Bab 8

2014 Kata
Ida berada di ruang kelas satu sebuah rumah sakit yang terletak di pusat kota. Kamar yang biasa ditempati oleh dua orang itu hanya menyisakan dirinya seorang, setelah kemarin pasien satu kamarnya pulang lebih awal. Hari ini merupakan hari ketiga dirinya berada di sana. "Alhamdulillah kondisi Ibu sudah membaik, tensi dan HB juga sudah normal kembali. Ibu sudah bisa pulang hari ini." Dokter yang memeriksanya berujar.  Ida diperbolehkan pulang setelah tiga hari terbaring lemah di rumah sakit. Ketika kondisinya tidak sehat tak ada yang peduli dengannya. Ibunya pun tak bisa berbuat banyak karena ia hanyalah wanita lemah yang sakit-sakitan. Keluarga pamannya pun tak ada yang menjenguknya. Ida mengalami anemia. HB nya rendah begitupun dengan tensinya. Gadis itu terlalu lelah bekerja. Selain urusan kantor ia pun sibuk mengurus ibunya ditambah berbagai persoalan dalam keluarganya turut menjadi pemicu. Hampir setiap hari ia bertengkar dengan pamannya. Hal paling serius adalah perjodohannya dengan pria beranak beristri yang bernama Oka. "Alhamdulillah. Terima kasih Dok," Ida tampak gembira. Akhirnya ia akan bisa menghirup kembali udara bebas. Sejak dulu rumah sakit bukanlah tempat yang disukai olehnya. Ia paling malas bertemu dokter dan mencium bau obat-obatan. Selain itu makanan rumah sakit rasanya tak enak di lidah. "Kalau ibu mau pulang hari ini, suster Rika akan membantu," ucap dokter itu sambil mencatat kondisi Ida pada buku kesehatan pasien yang sedang dipegangnya. Ia tahu jika pasiennya yang satu ini tak di dampingi keluarganya.  Setelah proses pemeriksaan selesai, dokter itu pun meninggalkan ruangan kelas satu yang dihuni Ida. Selang infus telah dicabut satu jam yang lalu. Ia pun mulai berkemas untuk pulang ke rumah. "Ini obat-obatan yang harus Ibu minum! Keterangannya ada di sini." Seorang perawat memberikan kantong berisi obat. "Jangan lupa makan teratur dengan gizi seimbang. Ibu jangan terlalu banyak aktifitas untuk sementara waktu." Si perawat memberikan pesan tentu saja sesuai arahan dari dokter yang tadi memeriksa Ida. Ida mengangguk pertanda paham. Menjelang pulang, Ida mengurus semuanya sendiri dengan bantuan perawat. Biaya administrasi pun ia yang membayarkannya. Ia tak memiliki siapapun yang dapat di andalkan. "Terima kasih banyak ya Suster," Ida merasa berhutang budi kepada suster Rika. Selama tiga hari ini suster.muda itu banyak membantu dirinya. Suster bernama Rika juga yang mengantarnya hingga ke tempat parkir, dimana sebuah taksi yang telah di pesan suster tadi menunggunya. Betapa menyedihkannya hidup Ida. Seharusnya ada seseorang yang merupakan anggota keluarganya yang datang menjemputnya, sayangnya semua hanya angan semata. Nyatanya dirinya hanya seorang diri. *** Ia tiba di halaman rumahnya tepat pukul sepuluh. Perasaannya bercampur aduk. Antara bahagia, sedih dan kesal. Usai memberikan ongkos taksi, ia berjalan perlahan sambil menenteng tas berisi pakaian. Di teras depan rumah kedatangannya disambut oleh seorang pria berusia 50an yang berstatus sebagai pamannya. Dia adalah Dewa, adik kandung ayahnya. Pria yang selalu menimbulkan masalah di hidup Ida selama dua tahun terakhir. "Syukurlah kamu sudah pulang. Kebetulan Paman menunggumu. Tadinya paman mau ke rumah sakit" Sang paman tampak senang. Bukan peduli akan kesehatannya melainkan ada hal lain yang ingin disampaikan olehnya. Ida tak merespon. Dirinya enggan bersapa-sapa dengan pria tua yang kerjanya hanya menyusahkan dirinya. Tak sekali pun pria berkumis itu menjenguk dirinya selama di rumah sakit. Alasannya selalu saja sama, dia tak tahan dengan bau rumah sakit. Ida segera melangkah masuk ke dalam hendak menuju  kamarnya. Sayangnya langkah kakinya tertahan karena sang paman menghalangi jalannya. "Tunggu dulu Ida, Paman butuh uang 500 ribu. Sekarang juga." Sang paman tanpa malu dan dengan tak tahu diri malah meminta uang kepada keponakannya yang baru keluar rumah sakit. Ida menahan amarahnya. Ia baru saja sembuh namun sang paman sudah merecoki dirinya. Membuatnya kembali merasa sakit kepala. Bukannya menanyakan kabar atau berbasa-basi menanyakan kondisi kesehatannya saat ini malah meminta uang yang Ida yakini akan dihabiskan di meja judi. Pria di hadapannya ini sungguh tak berperasaan. Kelakuannya seperti iblis yang jahat. "Maaf paman, saat ini aku sudah tidak memiliki uang lagi. Lagipula untuk apa uang itu?" Ida berkata jujur. Seingatnya seminggu yang lalu pria itu baru menerima uang dengan nominal yang sama darinya. Uang di dompetnya sudah ludes. Tabungannya pun semakin menipis. Ia tak tahu harus bagaimana lagi menambah penghasilan. Bisnis sampingan menjual kue-kue pun tak seberapa.  Paman Ida yang bernama Dewa itu melayangkan tatapan tak puasnya. Apa yang diinginkannya tak kesampaian padahal ia butuh uang itu untuk membayar utang judinya. Hatinya menggerutu kesal. Dasar pelit. "Sudah aku bilang mending kamu menikah saja dengan Oka. Kehidupan kamu pasti terjamin seratus persen. Dia itu pria kaya raya yang pasti akan membahagiakanmu. Dia memiliki segalanya. Pikirkan sekali lagi tawaran bagus ini. Kamu jangan bodoh Ida! ingat Ida, ini untuk masa depan kamu" Lagi-lagi Dewa mengungkit perjodohan gila yang ia rancang sendiri secara sepihak. Sampai kapan pun Ida tak sudi menerima tawaran itu. Ia tak mau mengganggu kehidupan rumah tangga orang lain. Tentang pria bernama Oka itu, siapapun pasti telah mengenal kebrengsekannya yang sering berselingkuh dan membeli para wanita untuk dijadikan gundiknya. ida tak ingin menjadi salah satu korbannya. Ida tak ingin ribut, percuma saja meladeni ocehan Dewa yang tak ada ujungnya, kecuali ia diberi uang baru akan pergi dan kembali lagi saat butuh uang. Ida memilih pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Dengan cepat ia mengunci diri di dalam untuk beristirahat sejenak. Ia tak mau diganggu siapa pun. Bahkan ia belum sempat mengunjungi kamar ibunya. Kesehatannya belum seratus persen pulih, ia harus mengikuti saran dokter untuk banyak istirahat dan tidak menerima tekanan. "Ida, Indira dan Agung belum bayar SPP! Bagaimana ini? Pamanmu tak peduli. Bibi bingung karena tak ada lagi uang di dompet." Sukerti, sang Bibi yang menemui dirinya satu jam kemudian pun sikapnya tak jauh dari pamannya. Ia tak sadar diri jika sang keponakan sedang ditimpa kemalangan. Urusan keluarga Dewa dengan dirinya tak jauh dari masalah uang. "Kalau saya sudah menerima gaji nanti akan saya lunasi Bi. Bibi sabar dulu." Ida tak tega jika sepupunya harus putus sekolah. Semua itu adalah tanggung jawab pamannya sayangnya, pria itu abai akan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Uang pria itu malah dihambur-hamburkan untuk berjudi. Ida merasa iba kepada bibinya yang selalu menderita akibat ulah pamannya. Ida sendiri tak tahu harus berbuat apa untuk meloloskan diri dari jeratan ini. Lama-lama ia bisa mati berdiri.  Seandainya tak ada sosok ibunya yang selalu menguatkan, ia akan pergi dari rumah ini. "Terimakasih ya Da, maaf bibi selalu merepotkan," ucapnya basa basi. Sang Bibi lebih santun namun tetap saja tingkahnya sebelas dua belas dengan suaminya. Meskipun demikian setidaknya, wanita beranak tiga itu turut serta merawat ibunya yang sakit. Membuatkan makanan, memandikan dan menggantikan popok saat Ida tak ada di sampingnya. Ida tak merespon hingga Sukerti kembali keluar kamar. Perasaannya makin kalut. "Kamu makan dulu, Bibi sudah masak." Sekali lagi Sukerti berkata sebelum keluar dari pintu kamar. "Iya, nanti." Ida menjawab pelan. Gadis berkacamata itu pun bangkit dari tempat tidurnya lalu menuju kamar ibunya yang terletak di sebelah kamarnya. Ia sangat merindukannya. Wanita paruh baya itu tampak terbaring lemah tak berdaya. Sepertinya ia baru bangun tidur. Begitu melihat putrinya datang, senyumnya langsung terbit. "Ida!" Terdengar suara parau dengan nafas tersengal-sengal.  "Bagaimana kabar kamu, Nak? Ibu sangat mengkhawatirkanmu." Ibu dua anak itu bertanya dengan suara melemah. Rukmini, ibu kandung Ida itu memperlihatkan wajah penuh sesalnya karena tak dapat mendampingi putri tercintanya di saat sakit. "Alhamdulillah saya sudah sehat Bu." Ida mendekat ke arah ibunya kemudian duduk di tepi ranjang seraya menggenggam tangannya yang mulai keriput. Betapa iba ia menyaksikan sang ibu hanya dapat berbaring lemah. "Maaf, Ibu tidak bisa menjagamu bahkan menjenguk pun tidak. Ibu sangat mengkhawatirkan kondisimu." Wanita bernama Rukmini itu berucap penuh sesal. Ia merasa menjadi ibu yang tak berguna karena hanya bisa menyusahkan putrinya tanpa bisa berbuat banyak saat anaknya membutuhkan dirinya. "Tidak apa-apa, Bu. Lagipula saya cuma kelelahan saja dan sudah sembuh. Gimana kabar ibu? Sudah makan dan minum obat?" Giliran Ida yang menanyakan kesehatan ibunya. Selama sakit pun Ida terus memikirkan ibunya. Hampir setiap hari ia menanyakan kabar Rukmini, melalui panggilan telpon milik keponakannya. Wanita berusia 60 tahun itu menderita penyakit ginjal dan komplikasi selama empat tahun terakhir. Keluar rumah sakit seolah menjadi hal yang biasa. Hidupnya pun bergantung pada cuci darah. Seminggu sekali, ia pergi ke rumah sakit untuk cuci darah. Ida atau Sukerti yang akan mengantarnya. "Obat ibu habis!" Rukmini mengeluh. Sejak kemarin sore obatnya habis dan Sukerti tak bisa membelikannya karena wanita itu tak memiliki uang. "Besok, Ida belikan ya Bu." Ida berkata lirih seraya mengusap bahu ibunya lalu memeluk wanita paruh baya yang telah melahirkan dirinya.  Betapa tertekannya ia saat mendengar segala keluh kesah anggota keluarganya. Andai ayahnya masih hidup dan sang kakak ada di dekatnya mungkin hidupnya akan lebih baik. Ia tak akan menanggung beban berat ini sendirian. Sayangnya sang kakak kini jauh darinya. Hubungannya pun renggang sejak Ida memutuskan masuk agama islam. Gusti yang merupakan salah satu pemuka agama di Bali merasa dikhianati adiknya. Sang adik dianggap aib bagi keluarganya karena telah keluar dari agama leluhurnya. Ida bukan hanya pindah agama ia juga pernah melakukan sebuah kesalahan yang sangat fatal hingga membuat Gusti kecewa dan sulit memaafkan gadis itu. Hanya Rukmini, ibunya yang selalu tulus menyayangi dirinya. Bayangan kelam masa lalunya kembali berkelebat. Ida hanya bisa menangis saat mengingatnya. Semua rasa sakit dan sesal berusaha ia kubur dalam-dalam, walaupun pada kenyataannya sungguh sulit. *** Detak jarum jam dinding menjadi teman Ida sebagai pemecah kesunyian malam. Ida  terbaring di kamarnya dengan memeluk guling karakter doraemon yang telah lusuh. Ia kembali mengalami insomnia. Malam ini  rasa kantuk seolah menjauh darinya. Anjuran dari dokter tak diindahkan olehnya. Walaupun telah minum obat yang mengandung efek kantuk, ternyata itu semua tak mempan untuknya. Ia berguling ke sisi kanan dan kiri berulang kali. Ida terus berusaha memejamkan kedua matanya. Pikirannya benar-benar kalut. Gejolak hatinya serta amarah yang ditahannya bersumber pada masalah rumah. Rumahnya kini udah tak nyaman lagi untuk menjadi tempat tinggal dan berteduh  Keputusan menerima kehadiran keluarga sang paman untuk tinggal di rumahnya adalah kesalahan yang sangat fatal. Dulu ia mengizinkan sang paman tinggal di rumahnya untuk sementara waktu sampai mereka menemukan rumah sewaan, lagipula rumah yang ditempati Ida dan ibunya itu merupakan warisan kakeknya untuk ayahnya. Sehingga sulit untuk menolak mereka. Dahulu pamannya di besarkan di rumah ini. Saat ini pun Ida kebingungan untuk mengusir mereka. Lagipula sang paman pasti akan menolak dengan berbagai alasan. Pria itu bukanlah sosok yang mudah menerima.  Malangnya hampir dua tahun sang paman dan keluarganya keasyikan tinggal di rumahnya. Terhitung sejak Ida bekerja di perusahaan Miko. Pria paruh baya itu selalu mengatur hidupnya. Ia merasa kebebasannya terenggut. Ia pun seolah menjadi sapi perah keluarga pamannya. Sang paman yang pengangguran kerjanya hanya judi sabung ayam. Sementara istrinya yang kerja banting tulang berpenghasilan tak seberapa. Ketiga anaknya pun turut merepotkan karena anak sulungnya yang perempuan berstatus janda dua anak dalam keadaan lumpuh di kursi roda. Suaminya meninggalkannya. Dua anak lainnya masih sekolah dan menjadi tanggungannya. Kebutuhan dua keponakan kembarnya yang masih balita pun menjadi urusannya. Tiap bulan ia harus membeli s**u dan popok untuk mereka. Hidupnya penuh penderitaan. Andai ia tak memiliki ibu, mungkin ia sudah pergi entah kemana. Ia memutuskan pulang kembali ke rumah setelah ayahnya meninggal dan ibunya sakit-sakitan. Dulu ia pergi dari rumah setelah diusir ayahnya. Saat ia putus asa terkadang ia menyesali kenapa dulu ia harus selamat saat mencoba bunuh diri. Ya, Beberapa tahun yang lalu Ida hampir tewas akibat ulahnya sendiri yang melakukan percobaan bunuh diri menceburkan diri ke laut. Setelah hal buruk menimpanya bertubi-tubi. Ia pernah merasa sangat hancur saat tunangannya meninggal tepat seminggu sebelum acara pernikahan mereka. Pihak keluarga calon suaminya menuduh jika Ida adalah penyebab kematiannya. Tentu saja tuduhan itu sangat menyakitkan Ya Allah berilah hamba kekuatan! Jerit batin Ida. Gadis malang itu lantas menitikan air matanya saat ia selesai menunaikan ibadah sholat. Tiba-tiba saja ia merindukan kembali pondok pesantren tempat dulu menimba ilmu agama. Di sana ia merasakan ketenangan dan kedamaian. Ia merasa menjadi manusia baru yang terlahir kembali ke dunia. Sekali lagi ingatannya kembali melayang ke masa silam. Perjalanan hidupnya yang penuh liku, serta penyesalannya yang tak terkira. Beruntung ia masih bisa berdiri dan melanjutkan hidupnya. Allah masih melindungi dirinya. Ia bangkit dari pembaringan dan meraih sebuah album kenangan miliknya yang tersimpan rapi di dalam laci. Di sana terpampang gambar-gambar dirinya bersama Putu, tunangannya yang telah tiada. Ia tewas dalam sebuah kecelakaan maut empat tahun yang lalu. Ketiadaan pria bernama Putu dalam hidupnya menyisakan berbagai kisah yang mengubah jalan cerita hidupnya. Di satu sisi Ida merasa hampa dan hancur namun di sisi lain, ia pun mendapatkan hidayah untuk berhijrah dan menjadi sosok Ida yang baru, yang lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi ujian kehidupan. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN