Bab 11

1112 Kata
Dimas berada di kamar hotelnya setelah seharian bertemu client nya. Ia tengah melakukan negosiasi dengan salah satu perusahaan hotel di Belanda untuk untuk menanamkan modalnya. Ia berangkat ke sana tak sendiri, ada Romy sekretarisnya yang menemani. Sayangnya pria itu membawa istrinya alhasil Dimas tak bisa bersama dengannya. Kebetulan mereka adalah pasangan pengantin baru sehingga momen saat ini dijadikan ajang bulan madu ke dua. Sebagai informasi istrinya Romy merupakan blesteran Belanda Indonesia, jadi di Amsterdam ini ada saudara yang dikunjungi mereka. Dimas tak keberatan dengan mereka. Asalkan Romy tetap bisa bekerja dengan baik dan bertanggung jawab. Dimas pun seringkali membawa istrinya saat perjalanan dinas. Usai mandi dan makan malam, ia pun menenggelamkan diri dengan menonton acara TV. Tak ada yang bisa dilakukannya dalam kesendiriannya. Seandainya ada Miko mungkin akan sangat menyenangkan. Ia harus menunggu esok hari karena sekarang istrinya pasti tengah terlelap karena waktu di Bali sudah dini hari. Dimas tak ingin mengganggunya, terlebih tadi sore mereka telah saling bertukar kabar. Jika tengah sendirian di tempat asing, Dimas tak berani keluyuran apalagi jika tak ada hal penting. Dimas sangat menghindari tempat-tempat hiburan seperti club malam. Ia tak berani menjamahnya apalagi sendirian terlalu berbahaya karena di sana dipastikan banyak godaan. Alkohol dan seks menjadi satu hal yang menakutkan. Sebagai seorang muslim ia berusaha menjaga diri apalagi ia telah beristri. Walaupun sebenarnya di Bali pun gemerlap dunia malam adalah hal yang umum dijumpai. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam waktu setempat saat Dimas naik ke ranjangnya. Ditemani guling dan selimutnya. Malamnya benar-benar sunyi. *** Ketika bangun tidur, Dimas langsung mengirim pesan kepada istrinya tentang aktifitas yang dilakukannya. Terkesan lebay namun Dimas senang melakukannya dan istrinya pun pasti merasakan hal yang sama dengannya. Pikiran Dimas setiap saat terus tertuju kepada Miko. Wanita yang selalu membuat dirinya jatuh cinta. Sayang, kamu pasti lagi tidur mimpiin aku ya? Aku baru bangun dan langsung ingat kamu. I love you! Aku kangen kamu. Sekarang aku baru bangun dan mau ke lamar mandi. Eh, aku tak sabar mandi bareng kamu.he...he.. Itu salah satu pesan yang dikirim oleh Dimas untuk istrinya. Setiap satu jam sekali ia pasti memberi kabar. *** Hari Jum'at sore yang dinantikan oleh Dimas akhirnya tiba. Usai menyelesaikan urusan pekerjaan, ia pun pergi menuju kediaman kakaknya yang berjarak sekitar satu jam perjalan. Sebenarnya cukup dekat namun ia baru sempat hari ini ke sana. Lagipula dua hari yang lalu kakaknya sedang berada di luar kota tak mungkin rumahnya dikunjungi. Kali ini adalah saat yang tepat. Taksi yang ditumpangi tiba di halaman rumah Diana yang luas tepat pukul enam petang. Suasana masih terang karena bertepatan dengan musim panas sehingga siang berlangsung lebih lama. Kedatangannya disambut langsung oleh kakak sulungnya. Sebelumnya, Dimas memang telah memberikan kabar kedatangannya. "Assalamualaikum." Begitu tiba di depan pintu rumah Dimas langsung mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ya Allah Dimas akhirnya kita bertemu. Bagaimana kabar kamu?" Diana sendiri yang membukakan pintu dan langsung memeluk adiknya yang terpaut 3 tahun lebih muda darinya penuh rindu. "Alhamdulillah,sehat Kak. Kak Diana sendiri apa kabar?" Dimas balik bertanya. Kalau tidak salah keduanya sudah hampir enam bulan tak berjumpa. "Alhamdulillah sehat juga, yang lagi kurang fit itu mas Edwin. Dia baru sembuh batuk pilek." Diana memberikan kabar tentang suami bulenya. "Mas Edwin sama Erik mana?" Dimas menanyakan keberadaan anak dan suami Diana yang tak terlihat. "Mereka lagi pergi ke Wegeningen tadi siang dan kembali besok pagi. Di sana sedang ada acara perayaan." Diana memberitahukan keberadaan keluarganya. "Wah, gara-gara aku kakak jadi tak ikut pergi." Dimas merasa bersalah. "Aduh kok kamu ngomong gitu sih. Santai saja." Diana tersenyum. Ibu satu anak itu lalu mempersilahkan adiknya masuk. Mereka mengambil posisi di ruang keluarga agar terlihat lebih santai. Rumah milik Diana terbilang sangat mewah dan luas. Dia dinikahi oleh pria asal Belanda yang usianya terpaut dua puluh tahun lebih tua darinya. Anaknya yang bernama Erik baru berusia 7 tahun. Keduanya duduk santai di sofa panjang. "Kamu sudah makan belum? Kita makan malam bersama. Sepi banget nih kalau Erik sama ayahnya tidak di rumah." Diana mengungkapkan perasaannya. Ada anak suaminya saja rumah Diana selalu sepi karena ukurannya yang besar sementara penghuninya ada tiga orang ditambah sepuluh orang pelayan, sopir dan satpam. "Belum. Aku sengaja ingin makan masakan kak Diana." Dimas tertawa. "Santai, kakak sudah masak makanan kesukaan kamu." Diana merasa senang ada yang merindukan masakannya. Spesial untuk Dimas ia masak masakan Belanda. Padahal dalam kesehariannya lidah keluarganya terbiasa makan masakan Indonesia. Edwin dan Erik terbiasa dengan budaya indonesia. Kesehariannya pun mereka terbiasa berbahasa Indonesia. Salah satu pelayan yang dimilikinya juga keturunan Indonesia. "Ya sudah kita makan sekarang yuk!" Diana langsung menarik lengan adiknya menuju ruang makan. Berada di rumah Diana cukup melelahkan. Dimas merasa berada di hotelnya. Dari satu ruangan ke ruangan lainnya memakan waktu yang cukup lumayan. Jika dibandingkan dengan rumah orang tuanya mungkin tiga kali lebih luas. Entah berapa jumlah kekayaan yang dimiliki suami kakaknya itu yang jelas Diana tak pernah mau mengungkapnya. Sebagai catatan sang kakak juga terbiasa bersikap ramah dan tak menunjukkan kepemilikannya. Orang akan tahu siapa Diana dan keluarganya saat bertamu ke rumahnya. Keduanya kini berada di ruang makan. Hanya mereka berdua yang duduk menghadapi beberapa hidangan lezat di atas meja. Akhirnya Dimas bisa menikmati hidangan istimewa ini. Ia makan dengan lahapnya seolah satu minggu tak makan. Tentu saja karena hidangan di restoran dan hotel terasa kurang enak di lidahnya. "Kakak pikir Miko ikut kemari, makanya tadi sempat heran saat lihat kamu datang sendirian." Diana mengangkat topik tentang adik iparnya. "Kami baru pulang dari Ambon dan Miko sedang sibuk dengan pekerjaannya karena sekretarisnya itu baru sembuh." Dimas memberi alasan akan absennya sang istri. "Sebenarnya ada oleh-oleh titipan Miko tapi ketinggalan di hotel." Dimas melupakan sesuatu. "Santai saja,kirim besok saja." Diana tak mempermasalahkannya. "Kakak sudah dengar cerita dari Mami, kalau Miko punya masalah." Diana mencoba memberanikan diri menanyakan kebenaran kabar yang diterima dari ibunya. Ia takut itu hanya gosip semata. "Iya, bahkan dokter sudah memvonisnya tak bisa hamil. Kami sudah ikut program bayi tabung. Sayangnya itu pun gagal. Miko malah mengalami keguguran." Dimas tampak sedih. "Sabar ya Dim, kalau sudah waktunya kalian pasti punya anak. Kakak juga menunggu hingga dua tahun dan sampai detik ini belum bisa hamil lagi. Kakak pun sudah dua kali keguguran. Kita pasrahkan saja semuanya kepada Allah." Wanita berambut hitam itu mencoba menghibur adiknya. Ia dapat merasakan penderitaan istri Dimas. Menikah baru satu tahun belum punya anak saja sering dipertanyakan kapan hamil apalagi bertahun-tahun. Orang sekitar terkadang terlalu usil dalam mencampuri urusan rumah tangga orang lain. "Terima kasih Kak, aku selalu berdoa akan datangnya keajaiban, sayangnya Miko tak sabaran. Ia bahkan menyuruhku menikah lagi. Bahkan ia mengatakan hal itu di depan Mami beberapa waktu lalu." Dimas mencurahkan isi hatinya. Tentang hal yang satu ini pun Diana sudah tahu. Ibunya memang telah banyak bercerita.  "Kakak juga kaget dengar itu, kirain itu hanya candaan Mami saja." Diana pun tak habis pikir. Apa yang dipikirkan oleh adik iparnya itu. Sebagai seorang wanita ia tak ingin dimadu. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN