Lelaki yang patah hati itu akhirnya memeluk erat tubuh wanita yang dicintainya dan menangis tersedu-sedu. Berulang kali kata-kata maaf terucap dari bibirnya. Selama beberapa waktu, pria itu hanya memangku dan menimang-nimang tubuh mungil yang sudah tidak bernyawa di pelukannya. Rasa bersalahnya sama sekali tidak terkira pada wanita ini. Hanya karena ingin memberikan hadiah pada gadis yang dicintainya, ia telah menyebabkan gadis itu kehilangan nyawanya.
Hanya karena hadiah kecil... Hanya karena sesuatu yang tidak berarti, ia telah menjadi penyebab hilangnya nyawa wanita yang baru pertama kali ini dicintainya...
Kesedihannya yang besar tampak terkoneksi dengan cuaca yang sedang menggila saat ini. Dan puncaknya, Terrence pun menengadahkan kepalanya dan berteriak sangat kencang ke arah langit-langit kandang ternak itu. Bersamaan dengan teriakannya, setiap pasang mata yang sedang memandang bangunan tua itu tampak membelalak saat kilatan petir yang sangat terang menghantam kandang itu dan menyebabkannya terbakar.
Dengan panik, semua orang yang ada di sana segera mencari sumber air dan tertegun bersamaan saat menengadah melihat langit yang masih memuntahkan muatannya. Mereka pun akhirnya berhenti dan menelan ludah, saat melihat bangunan tua itu yang semakin membara di telan api, meski air yang turun dari langit semakin lama semakin menderas.
Malam itu, badai mengguncang Jerman dan menyebabkan titik-titik banjir yang cukup mengkhawatirkan. Dan di saat fenomena alam yang aneh itu terjadi, Terrence Gabriel Hamilton menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pria itu ditemukan sedang memeluk seseorang di pangkuannya dan tubuh keduanya terbakar dengan sempurna. Hans Bauer pun akhirnya dihukum seumur hidup karena perbuatannya dan hati terdalam pria itu, merasakan rasa bersalah yang besar karena peristiwa tragis malam itu.
Untuk pertama kalinya semenjak ia bereinkarnasi, Gabriel merasakan penyesalan yang sangat mendalam. Baru kali inilah ia menyebabkan jiwa yang tersesat itu meninggal karena dirinya, membuat pria itu shock. Ia akhirnya mau turun lagi ke bumi, setelah memastikan kalau ia tidak meninggalkan luka pada bola silver itu. Dan perasaan Gabriel pun perlahan mulai berubah. Ia mulai menyayangi jiwa itu, tanpa disadarinya.
Perasaan pria itu yang berubah, sedikit demi sedikit pun mulai merubah jalinan takdir mereka berdua. Lelaki itu belum menyadarinya tapi nanti, ia akan mengetahuinya sendiri dalam sosok reinkarnasinya yang terakhir.
***
"Jadi, Kakek Terrence..."
"Ya... Kakakku meninggal begitu saja, dalam keadaan yang menyedihkan... Aku baru berusia 11 tahun ketika kejadian itu dan sama sekali tidak bisa melupakannya. Sampai akhirnya Gabriel lahir ke dunia."
Sharon tampak tertegun dengan cerita Grandmamma. Akhirnya ia paham, kenapa wanita tua ini terlihat sangat menyayangi cucunya yang satu itu. "Karena itu Nana sangat menyayangi Theodore... Karena ia memiliki wajah yang sangat mirip dengan Kakek Terrence."
Kepala Grandmamma menggeleng pelan. "Tidak hanya wajahnya, sayang. Bahkan nasibnya pun sangat mirip dengan kakakku itu. Ketika Gabriel lahir ke dunia dalam keadaan badai hujan, entah kenapa aku sudah merasakan firasat yang cukup buruk..."
Terdiamnya Grandmamma dalam bercerita membuat Sharon penasaran. "Firasat buruk apa, Nana?"
Memandang cucu menantunya, Grandmamma menelan ludahnya. Ia pun akhirnya tersenyum dan menepuk kepala wanita muda itu dengan lembut.
"Tidak ada, sayang. Tidak usah difikirkan. Yang paling penting sekarang adalah kalian menyayangi Thunder, anak kalian berdua. Didiklah dirinya dan berilah kasih sayang pada anak itu, agar ia dapat tumbuh dengan baik dan tidak memiliki takdir seperti pendahulunya dulu. Tuhan memang telah menetapkan garis hidup seseorang, tapi manusia diberikan kekuatan untuk membuat nasibnya menjadi lebih baik."
Memegang kedua tangan Sharon di genggaman tuanya, Grandmamma mer*mas tangan muda itu. "Dan tugas orangtualah untuk dapat memastikan kalau keturunan kita dapat memiliki hidup yang jauh lebih baik dibanding kita dulu. Kamu paham, sayang?"
Meski masih belum puas dengan penjelasan Grandmamma yang terhenti tapi Sharon berusaha tersenyum. Ia menyadari mungkin kisah hidup Terrence Gabriel terlalu menyakitkan untuk diceritakan kembali oleh Grandmamma. "Aku mengerti, Nana. Aku dan Stephen akan berusaha menjadi orangtua yang baik untuk Thunder. Terutama karena kami berdua memang sudah menanti-nantikannya sejak lama."
