Kepulangan Bulek

1203 Kata
Tuhan, Kenapa Aku Dibedakan? Bab 6 Kepulangan Bulek “Nduk, cepat pulang! Itu bulekmu yang tinggal di Kalimantan datang,” ucap mbah Karni sembari berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku. Mbah Karni adalah salah satu tetanggaku. Kebetulan cucunya yang bernama Agus, satu kelas denganku. “Yang benar, Mbah? Mbah tidak bohong, kan?” tanyaku meminta kepastian. Mbah Karni tersenyum padaku. “Enggak. Mbah baru dari rumahmu. Sana sudah pulang! Kamu dibelikan banyak oleh-oleh dan juga baju baru.” “Wah, siap Mbah. Terima kasih. Dina pulang dulu ya, Mbah.” “Iya, Nduk. Hati-hati. Jangan lari-lari, nanti kesandung!” “Iya, Mbah.” Aku pun pulang dengan semangat. Langkah kaki kuayunkan lebih cepat, agar lekas sampai di rumah. Bayangan akan wajah bulek sudah di pelupuk mata. Kini aku sudah berada di ambang pintu. Kulihat bulek sedang berbincang dengan semua anggota keluarga. Kulihat paklik Rozi, paklik Ansor juga berbincang hangat menyambut kedatangan bulek Risma. Sepupuku Eko juga sudah kembali. Sedang Vita berada di pangkuan bulek Risma memakan kue. “Bulek!” seruku saat aku menapakkan kakiku ke dalam rumah. Bulek Risma langsung tersenyum melihat kedatanganku. Aku pun gegas menyalami dan memeluknya. “Ponakan Bulek yang pintar, bagaimana sekolahnya? Tetap masuk tiga besar?” tanyanya setelah mengurai pelukanku. “Alhamdulillah Bulek. Tak pernah lepas dari itu.” “Mbak, maaf ya, pas pulang tadi kutinggal. Soalnya aku sudah menunggu cukup lama, Mbak tak juga keluar dari kelas,” celetuk Eko. “Iya, enggak papa Le. Aman saja.” “Ini, Bulek membelikan baju dan juga banyak camilan buat kalian. Dimakan sama-sama, ya,” ujar bulek Risma sembari menyerahkan dua kantong besar kepada kami. Kami dengan senang menerimanya. Aku menenteng satu kantong, sementara Eko juga melakukan hal yang sama. Tujuan kami adalah ruang keluarga yang berada di sebelah ruang tamu. Dengan lincah tangan kami membongkar tumpukan baju. “Ih, bagus ya, Mbak,” ucap Eko saat mengeluarkan satu kaos oblong warna hitam kesukaannya. “Iya, Le. Mbak juga suka. Ada jilbab dan baju tidur juga,” sahutku tak kalah senang. “Eko taruh baju-baju ini ke lemari dulu ya, Mbak. Nanti Eko kesini lagi.” “Iya, Le. Mbak juga mau taruh baju Mbak di lemari.” Sulis sudah beranjak menuju kamarnya. Sementara aku pun akan melakukan hal yang sama. Namun baru beberapa langkah aku berjalan, tanganku dicekal kuat oleh seseorang. Aku sontak menoleh dan terkejut kala bude Saroh memelototiku dan mencengkeram tanganku kuat-kuat. “Lepas, sakit Bude,” lirihku. “Kamu enggak pantas pakai baju bagus. Sini bajunya biar bude Simpan buat Vita kalau sudah besar.” Bude Saroh lantas merebut setumpuk pakaian baru yang berada di tanganku. Aku berusaha menahannya, namun tenagaku kalah kuat. Bude Saroh berhasil mengambil baju-bajuku. “Kenapa sih apa-apa Vita? Sedikit-sedikit Vita? Ingat Bude, dia belum tentu ada buat Bude disaat Bude butuh nanti. Dia punya orang tua, yang suatu saat akan membawanya pergi. Bude selalu bersikap semena-mena padaku, dan begitu memanjakannya. Bude pilih kasih.” Tak kusadari aku begitu berani berbicara demikian pada bude Saroh. Bude Saroh yang sudah mau beranjak meninggalkanku, ia pun berhenti dan menoleh. Tatapannya seperti biasa, seperti menyimpan dendam dan kebencian yang tak pernah habis. “Sadar diri, kamu cuman anak haram. Vita itu punya orang tua yang setiap bulannya sangat menguntungkanku. Mereka mengirimkan aku uang dalam jumlah yang banyak, sehingga aku tak perlu bekerja. Sedangkan kamu, kamu punya apa yang bisa dibanggakan, hah?! Hanya tenaga saja. Pernah kamu memberiku uang yang banyak seperti yang orang tua Vita lakukan? Tidak pernah, kan? Jadi jangan kebanyakan bacot!” Bude pun langsung ke kamar Vita. Pakaian yang baru saja membuatku bahagia, kini sudah berada di tangan bude Saroh. “Loh, kenapa Mbak? Kok kayak mau menangis? Pasti dimarahi sama bude, ya?” tanya Eko yang sudah berdiri di dekatku. “Baju Mbak diambil, Le sama bude. Mbak enggak pantas pakai baju baru katanya,” ucapku jujur. “Ya Allah, sabar ya, Mbak. Kita juga tidak bisa melawannya Mbak. Memang dasar manusia iblis bude Saroh itu Mbak. Aku saja tadi baru datang sudah dimarahi. Katanya, ngapain pulang, tinggal saja sama mbahmu sana! Gitu tadi bude ngomong sama aku Mbak.” “Mbak enggak tahu Le. Mbak kenyang setiap hari disiksa bude. Sampai kapan Mbak menderita, Le?” “Makanya Mbak sekali-kali adukan sama bapakku. Mbak jangan diam saja.” “Mbak enggak mau ada keributan Le. Biar cukup Mbak sendiri yang menanggungnya. Ya sudah, ayo kita makan oleh-oleh yang dibelikan bulek Le. Nanti kita temui bulek lagi di ruang tamu.” Bulek masih asyik mengobrol dengan anggota keluarga yang lain. Sementara aku dan Eko duduk menikmati oleh-oleh yang dibawakan bulek Risma. Bude Saroh keluar dari kamar Vita dengan wajah yang sama seperti tadi. Muram tak bersahabat sama sekali. “Sini oleh-olehnya. Kalian ini makan enak tidak ingat sama Vita. Diingat, kalian berdua cuman menumpang di rumah ini, jangan sok berkuasa. Ini buat kalian, sisanya Bude simpan. Kalau ditanya bulekmu itu, bilang saja sudah habis,” ucap bude Saroh enteng. Bude Saroh membawa oleh-oleh itu ke kamar Vita. Sementara kami hanya disisakan satu bungkus wingko babat. Padahal bulek Risma membawa begitu banyak makanan. Enak saja bude berkata begitu. Kalau bulek Risma bertanya, tentu akan aku jawab dengan jujur. Selesai makan wingko, kami pun ikut kumpul dengan anggota keluarga yang lain. Bulek Risma terlihat sangat bahagia bisa mengobrol dengan adik-adiknya, juga dengan mbah putri dan mbah Kakung. “Loh, mana jajannya? Bawa sini, kita makan ramai-ramai,” ucap mbah putri membuat kami berdua saling berpandangan. “Sudah habis Mbah. Sudah habis kami makan,” sahutku cepat. “Jangan bohong Mbak. Jajannya loh diambil bude semua. Jajannya dibawa ke kamar Vita semua sama bude Mbah. Bude tidak mengizinkan kami memakannya,” timpal Eko membuat semua orang saling pandang. “Jangan menjelekkan budemu Le. Enggak mungkin budemu seperti itu,” bela mbah putri. ‘Mbah putri kenapa membela bude? Bukankah mbah putri juga tahu bagaimana sikap bude selama ini? Kenapa mbah putri menutupinya?’ batinku. “Eko tidak menjelekkan. Bude memang mengambilnya. Kalau tidak percaya, lihat saja ke kamar Vita!” jawab Eko sedikit ketus. Bocah kelas dua SD itu rupanya kesal karena mbah putri tak mau mempercayai ucapannya. “Coba bapak lihat, kalau kamu bohong, kamu harus minta maaf sama budemu,” ucap paklik Ansor. Paklik Ansor berjalan menuju kamar Vita dengan tergesa-gesa. Yang lain pun turut serta di belakang paklik Ansor. “Mbak, kenapa jajannya kok diumpetin di kamar Vita? Aku hanya membawa satu kantong oleh-oleh. Ayo bawa keluar Ansor, Mbak beli oleh-oleh buat dimakan sekeluarga, bukan untuk disimpan,” ucap bulek Risma yang terlihat kecewa dengan tindakan bude Saroh. “Halah, cuman jajanan begitu saja kok dipermasalahkan. Sana bawa! Besok lagi enggak usah pulang kalau enggak bisa membeli oleh-oleh yang banyak buat keluarga!” sentak bude Saroh membuat kami terperangah. Baru beberapa jam bulek Risma di rumah, bude Saroh sudah memusuhinya. Paklik Ansor pun menenteng kantong keresek besar itu keluar. Sementara tatapan bude Saroh, seperti hendak menerkamku. “Bukan mbak Dina yang ngomong sama mereka, tapi Eko. Enggak usah memelototi mbak Dina begitu Bude. Nanti kalau lepas matanya berabe,” celetuk Eko dengan berani. Aku akui, Eko berani melawan Bude, namun Bude tak berani berbuat kasar pada Eko. Mungkin segan dengan paklik Ansor. Sementara padaku, aku jadi sasaran empuk setiap kali ia marah.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN