di belakangnya. "Sudah tidur, Nana. Dia cepat sekali tertidur kalau ditepuk-tepuk seperti ini." Tampak Grandmamma terkekeh pelan. "Sifatnya hampir mirip dengan Gabriel, dulu. Saat bayi, anak itu juga baru tenang kalau ditepuk-tepuk punggungnya seperti tadi. Dan kakeknya juga seperti itu. Gen yang aneh." Kedua wanita berbeda generasi itu saling bertukar tawa yang rendah. Memandang Sharon, wanita tua itu mengusap kepala wanita muda itu pelan dan tersenyum lembut. "Terima kasih, Sharon. Karena sudah mau berbagi nama dengan Gabriel. Kamu tidak tahu betapa berartinya nama itu bagiku, sayang." Masih menimang anaknya, Sharon akhirnya meletakkan bayinya di box bayi-nya. Ia pun duduk di sebelah Grandmamma dan memegang tangan yang telah keriput itu. "Nana... Sebenarnya, ada yang ingin kutanyakan dari dulu." Menepuk tangan wanita yang sedang menggenggamnya, Grandmamma tersenyum. "Apa yang mau kamu tanyakan, sayang?" Sedikit ragu-ragu, Sharon akhirnya menanyakan hal yang selama ini mengganggunya. "Sebetulnya Kakek Terrence meninggal karena apa? Aku cukup penasaran karena Nana sepertinya sangat menyayanginya. Aku perhatikan, Nana juga selalu membawa fotonya kemana-mana. Apakah ada yang Nana belum ceritakan pada kami mengenai Kakek Terry?" Gandmamma akhirnya melepaskan genggamannya pada Sharon. Terlihat wanita itu menarik nafasnya dalam, membuat wanita muda itu serba salah saat ini. "Kalau Nana tidak mau menceritakannya-" "Tidak apa, Sharon. Aku akan menceritakannya sedikit, tapi sebenarnya itu bukanlah cerita yang istimewa. Dan aku harap, kamu tidak kecewa karenanya." Mendengar itu, Sharon tersenyum lembut. "Tidak masalah, Nana. Aku senang mendengar cerita."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN