Bab 9

2008 Kata
Miko dan Dimas telah kembali berada di rumah setelah hampir sepekan menghabiskan waktu berlibur di salah satu Pantai yang terletak di Pulau Ambon, Maluku. Keduanya kembali disibukkan dengan urusan bisnisnya masing-masing. Usai liburan keduanya tampak segar dan bersemangat karena mendapat pasokan energi badu untuk melanjutkan rutinitas mereka. Dimas telah berpakaian rapi dengan setelan casual nya. Tampak sebuah koper berukuran besar di dekatnya. Ia dan istrinya berada di teras depan rumah mereka menantikan taksi yang akan menjemput Dimas ke Bandara. "Aku pergi dulu ya, Sayang. kamu hati-hati di rumah.Kalau ada apa-apa segera hubungi alu ya!" Dimas berpamitan kepada istrinya. Selama seminggu ke depan ia akan berada di Amsterdam, Belanda untuk perjalanan bisnisnya. Awalnya ia mengajak Miko, namun sang istri tak dapat pergi karena ada banyak pekerjaan kantor yang harus segera diselesaikan. Terlebih beberapa waktu lalu sekretarisnya cuti karena sakit. Makanya, pekerjaan kantor sangat menumpuk. "Kamu juga hati-hati ya, mampir ke rumah Kak Diana kan? Aku titip salam," tanya Miko. Tentu saja Dimas akan mengunjungi kakaknya. "Iya, pasti mampir. Gak mungkin banget aku ga ngunjungin dia. Kak Diana pasti mengomel. Oh ya, Kalau kamu kesepian di rumah, minta ditemani sama mbok Darmini saja ya. Ajak dia menginap." Dimas tampak khawatir. Setiap akan meninggalkan istrinya ia selalu memastikan keamanan dan kenyamanannya. Ia tak ingin terjadi hal buruk menimpa istrinya. Dimas mencium kening Miko. Keduanya berpelukan mesra sebelum berpisah. Dimas pun menyempatkan untuk melumat bibir mungil istri tercintanya dengan gerakan tiba-tiba. Miko sampai tersipu malu takut ada yang melihat aksi mereka. Dimas sendiri malah cengengesan. "Udah dong Dim, kamu kaya kurang jatah saja." Miko mencubit perut suaminya yang dipenuhi roti sobek. "Oke, aku pergi." Dimas segera bergegas karena taksinya sudah datang. "Assalaamu'alaikum" "Waalaikumsalam." *** Usai melepas kepergian Dimas, Miko segera bergegas menuju kantornya. Ia sudah terlambat satu jam. Tiba di kantor ia langsung masuk ruangan sekretarisnya. Ia telah mendapat kabar jika Ida telah masuk kantor. Lagi-lagi Miko menemukan Ida sedang duduk termenung dengan tatapan kosongnya. Gadis berkacamata itu seolah sedang memikirkan masalah besar. Ia tampak murung dan bersedih. Mungkin karena kesehatannya yang belum seratus persen pulih. "Pagi Ida!" Sapa Miko ramah. Ia langsung mendekat ke arahnya. "Pagi Mbak Miko!" Sapaan Miko membuyarkan lamunan Ida. Gadis berkacamata itu langsung berdiri dan menyambut kedatangan atasannya penuh hormat.  "Kamu sedang apa tadi?" Miko menanyakan aktifitas Ida. Ida gelagapan. Ia khawatir dituduh malas-malasan.  "Ehm, saya sedang menyiapkan laporan." Ida menunjuk ke arah tumpukan berkas-berkas. "Ikut ke ruanganku!" perintah Miko. Ida pun mengekor masuk ke dalam ruangan Miko. Ida pikir hari ini Miko tidak akan masuk karena waktu menunjukkan pukul 9 makanya ia berleha-leha. Miko jarang datang ke kantor siang. Hari ini ia terlambat karena harus melepas kepergian suaminya. Bos dan sekretaris itu duduk saling berhadapan. "Apa kabar kamu?" Miko menanyakan kesehatan Ida yang baru keluar dari rumah sakit. "Alhamdulillah sudah sehat," jawab Ida. Ia berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan atasannya. "Aku kaget saat mendengar kabar kamu masuk rumah sakit. Sebenarnya kamu kenapa?" Miko menatap sekretarisnya seolah menyelidik. "Cuma kelelahan saja. Tensi darah dan HB rendah. Saya pingsan waktu di kantor, untung ada salah satu OB yang menolong." Ida memberikan penjelasan tentang penyakit yang dideritanya. "Alhamdulillah kalau sudah membaik. Jaga kesehatan, makan teratur dan minum vitamin. Jangan terlalu kecapean kalau kurang sehat kamu bicara sama saya. Biar bisa mengkondisikan pekerjaan di kantor." Miko menggenggam tangan Ida. Ia sangat peduli dengan wanita muda di hadapannya. Ida karyawan terbaik yang dimilikinya, tanpa kehadiran gadis berkacamata itu dirinya akan sangat sibuk. Miko tak ingin hal itu terjadi. "Tenang saja Mbak, saya sudah sehat kok." Ida tak enak hati. Miko merupakan atasan yang baik hati. Selalu penuh perhatian. Ida tak pernah sekali pun mendapatkan perlakuan buruk. "Ya sudah kalau ada apa-apa kamu jangan sungkan bicara. Sekarang kamu boleh kembali melanjutkan pekerjaan."Miko memerintahkan Ida kembali ke ruangannya. Ida mengangguk. "Baik Mbak." Ia berdiri meninggalkan Miko yang sejak tadi memperhatikannya. Usai kepergian Ida, Miko pun menyibukkan diri dengan urusan pekerjaannya. *** Miko tengah asyik chat dengan suaminya yang tengah berada di Amsterdam, saat Ida datang ke ruangannya. "Permisi,Mbak!" Ida melangkah mendekat ke arah Miko. "Duduk, Da!" Ia mempersilahkan sekretarisnya mengambil posisi yang nyaman. Keduanya kini duduk berhadapan. Ida berusaha mengatur nafasnya. Pasokan oksigennya mendadak berkuramg. "Mbak Miko, Emm...kalau boleh saya ingin minta bantuan, Mbak." Dengan nada ragu Ida memberanikan diri berbicara kepada atasannya. Miko menatap Ida penuh selidik. Ia tak dapat menerka maksud lawan bicaranya. "Saya pasti bantu selama saya bisa. Kalau boleh tahu kamu mau minta tolong apa?" Miko tersenyum melihat ketegangan di wajah Ida. Wanita bermake up tipis itu sepertinya ingin menyampaikan hal serius. Miko pun bersiap mendengarkannya. "Maaf Mbak, Kalau boleh, saya ingin meminjam uang untuk biaya pengobatan ibu saya." Ida memberanikan diri menyampaikan maksudnya. Sejak kemarin ia telah menyiapkan diri menyampaikan kata-kata ini. Ada rasa malu dan ragu. Meminjam uang merupakan hal besar yang sangat beresiko. Selama dua tahun bekerja di Beauty travel belum pernah ia melakukannya apalagi langsung kepada bosnya.  Kali ini kondisinya terdesak. Ia benar-benar membutuhkannya untuk membayar utang dan biaya pengobatan ibunya yang tak sedikit.Tak semua obat-obatan ditanggung BPJS. "Memangnya kamu butuh berapa?" tanya Miko. Tentu saja ia pasti akan memberikan pinjaman apalagi untuk hal penting menyangkut kesehatan seseorang. "Saya butuh Limapuluh juta, Mbak." Ida menjawab dengan ragu. Khawatir jika permohonannya tak dikabulkan. Jika tidak, harus kepada siapa lagi ia memohon pertolongan. Ia tak memiliki banyak rekan dan teman yang bisa dimintai tolong. Keluarganya pun tak ada yang kaya. Bagi dirinya jumlah itu sangatlah besar. Butuh waktu hampir setahun bekerja untuk bisa mendapatkannya. Gaji yang diterimanya sebesar 6 juta selalu pas-pasan untuk membiayai kebutuhan keluarganya. Ada banyak tanggungan di rumahnya dan Ida menjadi tulang punggung.  "Nanti saya transfer ya." Dengan senyum manisnya Miko menyanggupi. Baginya uang segitu bukan perkara sulit. Ia memiliki banyak uang. "Terima kasih banyak, Mbak. Saya tak tahu harus membalas kebaikan Mbak Miko dengan cara apa." Ida sangat bersyukur. Entah bagaimana caranya ia harus berterima kasih, terlalu banyak jasa Miko kepadanya. "Kalau boleh saya tahu, ibu kamu sakit apa?" Miko bertanya penasaran. Ini merupakan saat yang tepat untuk mengenal Ida lebih dekat. "Sudah bertahun-tahun ibu menderita gagal ginjal dan komplikasi. Setiap seminggu sekali ibu harus cuci darah. Ibu juga sudah tak bisa pergi kemana pun ia menghabiskan waktunya di kursi roda, saat ini ibu lebih sering berbaring di tempat tidur." Ida menjelaskan kondisi kesehatan ibunya yang kian hari kian memburuk. Berbagai pengobatan telah dilakukan dan entah berapa banyak dana yang telah dihabiskan. Miko bersimpati. Nasib Ida tak jauh beda dengannya. Sejak SMA Miko sudah kehilangan ibunya karena penyakit jantung. Miko turut bersedih. "Semoga ibu kamu sehat kembali ya! Ibu saya juga meninggal akibat penyakit jantungnya."  Miko dapat membayangkan betapa sedihnya hati Ida, terlebih ia tahu bahwa gadis di hadapannya itu juga sudah tak berayah. "Amin. Terima kasih banyak, Mbak. Saya akan mencicil utang saya setiap bulan." Ida berjanji. Sebenarnya ia tak yakin namun ia akan berusaha keras. Ia akan meningkatkan usaha sampingannya menjual kue. "Kamu tidak perlu memikirkan pengembaliannya, saya ikhlas memberikan itu sebagai sumbangan." Miko berkata sungguh-sungguh. Miko berharap bantuannya akan bermanfaat untuk kesembuhan ibu kandung Ida. "Mbak tidak perlu repot-repot!"  Ida terperangah. Uang lima puluh juta itu besar jumlahnya dan bosnya itu akan memberi secara sukarela. "Saya biasa memberikan sumbangan, suami saya bahkan sering memberikan sumbangan berlipat dari nominal yang saya berikan untuk kamu. Jadi kamu tidak perlu khawatir, kalau kurang InsyaAllah saya tambah. Ku tinggal bicara saja." Wanita jepang itu tersenyum ramah.  *** Ida bernafas lega, ia sudah mendapatkan uang pinjaman untuk membayar utang pengobatan ibunya. Bukan pinjaman melainkan pemberian.  Ia berharap akan terjadi keajaiban ,sang ibu akan sembuh. Walaupun kemungkinannya sangat kecil. Dirinya berharap ibunya bisa kembali berjalan norma dan menjalani hari-hari penuh kebahagiaan. Sepulang dari kantor ia pergi ke apotek untu membeli obat-obatan.  Ia sudah membayangkan ibunya pasti gembira menerimanya. Saat tiba di rumah ia dikejutkan dengan kehadiran Oka Yudistira, pria berusia kepala empat  yang berniat menikahinya. Ia tengah duduk santai dengan pamannya sambil menikmati secangkir kopi. "Ida, sejak tadi Nak Oka menunggumu." Dewa, pamannya tampak bersemangat. Keponakan yang ditunggu sejak tadi akhirnya pulang. "Saya datang ke sini untuk menjenguk kamu katanya kamu sakit. Maaf Mas Oka baru ke sini. Selama dua minggu saya ada urusan bisnis ke luar negeri. Bagaimana keadaan kamu sekarang?" Pria botak berusia 40 tahun itu tersenyum genit. Ida malas menanggapinya. Ia muak melihat tampang perlentenya. "Alhamdulillah saya sidah sehat." Ida menjawab seraya berlalu dari hadapan mereka berdua.  "Sebentar Ida, kita harus bicara." Dewa menahan langkahnya. Ida pun  berdiri sejenak. "Ida, sebaiknya kamu segera menerima lamaran Nak Oka!" Dewa terus mendesak Ida. Bukan tanpa alasan ia ingin menjodohkan keponakannya dengan Oka. Ia ingin segera melunasi utang-utangnya. Selain itu pria bernama Oka itu juga menjanjikan uang senilai tiga ratus juta rupiah jika ia menikah dengan Ida. Tawaran yang sangat menggiurkan untuk orang matre seperti Dewa. "Iya, Ida. Pamanmu benar. Sebaiknya kita persiapkan pernikahan kita secepatnya. Mas Janji akan membahagiakanmu." Oka menatap Ida penuh pengharapan. Bagaimana bisa ia membahagiakan Ida sementara istrinya pun sering disakiti. "Maaf, mas. Saya kan sudah mengatakan menolak tawaran mas Oka." Ida bersikukuh menolak. Ia tak ingin dicap sebagai wanita perebut suami orang. Bagaimana ia bisa bahagia jika menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain. Ia tak pernah mencintai lelaki buaya darat sepertinya. "Kalau kamu tidak mau menjadi yang kedua, saya akan menceraikan istri saya.Saya mencintai lamu Ida. Apapun akan saya berikan asal kamu mau menjadi istri saya."  Pria itu terus mendesak Ida. Tatapan matanya mulai mengintimidasi. "Sekali lagi saya tidak mau mas. Sebaiknya mas cari wanita lain saja yang bersedia dinikahi. Jangan pernah mengganggu kehidupan saya lagi." Ida tak ingin terjerat oleh pria playboy itu. Apapun yang akan dilakukan Oka, Ida tak akan luluh.  "Baiklah kalau kamu tidak mau menjadi istri saya. Tak masalah. Tapi Pak Dewa harus segera melunasi utang-utangnya sekarang juga. Kalau tidak, saya akan lapor polisi. Kalian juga silahkan angkat kaki dari rumah ini, karena sekarang saya lah pemiliknya." Oka sepertinya telah habis kesabarannya. Pria yang selalu berusaha terlihat sopan dan lembut itu menampakkan sosok aslinya. "Maksudnya apa?" Ida terperanjat kaget mendengar ucapan Oka. Ia butuh penjelasan Oka. "Pak Dewa sudah lama menggadaikannya kepada saya. Sertifikat rumah ini ada di tangan saya."  Oka melayangkan pandangan ke arah Dewa yang tengah menahan amarahnya. Ia kesal dengan sikap Ida yang tak mau mematuhinya. Pria tua itu telah berbuat curang. Diam-diam ia mengambil sertifikat rumah dan menggadaikannya kepada Oka untuk digunakan berjudi. Betapa lemas hati Ida mendengar  fakta mengejutkan ini. Pamannya sungguh jahat. Ia mengkhianati Ida. Padahal selama ini kurang apa dirinya, semua kebutuhan keluarganya Ida yang memenuhi. Sang paman minta uang pun Ida sering memberinya. Lantas inilah balasan yang diterimanya. Ia tak memiliki apa-apa lagi. Padahal rumah ini merupakan warisan ayahnya yang harus dijaganya. "Ida, pokoknya kamu harus menerima Nak Oka!" Dewa tak terima. Ia tak ingin kehilangan Oka yang akan menjadi sumber keuangannya di masa depan. Ia akan memaksa Ida bagaimana pun caranya. Hanya Ida yang bisa menjadi tumbalnya. Indira, putrinya masih sekolah dan Oka hanya tertarik kepada Ida. "Tidak Paman! Saya tak akan pernah menerima mas Oka." Ida tak akan tinggal diam. Sudah saatnya ia melakukan perlawanan kepada sang paman yang semena-mena. Kebaikan Ida selama ini tak dihargai sedikitpun oleh Dewa. Pria itu malah tega melalukan berbagai kejahatan. "Dasar gadis tak tahu diuntung!Tidak bisa diurus. Dasar tak tahu diri. Kamu ini sudah rusak jadi jangan sok jual mahal! Beruntung ada pria yang ingin menikahimu." Dewa menatap nyalang ke arah keponakannya. "Paman tidak perlu mengatur hidup saya!" Ida semakin berani. Plak Tanpa diduga satu tamparan di pipi kiri Ida dilayangkan oleh Dewa. Ida tak menyangka sang paman akan bertindak kasar. Dewa yang sejak tadi dikuasai nafsu amarahnya, tak dapat lagi mengontrol diri.  Oka pun tampak kaget. Ida memegangi pipinya, tak terasa air matanya turun dengan deras. Ketika suasana memanas, Sukerti yang sedari tadi bersembunyi dengan anak-anaknya, sesuai perintah suaminya pun keluar. Bukan hanya karena mendengar keriuhan di ruang tamu melainkan, Rukmini, ibu kandung Ida terdengar menjerit dari dalam lamarnya. "Mas Dewa...!" Teriak Sukerti "Ida..., ibumu Sukerti menangis. Baik Ida maupun Dewa langsung bergegas menuju kamar Rukmini. Wanita tua itu tadi terjatuh dari tempat tidurnya. Ida langsung meraih tubuh ibunya dan memeriksa detak nadinya. Tak ada lagi denyutan. Ibunya telah tiada dan terbujur kaku tak bernyawa. Wanita itu meninggalkan Ida untuk selamanya.  Ida menangis meraung. Ia tak sempat menemani ibunya saat ajal menjemput wanita penyakitan itu. Rasa sesal seketika menguasai dirinya. Ia teringat kembali obat-obatan yang dibelinya dari apotek serta uang yang dijanjikan untuk biaya pengobatannya. Kini semua yang diusahakannya tak berarti apa-ala. Suasana duka pun menyelimuti keluarga Ida. Semua anggota keluarga langsung mengangkut Rukmini. Bersiap untuk prosesi pengurusan jenazah.  "Ini semua gara-gara kamu! Dasar anak pembawa sial!" Dewa menyalahkan Ida atas kematian Rukmini.  *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN