Perasaan Ida menjadi terganggu. Hari minggu kemarin ia seharian penuh tak kemana-mana. Tersangka kasus terornya pasti pamannya. Ia mulai waspada dalam setiap gerak - geriknya. Bukan tak mungkin ia akan mendatangi dirinya kembali.
Pagi-pagi sekali ia berangkat ke kantor karena hari ini merupakan hari senin maka ia akan sangat sibuk. Ia memastikan pintu dan jendela terkunci rapat.
Pagi ini dirinya tak akan mampir ke ke rumah Miko sebab pertemuan hari Sabtu kemarin dirasa cukup. Seharian penuh dirinya berada di sana.
Di kantornya seharian ini ia menjadi sedikit pemurung. Ia tak tahu harus bagaimana. Mungkin harus pindah tempat tinggal agar ia bisa lebih aman. Namun ia juga bingung harus ke mana di tempatnya sekarang ia telah memiliki banyak kenalan dan tetangga baru. Ia telah merasa betah.
Tak ingin mengulang kejadian hari Jum'at lalu, Ida pun segera pulang. Ia akan mampir ke rumah Miko sebentar saja.
"Kamu kenapa kok kusut, sakit ya?" Begitu bertemu dengan sekretarisnya, Miko langsung menanyainya. Wanita yang duduk di kursi roda itu menatapnya.
"Saya baik-baik saja, hanya kurang tidur." Ida berusaha menyembunyikan masalah pribadinya.
"Ingat kesehatan kamu, jangan sampai masuk rumah sakit lagi gara-gara anemia kamu kambuh. Alu pasti merasa bersalah. Urusan pekerjaan ditunda saja. Apalagi kemarin itu hari libur jadi kamu seharusnya istirahat saja." Miko memberikan nasihatnya.
"Mbak sendiri bagaimana kabarnya, maaf kemarin saya tidak ke sini." Ida merasa bersalah.
"Alhamdulillah, aku sudah mulai latihan berdiri. Tangan kananku sekarang sudah mulai bisa bergerak. Tadi seharian aku sama Dimas di rumah sakit." Miko memberikan kabar gembiranya. Ia tersenyum sangat lebar.
"Alhamdulillah, saya turut senang mendengarnya. Semoga mbak Miko pulih seperti sedia kala." Gadis yang mengenakan blazer hitam itu tersenyum bahagia. Ia sangat merindukan bosnya yang energik.
"Mbak Miko, sepulang dari sini saya mendapatkan teror. Ada surat kaleng yang mengancam saya. Setelah saya pikir-pikir kemungkinan besar itu berasal dari paman Dewa. Sebab beberapa waktu yang lalu sebelum terjadi peristiwa percobaan penculikan terhadap saya, ia datang ke kantor namun berhasil saya usir." Ida menceritakan peristiwa yang terjadi dua malam lalu.
"Astaghfirullah, ini tak dapat dibiarkan sebaiknya kamu segera lapor polisi!" Miko terlihat panik. Ia mencoba memberikan saran.
"Sepertinya tidak mungkin. Ini sulit Mbak, sebab saya tak memiliki cukup bukti dan saksi." Ida tampak sedih.
"Boleh saya lihat surat kaleng itu?"
" Sayang sekali, saya langsung merobek dan membuangnya karena tak ingin terus kepikiran teror itu." Ida tak berpikir jauh untuk menjadikan surat ini sebagai bukti.
"Sayang sekali." Miko turut menyesal.
"Mungkin saya harus segera pindah kontrakan untuk menghindari kejaran paman saya." Ida telah memikirkan kepindahannya sejak kemarin malam. Ia tak ingin diganggu kembali oleh pamannya. Jika pamannya datang ke kantor ia lebih mudah menanganinya karena ada banyak teman dan satpam yang akan membantunya.
"Ya Allah, ini benar-benar bahaya. Aku juga ikutan panik mendengar kabar ini. Kamu yang tenang dulu ya Da. Pasti akan ada jalan keluar. Miko mencoba menenangkan sekretarisnya. Miko tentunya ikut mengkhawatirkan nasib Ida. Bayang-bayang pamannya pasti mengancam ketenangan dan ketentraman Ida. Ia harus segera bertindak.
"Kamu jangan dulu pulang ya! Tunggu dulu di sini aku mau bicara dengan Dimas." Miko memberikan perintah.
Ida mengangguk. Ia tak paham maksud dari Miko.
Miko menjalankan kursi rodanya sendiri dengan bantuan tangannya. Ia mencari suaminya yang tengah berada di halaman belakang. Pria itu tampak asyik menyiram tanaman.
"Hai, Ida sudah pulang?" Dimas langsung menyadari kehadiran istrinya. Sebenarnya ia heran tumben sekali sekretaris istrinya hanya mampir sebentar.
"Ida masih berada di ruang kerja, aku ke sini sengaja mencarimu untuk membahas hal penting tentangnya." Miko memulai percakapan serius dengan suaminya.
Dimas segera mematikan selang air yang dipegangnya lalu mendekat ke arah istrinya.
"Hal penting apa?" Dimas tampak heran.
"Sepertinya kita harus segera bertindak. Masalah Ida itu cukup berat. Aku mohon biarkan Ida tinggal di sini untuk sementara waktu. Kejadian malam itu diduga ulah dari pamannya sendiri. Kemarin malam pamannya juga kembali mengancam Ida dengan mengirimkan surat kaleng berisi ancaman." Miko membujuk Dimas untuk ke sekian kalinya agar suaminya memberi izin tinggal Ida di rumah mereka.
"Aku benar-benar kurang paham." Dimas menginginkan penjelasan lebih detail.
"Ida itu dijodohkan oleh pamannya yang bernama Dewa, dengan seorang pria yang telah memiliki anak dan istri. Tentu saja Ida menolaknya. Pamannya itu terus memaksanya. Hingga Ida keluar dari rumahnya tanpa pamit. Tentu saja pamannya mencari Ida karena ia tetap ingin menjodohkan Ida dengan lelaki pilihannya. Paman Ida itu orang jahat yang tega sekali menyakiti keponakannya. Ia pun terlibat banyak utang judi makanya ia terus mengejar Ida dan ingin menjodohkan Ida kepada pria beristri itu sebab pamannya ingin menjadikan Ida sebagai penebus utang-utangnya." Miko memberikan penjelasan panjang lebar agar suaminya mengerti dan tahu permasalahan yang tengah dihadapi oleh sekretarisnya.
Dimas tercengang mendengar penuturan dari istrinya. Ia sama sekali tak menyangka jika sekretaris istrinya yang terkenal berprestasi itu memiliki kisah kehidupan yang berat.
"Bagaimana dengan saudara, keluarga, teman atau pacarnya?" Dimas bertanya hal lain yang berkenaan dengan Ida.
"Dia tak memiliki siapa pun lagi. Ibunya telah meninggal dunia. Keluarga lainnya tak memperdulikannya begitu pun kakaknya sebab Ida telah pindah keyakinan. Ida dimusuhi oleh keluarga dan kerabatnya. Ia tak punya teman dekat sejauh yang kutahu dia juga tak pernah jalan bareng cowok." Miko kembali memberikan keterangan lainnya. Jika diperhatikan nasib Ida tak jauh beda darinya. Miko tak lagi memiliki orangtua. Kakaknya jauh di Amerika, keluarga orangtuanya ada di Jepang. Bedanya keluarga Miko tetap menerima dirinya walaupun Miko telah memeluk agama Islam mereka sama sekali tak membenci dirinya
Dimas manggut-manggut pertanda paham. Sebenarnya ia pun merasa iba.
Dimas terdiam sejenak.
Usulan menerima sekretaris iatrinya tinggal di rumahnya memang harus dipertimbangkan.
"Setelah aku pikir-pikir aku setuju usulan kamu agar Ida tinggal di sini. Besok kamu akan kedatangan perawat baru dan Ida dapat membantu kamu untuk memberikan arahan kepadanya."
Dimas akhirnya memperbolehkan Miko mengajak Ida tinggal di rumah mereka. Setelah dipikir-pikir kehadiran gadis itu cukup banyak membantu istrinya. Baik untuk mengurusi pekerjaan kantor ataupun untuk urusan pribadi. Dengan adanya Ida, istrinya akan memiliki teman terlebih esok lusa perawat Miko akan resign. Jika Ida tinggal bersama mereka keamanannya akan terjamin. Setidaknya teror dari pamannya akan bisa diatasi.
"Terima kasih, Sayang!" Wanita cantik itu tampak girang mendengar persetujuan dari suaminya. Butuh waktu cukup lama untuk meyakinkannya. Andai ia dalam keadaan normal ingin rasanya meloncat-loncat saking senangnya.
"Ya sudah kita temui Ida." Dimas mengakhiri kegiatannya.
Ia segera meraih pegangan kursi roda dan mendorongnya menuju ruang kerja istrinya, dimana Ida dengan sabar menanti Miko. Di sana tampak Ida duduk anteng memainkan ponselnya.
"Maaf kamu harus menunggu lama." Suara Miko mengalihkan perhatian Ida. Ia langsung membenahi posisi duduknya. Di samping Miko ada Dimas yang tengah berdiri sebelum akhirnya mengambil posisi duduk di sofa dekat istrinya.
