Tuhan, Kenapa Aku dibedakan?
Bab 5
Mulai melawan
“Mbak Saroh, apa benar semua yang Mbak Saroh katakan kemarin sore, di rumah mbak Sumini? Vita diberi racun sama Dina?” tanya bude Fatimah seraya melirikku sekilas. Ya Allah, rupanya bude Saroh tak hanya memfitnahku di depan keluarga, namun juga ke rumah tetangga. Perginya bude Saroh ke rumah-rumah tetangga hanya untuk bergosip membicarakan aib yang tak semestinya.
“Iya benarlah. Untuk apa juga saya berbohong Mbak Fat? Anak haram ini sangat tidak tahu diri. Masih syukur kita mau menampungnya di rumah ini, kalau tidak, sudah jadi gembel di luar sana,” ujar bude Saroh berapi-api.
“Lah kenapa tidak disuruh tinggal sama mbahnya yang satunya saja? Sudah tidak punya orang tua kok malah bertingkah. Kalau saya sudah tak laporkan polisi. Biar dijebloskan sekalian di penjara,” ucap bude Fatimah terdengar ketus. Aku masih diam, malas menanggapi kedua biang gosip itu.
“Maunya begitu, tapi kalau si Dina tinggal di sana, siapa yang mau mengerjakan pekerjaan rumah, Mbak Fat? Saya mah ogah. Ada untungnya memelihara anak haram ini, saya tak perlu melakukan apa pun di rumah ini. Bangun tidur, langsung makan. Mau jalan tinggal jalan. Apalagi sebentar lagi Vita mau masuk TK, jadi saya bisa leluasa mengantarkan Vita ke sekolahnya,” seloroh bude tanpa mau menutupi. Dasar bude Saroh, aib sendiri kok dibuka.
“Wah, enak ya sampean. Tidak melahirkan Vita tapi bisa merawatnya. Hitung-hitung obat sepi karena sampean tidak punya anak. Nikah lagi dong mbak Saroh. Bikin lagi kalau perlu sama seperti si kembar dulu. Langsung dua,” timpal bude Fatimah sembari terkekeh seolah yang diucapkan mengandung kelucuan.
“Enggak bisa Mbak. Umur sudah empat puluh lebih, mana boleh punya anak lagi? Yang ada nanti saya menyusul kedua anak saya ke kuburan. Ogah ah, melahirkan itu sangat berisiko.”
“Lah, malah bagus kalau meninggal pas melahirkan, masuk Surga, enggak kayak adikmu yang meteng nganggur itu, sudah pasti jaminanya neraka.” Entah kenapa aku tidak terima degan ucapan bude Fatimah. Sebesar apa pun dosa mamak, namun Allah Maha Pemaaf. Apalagi Mamak pergi setelah bertobat, dosa mamak telah berkurang. Kuberanikan diri menatap bude Fatimah yang menyebalkan ini.
“Bude bukan Tuhan, jangan sok tahu. Bagaimana dengan bude Fatimah sendiri? Yakin akan masuk Surga? Setiap hari kerjanya membicarakan keburukan orang, menggosip tak tahu waktu, balasannya di akhirat nanti, Bude akan memakan bangkai. Ya, bangkai dari orang-orang yang Bude bicarakan keburukannya,” selaku.
Mata itu kini mendelik menatapku. Tak hanya bude Fatimah, bude Saroh pun tatapannya tak kalah sengit.
“Halah, bocah haram kok ceramah. Ora kanggo ceramahmu kuwi. Kowe ngerti opo ora, kabeh sing haram melebune neng Neroko.”
(“Halah, bocah haram kok ceramah. Tidak berguna ceramahmu itu. Kamu tahu tidak, semua yang haram, masuknya ke Neraka.”
“Yang salah perbuatan bapak dan mamakku. Aku tetap terlahir suci tanpa membawa dosa mereka. Bude mending pulang saja. Atau mau aku adukan ke pakde Abdullah?” ucapku penuh ancaman. Bude Fatimah langsung pias. Mana berani dia sama pakde Abdullah? Suaminya bude Fatimah adalah seorang kiai. Entah kenapa pakde Abdullah punya istri biang gosip seperti bulek Fatimah? Mungkin saja pakde Abdullah tidak tahu menahu kelakuan istrinya di luar rumah.
“Berani kamu ngomong begitu sama mbak Fatimah, hah?! Suci matamu! Anak lahir dari kebejatan orang tua kok mengakunya suci? Ora duwe isin belas.”
(“Beraninya kamu ngomong begitu sama mbak Fatimah, hah?! Suci matamu! Anak lahir dari kebejatan orang tua kok mengakunya suci? Enggak punya malu sama sekali.”)
“Sudahlah Bude. Dina selama ini tidak melawan bukan berarti Dina terima perbuatan jahat Bude ke Dina. Di setiap solat, Dina selalu melangitkan doa yang sama. Apa Bude tidak takut kena karma selalu jahat padaku? Aku memang tidak ada yang membela, namun aku ada yang punya. Allah akan membalas perbuatan Bude suatu saat nanti.”
“Cuih, doa anak haram sepertimu tidak akan didengar. Mau mulutmu sampai berbusa sekali pun, tidak akan pernah dikabulkan.”
Bude sangat keras hatinya. Selama ini, dia tidak pernah solat, apalagi mengaji. Padahal mbah buyut mendirikan masjid pribadi di depan rumah, tujuannya agar anak dan cucunya tidak perlu jauh-jauh mencari tempat ibadah. Masjid Darussalam, masjid pertama yang berdiri di desaku. Tiap hari selalu ramai orang solat dan mengaji, mbah Kakunglah yang mengajar setiap selesai salat magrib. Apalagi setiap puasa dan lebaran, masjid akan penuh sampai ke pelataran luar.
“Jangan terlalu percaya diri Bude. Anak yang selalu Bude katai anak haram ini, dia punya Tuhan. Apa pun yang dia minta, Insyaallah akan dikabulkan.”
“Kamu ini kok melawan terus sama budemu? Sudah syukur budemu mau merawatmu. Bukannya berterima kasih, malah kurang ajar,” ucap bude Fatimah membela bude Saroh.
“Dina tidak pernah melawan Bude. Baru hari ini Dina berani sama bude Saroh. Sudah bertahun-tahun bude Saroh bebas menyakitiku. Dina capek Bude. Bude pun belum tentu sanggup kalau jadi Dina.”
“Lagian siapa yang sudi jadi kamu? Jadi anak haram sepertimu? Bude sih ogah. Jadi aib buat keluarga saja kok bangga. Dih, amit-amit jabang bayi.”
“Ingat, Bude punya anak perempuan. Jangan suka ngomong aneh-aneh, nanti kejadian sama anak Bude sendiri, baru tahu rasa.”
“Sudah tutup mulutmu. Kesambet setan apa kamu berani melawan? Mau aku usir dari rumah ini? Biar kamu jadi gembel di jalanan sana,” sentak bude Saroh.
Aku tak menjawab. Selesai menyuapi Vita, aku pun langsung ke kamarku. Kutinggalkan Vita begitu saja di ruang tamu. Meladeni bude Saroh dan bude Fatimah, lama-lama bisa membuatku gila. Mereka manusia yang selalu merasa paling sempurna, padahal dosa itu transparan. Dosa mereka tak terlihat.
Kurebahkan tubuhku di ranjang. Mbah putri mungkin masih di kebun, sehingga bude Fatimah bisa bebas bergosip di sini. Kalau ada mbah putri, mana berani dia datang kesini untuk bergosip?
Saat tengah asyik membaca buku pelajaran, langkah kaki terdengar mendekat dengan cepat dan ditekan.
Plak Plak
Tanpa aba-aba bude Saroh menghujani tamparan di wajahku. Bahkan buku yang berada di tanganku pun dia lempar asal dengan kasar.
“Kamu tahu siapa Fatimah? Dia istri kiai. Berani kamu kurang ajar sama mbak Fatimah, hah?! Kamu itu sudah mencoreng nama baik keluarga, sekarang hidup menyusahkan, ditambah bandelnya minta ampun, bikin malu saja. Sana, mati saja menyusul mamakmu yang sama tidak bergunanya seperti kamu. Atau mau ikut sama bapakmu sana, biar disiksa sama ibu tirimu sampai mati.”
“Ibu tiriku baik, Bude yang jahat. Lagian salah bude Fatimah sendiri kalau bicara tidak sopan. Istri kiai tapi kelakuan sangat tidak mencerminkan istri kiai. Kerjanya bergosip dan menebar keburukan. Bandel? Kenakalan apa yang sudah Dina lakukan, sampai Bude mengecapku bandel? Perintah mana yang pernah kutolak setiap bude menyuruh? Aku selalu salah di mata Bude, karena Bude membenciku.”
“Itu kamu sadar. Siapa pun, pasti akan membenci anak hasil hubungan gelap sepertimu. Tidak ada yang menyukai aib, anak setan! Kamu pergi ke rumah mbak Fatimah, dan kamu harus minta maaf. Jangan bikin malu, kamu!”
“Tidak. Untuk apa Dina meminta maaf pada orang yang sudah merendahkan mamak? Aku tidak mau,” tolakku.
“Anak kurang ajar! Rasakan ini!”
Bude kembali menarik bagian dadaku dengan kasar. Biasanya sudah kasar, kali ini jauh lebih kasar dan meninggalkan rasa perih yang menjalar. Bude juga menjambak rambutku hingga tercabut beberapa helai. Cubitan juga ia berikan berulang kali di pahaku. Mulutku pun tak lepas dadi tamparan mautnya. Muak, kesal, marah, kecewa menjadi satu. Andai badanku juga sebesar Bude, mungkin aku juga akan membalas setiap perbuatannya padaku. Sayangnya tubuhku masih mungil, dan aku hanya bisa pasrah menerima setiap kekasaran yang bude lakukan. Tidak melakukan kesalahan saja, bude tidak pernah absen menyiksaku, apalagi saat aku mulai berani melawan seperti sekarang, bude seperti orang kesurupan menghakimiku tanpa ampun.