Beberapa tahun kemudian, akhirnya Gabriel memasuki usia pra-sekolah. Tampak balita itu dipersiapkan oleh orangtuanya untuk ke sekolah bermain yang sudah diikutinya hampir satu tahun ini.
Stephen yang melihat Sharon sedang memakaikan kaos kaki ke anaknya, tersenyum dan mencium ubun-ubun isterinya. "Sayang, sepertinya kamu harus mulai mengajarinya untuk mandiri. Aku pernah melihatnya memasang kaos kaki dan sepatunya sendiri."
Eh?
Kata-kata Stephen membuat raut Gabriel sedikit memucat. Sepertinya ia kurang hati-hati.
"Oh? Kapan, Steve? Selama ini, Thunder sepertinya senang-senang saja kalau aku membantunya untuk berpakaian." Tampak Sharon memandang anaknya dengan ingin tahu. Wanita itu memegang kedua sepatu anaknya di salah satu tangannya dan mengacungkannya pada anak lelakinya.
"Kamu bisa memakai sepatu ini sendiri, Thunder?"
Memandang ragu-ragu wanita itu, akhirnya Gabriel memutuskan untuk sedikit jujur dengan menganggukkan kepalanya. Meski ia bisa melakukan segala sesuatunya sendiri, tapi tetap saja keadaan fisiknya saat ini cukup membatasi kemampuannya dalam beraktivitas maupun berkomunikasi.
"Wow! Anak mama sudah pintar. Coba kamu tunjukkan pada mama, Thunder!"
Dengan gembira, Sharon menyorongkan kedua sepatu itu pada anaknya dan membiarkan balita itu untuk memakainya sendiri. Stephen pun turut duduk bersila di lantai.
Perlahan, tangan-tangan mungil Gabriel meraih sepatu itu dan mulai memakainya ke kakinya sendiri. Sepatu itu memiliki tali-tali dengan jalinan yang cukup rumit dan membuat Gabriel sedikit kesulitan. Bagaimana pun perkembangan motorik halusnya belum sesempurna itu untuk melakukan aktivitas yang terlalu kompleks. Tapi upaya yang dilakukannya, tampak membuat kedua orangtuanya sangat bangga.
Dan meski ia tahu yang dilakukannya hanyalah hal yang sederhana, tapi tetap saja pujian yang tulus itu mengena di hati pria itu dan membuat kedua pipinya merona bahagia.
Kau konyol sekali, Gabriel! Hanya pujian kecil seperti ini saja sudah membuatmu senang bukan kepalang! Sepertinya selama ini kau memang haus akan pujian!
Kata-kata umpatannya sendiri, tampak menampar sanubari pria itu. Benarkah selama ini ia haus pujian?
Tanpa sadar, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Thunder? Kamu tidak apa-apa? Kamu tidak mau sekolah?"
"Huh?"
Tangan Sharon mengusap lembut kepalanya. "Kamu mau sekolah kan, sayang?"
"Ya. Thunder mau sekolah."
Setelah mengatakan itu, kepala kecil itu menunduk. Ia merasa sangat malu mempergunakan cara bicara anak kecil seperti itu. Meski sudah menjalani kehidupannya selama hampir 3 tahun tapi tetap saja, Gabriel belum terbiasa untuk bersikap layaknya anak kecil di hadapan orang lain.
Dengan gembira, Sharon dan Stephen bangkit dari posisi mereka. Tangan Sharon menggenggam lembut tangan kecil anaknya dan menghelanya untuk berdiri dari kursinya. "Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang. Kamu tidak mau terlambat untuk bertemu dengan Genevieve kan, sayang?"
Sorot mata jahil ibunya dibalas Gabriel dengan sorot ketakutan. Ibunya telah mengingatkan dirinya pada pengalaman mengerikan tahun lalu. Dan tahun ini, ia harus kembali lagi bertemu dengan monster cilik itu.
Oh Tuhan! Berikan kekuatan pada hambamu ini...!
***
Sesampainya di sekolah, Gabriel menaruh tasnya di kursinya. Ia baru saja akan duduk, saat salah satu anak perempuan yang ada di sana menghampirinya dan dengan cemberut mendorong tasnya, membuat benda itu jatuh ke lantai dengan suara kelas.
Memandang isi tasnya yang berantakan di lantai, tatapan Gabriel naik memandang anak kecil di depannya dengan tanpa ekspresi.
Sebagai seorang malaikat agung, ia tidak memiliki kuasa apapun untuk memberikan hukuman pada anak kecil karena mereka masih dianggap sebagai jiwa-jiwa suci yang tidak berdosa. Jika pun ada kenakalan yang dibuat oleh seorang anak di bawah usia 5 tahun, maka itu karena pengaruh orangtuanya. Dan oleh karena itu, dosa yang dibuat oleh seorang anak masih akan ditanggung oleh orangtuanya sampai anak itu dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri.
"Kenapa kau melakukannya?" Suara Gabriel sebenarnya dingin, tapi terdengar cempreng di telinganya.
Anak perempuan itu melipat kedua tangan di d*danya dan membusung. Kepalanya mendongak congkak dan bibirnya mencebik. "Aku tidak suka kau ada di kursi ini."
"Kenapa?"
"Karena ini adalah kursiku. Jadi kau sekarang ada di kursiku."
Tampang Gabriel terlihat bingung. Kedua mata hitamnya menyusuri ruangan kelas dan tampak beberapa pasang mata mulai memperhatikan pasangan itu yang memang terkenal sering cek-cok di kelas.
"Masih banyak kursi di ruangan ini. Dan aku juga lihat, kalau kau sudah mengambil tempat di bangku depan. Jadi apa masalahnya aku mengambil tempat di sini?"
Gabriel sedikit menelan ludahnya saat tersadar kalau ia telah bersikap seperti anak kecil saat ini. Semakin bertambah umur, ia semakin menyadari bahwa tidak semua perilakunya nanti akan dapat dikontrolnya. Tubuh ini tetap akan menjadi milik Thunder Gabriel, dan ia hanyalah roh yang menumpang di dalamnya.
Tampang anak perempuan di depannya semakin cemberut dan mukanya mulai memerah. "Aku tidak mau tahu. Pokoknya kau harus pindah!"
Kedua alis hitam itu berkerut dan bibir mungil Gabriel balas mencebik. Ia mulai tidak bisa menahan tindak-tanduknya lagi. Ia memberikan respon sebagai Thunder Gabriel dan bukan dirinya. "Aku tidak mau!"
"Kau harus pindah, Thunder!"
"Aku tidak mau, Evie!"
"Thunder!?" Sekarang Genevieve mulai menjerit nyaring, memancing para guru yang ada di luar ruangan.
"Apa maumu! Pokoknya aku tidak mau pindah! Kalau memang bangku itu punyamu, ambil saja sekarang! Tapi aku tidak mau pindah kemana pun juga!"
Sorot Genevieve mulai bergetar dan anak itu perlahan mulai menangis. Dan tangisannya mulai sesegukkan, membuat kedua mata hitam Gabriel melotot.
Apa-apaan anak ini...!?
Baru saja benaknya berfikir demikian, kedua mata Gabriel mendelik ke atas. Ia baru menyadari kekonyolan yang barusan dibuatnya sendiri, bertengkar dengan seorang anak kecil!
"Thunder! Genevieve! Ada apa lagi dengan kalian berdua?"
Tampak Rosalind menghampiri dua anak yang musuh bebuyutan dari tahun kemarin itu. Guru yang masih muda itu berusaha untuk bijaksana menghadapi dua anak pintar namun punya kelakuan minus ini.
Mata sayu Nona Rosalind yang menangkap tas Gabriel yang berantakan di lantai, memandang ke dua anak itu bergantian. "Tas siapa ini?"
"Tas saya, Nona Rosalind."
"Dan kenapa bisa berantakan seperti ini, Thunder? Kau menjatuhkannya?"
Tanpa basa-basi, tangan mungil Gabriel terangkat dan menunjuk anak perempuan di depannya. "Dia yang melakukannya, Nona Rosalind. Genevieve melempar tas saya ke lantai, dan membuat isinya berantakan."
Tata bahasa Gabriel yang rapih membuat Rosalind menelan ludahnya susah payah. Sudah beberapa kali, ia menangkap Thunder berbicara dengan cara orang yang jauh lebih dewasa dibanding usianya saat ini. Dan meski anak itu pintar, tapi daya tangkapnya kelewat batas dibanding dengan anak-anak lainnya.
Menghela nafasnya, tatapan Rosalind berpindah ke Genevieve. "Apa itu benar, Evie? Kau melempar tas milik Thunder ke lantai?"
Ditanya seperti itu, Genevieve malah semakin keras menangis. Perilakunya ini membuat Rosalind semakin yakin kalau memang anak perempuan inilah pelakunya.
Berusaha untuk bersikap adil, Rosalind menghadap ke kelas dan pandangannya menyapu pada semua anak yang berada di ruangan itu. "Untuk kali ini, aku ingin bertanya pada kalian yang ada di ruangan ini. Tolong jawab, apakah benar Genevieve melempar tas milik Thunder ke lantai?"
