Baju Baru Untuk Vita

1799 Kata
Tuhan, Kenapa Aku Dibedakan? Bab 4 Baju Baru Untuk Vita Hari Minggu adalah hari libur yang paling melelahkan. Sejak bangun tidur, aku sudah disuguhkan dengan bermacam pekerjaan. Aku juga telah menyelesaikan menjemur ulang pakaian yang kemarin aku cuci di sungai. Kulihat bude Saroh sudah rapi dengan pakaian terbaiknya. Bude pasti mau ke pasar untuk belanja. Aku tak berani untuk sekedar menyapa. Karena aku bukanlah keponakan yang dia harapkan. Aku selalu salah di mata bude. “Kenapa lihat-lihat? Mau aku cungkil bola matamu, hah?! Dasar anak haram!” Kuhirup udara banyak-banyak. Aku tidak boleh menangis dengan perkataan buruk bude Saroh. Aku langsung kembali ke dapur. Perutku sudah lapar minta diisi. Kuambil nasi dan lauk secukupnya. Pagi ini mbah putri yang masak. Opor ayam kampung, peliharaan sendiri. Selesai mengisi perut, aku pun mencuci piring yang sudah menumpuk. Setelah ini selesai, barulah aku meluruskan pinggangku yang mulai pegal ini sebentar. “Selesaikan mencuci piringnya, setelah itu sapu halaman. Hari libur jangan malas-malasan,” ucap bude Saroh tanpa mau menatapku. Bude Saroh langsung pergi setelah ojeknya datang. Vita pun diajaknya. Alhamdulillah, bisa sedikit santai kalau Vita dibawa Bude. Aku mempercepat mencuci piringnya. Setengah jam sendiri menyelesaikan mencuci piring. Pagi begini, semua orang sudah sibuk dengan aktivitasnya. Mbah putri pun sudah tidak ada di kamarnya. Mungkin sedang ke kebun memetik cabai. Kalau mbah Kakung, setiap paginya sudah di sawah. Akan pulang saat azan zuhur berkumandang. Selesai sudah semua pekerjaan yang bude amanatkan. Jika belum dikerjakan, rasanya begitu berat. Namun setiap harinya aku bisa menyelesaikan semuanya. Terkadang di saat aku lelah, berharap ada ibu peri yang muncul dengan tongkat ajaibnya, membantuku menyelesaikan pekerjaanku yang tidaklah sedikit. Ya, itu hanya khayalanku saja, karena sering menonton sinetron ibu peri. Nyatanya, sampai aku mandi peluh pun, ibu peri tak juga datang. Saat semua orang tidak ada dan semua pekerjaan telah usai, aku kembali ke kamarku. Kubuka jendela agar kamarku yang gelap tak bercahaya, menjadi terang. Aku suka sekali belajar di setiap hariku. Andai tidak habis waktuku untuk urusan pekerjaan rumah, mungkin akan aku habiskan untuk belajar. Kali ini aku lebih memilih membaca dan mempelajari materi lanjutan yang belum diterangkan oleh guruku. Bukan maksud mendahului, namun aku sangat suka saat pelajaran aku dengan mudah mengerjakan soal yang diminta guruku, karena sudah paham. Mendapat nilai yang baik, membuatku merasa bahagia. Ya walaupun aku sendiri yang merasakannya. Kurangnya perhatian dan kasih sayang di lingkungan rumah, membuatku semangat dan rajin belajar di sekolah, karena ingin disayang oleh para guruku. Benar saja, aku merasakan kasih sayang mereka setiap hari. Satu jam membaca dan memahami materi, tiba-tiba kantuk menyerang. Aku pun memutuskan untuk tidur sebentar. Ini baru jam 10 pagi, sebenarnya tidak boleh tidur, karena bisa menjadi penyakit, itu yang selalu orang-orang katakan, dan aku mempercayainya. Tapi mau bagaimana lagi, kantuk ini semakin terasa, dan aku pun benar-benar tidur. “Dina, bangun!” Bude Saroh mengguncangkan tubuhku dengan keras. Bahkan dia menarik bagian buah dadaku yang belum tumbuh, dengan kasar, hingga terasa sakit sekali. Bude sering kali menarik bagian itu setiap membangunkanku. Aku pernah protes, bukannya didengar, bude malah semakin keras menariknya. Aku takut bagian itu membesar sebelum waktunya karena perbuatan bude setiap hari. Dengan rasa kantuk yang belum sepenuhnya hilang, aku pun langsung duduk di sisi ranjang. Mengurut dadaku karena rasa sakitnya masih terasa. “Enak ya, ditinggal ke pasar, malah tidur. Sana bereskan belanjaan Bude! Cepat!” teriakan bude Saroh memekikkan telingaku. Dengan malas aku pun melakukan perintah bude. Apa susahnya menata belanjaan itu sendiri? Atau paling tidak menungguku sampai bangun. Kulihat jam dinding baru jam sebelas. Itu artinya aku baru tidur satu jam. Badanku yang lelah, ketemu bantal sedikit, mataku langsung mengantuk. Aku menuju tas belanjaan bude yang teronggok di sisi kulkas. Aku mengeluarkan satu-persatu belanjaannya ke atas karpet. Ada satu kantong keresek berwarna merah muda yang mencuri perhatianku. Karena penasaran, aku pun membukanya. “Baju baru,” gumamku. Kukeluarkan isinya satu persatu. Ini ukuran untuk Vita semua. Dari sepuluh lembar baju, tidak ada satu pun yang seukuran dengan bajuku. Aku mendadak tidak bersemangat menyusun belanjaan ini ke dalam kulkas. Tiba-tiba rasa isi muncul begitu saja. Salahkan aku iri dengan semua yang Vita dapatkan? Aku pun sebenarnya juga punya hak yang sama. Oh iya aku lupa, Vita punya orang tua yang bisa membalas jasa bude Saroh, sedangkan aku tidak. Kumasukkan kembali baju-baju yang sudah berantakan ke dalam kantong keresek, tanpa aku lipat ulang. Aku meneruskan menyusun belanjaan bude Saroh. Ada ikan pindang, daging sapi, tulang sapi, dan tetelan juga. Sayur-sayuran hijau juga ada. Bumbu dapur juga lengkap. Setelah selesai, aku melipat kembali karpet yang tadi aku gunakan. Kubiarkan keresek merah muda itu teronggok di lantai tanpa ada niat mengantarkan ke kamar Vita. Biarlah sepupuku yang menjadi keponakan kesayangan budeku itu yang mengambilnya sendiri. Selesai mencuci tangan, kulihat bude Saroh mengambil kantong keresek itu. Dia pun membawanya ke kamar Vita yang dekat dengan ruang tamu. “Dina!” bude Saroh kembali memekik memanggilku. Aku pun berjalan sedikit berlari menuju kamar Vita. “Kenapa kamu hambur-hambur baju Vita, hah?! Lancang! Mau dipatahkan tanganmu itu? Iya? Tanpa kamu obrak-abrik terlebih dahulu, seharusnya kamu sudah tahu baju itu dibeli untuk siapa? Kamu itu cukup memakai baju bekas yang diberikan Lestari. Aku tidak akan pernah sudi membeli baju untukmu, anak haram!” Bude Saroh menghadiahi cubitan di pahaku. Mataku berkaca-kaca menahan pedis. Sorot matanya begitu tajam dan penuh kebencian membuatku sangat takut melihatnya. “Ampun, Bude, sakit! Ampun!” teriakku yang tak dihiraukan oleh bude Saroh. Selesai mencubitku, dia pun mendorongku keluar kamar Vita dengan kasar, hingga aku terjerembap ke lantai. Vita sama sekali tak peduli denganku. Bocah itu asyik makan permen kapas tanpa mau menawariku. Aku berdiri hendak kembali ke kamarku, namun tanganku tiba-tiba dicekal oleh bude Saroh. Aku menoleh saat tangan bude Saroh dengan kasar menarik tanganku kembali ke dalam kamar Vita. “Enak saja main pergi-pergi. Lipat kembali baju baru Vita dan tata di lemari, sekarang!” perintahnya. Dengan kasar bude Saroh menghempaskan tanganku. Untung saja badanku yang mungil ini buatan Allah, kalau buatan manusia, sudah rontok dan rusak di tangan j*****m bude Saroh. Aku rapikan baju-baju baru milik Vita. Andai bude membelikan untukku juga barang satu lembar saja, mungkin hatiku tidak akan seperih ini. Kapan aku bisa membeli baju baru? Sedang mbah putri membelikan baju baru untukku saat lebaran saja. Itu pun sering kali diambil oleh bude. Aku tak boleh memakainya. Bude menyimpannya untuk diberikan pada Vita kelak. Tak sengaja aku melihat ke arah bude. Bude sedang menikmati klepon yang dicampur dengan ketan, lopis, ada parutan kelapa juga, dan disiram gula merah cair. Aku meneguk liur kala bude menyuapkan satu butir klepon utuh ke mulutnya. Ini makanan kesukaanku. “Bude, untuk Dina, mana? Dina pengen makan klepon juga Bude,” ucapku memberanikan diri. “Enggak ada. Bude hanya membeli empat bungkus, dua untuk mbah, dan satunya untuk Vita. Kamu makan nasi saja sana. Atau minta dibelikan sama mamakmu yang sudah mati itu. Sana keluar! Bikin muak saja!” usirnya. Aku pun keluar dari kamar Vita dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu Bude sangat membenci mamak karena mamak sangat baik dan dulunya disayang semua orang. Aku juga tahu sebab bude membenci mamak, juga karena bude juga menyukai bapakku. Bapak dan Mamak dulu pernah merajut cinta, namun mbah putri tidak merestui, hingga hubungan mereka kandas begitu saja. Saat mamak dan bapak menjalin cinta, bude juga menyukai bapak. Itulah awal mula bude membenci mamak. Bude tak pernah mengakui itu sebelumnya, bude mengakui semua yang dirasakannya, setelah mamak tiada. Mamak masih ada saja bude tak segan menyakitiku, apalagi sejak mamak pergi, bude lebih leluasa lagi berbuat kasar padaku. Kenapa bude membalas dendam padaku? Bahkan kematianku pun yang menjadi harapnya selama ini. Segitu tidak berartinya aku bagi bude. Anak haram, pembawa sial, aib, itu saja sebutan yang terlontar setiap hari dari mulutnya yang tajam. Aku tak pergi ke kamarku. Aku keluar rumah dan menuju makam mamak yang tak jauh dari rumah. Mbah buyut mendirikan masjid pribadi yang digunakan untuk masyarakat, lalu di belakang masjidlah, makan keluargaku berada. Salah satunya adalah pusara mamakku. Aku mendoakan mamak sebisaku. Doa yang mbah Kakung ajarkan, sedikit-sedikit aku mengerti. Selepas berdoa, aku keluarkan semua unek-unekku. Sakit sekali hidup tanpa mamak. Namun meminta mamak kembali, itu juga mustahil. Mamakku tidak bisa lagi aku temui di belahan bumi mana pun. “Ngapain, Nduk? Kok menangis?” sapa pakde Margi, tetangga yang kebetulan sedang deres. Deres artinya mengambil air nira di pohon kelapa yang menjulang tinggi. Aku menoleh menatap pakde Margi. Beliau sedang sibuk mengaitkan bumbung (bambu yang dirancang khusus untuk menadah air nira). “Kangen kalih mamak Pakde. Pakde deres piyambak?” (“Kangen sama mamak Pakde. Pakde deres sendiri?”) “Iya ini Nduk. Mas Gito sudah merantau ke Jakarta kemarin siang, makanya Pakde deres sendiri,” sahut pakde Margi. “O iya sudah hati-hati Pakde. Sebentar lagi zuhur, Pakde jangan lupa istirahat.” “Iya Nduk siap. Kamu yang sabar. Doakan mamak kalau lagi kangen. Mak lampir, lagi ngapain Nduk?” “Enggeh Pakde siap. Wah, Pakde ini mantan pacar bude Saroh, panggilnya kok mak lampir terus? Nanti kalau bude dengar bisa mengamuk loh,” sahutku terkekeh. “La memang budemu kayak mak lampir kok. Bisanya marah terus. Ya sudah kamu jangan lama-lama di sini, nanti disemprot lagi sama Saroh. Pakde mau lanjut lagi, sebelum azan.” “Iya Pakde, hati-hati. Ini Dina juga sudah mau pulang Pakde.” Pakde Margi pun melanjutkan aktivitasnya mengambil air nira. Keluarga pakde Margi sangat baik. Aku bahkan sesekali dijemput mas Gito untuk main ke rumahnya. Yah, walaupun pada akhirnya akan mendapat hukuman dari bude Saroh setelah pulang, namun aku tak kapok bila diajak main ke rumah pakde Margi. Mas Gito adalah anak tertua pakde Margi. Dia juga sering membawakan kue pia basah kesukaanku. Aku pulang, keadaan rumah masih sepi. Aku menunggu Eko pulang. Sudah hampir satu minggu dia menginap di rumah mbahnya. Aku sendirian di sini, kalau Eko tidak ada. Mbah putri dan mbah Kakung sibuk di kebun, dan di rumah juga tak banyak waktu untuk bersantai. Karena sudah capek di kebun, sering kali di rumah mereka akan tidur. Bude Saroh adalah anak pertama mbah. Dia memang memiliki jiwa yang keras. Jangankan sama aku yang hanya keponakannya, sama mbah yang statusnya orang tuanya saja bude berani melawan. Bahkan bude tak segan main tangan jika sudah kesal. Pernah mbah putri mengaduk bubur, kursinya ditabrak sama bude dengan keras hingga mbah tersungkur. Mbah putri baik, hanya saja mudah terpengaruh dengan hasutan bude. Mbah putri suka tiba-tiba mendiamkan aku tanpa sebab, itu juga karena ulah bude Saroh. Bude Saroh memilih menjanda setelah bercerai dari pakde Sobri. Kedua anak kembar bude Saroh juga meninggal dunia saat masih bayi. “Dari mana saja kamu, anak haram? Kamu lupa ini jam makan siang Vita?” sentaknya yang membuyarkan lamunanku. Tanpa banyak protes, aku pun langsung melakukan yang bude perintahkan. Aku sudah mencuci tangan dan kakiku sehabis pulang dari makam tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN