Bab 10

1615 Kata
Malam ketiga tanpa kehadiran Dimas di sampingnya membuat Miko dilanda kesepian. Setiap malam ia ditemani oleh Mbok Darmini, wanita berusia 51 tahun yang biasa membantunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia hanya datang seminggu tiga kali dan akan menginap jika Miko memintanya. Ia dan Mbok Darmini kini berada di ruang tengah. "Kalau Mbok sudah mengantuk, Mbok tidur saja!" Miko melirik ke arah Mbok Darmini yang tengah duduk di sampingnya sambil menonton tayangan OVJ. Wanita itu baru saja menyelesaikan tugasnya memijat kaki sang majikan. "Iya, Bu. Saya ke kamar duluan ya." Mbok Darmini yang tampak terkantuk-kantuk langsung mematuhi majikannya. Ia merasa sangat lelah setelah mengurus seluruh pekerjaan rumah seharian. Wanita itu langsung menuju kamar yang terletak di bagian belakang rumah. Ruangan berukuran 3x3 meter itu sudah biasa ia tempati jika kebetulan harus bermalam. Sepeninggal ARTnya, Miko segera mematikan layar TV dan bergegas masuk ke dalam kamarnya. Usai merawat wajahnya, ia langsung naik ke atas ranjangnya. Kemudian mengecek ponselnya untuk membalas pesan-pesan yang masuk. Sebagian besar berasal dari suaminya. Selang lima menit kemudian, ponselnya berdering dan di layar menampilkan nama suaminya yang melakukan panggilan via video. Miko antusias sekali menerimanya. "Assalaamu'alaikum, Hallo sayang, apa kabar kamu hari ini?" Sapa Dimas di seberang sana. Sepertinya Dimas sedang berada di sebuah cafe. Ia terlihat masih mengenakan setelan formalnya. Kemungkinan besar suami Miko itu usai melakukan meeting dengan client nya. "Waalaikumsalam. Kabar aku baik." Miko menjawab seraya membenahi posisinya menjadi setengah berbaring.  "Kamu lagi apa?" Dimas memperhatikan sang istri melalui layar ponselnya. "Siap-siap tidur, eh ini kamu lagi dimana?" Miko mengamati latar suaminya. "Aku di cafe," beritahu Dimas. Layar ponsel Miko berubah menampilkan pemandangan sekitar cafe tempat suaminya berada. "Tuh lihat!" "Oh, pantesan ramai." Miko tersenyum. Wajah suaminya kembali memenuhi layar ponselnya. "Tanpa kamu, suasana rumah sangat sepi walaupun ada Mbok Darmini." Miko mengungkapkan perasaan hatinya. Seandainya tak sibuk mungkin ia akan ikut. "Di sini aku juga kesepian. Coba kalau kamu ikut pasti seru. Aku kangen banget sama kamu." Dimas pun merasakan hal yang sama seperti istrinya. Ia benar-benar merindukannya. Menikmati pemandangan indah sendirian bukanlah hal yang menarik. "Aku juga kangen sama kamu. Gak sabar nunggu kamu kembali." Miko berujar dengan nada manjanya. Baru berpisah tiga hari saja rasanya sudah tiga minggu. Beruntung ia memiliki kesibukan di kantornya, sehingga rasa sepi dan hampa yang menyerangnya bisa teralihkan. "Kamu mau dibawakan oleh-oleh apa?" Dimas menanyakan keinginan istrinya. Sewaktu dirinya berangkat Miko tak memesan apapun. Seperti biasanya ia tak suka banyak permintaan. "Apa ya? Apa saja terserah. Yang penting nanti kamu pulang dengan selamat dan tetap bawa cinta buat aku." Miko tergelak. Apapun yang dibawakan oleh suami tercintanya tentu ia akan menerimanya dengan senang hati. Terlebih jika belinya jauh di luar negeri, pasti ia simpan sebagai kenang-kenangan yang memiliki makna. "Ya, sudah kalau terserah. Hadiahnya gimana aku ya, Sayang." Dimas tahu apa yang disukai oleh wanitanya dan ia akan mencarikannya. "Kamu nanya oleh-oleh, memangnya mau pulang kapan?" Miko mengerutkan keningnya, bukannya Dimas akan tinggal di sana selama seminggu penuh. "He..he..masih beberapa hari lagi, tapi aku mau mulai belanja dari sekarang biar tidak lupa. Biasanya kalau ada kamu, kamu kan yang rajin hunting belanja. Sayang sekali jika tak membawa apapun ke rumah padahal telah pergi jauh sekali." Dimas memberikan alasan. Urusan pekerjaannya memang belum selesai. Ia juga belum mengunjungi kakaknya yang bernama Diana. "Santai saja, kamu fokus kerja saja!" Miko tak ingin membebani suaminya. Ia bukanlah sosok istri yang suka menuntut urusan materi, apalagi dirinya bisa membelinya sendiri. "Ngomong-ngomong kamu jadi ke rumah kak Diana?" Miko mengingatkan suaminya. Tentu saja Dimas ingat. "Sepertinya hari jum'at malam aku ke sana. Oh, oya ada kabar dari Papi, katanya Papi dan Mas Fikri sedang di Rotterdam. Kami sudah janjian untuk bertemu di rumah Kak Diana." Dimas memberikan sebuah informasi penting. "Wah kebetulan sekali ya." Dimas pun terkaget-kaget. "Iya." "Sayang, aku tutup dulu ya. Batrenya sudah mau habis. Nanti kalau sudah di hotel aku hubungi kamu lagi." Dimas izin mematikan sambungan video callnya. "Oke, besok pagi saja hubungi aku lagi. Sekarang aku juga mau tidur." Miko tampak menguap. "Baiklah, sampai besok. Kamu jaga diri baik-baik. Have a nice dream!' Dimas mengucapkan kalimat perpisahannya. "Kamu juga, jangan tidur larut." Miko pun mengingatkan kebiasaan buruk suaminya yang hobi nonton film. Ia tak terlalu khawatir dengan jam malam Dimas yang tak pernah menghabiskan waktu mengunjungi tempat hiburan malam karena suaminya itu lebih suka berdiam diri di dalam kamar untuk menonton film hingga lupa waktu. Bahkan film yang telah ditonton belasan kali pun akan ia putar kembali. "Siap, Bu Bos!" "I love you." Dimas mengucapkan kalimat terakhirnya. "Love you too." Miko pun menjawab dengan kalimat yang sama. Usai melakukan percakapan dengan suaminya, Miko bersiap memejamkan matanya yang terasa lengket. Hanya dalam hitungan lima menit sepuluh detik, ia pun segera terlelap hanyut ke alam mimpi. *** Pukul empat pagi, Miko telah bangun . Usai membereskan ruangan pribadinya, ia segera mandi dan sholat subuh. Wanita cantik berambut sebahu itu telah terbiasa melakukan aktifitas mandu di pagi hari. Ia yakin jika mandi subuh itu akan membuatnya awet muda dan kulit terlihat kencang. Seperti kebanyakan orang, ia tak akan melewatkan sesi pengecekan ponselnya, teelebih saat jauh dengan suaminya. Siapa tahu ada kabar penting darinya walaupun semalam keduanya telah bertanya kabar.  Betapa terkejutnya Miko ketika membaca sebuah pesan WA dari sekretarisnya. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." Miko berucap setengah tak percaya. Ida memberikan kabar duka terkait wafatnya sang ibu. Pesan itu dikirimnya tadi malam sekitar pukul sepuluh.  Miko turut berduka cita, ia teringat beberapa hari yang lalu dirinya baru saja memberikan sumbangan uang untuk pengobatan. Seperti halnya Ida, ia pun turut mendoakan kesembuhan Rukmini. Sayangnya, tuhan memberikan takdir lain dengan mengambil nyawanya. Usai sarapan, Miko segera bersiap untuk keluar rumah. Ia  mengemudikan mobilnya menuju kediaman Ida untuk melayat ibunya. Walaupun berbeda keyakinan dengan keluarga Ida, tak ada salahnya tetap memberikan penghormatan terakhirnya. Ia harus memberikan dukungan moril kepada Ida yang sedang bersedih hati. Suasana rumah Ida tampak ramai dipadati oleh kedatangan tetangga dan sanak saudara. Usai memarkir . Bapasampaikan jugamobilnya, Miko berjalan memasuki rumah yang tengah dirundung kemalangan tersebut. Tak seorang pun ada yang mengenalnya. Tanpa menunggu lama ia segera mencari keberadaan Ida. Tampak sekretarisnya tengah duduk di pojok ruangan ditemani oleh salah satu sepupunya.  "Mbak Miko!" Ida langsung menghampiri atasannya. "Ida, aku turut berduka cita atas meninggalnya ibu kamu." Miko memberikan pelukan kepada gadis di hadapannya yang terlihat sangat rapuh . Matanya bengkak akibat menangis semalaman. Perasaan sedihnya tak dapat dilukiskan. "Mbak, terima kasih sudah datang kemari. Saya tak menyangka jika ibu akan pergi secepat ini." Ida kembali meneteskan air matanya. Entah berapa banyak butiran bening yang ia keluarkan dari pelupuk matanya sejak kemarin malam.  "Kamu yang tabah dan sabar ya, Da. Barangkali ini adalah yang terbaik. Tuhan menyayangi ibu kamu agar ia tak merasakan lagi kesakitan." Miko menenangkan Ida. Kehilangan seseorang yang begitu kita sayangi pasti akan sangat menyakitkan dan menyisakan luka yang mendalam. Hal tersebut dirasakan oleh Ida. Ia kehilangan orang terkasihnya untuk ke sekian kalinya. Setelah ditinggal Putu dan ayahnya, kini giliran ibunya yang pergi meninggalkan dirinya. Sekarang Ida tak lagi memiliki pegangan dalam hidupnya. Hari-harinya akan terasa hampa. Tak akan ada lagi orang yang biasa memberikan nasihat untuknya. "Kalau kamu butuh teman untuk bersandar dan berbagi cerita, aku bisa menjadi teman bicaramu. Kamu jangan sungkan." Miko mengelus punggung gadis malang itu penuh kasih layak nya seorang kakak terhadap adiknya. Ia juga menghapus jejak air mata yang tertinggal di pipi cubby Ida. "Terima kasih banyak, Mbak." Suara Ida terdengar bergetar. Ia beruntung memiliki bos seperti Miko yang baik hati. Miko pamit pulang setelah berada satu jam lebih menemani Ida. Wanita cantik berdress warna biru laggit itu diam-diam mengamati suasana di rumah Ida. Ia merasakan ada sesuatu yang tak beres. Sejak tadi Ida selalu duduk terpisah dari kumpulan keluarganya. Keluarganya seolah mengucilkannya. Miko bisa merasakan aura itu. Ia pun merasa jika tak ada yang peduli akan kedatangan dirinya. Ia pun memaklumi jika mereka tak mengenalinya karena ini merupakan kali pertama ia menyambangi rumah Ida. Ida melepas kepergian Miko. *** Miko tak menyangka jika hari ini, Ida masuk kantor. Padahal ia telah memberikan keringanan agar sekretarisnya itu mengambil cuti. Ia tahu Ida masih dalam masa berkabung. Kesedihannya pasti tak terlukiskan. Apalagi baru kemarin dilakukan pemakamannya. "Ida, kenapa kamu sudah masuk?" Miko menatap Ida yang masih menampakkan gurat kesedihan di wajah ayunya. "Acaranya sudah selesai Mbak, lagipula kembali ke kantor dan menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan bisa membuat saya lebih tenang dan melupakan musibah yang baru saja terjadi." Ida memberikan alasan. Jujur saja, ia tak betah berada di rumahnya. Dulu ia bertahan karena ada sosok ibunya yang menjadi alasan. Sekarang ia benar-benar merasa asing di rumahnya sendiri. "Ya, sudah kamu jangan sedih terus. Kalau butuh teman ngobrol jangan sungkan. Kita bisa minum teh bareng." Miko tersenyum berusaha menghibur Ida. Ida terharu mendengar kembali ucapan Miko. "Terima kasih Mbak Miko mau menjadi teman saya." Ida tak pernah dekat dengan siapapun di kantor ini. Dirinya selalu merasa canggung dan tidak percaya diri.  "Kalau boleh saya tahu, kenapa ya suasana di rumah kamu tampak aneh. Sekali lagi maaf ya, bukannya saya ingin ikut campur." Miko memberanikan diri membuka tema percakapan kejadian saat dirinya datang ke rumah duka. "Keluarga menyalahkan saya atas meninggalnya ibu. Tepat di malam saat ibu menghembuskan nafas terakhirnya saya sedang tak ada di sampingnya. Waktu itu saya sedang terlibat percekcokan dengan Paman Dewa. Sepertinya ibu mendengar percekcokan kami. Ia jatuh dari tempat tidurnya. Paman saya yang memulai pertengkaran itu malah memojokkan saya di depan keluarga dan menuduh jika saya lah yang menjadi penyebab. Saya sedih." Ida menjelaskan panjang lebar. Ia pun tak kuasa meneteskan air matanya yang ia tahan sedari tadi. Mendengar kabar buruk itu Miko menghela nafas panjang. Ia paham sekarang, mengapa Ida seolah dikucilkan. Ida pun menceritakan tentang perjodohan yang di rancang pamannya. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN