“Apa kamu tahu berapa banyak kerugian dari pembatalan proyek reality show itu?” mbak Yessy menatap tajam.
Nathan hanya menunduk dengan jari berpilin.
Mbak Yessy memutar kursinya dan menghela napas gusar sambil membelakangi Nathan. Dia begitu murka saat Nathan tiba-tiba saja menolak untuk menekan kontrak reality show itu. Padahal sebelumnya Nathan sudah mengatakan bahwa dia bersedia menerimanya. Hal itu tentu saja membuat mbak Yessy naik pitam. Sebagai CEO dia pun merasa dipermalukan oleh Nathan kepada para investor dan juga semua pihak yang terlibat dalam proyek itu.
“Saya dengar terakhir kali Hana mengancam kamu akan membeberkan semua rahasia kalian. Apa itu benar?” tanya mbak Yessy tanpa memutar kembali posisi duduknya.
Nathan meneguk ludah. “D-dia hanya emosi sesaat. Hana tidak akan mungkin berbuat seperti itu.
Mbak Yessy memutar duduknya, lalu menatap sinis. “Apa alasan kamu menolak proyek kali ini karena dia?”
Deg.
Bola mata Nathan bergerak liar memikirkan sebuah alasan. Bibir pemuda itu sudah bergerak-gerak pelan, tapi tidak ada satu kata pun yang terucap.
“Terakhir kali bahkan ada yang melaporkan kalau dia kembali datang ke sini,” tambah mbak Yessy.
Nathan memejamkan matanya dengan helaan napas yang sudah memburu. Tidak lama kemudian kedua tangannya mengepal kuat. Sorot matanya pun berubah tajam menatap mbak Yessy.
“Bukankah semua ini sudah sangat keterlaluan?” tanya Nathan.
Mbak Yessy tersentak, tapi kemudian dia langsung mengkondisikan raut wajahnya. “Jangan pernah menyalahkan siapa-siapa... karena semua ini adalah jalan yang kamu pilih.”
“S-saya mengerti! Saya bahkan sudah melakukan yang terbaik... tapi semakin hari sata merasa seperti di eksploitasi secara keterlaluan... saya memahami hal itu karena itu memang risiko pekerjaan saya. Tapi kenapa kehidupan pribadi saya juga dibatasi?” tanya Nathan.
Mbak Yessy tersenyum tipis. “Lalu... apa kamu ingin mengakhiri semuanya?”
Deg.
“Kamu bisa saja melepaskan semua yang sudah kamu raih selama ini,” ucap mbak Yessy.
Nathan meneguk ludah.
“Selain itu... kamu tahu sendiri bukan bahwa proyek kerja sama yang melibatkan kamu bernilai sekitar 40 miliar hingga 3 tahun ke depan... jika kamu membatalkan semua kontrak kerja itu, kamu hanya perlu menggantinya sebanyak dua kali lipat dari jumlah yang tertera. Setelah itu kamu pun akan kembali bebas dan lepas.” Mbak Yessy menyeringai penuh kemenangan.
Kepalan tangan Nathan pun mengendur. Raut wajahnya kini berubah cemas.
“Oleh karena itu... kamu harus pandai menjaga Hana! Atau kalau kamu tidak sanggup mengatasinya lagi, kamu harus menyingkirkannya.”
_
Nathan terpana mengingat-ingat pembicaraannya dengan mbak Yessy sore tadi. Tatapannya beralih pada botol bir yang sudah berserakan di atas meja. Nathan meraih salah satu botol itu, mencoba menuangkannya ke gelas, lalu meletakkanya dengan gusar karena botol itu kini sudah kosong. Nathan beralih memeriksa botol-botol yang lainnya. Kosong. Semua minuman alkohol itu sudah ditenggaknya habis-habis.
Sebenarnya sejak kapan Nathan begitu terobsesi menjadi terkenal?
Sebenarnya sejak kapan Nathan tidak memiliki kuasa lagi pada dirinya sendiri?
Ingatan Nathan pun terlempar pada sekelebat kenangan masa lalu. Sebagai seorang anak yang hidup di tengah ketervatasan, sebagai anak yang besar di panti asuhan, sebagai anak yang tidak mempunyai apa-apa, Nathan memang tidak pernah mendapatkan perhatian khusus di masa lalunya.
Nathan tumbuh menjadi anak yang pendiam dan juga menutup diri dari teman-temannya. Bahkan sewaktu duduk di bangku SMP, Nathan sempat menjadi korban perundungan di sekolahnya. Saat itu Nathan bahkan tidak bisa mengadukannya kepada siapa-siapa. Dia berusaha menahan diri dan hanya menanggung semua itu sendirian. Sampai kemudian Nathan tidak tahan lagi dan mengadu pada wali kelas. Saat itu Nathan sempat berpikir bahwa dia akan mendapatkan keadilan. Tetapi...
Semua itu hanya sebatas angannya saja.
Anak yang membully Nathan merupakan putra dari pemilik yayasan sekolah. Lebih dari itu, ayah dari anak yang membully-nya juga merupakan donatur tetap di panti asuhan tempat Nathan tinggal. Semua fakta itu tentu saja membuat Nathan tercengang. Keadaan pun menjadi terbalik. Bukannya menerima permintaan maaf, Nathan malah diharuskan meminta maaf kepada siswa yang sudah merundungnya itu. Saat itulah Nathan menyadari bahwa dunia adalah tempat yang kejam baginya. Tidak ada yang mendengarkannya. Tidak ada yang peduli padanya. Tidak ada yang menghiraukan keberadaannya. Dia bukan siapa-siapa. Tanpa daya dan juga kuasa untuk berbuat sesuatu.
Namun... semua berubah saat dia menjelma sebagai seorang superstar. Dia selalu menjadi pusat perhatian. Dia selalu didengarkan. Keberadaanya selalu diakui. Dia bahkan bisa mendapatkan apa saja. Kehormatan, popularitas, harta, Nathan mendapatkan semua yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Nathan merasa ada.
Dia merasa dibutuhkan.
Dia merasa diinginkan.
Dia menikmati kehidupan yang seperti itu.
“Aku... benar-benar tidak ingin kehilangan semua ini,” bisik Nathan dengan sorot mata tajam.”
Tidak beberapa lama berselang, Nathan pun mendengar suara seseorang memencet password pintu apartement-nya. Suara derap langkah pun semakin lama terdengar semakin jelas. Akhirnya Ari pun kembali datang bersama Hana yang terlihat melangkah ragu di belakangnya.
“A-aku permisi dulu, ya!” Ari menatap Hana dan Nathan bergantian.
Hana menatap kepergian Ari dengan wajah cemas. Kemudian dia beralih menatap Nathan yang kembali mencoba menuangkan botol bir yang sudah kosong. Pemandangan itu membuat Hana meneguk ludah. Ini adalah pertama kalinya Hana melihat Nathan terlihat kacau seperti itu. Hana mulai melangkah mendekat dan duduk di depan Nathan. Bau alkohol pun langsung menyengat hidungnya.
Karena tidak tahan dengan bau itu, Hana pun menutup hidungnya dengan telapak tangan/
“Kenapa? kamu tidak suka dengan baunya?” Nathan menatap dengan mata sayu.
Hana meneguk ludah. “S-sejak kapan kamu suka minum-minum seperti ini?”
Nathan tersenyum tipis. “Aku bukan lagi Nathan yang dulu! Aku bukan lagi Nathan yang miskin dan bisa dihina oleh banyak orang. Aku sekarang punya segalanya! Aku bisa mendapatkan semua yang aku mau. Tapi... kenapa kamu selalu mengganggu?”
Deg.
Ucapan itu membuat aliran napas Hana terasa sesak. Hana menatap nanar, sedangkan Nathan kini tertawa keras dengan wajah yang sudah memerah.
“Hahahahaaha...!”
“Hahahahaha....!”
“Kenapa? apa kamu tidak bangga mempunya suami orang terkenal seperti aku?” tanya Nathan.
Hana meneguk ludah. Dia tidak bisa berkata-kata. Dia mendekat dan mengangkat wajah Nathan dengan kedua telapak tangannya di pipi suaminya itu.
“Apa kamu tahu apa yang sudah aku lewati untuk bisa sampai sejauh ini, ha?” tanya Nathan dengan suara parau.
“Ada apa, Nath? Kenapa kamu jadi seperti ini?” tanya Hana dengan suara lirih.
Nathan menatapnya dengan kelopak mata yang terbuka dan menutup pelan. “Kenapa kamu ingin menghancurkan aku?”
Bibir Hana bergetar menahan tangis. “Aku tidak pernah berniat untuk menghancurkan kamu Nathan.
“Lalu kenapa kamu mengancam aku seperti itu?”
“Aku marah! Aku kecewa! Aku kesulitan menghubungi kamu... a-aku benar-benar frustasi Nath,” jawab Hana.
“Tapi aku selalu mengirimkan kamu uang sebagai bentuk tanggung jawab aku. Semua kerja keras ini untuk kamu Hana!”
Hana menatap lirih. “Kamu pikir semua ini hanya masalah uang. Katakanlah kamu memang menafkahi aku secara lahir, tapi bagaimana dengan nafkah batin? Aku merindukan kamu setiap malam Nathan.”
Nathan menelan ludah, lalu menatap Hana lekat-lekat. Sedetik kemudian dia menarik kemeja Hana dengan kasar hingga pundaknya terbuka.
“A-ada apa? kenapa kamu seperti ini?” tanya Hana.
Nathan menatap tajam. Sorot matanya berubah buas. Hana tidak pernah melihat Nathan seperti itu sebelumnya. “Katanya kamu merindukan aku... katanya kamu menginginkan nafkah batin? Baiklah... aku akan memberikannya.”
Nathan mendorong tubuh Hana dengan kasar ke atas sofa dan langsung menindihnya dengan napas memburu. Lelaki itu melepas pakaian dan celananya dengan tergesa-gesa. Hana yang tidak siap dengan kondisi itu pun mencoba mendorong Nathan menjauh, tapi Nathan kembali mendorongnya seraya menatap tajam.
“Kenapa...? bukankah kamu menginginkannya, ha? aku akan memuaskan kamu. Aku akan menebus semuanya sekarang.”
Hana menggeleng pelan disertai derai air mata. Dia memang merindukan Nathan. Dia memang ingin bercinta dengan suaminya itu. Tapi tidak dalam situasi seperti ini. Bukan dengan cara yang seperti ini. Sementara Nathan yang sudah mabuk itu semakin menggila. Dia sudah berhasil melucuti pakaian yang melekat di tubuh Hana.
Hana pun terhenyak ketika Nathan ‘menyerang’nya dengan kasar. Dia menatap wajah lelaki itu lekat-lekat dengan air mata meleleh. Nathan terlihat seperti iblis yang kelaparan. Seringai diwajahnya begitu menyeramkan. Tatapan matanya terlihat sangat berbeda. Hana tahu bahwa itu adalah sosok suaminya. Tetapi kenapa saat ini dia merasa seperti tengah diperkosa?
“N-Nathan... aku kesakitan,” bisik Hana.
Nathan tidak peduli dan terus saja melanjutkan pekerjaannya. “Sssstt... Jangan banyak bicara, kamu hanya perlu menikmatinya saja.”
Hana pun akhirnya memilih memejamkan mata. Tidak ada sedikitpun sensasi kesenangan seperti sebelumnya. Tidak ada kehangatan yang dulu selalu menenangkannya. Tidak ada lagi gairah yang membuat darahnya bergejolak. Hana hanya meringis menahan serangan bertubi-tubi.
“Come on... kamu menikmatinya bukan? Bagaimana menurut kamu, bukankah kemampuanku meningkat pesat?” bisik Nathan dengan napas sesak.
Hana kembali membuka matanya. Bersamaan dengan itu air matanya pun meleleh pelan.
Deg.
Menyadari hal itu Nathan pun menghentikan aksinya, lalu menatap Hana lekat-lekat. Nathan terkejut melihat raut wajah yang ketakutan itu. Dia segera beranjak menjauhi Hana dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Keheningan pun menyebar untuk sesaat. Hana masih menangis dengan tatapan tertuju pada langit-langit ruangan itu.
Tidak lama kemudian Nathan pun kembali menatap Hana, menarik lengannya dengan pelan, lalu memeluknya erat.
“M-maafkan aku Hana... maafkan aku...!” Nathan yang sudah tersadar mengusap-usap kepala Hana dengan lembut.
Hana tidak menjawab sama sekali. Tubuhnya begitu lunglai dalam dekapan Nathan. Dia benar-benar syok dengan apa yang baru saja terjadi. Tidak lama kemudian kedua pundaknya mulai bergetar, diiringi dengan suara isak tangisnya yang mulai terdengar.
Nathan pun menatap khawatir. Dia sendiri juga tidak sadar kenapa bisa bertindak gila seperti itu. Nathan mendekap Hana lebih erat lagi. Dia benar-benar panik dan tidak tahu harus berbuat apa selain terus berbisik ke telinga Hana.
“Maafkan aku Hana... maafkan aku....”
_
Bersambung...
_
Bersambung...