"Ida, sebaiknya kamu tidak perlu pindah kontrakan. Aku dan Dimas telah berdiskusi dan sepakat meminta kamu untuk tinggal di rumah kami untuk sementara waktu hingga aku sembuh dan permasalahan kamu dan pamanmu terselesaikan." Miko memberikan solusi atas permasalahan yang tengah dihadapi oleh gadis di hadapannya.
Mendengar pernyataan Miko, Ida tampak terkejut. Tawaran yang diajukan oleh atasannya itu terlalu berlebihan. Ida tak mungkin menerimanya begitu saja. Selama ini atasannya itu telah banyak membantu dirinya dan Ida tak ingin terlalu banyak merepotkannya lagi.
"Terima kasih atas tawarannya. Jujur, saya sangat kaget mendengarnya. Terus terang saya malu menerima tawaran ini karena Mbak Miko sekeluarga telah banyak membantu saya. Saya tak tahu harus dengan cara apa membalas semua kebaikan kalian. Saya tak ingin merepotkan Mbak Miko lagi, biarlah saya mencari kontrakan baru saja." Ida berkata dengan mata berkaca-kaca.
"Apa yang dikatakan oleh Miko itu benar, kamu lebih baik tinggal di sini untuk sementara waktu menemani istri saya. Selain memudahkan urusan pekerjaan kantor, kamu juga akan aman dari gangguan orang jahat yang berusaha menyakitimu. Saya telah mendengar banyak cerita tentang kamu dari istri saya. InsyaAllah saya juga bersedia membantu kamu untuk menyelidiki kasus ini." Dimas turut bicara meyakinkan Ida supaya mau menerima kebaikan mereka. Dimas ikhlas membantu gadis malang di hadapannya itu.
"Ayolah, kamu terima ya tawaran dari kami!" Miko menatap Ida penuh harap. Ida balas menatap wajah ayu Miko yang tetap cantik walau tanpa polesan make up sedikit pun. Pandangan Ida lantas beralih tertuju ke arah Dimas. Kedua orang di hadapannya tampak tulus dan ikhlas membantunya. Ia tak ingin dikatakan sombong dengan menolaknya. Sejujurnya, ia butuh seseorang yang dapat melindunginya dari kejahatan pamannya. Tidak menutup kemungkinan esok atau lusa akan terjadi hal yang lebih buruk menimpa dirinya.
" Baiklah Mbak Miko, Pak Dimas saya akan menerima tawaran kalian berdua. Terima kasih banyak atas semua kebaikan yang telah diberikan dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah merepotkan kalian. Meskipun kalian bukan keluarga saya, namun kalian begitu perhatian. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian."
Ida benar-benar terharu dengan kebaikan pasangan suami istri di hadapannya. Mereka berperan lebih dari keluarganya sendiri. Mau menampung dirinya dan membantu kesulitannya. Ida berjanji dalam hati akan membalas semua kebaikan mereka.
"Mulai malam ini kamu bisa tinggal di sini. Nanti Mbok Darmini yang akan membereskan kamar yang akan ditempati oleh kamu. Letaknya ada di atas." Miko memberikan keputusan.
Sekali lagi Ida terkejut. Ini terlalu terburu-buru. Miko memang sengaja menekan Ida agar sekretarisnya itu tak menolaknya lagi.
"Bagaimana dengan barang-barang saya?" Ida tampak kebingungan.
"Kamu ambil semua baju kamu dan barang pribadi kamu selebihnya barang-barang lainnya tinggalkan saja atau berikan saja kepada tetangga kamu yang membutuhkannya. Mungkin Dimas bisa mengantar kamu." Miko langsung melirik ke arah suaminya.
"Sayang, kamu mau kan mengantar Ida mengambil barang-barangnya ke rumah kontrakan Ida?" Miko melayangkan tatapan memohonnya.
Tentu saja Dimas tak akan menolak. Terlebih wanita muda yang berprofesi sebagai sekretaris istrinya itu sedang dalam ancaman kejahatan seseorang.
"Baiklah, sekarang kita siap-siap pergi ke tempat kamu selagi hari belum gelap." Dimas menatap Ida. Gadis berkulit sawo matang itu merasa kikuk mendapatkan tatapan dari Dimas. Dengan cepat ia segera memalingkan wajahnya ke arah Miko. Jujur saja, ia merasa tak nyaman berdekatan dengan suami bosnya itu. Ada perasaan asing yang menyusup kedalam dirinya. Terkadang jantungnya mendadak berdetak lebih kencang.
***
"Sayang, aku pergi dulu ya, kamu hati-hati di rumah. Mandi sorenya sama Salwa saja ya." Bisik Dimas sebelum ia pergi meninggalkan Miko untuk mengantar Ida.
Ia pun mengecup kening istrinya. Pemandangan itu sempat tertangkap oleh Ida. Wanita itu jadi merasa malu sendiri. Hari-hari ke depannya ia akan lebih sering menyaksikan pemandangan seperti itu, bahkan lebih dari itu.
Usai berpamitan kepada Miko, Ida dan Dimas segera masuk ke dalam mobil. Dimas duduk di balik kemudi, sementara Ida berada di jok samping Dimas. Tempat duduk yang biasa ditempati oleh Miko. Awalnya Ida merasa canggung dan tak nyaman duduk berdekatan dengan pria tampan itu. Sebelumnya ia berencana duduk di jok belakang namun Dimas memerintahkannya untuk duduk di sampingnya, karena dirinya bukan sopir pribadi Ida. Lagi-lagi ada getaran aneh di hatinya.
Sepanjang perjalanan keduanya tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya suara alunan musik lawas yang memenuhi indera pendengaran dua insan yang tak terlalu saling kenal itu.
Sepuluh menit kemudian mereka tiba di kawasan tempat tinggal Ida. Dimas terpaksa memarkir mobilnya di tepi jalan lantaran akses menuju rumah Ida berupa gang sempit yang tak bisa dilalui oleh kendaraan. Ida berjalan lebih dulu diikuti oleh Dimas dari belakang. Seratus meter kemudian mereka tiba di rumah kontrakan Ida.
"Ini tempat tinggal saya, Pak!" Ida menunjukkan rumah kontrakan yang ditempatinya lebih dari dua bulan. Dimas mengikuti langkah Ida menuju pintu nomor 4.
"Silahkan duduk Pak!" Ida mempersilahkan Dimas duduk di kursi teras. Ia sendiri sibuk membuka kunci pintu.
Tiba di dalam ia langsung mengemas pakaiannya tanpa ada yang tertinggal. Berhubung jumlah barang pribadinya hanya sedikit, maka tak banyak memakan waktu. Ia segera keluar dengan sebuah koper besar di tangannya.
"Sudah selesai?" tanya Dimas seraya menatap ke arah barang bawaan Ida.
Ida mengangguk.
"Sudah Pak, sebentar saya mau menitipkan kunci dulu." Ida berlalu dari hadapan Dimas menuju rumah Lia.
Dimas menatap kepergian Ida menuju rumah tetangganya. Diam-diam sejak tadi ia mengamati gerak- gerik gadis berkaca mata itu. Ada perasaan iba melihat kehidupan sekretaris istrinya itu. Dirinya terbiasa bertemu dengan sekretaris cantik yang seksi dan modis dengan kehidupan glamour mereka, maka dari itu sampai detik ini dirinya tak pernah mempekerjakan sekretaris perempuan. Ia mengikuti jejak ayahnya. Alasannya karena takut tak kuat iman dan membuat affair bersamanya.
Kehidupan sekretaris kebanyakan ungguh berbeda jauh dengan Ida. Pantas saja istrinya menyukai Ida karena dia gadis sederhana dan pekerja keras.
Ida harus menanggung biaya perawatan ibunya yang sakit-sakitan ditambah menanggung biaya kehidupan rumah tangga pamannya. Ia jarang memikirkan dirinya sendiri.
Semua perkataan Miko terngiang di telinganya.
Ida sudah kembali berada di hadapan Ida, usai berpamitan kepada Lia. Ia menitipkan kunci rumah untuk diserahkan kepada pemilik kontrakan. Semua barang yang dimilikinya disumbangkan kepada Lia sesuai perintah dari Miko.
"Sudah?" Dimas bertanya kepada Ida.
"Sudah, Pak." Ida mengangguk kemudian segera meraih kopernya untuk didorong.
"Biar saya yang bawa." Dimas mengambil alih koper warna hitam yang terlihat lusuh dari tangan Ida.
"Tidak usah Pak, saya bisa sendiri. Lagipula koper ini ringan karena tinggal didorong saja." Ida merasa tak enak hati. Dimas itu suami bosnya masa harus mengangkat barang-barangnya.
"Tak masalah. Saya merasa aneh saja membiarkan wanita bersusah payah membawa barang sebesar itu. Kesannya saya itu tak peduli sama kamu. Kalau Miko tahu saya bisa kena omel dia." Dimas berkata setengah bercanda. Dari bibir warna pink nya tersungging sebuah senyuman. Ida sampai berusaha menahan nafasnya. Jantungnya mendadak berhenti berdetak. Pria di hadapannya itu terlihat lebih tampan berkali lipat.
"Terima kasih Pak, Maaf saya merepotkan Bapak." Ida pun membiarkan Dimas membawa kopernya.
Keduanya berjalan beriringan meninggalkan kontrakan Ida. Hari mulai gelap karena telah lewat waktu magrib. Ida tak sempat berpamitan kepada penghuni lain karena mereka sedang tak ada di tempat. Biarlah esok atau lusa ia sengaja datang kembali.
***
TBC