"Kau sudah mengirimnya?"
"Sudah, Gabriel. Kau telah menanyakannya untuk kesekian kalinya hari ini."
"Karena aku belum menemukannya."
"Itu karena belum waktunya. Kau akan menemuinya saat memang sudah waktunya. Kau tahu sendiri kalau roda takdir bergerak dengan cara yang aneh. Bahkan kita para malaikat, tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya. Hanya diri-Nya lah yang mengetahui rahasia ini."
"Ya. Aku tahu soal itu, Michael. Aku hanya ingin agar periode reinkarnasi-ku ini cepat selesai dan aku bisa segera kembali ke sini. Hidup sebagai seorang manusia di dunia ternyata tidak segampang itu."
"Aku sudah memperingatkanmu dari awal bukan? Jangan main-main dengan yang namanya reinkarnasi."
Michael memperhatikan rekannya yang menarik nafas dalam. Tampak pria itu berusaha mengulum tawanya yang hampir tersembur keluar saat ini. Ia sedikit berdehem sebelum berbicara kembali.
"Aku perhatikan, akhir-akhir ini tampaknya emosimu naik-turun, Gabriel. Tidak seperti dirimu yang biasanya. Apakah ada yang terjadi dalam kehidupanmu sebagai Thunder?"
Kembali Gabriel menghela nafasnya. Raut pria yang biasanya tanpa ekspresi itu kali ini terlihat frustasi.
"Aku tidak paham, bagaimana mereka melakukannya, Michael. Baru menjalaninya beberapa waktu ini saja, sepertinya aku mulai tidak paham dengan yang namanya manusia dan segala ke-absurd-an mereka."
Mata biru Michael mengerjap cepat. Pria itu tampak bingung. "Ke-absrbbb-an apa?"
"Absurd!"
"Ohhh... Absurddd..."
Terlihat tampang Gabriel yang sebal memandang rekannya. Ia akui akhir-akhir ini emosinya memang cepat naik, mungkin karena banyak hal yang sedang dialaminya sebagai Thunder Gabriel.
Cengiran Michael yang menyebalkan mulai muncul. "Apa masalahmu di sana? Sebelumnya kau tidak pernah membahas mengenai masalah manusia dan persoalan mereka di dunia. Apa yang menarik?"
Menggaruk keningnya, Gabriel berfikir mungkin ia perlu mendiskusikan mengenai hal ini pada seseorang. Meski malu, tapi lama-lama pria itu ternyata butuh bantuan juga dan perlu sudut pandang dari pihak lain. Mungkin pendapat Michael bisa membantunya dalam mengatasi masalahnya.
"Hum... Apa yang kau ketahui tentang h*srat manusia?"
"Bisa lebih spesifik? Karena sama sepertimu, aku juga tidak terlalu memahami mereka terkecuali bahwa raga mereka selalu dipenuhi oleh n*fsu, tapi juga dibatasi dengan sisi moral dan juga logika."
Perlahan, tubuh Gabriel menghadap rekannya. Ia tampak tertarik dengan penjelasan itu.
"Tolong jelaskan."
"Pengetahuanku cukup terbatas, Gabriel. Tapi aku akan coba memberi penjelasan yang mudah dimengerti. Sederhananya, manusia tidak sama seperti kita atau pun iblis. Raga manusia dapat hancur seiring waktu dan dengan batasan itu, maka ia diberikan berkah untuk merasakan nikmatnya dunia. Mereka juga diberikan pilihan untuk berbuat dosa, sekaligus juga untuk melakukan kebaikan di dalamnya."
"Dua hal itu yang dihitung saat jiwa-jiwa mereka kembali ke sini."
"Benar. Mereka tidak seperti iblis yang memang dikuasai n*fsu, atau pun kita yang dengan batasan moral sangat kuat. Manusia memiliki h*srat yang jauh lebih besar daripada kita. Tapi mereka juga diberikan otak untuk berfikir dan memilah. Manusia diberikan kekuasaan untuk memilih, Gabriel. Berbeda dari kita dan juga iblis, yang sedari diciptakan sampai dunia hancur nanti, takdir kita ada di tangan-Nya."
Gabriel tampak terpekur dengan penjelasan yang sebenarnya sudah diketahuinya itu. Pandangannya terlihat kosong ke depan. "Dan sekarang, aku terjebak di dalamnya, Michael."
"Kau tidak terjebak, Gabriel. Hanya saja, kau berada dalam persimpangan. Tubuh mortalmu memiliki h*srat yang tidak akan bisa kau tahan. Tapi di dalam, kau adalah Gabriel sang sumpreme. Meski kau adalah malaikat agung tapi saat di dunia, tidak semua hal bisa kau kontrol. Ibarat hatimu berkata 'tidak', tapi tangan dan mulutmu akan berkata 'ya'. Semua tindakanmu akan tergantung pada seberapa besar moralmu nanti."
Memandang intens rekannya, Michael bertanya hati-hati. "Apakah telah ada sesuatu yang terjadi di sana?"
Kepala berambut hitam itu menggeleng pelan. "Untuk saat ini belum. Tapi aku tidak akan seyakin ini di masa mendatang, Michael. Terus terang, aku cukup khawatir sekarang."
Menelan ludahnya kasar, benak Michael mulai dipenuhi oleh bayangan-bayangan mengerikan. Ia bertanya kembali. "Gabriel. Katakan padaku, sebenarnya apa yang terjadi padamu di sana?"
Wajah Gabriel tampak pucat saat pria itu menoleh pada Michael. Jakunnya naik-turun dengan intens dan ia berkata sangat lirih, hampir tidak terdengar. "Aku bermimpi."
Kedua alis pirang Michael berkerut dalam. Ia semakin mendekatkan kepalanya pada Gabriel. Keduanya tampak seperti sedang berbisik-bisik. "Mimpi? Seperti bunga tidur? Memangnya kau mimpi apa?"
Terlalu malu dengan pengalamannya, Gabriel mendekat dan berbisik ke telinga Michael. Dan apa yang dikatakan olehnya, perlahan membuat pipi pria pirang itu merona merah. Saat kepala keduanya menjauh, ia menatap mata hitam Gabriel dengan menyelidik. "Kau benar-benar memimpikan itu?"
Raut Gabriel yang masih tampak berfikir, mengangguk sebagai jawabannya.
"Kau bermimpi hal seperti itu? Sebagai Thunder Gabriel Hamilton?"
Sekali lagi, kepala Gabriel mengangguk. "Dan itu tidak cuma sekali, Michael. Tapi cukup sering dan biasanya di pagi hari atau..."
Diamnya Gabriel membuat Michael semakin penasaran. "Atau...?"
Sangat dalam udara yang diambil Gabriel sebelum akhirnya ia berkata lagi. "Atau saat aku menyentuh lawan jenisku. Sengaja atau tidak."
Mulut Michael membentuk bulat, sebelum akhirnya ia mengeluarkan suara. "Oh! Wow...!"
"Aku cukup khawatir. Meski saat ini belum ada yang bisa membuat h*sratku sebagai manusia naik melebihi batas, tapi aku tahu kalau tubuh Thunder Gabriel memiliki dorongan yang cukup besar untuk melakukan hal yang aku mimpikan, Michael. Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Terlihat kedua mata biru Michael mengamati pria di depannya. "Kau tengah mengalami akil baliqh, Gabriel."
"Aku tahu itu, Michael. Karenanya aku cukup khawatir! Bagaimana kalau aku tidak bisa menahan diriku?"
Melihat temannya sedikit panik, Michael memegang kedua lengan atas Gabriel. Berusaha menenangkannya. "Tenanglah, Gabriel. Seperti kataku tadi, manusia diberikan kesempatan dan kebebasan untuk memilih. Kau bisa memilih untuk tidak melakukan hal yang kau benci. Kau memiliki kekuatan itu. Jangan mudah menyerah hanya pada n*fsumu. Ingatlah itu!"
Kata-kata dari Michael tampak membuat Gabriel sedikit tenang. Tampak pria itu menarik nafas panjang beberapa kali. Ia juga mengusap d*danya sendiri dengan pelan. "Kau benar. Aku sendiri yang punya kuasa atas tubuhku. Meski aku hanyalah roh yang menumpang, tapi Thunder Gabriel adalah tetap ciptaanku. Reinkarnasi dari bagianku. Aku yang lebih memiliki kontrol terhadap dirinya."
Senyuman lebar terlihat di bibir Michael. Pria itu menepuk keras bahu Gabriel. "Bagus. Itu yang ingin aku dengar dari seorang Gabriel. Semua kontrol ada pada tanganmu. Jangan pasrah begitu saja, karena sekarang kau adalah malaikat yang memiliki raga di dunia."
Melihat temannya telah tenang, Michael melipat kedua tangannya di depan d*danya dan memasukkannya ke dalam jubahnya. Badannya meneleng, mendekat pada Gabriel. "Hum... Tapi mengenai ceritamu tadi, aku cukup penasaran sebenarnya."
Tatapan Gabriel terarah pada Michael dan sama seperti temannya, ia juga melakukan postur yang sama. "Penasaran? Bagian yang mana?"
"Yang mimpimu tadi. Hum. Meski tubuh manusia dengan kita identik, tapi ternyata ada bagian yang tidak memiliki fungsi yang sama dengan mereka. Aku ingin tahu, apa saja yang kau impikan saat itu, Gabriel?"
Muka Gabriel tampak berfikir sejenak. "Seperti yang aku bilang tadi. Aku melihat ada dua orang, laki-laki dan perempuan. Keduanya polos, sama sekali tidak berbusana dan tubuh mereka saling menempel erat."
Dengan raut bertanya-tanya, Michael meletakkan salah satu tangannya di bawah dagunya. "Polos? Tidak berpakaian? Ke mana baju mereka? Apa yang mereka lakukan?"
"Aku juga tidak tahu. Yang jelas, mereka melakukan gerakan-gerakan yang menurutku aneh. Dan keduanya mend*sah dan mengeluarkan suara rintihan. Aku hanya tahu, saat aku masih berada di dalam tubuh Thunder Gabriel, badanku tiba-tiba berkeringat dan terasa panas. Benda yang tadi aku ceritakan menjadi mengeras, dan mengeluarkan suatu cairan lengket. Bukan air seni atau darah. Hanya cairan putih yang kental."
"Kau sudah mencari tahu apa itu?"
Gabriel mengangguk. "Namanya sp*rma, yang digunakan untuk proses reproduksi. Dikatakan manusia dapat menghasilkan keturunan melalui aktivitas yang tadi, dan bisa memiliki anak kalau cairan itu dikeluarkan di dalam tubuh perempuan. Secara teori seperti itu."
Mengernyit jijik, Michael mendengus. "Apa enaknya memiliki keturunan melalui kegiatan yang sepertinya jorok itu? Saling bertukar cairan pula?"
"Aku juga tidak paham, Michael. Hanya saja dari informasi yang aku dapat, sepertinya kegiatan itu cukup disukai oleh para manusia. Karena di sekolah, aku sering melihat pasangan pria-wanita yang saling bertukar air liur dari mulut mereka. Aku juga bahkan pernah memergoki beberapa di antaranya hampir membuka baju dan melakukan kegiatan yang aku ceritakan tadi padamu. Mereka sepertinya senang bertukar cairan."
"Iyuhhh...!?" Raut Michael semakin terlihat berkerut jijik mendengar cerita Gabriel.
"Aku semakin ingin muntah mendengar ceritamu, Gabriel. Sudah cukup."
Kekehan pelan akhirnya keluar dari mulut Gabriel. "Aku yakin kau akan menjadi semakin merasa mual kalau melihatnya sendiri. Makanya aku bilang kalau kelakuan manusia itu sangat absurd."
Perlahan, keduanya mulai melayang-layang kembali menuju salah satu taman suci. Menoleh pada Michael, Gabriel bertanya pada temannya itu. "Aku sebenarnya heran, Michael. Karena kau yang bertanggungjawab terhadap proses reinkarnasi para manusia, aku kira kau cukup familiar dengan ceritaku tadi dan bahkan mungkin tertarik untuk mempelajari lebih jauh tentang mereka."
Kepala Michael menoleh pada temannya dan tampak rautnya yang masam. "Seperti yang berkali-kali sudah kukatakan padamu Gabriel, aku hanya menjalankan tugas yang menjadi tanggungjawabku. Urusan di luar itu sama sekali tidak menarik minatku. Mau mereka jungkir-balik atau apapun itu yang penting saat mereka datang ke wilayahku sebagai bola jiwa, mereka menuruti aturan mainku. Aku tidak berminat mencari tahu lebih jauh mengenai kehidupan mereka saat masih memilii raga di dunia sana."
Menepuk bahu Michael, terdengar kembali kekehan Gabriel. "Sepertinya pendapat semua orang yang ada di sini salah, Michael. Ternyata kau adalah sosok yang jauh lebih dingin dari aku."
Menganggapnya sebagai pujian, Michael tersenyum miring. "Hem. Boleh juga. Aku mau saja dijuluki Michael si gunung es, menggantikan dirimu."
Dan sambil tertawa keduanya mulai menjalankan tugas mereka sebagai pengawas jiwa-jiwa murni di sana.