Tuhan, Kenapa Aku Dibedakan?
Bab 3
Sabun Tumpah
Selesai membelikan es krim roti untuk Lia, kini giliranku mengantre untukku sendiri. Pulang sekolah, memang kedai Pakde Soleh akan ramai. Kalau begini, maka aku akan terlambat pulang. Biar saja, sekali-kali tidak mengapa, pikirku. Setelah lumayan lama berdiri, kini giliranku menerima pesananku. Es krim roti rasa coklat kesukaanku. Aku pun duduk di antara pembeli lain. Aku memakan es krim roti itu dengan penuh rasa syukur. Aku membelinya dengan uang pemberian bu Sri. Rezeki yang tiada aku sangka-sangka.
“Tumben kamu beli es krim? Oh iya, habis dapat uang kaget dari bu Sri, makanya kuat beli es krim. Biasanya juga cuman beli bakwan goreng. Cucunya orang kaya, tapi lebih seperti gembel,” cibir Ayu teman sekelasku. Aku tahu dia tidak menyukaiku, karena aku selalu masuk tiga besar, sedangkan Ayu yang menggebu menjadi bintang kelas, selalu berada di sepuluh besar. Bahkan dia terang-terangan mengatakan sangat benci denganku karena prestasiku.
“Ayu, jangan bicara begitu sama Dina. Kasihan dia!” ucap Lia membelaku. Aku hanya diam, tak mau menanggapi Ayu sama sekali. Dia pandai memutar balikkan fakta dan suka mengadu yang tidak-tidak. Aku tidak mau punya masalah dengan ibunya Ayu karena aduan-aduan yang tidak benar.
“Halah, bela saja terus. Kalian sama-sama miskin, iyuh. Enggak level banget,” ujar Ayu lantas pergi meninggalkan kami setelah bergidik, merasa jijik denganku. Aku hanya bisa membuang napas kasar. Sebal sudah pasti, namun aku tak bisa membalas ucapan Ayu yang selalu menusuk itu.
“Jangan diambil hati ya, Din. Ayu memang suka begitu,” ucap Lia sembari mengusap lembut bahuku. Aku pun mengangguk seraya tersenyum padanya. Dia satu-satunya teman yang tidak pernah meninggalkanku, bahkan selalu membelaku saat aku berseteru dengan teman-temanku yang lain, termasuk Ayu.
Selesai menghabiskan es krim roti itu, aku gegas menemui Pakde Soleh. Aku serahkan uang lima ribu dan menerima kembalian sebesar empat ribu empat ratus rupiah. Aku dan Lia pulang ke arah berbeda. Lia ke Barat, dan aku ke Timur. Aku sudah terlambat setengah jam untuk memesan dan menikmati es krim roti di kedai Pakde Soleh. Aku butuh tiga puluh menit untuk sampai di rumah. Kalau ditotal, aku terlambat 1 jam. Tak tahu kemarahan apa yang aku terima dari bude Saroh nanti. Entah, cubitan, bentakan, jambakan, atau jeweran? Biar aku hadapi nanti. Aku ingin sejenak menghirup udara bebas di luar. Saat di rumah, waktuku terista penuh untuk pekerjaan rumah dan menjaga Vita.
Dari jauh, kuperhatikan bude Saroh berdiri di ambang pintu dengan berkacak pinggang. Tatapannya begitu nyalang dan penuh kebencian. Keterlambatanku pulang, tentulah menjadi sebab kemarahannya.
“Bagus ya kamu. Keluyuran terus. Teman-temanmu sudah pulang sejak tadi. Ke mana saja kamu, hah? Pulang sekolah bukannya langsung pulang malah keluyuran. Enggak tahu diri!” umpatnya penuh amarah.
“Auuuu!”
Aku menjerit saat tangan bude Saroh dengan kasar menjambak rambut panjangku. Tak sampai di situ, telingaku tak luput dari jewerannya. Panas, perih, menjalar menjadi satu.
“Ini hukuman buat anak haram tak tahu diri sepertimu. Asyik main, sedang Vita di rumah masih sakit. Sudah hampir membunuh Vita, tapi masih bisa berlagak tidak bersalah sama sekali. Anak haram, pembawa sial! Mati saja kamu! Tidak berguna!” Tubuhku didorong dengan kasar hingga aku terjatuh terhuyung mengenai sisi meja dan bangku. Dahiku mengenai sisi meja, dan langsung benjol. Kupegang dahiku, terasa sangat sakit. Bahkan lututku yang mengenai sisi bangku kayu jati, langsung membiru. Bude Saroh terlalu kuat mendorongku. Tubuhku yang tidak bisa menjaga keseimbangan, kini sakitnya tak terkira. Aku tak berani membantah, karena walaupun benar, tetaplah salah di mata bude.
Bude langsung meninggalkanku begitu saja. Aku mencoba berdiri dengan air mata yang terus berjatuhan. Baju pramuka yang aku kenakan, kembali menjadi saksi atas perbuatan keji bude Saroh. Air mataku yang mengering tadi pagi, kini telah tumpah lagi tanpa bisa kucegah.
“Nopo, Nduk?” Mbah Kakung yang baru pulang dari sawah menghampiriku. “Ya, Allah, keno opo iki, Nduk? Kok sampai biru koyok ngene?” Mbah Kakung memegang lututku, dielusnya dengan lembut.
“Mboten nopo-nopo Mbah. Dina tadi jatuh pas di sekolah,” sahutku berbohong.
“Cepat ganti bajumu! Nanti dimarahi budemu. Besok lagi hati-hati biar tidak jatuh.”
“Enggeh Mbah. Dina masuk dulu.”
Kuberjalan dengan rasa nyeri di lutut. Kepalaku juga pusing. Kenapa bude Saroh selalu jahat padaku? Kenapa kalau sama Vita dan Eko, dia selalu baik? Padahal kami sama-sama keponakannya.
Kugantung baju yang telah kutanggalkan. Aku memakai rok dan kaos. Kuusap perlahan jidatku yang benjol. Nyeri sekali. Pekerjaan telah menunggu. Menyuapi Vita makan siang, dan mencuci baju ke sungai. Perutku sudah terganjal dengan es krim roti. Aku bisa langsung menyuapi Vita, setelah itu langsung ke sungai mencuci baju.
Menyuapi Vita telah selesai. Aku ingin menanyakan tentang sakitnya yang sampai muntah-muntah itu, tapi nanti salah lagi. Ah biarlah aku disangka pembunuh oleh bude Saroh. Suatu saat juga akan ketahuan kalau aku tidaklah salah. Aku tak pandai membela diri, mentalku telah rusak. Aku bahkan tak punya rasa percaya diri yang baik.
Vita kembali menonton televisi selesai makan. Mbah putri rupanya sedang tidur. Aku bersiap ke sungai mencuci pakaian kami sekeluarga. Sungai yang dibangun oleh mbah buyutku, menjadi tempat yang selalu ramai dikunjungi oleh warga kampung, maupun luar kampung. Letaknya tidak jauh, hanya di bawah rumah mbah. Di jalanan menurun menuju sungai, aku sering kali jatuh. Aku mesti berhati-hati karena turunannya cukup curam.
Bruk
Benar saja, baru setengahnya, aku sudah terjatuh. Bokongku kali ini yang mesti merasakan sakit karena menahan bobot tubuhku dan pakaian seabrek yang aku bawa.
Dari jauh bude Saroh sudah berteriak. Dia berjalan cepat ke arahku. “Begitu saja jatuh. Punya mata itu dipakai, jangan cuman jadi pajangan. Lihat, sabun cucinya tumpah semua! Buang-buang duit saja. Kamu pikir beli sabun pakai daun, hah?! Mengusahkan saja!” bentaknya sembari menunjuk-nunjuk wajahku.
“Auuuu, lepas Bude! Sakit!” Aku memekik keras saat bude Saroh menjambak kembali rambutku dengan kasar. Bahkan tak hanya dijambaknya, namun diputar-putar membuat kepalaku nyeri sekali.
“Rasakan anak haram! Ini hukuman buat kamu yang sudah menumpahkan sabun itu! Cepat pungut, dan cuci baju. Ingat, jangan mainan! Jangan berenang! Kalau kamu melanggar, hukuman menantimu!” gertaknya. Bude sama sekali tidak kasihan padaku. Lagi-lagi aku anak kecil yang tidak berdaya ini, melakukan perintahnya sembari menangis. Untung saja di sungai tidak ada orang, sehingga aku tidak perlu menangung rasa malu karena perbuatan bude Saroh. Tengah hari seperti ini, sungai memang sepi. Biasanya akan ramai saat sore hari. Orang berdatangan untuk mandi dan berenang. Ada juga yang mencuci kendaraan mereka.
Selesai memunguti sabun yang berceceran, aku pun berdiri meninggalkan luka nyeri di sekujur tubuh. Berjalan tanpa semangat, menuju tempat pencucian. Di saat anak seusiaku sedang manja-manjanya pada orang tuanya, aku sudah dipaksa dewasa oleh keadaan.