Menepuk tangan Sharon, perlahan Grandmamma pun bangkit dari duduknya dan langsung menuju box bayi yang ada di ruangan itu. "Mana cicitku?"
Terdengar kekehan pelan dari Sharon. Wanita muda itu pun bangkit dari duduknya dan berdiri di sebelah wanita tua itu. Senyuman yang sangat lembut terpatri di ibu muda itu. "Wajahnya sangat damai ya, Nana?"
Tangan tua Grandmamma mengelus pipi bayi yang m*ntok dan halus itu. "Ya... Dia sangat damai..."
Di hatinya yang terdalam, Grandmamma berdoa agar cicitnya ini tidak mengalami nasib yang sama seperti para leluhurnya sebelumnya. Ternyata, cerita yang pernah disampaikan oleh orangtuanya dulu bukan hanya sekedar mitos belaka. Cerita itu benar adanya kalau anggota keluarga Hamilton yang bernama Gabriel, akan membawa kesuksesan keluarga namun juga akan menemui ajal di usianya yang ke-33. Dan lingkaran itu akan terus berulang, entah sampai kapan.
Wanita tua itu baru akhirnya percaya pada mitos tersebut, saat menyaksikan sendiri kematian dua orang yang sangat disayanginya dalam rentang masa hidupnya yang cukup panjang.
Thunder Gabriel Hamilton. Semoga kali ini, Tuhan berbaik hati dalam memberikan takdir untukmu...
Sementara itu, bayi yang sedang tertidur dan dielus-elus kepalanya itu saat ini berada dalam keadaan trans dan membuatnya berada dalam dunia nyata sekaligus dalam dimensi yang berbeda.
Jiwa bayi itu tampak melayang-layang di suatu tempat yang terang dan berwarna putih bersih. Kebingungan, jiwa itu memandang ke bawah dan tampak sepasang tangan pria yang sedang terbuka ke arahnya. Jiwa itu kemudian menyadari, kalau ia ternyata memiliki bentuk fisik saat ini.
Aku memiliki tubuh? Aku bukan hanya sekedar materi lagi? Seperti apa tampangku-
Tiba-tiba, muncul sebuah kolam jernih beberapa meter di depannya. Mengikuti dorongannya, jiwa itu pun melangkahkan kedua kakinya yang terdengar berderap pelan, saat menginjak lantai tidak kasat mata yang juga berwarna putih di bawahnya.
Sesampainya di samping kolam dengan gemetar, jiwa itu mengintip sedikit demi sedikit ke dalamnya. Pantulan air yang jernih tampak menampilkan rambut yang berwarna hitam. Keberaniannya pun terkumpul membuatnya semakin mendekati permukaan air itu dan barulah ia dapat melihat keseluruhan tampangnya.
Sosok yang ada di permukaan itu memiliki wajah yang tampan, tapi jiwa itu tidak bisa menilainya. Ia hanya bisa melihat kalau dirinya memiliki dua mata yang berwarna hitam. Hidungnya mancung dan lurus, saat ia sedikit menoleh ke samping dan memperhatikannya. Ia juga memiliki mulut dan giginya kecil-kecil serta tampak dua taringnya yang cukup panjang, ketika dirinya menyeringai. Dagunya sedikit berbelah.
Hum? Tampang ini seperti pernah aku lihat sebelumnya.
Sebelum jiwa itu dapat berfikir lebih jauh lagi, terdengar suara yang berat dari arah belakangnya.
"Kau memang pernah melihatnya. Karena kau adalah aku, Theodore Gabriel."
Terlonjak kaget, jiwa itu menoleh ke belakang dan menatap sosok yang tiba-tiba muncul di depannya. Ia mulai mundur ketakutan dan ketika melihat ke bawah, kolam yang tadinya memantulkan dirinya ternyata sudah lenyap tidak berbekas. Menghilang begitu saja.
Kembali memandang sosok di depannya, jiwa itu melihat seseorang berjubah putih dan kedua sayapnya yang besar juga agung, terlihat terbuka lebar di sisinya dan memperlihatkan bulu-bulu yang sangat halus dan memantulkan cahaya yang sangat menyilaukan. Sosok berjubah putih itu melayang-layang di depannya dan tidak lama, sosok itu pun turun dan menyentuh lantai di bawahnya yang tidak kasat mata.
Menelan ludahnya, jiwa itu memperhatikan sosok itu perlahan menyerap semua cahaya yang tadi sangat membutakan mata dan sayapnya yang besar perlahan terkepak, menutup dan pada akhirnya menghilang.
Yang ada di hadapannya sekarang adalah sosok seorang pria yang berjubah putih dan perlahan, orang itu membuka tudung kepalanya. Hampir saja jiwa itu terjungkal, ketika melihat wajah yang benar-benar identik dengan wajah yang baru saja dilihatnya di kolam. Pria itu memiliki tampang yang sama dengan dirinya.