Belum ada yang berani bersuara dan Rosalind yakin, banyak dari mereka yang cukup merasa terintimidasi dengan perilaku Genevieve yang memang dominan. Orangtua anak itu adalah salah satu penguasa sukses yang baru pindah dari Perancis. Mereka juga adalah donatur tetap yayasan, membuat pihak yayasan banyak memberikan kemudahan pada para anak donatur untuk berperilaku seenaknya.
Merasa tidak ada gunanya untuk melibatkan anak-anak lain, Rosalind pun akhirnya memutuskan untuk memanggil mereka berdua ke dalam ruangannya. "Kalian berdua, ikut aku ke ruangan!"
"Saya akan membereskan tas saya dulu Nona Rosalind, baru saya akan ke ruangan Anda. Beri saya waktu lima menit untuk melakukannya."
Kembali menelan ludahnya, Rosalind mengangguk. "Baik. Kau lakukanlah itu, Thunder. Kau bantu dia, Evie."
"Apa! Kenapa aku harus melakukannya? Aku tidak salah! Aku-"
"Genevieve!?"
Suara Rosalind yang biasanya halus dan lembut terdengar menggelegar di dalam ruangan, membuat situasi langsung hening. Dengan tatapan tegas, Rosalind memandang Genevieve yang tampak mulai gemetar.
"Genevieve, aku selalu mengajarkan agar saling membantu sesama teman. Siapa pun yang berbuat salah, sebagai teman kita harus saling memaafkan. Tidak pernah sekali pun aku mengajarkan kalian untuk bersikap sombong dan tidak mau membantu sesama. Sekarang, apakah Thunder temanmu atau bukan?"
Kepala kecil itu menunduk. Ia masih sesegukkan.
"Jawab aku, Evie. Thunder itu temanmu atau bukan?" Kali ini suara Rosalind jauh lebih lembut, dan akhirnya kepala kecil itu pun mengangguk.
Tersenyum, tangan Rosalind mengusap lembut kepala anak perempuan yang memang keras kepala itu. Meski anak ini bandel, tapi wanita itu tahu kalau anak ini tidak jahat. "Kalau Thunder temanmu, apakah kau mau membantunya untuk membereskan tasnya?"
Kembali kepala kecil itu mengangguk dan tanpa diminta, ia langsung menghampiri bocah lelaki yang masih berdiri mematung. Kepalanya masih tertunduk saat ia berbicara lirih. "Aku akan membantumu..."
Gabriel mengerjapkan kedua matanya dan mengangguk kaku. Ia juga ikut berjongkok dan memperhatikan anak perempuan bandel itu yang luluh begitu saja karena perkataan gurunya. Keduanya pun membereskan barang-barang yang terserak di lantai dan memasukkannya kembali ke tas punggung Gabriel.
Melihat permasalahan terselesaikan, Rosalind menepuk kedua tangannya. "Kalau kalian saling memaafkan, maka aku tidak akan meminta kalian berdua untuk datang ke ruanganku. Aku juga akan sangat bangga pada kalian. Thunder? Evie? Apakah kalian berdua mau saling bermaafan?"
Tampak Gabriel menghela nafasnya, tapi ia mengangguk. Tangannya terulur ke depan. "Maaf."
Bukannya membalas uluran tangan itu, Genevieve malah melompat dan memeluk tubuh kecil Gabriel dan membuat kedua mata hitamnya melotot.
"Maafkan aku, Thunder. Aku yang salah!"
Anak perempuan kecil itu dengan berani mengecup pipi bocah lelaki yang masih membeku itu dan sambil melepas pelukannya, ia nyengir pada gurunya yang juga tampak takjub dengan kelakuannya.
"Kenapa kau menciumnya, Evie?"
"Aku suka Thunder, Nona Rosalind! Dalam pentas nanti, aku mau Thunder jadi pangerannya!"
"Oh? Kau suka pada Thunder? Jangan-jangan kau tadi mau menarik perhatiannya? Dengan menjatuhkan tasnya ke lantai? Aku benar, Evie?"
Tersipu malu, Genevieve mengangguk. "Iya, Nona Rosalind. Maafkan aku, Thunder. Hehe..."
JEDARRR!?
Jangan mengumpat. Jangan mengumpat. Tahan emosimu, Gabriel...!
Sepertinya cobaan demi cobaan masih belum selesai bagi seorang Gabriel. Perjalanannya masih akan sangat panjang, sebelum ia bisa mendapatkan kehidupan normalnya nanti.
Itu juga jika jalan hidup Thunder Gabriel Hamilton memang ditakdirkan untuk normal.