Dan tanpa diduga, sosok agung itu tiba-tiba saja sudah berada di depannya dan tangan kirinya berada di kepalanya. Jempol pria itu menekan bagian tengah pelipisnya dan bagian itu mulai bersinar terang. Jiwa itu seolah terhipnotis, membuatnya hanya bisa berdiri membeku di depan sosok itu.
"Theodore Gabriel Hamilton. Kau telah dilahirkan kembali sebagai Thunder Gabriel Hamilton. Misimu adalah menemukan jiwa tersesat bernama Kat, dan menyucikannya agar ia dapat naik menuju surga. Kau juga harus dapat menemukannya sebelum usiamu 33 tahun. Dan sebelum itu, kau harus mengatakan kalau-"
Sejenak, Gabriel terdiam. Ia kemudian memandang kembarannya yang tampak menatapnya dengan tatapan kosong. Mengkonsentrasikan dirinya ke salah satu mata hitam kembarannya, mata Gabriel melebar ketika dirinya ditarik masuk dengan kuat ke dalam kegelapan di dalam sana.
Tubuhnya bergulung-gulung di dalamnya dengan cepat dan akhirnya berhenti secara perlahan. Ia melayang-layang dalam kegelapan yang pekat itu, dan satu demi satu ingatan dari jiwa ini mulai muncul dalam bentuk bayang-bayang halus yang saling berkelebat silih berganti.
Dengan tenang, Gabriel mengintip satu demi satu ingatan dari Theodore Gabriel semasa hidupnya. Meski Theodore adalah reinkarnasinya, tapi Gabriel tidak pernah merasakan keterikatan emosi dengan sosoknya yang hidup di dunia. Mereka hanyalah materi yang diciptakannya dan bersifat sementara. Tidak abadi.
Ia baru akan keluar dari lingkaran memory itu saat melihat ada satu ruang kosong tanpa gambar.
Hal yang membuatnya tertarik adalah ruangan kosong berbentuk bola itu tampak berputar-putar pelan, seolah ingin mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Gabriel tahu, ruangan kosong biasanya terbentuk karena rasa penyesalan yang besar dan merupakan manisfestasi dari urusan manusia yang belum terselesaikan. Hal inilah yang membuat para jiwa yang baru meninggalkan raganya tidak bisa diproses untuk dihitung amal perbuatannya, sehingga butuh reinkarnasi beberapa kali guna menyelesaikan dulu urusan mereka di dunia.
Mendekat pada bola yang masih berputar itu, Gabriel menimangnya di tangan kirinya dan tanpa diduga, bola itu tiba-tiba membuka dan apa yang ada di dalamnya menerjang masuk ke dalam kepala pria itu.
Dorongan yang sangat kuat itu, akhirnya membuat roh Gabriel terpental keluar dan tubuh pria itu terhentak sedikit kencang ke belakang. Kedua matanya mengerjap cepat dan ia melihat, kalau ia masih berada dalam posisi yang sama seperti tadi. Tangannya masih berada di kepala Theodore yang mematung. Apa tadi?
Selama beberapa saat Gabriel hanya memandang kembarannya. Mulutnya baru saja akan terbuka untuk merapal manteranya kembali, ketika kedua matanya terlihat berkaca-kaca. Ingatan Theodore yang tanpa sengaja diserapnya mulai muncul di dalam kepalanya, membuat salah satu sudut matanya perlahan mengeluarkan sedikit air. Pria itu tertegun dalam berdirinya.
Saat ingatan itu akhirnya selesai berkeliaran di kepalanya, Gabriel kemudian menurunkan tangannya dari pelipis Theodore dan ia memandang kembarannya yang masih mematung.
"Sesakit itukah rasanya, Theodore Gabriel? Aku tidak pernah mengetahuinya selama ini."
Sebagai gantinya, tangan kanan Gabriel memegang leher Theodore dan bagian yang disentuhnya pun mulai bersinar. Pria itu memandang kembarannya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maafkan aku. Aku tidak pernah tahu penderitaan kalian. Untuk kali ini, biarlah aku yang menanggungnya. Agar aku bisa merasakan apa yang telah kalian rasakan selama ini."
Dan selesai mengatakan itu, cahaya yang keluar dari tangan Gabriel perlahan menyelimuti tubuh pria itu dan akhirnya sosok Gabriel pun menyatu dengan kembarannya.
Selama beberapa saat, hanyalah warna putih yang ada di benak pria itu. Ia merasakan tubuhnya melayang-layang dengan cara yang aneh. Dan barulah ia membuka kedua matanya, saat mendengar suara lembut di depannya. "Thunder... Bangun, sayang. Kita makan yuk."
Pria itu awalnya terdiam dalam sosok bayi tapi matanya kemudian membesar, saat ia melihat untuk pertama kalinya aset yang menjadi aurat seorang wanita terpampang dengan jelas di depan matanya. Ia pun hanya bisa menatap dengan horor saat salah salah satu ujungnya yang berwarna merah muda besar dijejalkan dengan paksa ke dalam mulut mungilnya. "Uhm...!"
Saat ini, sepertinya Gabriel mulai menyesal dengan keputusannya untuk menggantikan Theodore.