“Kenapa dari tadi kamu kelihatan bete, sih?” Samanta yang tadinya sudah berbaring di ranjang kembali bangun dan menyentuh pundak Nathan dengan pelan.
Nathan yang sedang duduk di pinggir ranjang menelan ludah. “Nggak ada apa-apa kok.”
Samanta kembali menghempaskan kepalanya ke bantal. Wanita cantik itu tersenyum, lalu menepuk bantal yang ada di sebelahnya. “Ayo sini!”
Nathan hanya menatap lesu. Sedetik kemudian dia malah bangkit berdiri. “Aku ke toilet dulu sebentar.”
Nathan bergegas masuk ke dalam kamar mandi, kemudian mengunci pintu itu rapat-rapat. Dia melangkah gontai mendekati cermin, lalu menatap bayangannya sendiri lekat-lekat. Sekelebat kejadian tadi pagi kembali terbayang olehnya. Nathan menyalakan kran air, tetapi dia tidak melakukan apa-apa. Nathan memejamkan matanya sambil menghela napas panjang. Setelah itu dia pun kembali membuka matanya perlahan dan menatap bayangannya sendiri di cermin.
“Kenapa kamu melakukan itu?”
“Nathan... kenapa kamu lama sekali?” suara Samanta terdengar samar.
Nathan yang terkejut pun langsung mematikan kran air. “S-sebentar.”
Nathan bergegas membuka pintu itu dan memasang wajah memelas. “Sepertinya pencernaan aku bermasalah. Benar-benar terasa tidak enak.”
Samanta menatap rusuh. T-terus gimana? apa sebaiknya aku menghubungi dokter poribadi kamu?”
Nathan lekas menggeleng. “Tidak usah... kemarin aku sudah mendapatkan resep obat dari Dokter Rudi, tapi masalahnya aku tidak membawa obat itu ke sini.”
Nathan menunggu respon Samanta dengan raut cemas. Sedangkan perempuan itu kini mengangguk-angguk pelan, lalu tersenyum.
“Ya sudah... sebaiknya sekarang kita pulang aja ya! agar kamu bisa segera minum obat dan beristirahat,” ucap Samanta.
“I-iya!” Nathan pun mengangguk senang.
Nathan mengembuskan napas lega karena berhasil membuat sebuah alasan. Malam ini dia memang benar-benar membutuhkan waktu untuk sendirian. Walaupun dia merasa senang saat bersama Samanta, tapi dia takut jika nanti mood jeleknya itu juga memengaruhi sikapnya kepada perempuan itu.
Nathan dan Samanta pun segera berkemas untuk keluar dari kamar hotel itu. Keduanya dengan sigap kembali memasang mantel dan juga sepatu mereka. Nathan juga sudah memasang topinya kembali, namun saat akan mengenakan masker untuk menutupi wajahnya, Samanta segera menghalanginya.
“Tunggu...! apa kamu tidak mau memberikan kecupan manis dulu sebelum kita pergi?” Samanta mengedipkan matanya.
Nathan pun tersenyum, dia meraih melingkarkan tangannya di pinggang ramping Samanta, kemudian mendaratkan kecupan ringan di bibir perempuan itu.
_
Setelah tertidur beberapa saat, Hana pun terbangun dan merasakan ada sebuah benda asing menempel di keningnya. Dia mengambil sapu tangan itu, kemudian menatap heran. Sesaat kemudian Hana pun terkejut saat melihat sosok Airin terlelap di bawah sana.
“A-Airin...?”
“Kamu sudah bangun?” Airin menguap lebar.
Hana memijit kepalanya sebentar. Dia hanya ingat saat terakhir kali membukakan pintu dan melihat Airin membawa sup untuknya.
“Kenapa kamu jadi seperti ini, Na?” tanya Airin dengan nada hati-hati.
Hana memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “A-aku nggak apa-apa kok.”
Airin mengembuskan napas panjang. Sementara Hana kini menghindari kontak mata mata dengannya. Keadaan pun sejenak menjadi hening. Airin masih menatap Hana lekat-lekat. Yang ditatap pun semakin menjadi salah tingkah. Sesekali Hana mengangkat wajahnya menatap Airin dan ketika dia mengangkat wajah untuk yang ke sekian kalinya, Airin langsung mendekapnya lembut.
“Menangislah... kalau kamu ingin menangis, menangis saja,” bisik Airin.
Deg.
Hana tertegun sebentar, tak lama setelah itu bibirnya pun mulai berkedut menahan tangis. Airin menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut. Lama kelamaan suara tangis Hana mulai terdengar samar, hingga kemudian dia melepaskan semuanya. Hana menumpahkan semua sesak yang membelenggu d**a. Pundak itu terasa begitu berarti baginya. Sepertinya Hana sudah tidak peduli lagi. Dia terus menangis dan Airin pun terus menepuk-nepuk punggungnya.
“Tidak apa-apa. Lepaskan saja agar kamu merasa lega....”
Setelah puas menangis, Hana pun kini tertunduk malu. mata dan hidungnya kini sudah memerah. Dia kembali tidak berani menatap Airin yang kini menyembunyikan senyumnya.
“Tidak apa-apa kok. Aku juga pernah menangis seperti itu,” ucap Airin.
Hana mengangkat dagunya.
“Dalam hidup... terkadang kita memang dihadapkan pada sesuatu yang tidak kita sukai. Aku tidak tahu permasalahan apa yang menimpa kamu... aku pun juga tidak berhak untuk mengetahuinya, tapi yang jelas... setiap permasalahan itu pasti akan menemui titik terang. Pasti akan menemukan jalan keluarnya. Mungkin memang butuh waktu, mungkin kamu memang harus menunggu, tapi percayalah... setiap ujian yang datang adalah pertanda bahwa Tuhan akan mengangkat derajat kamu lebih tinggi lagi.” Airin berucap panjang lebar.
Air mata Hana pun menitik pelan mendengar nasehat itu. Bagi orang seperti dia, nasehat seperti itu terasa begitu berharga. Wajar saja selama ini tidak ada seorang pun yang memberinya nasehat seperti itu. Hana tidak mempunyai keluarga. Dia tidak mempunyai siapa-siapa selain Nathan.
“M-maafkan aku Rin... aku tidak bisa mencewritakan semuanya,” ucap Hana lirih.
Airin tersenyum. “Tidak apa-apa, kok... yang jelas sekarang... kamu makan dulu sop yang tadi aku bawain yah... aku sudah panasin sopnya di dapur. Tunggu sebentar dan sorry karena aku makai dapur kamu nggak bilang-bilang dulu.”
Hana hanya tersenyum tipis.
Aliran hangat pun terasa mengaliri kerongkongan Hana begitu dia menyeruput kuah sop yang segar. Perutnya seketika terasa hangat. Sop buatan Airin terasa begitu lezat. Selain itu Hana memang sudah sangat merasa kelaparan. Dia terus menyuap campuran nasi dan sop itu dengan lahap, sedangkan Airin hanya tersenyum. Tatapan Airin beralih pada remote televisi, kemudian menyalakannya.
“Aku nyalain TV-nya boleh kan?” tanya Airin.
Hana mengangguk dengan mulut terisi penuh.
Airin pun mulai mengganti saluran siaran televisi dan berhenti saat sudah menemukan sinetron kesukaannya.
“Kamu suka nggak sinetron ini?” tanya Airin kemudian.
Deg.
Hana termangu dan berhenti mengunyah. Itu adalah salah satu sinetron yang dibintangi oleh Nathan. Hana hanya menatap sekilas, lalu tersenyum tipis.
“Oh iya... terakhir kali kamu juga sudah nonton film-nya kan? bagaimana jalan ceritanya? Aku melihat di semua pemberitaan kalau film itu begitu luar biasa,” ucap Airin.
Hana meletakkan mangkok sopnya, lalu memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Menurut aku film-nya biasa saja.”
Airin menatap heran. Baginya jawaban Hana terdengar begitu dingin dan kaku. Airin pun emnatap Hana lekat-lekat. Sesekali Hana melirik ke televisi dengan tatapan sendu. Kemudian raut wajahnya berubah marah dan kembali memalingkan pandangannya dari layar televisi. Airin pun beralih menatap layar yang sedang menampilkan sosok Jonathan. Sejenak dia tertegun hingga kemudian matanya membelalak.
“Nathan...?” Airin menatap layar televisi dan Hana secara bergantian.
Pikiran Airin pun kini dipenuhi oleh dugaan-dugaan yang menggelitiknya. “Apa mungkin Nathan yang tadi dia sebut-sebut dalam tidurnya dalah Jonathan?”
Airin menggeleng cepat. “Nggak... itu nggak mungkin... tapi....”
Airin menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Menyadari hal itu Hana pun tersenyum, mengambil remote di atas meja, lalu mengganti saluran televisi itu.
“Mungkin semua orang sangat menyukai dia... tapi aku tidak terlalu tertarik pada aktor itu,” ucap Hana kemudian.
_
Hari-hari pun terus berlalu. Sejak pertengkaran hebat saat itu, Hana dan Nathan sama sekali belum pernah berkomunikasi lagi. nomor handphone Nathan tidak bisa lagi dihubungi. Tidak ada kabar lagi yang datang. Tidak ada lagi berita tentang Nathan yang dia dengar selain dari berita di televisi.
Secara mengejutkan Nathan juga membatalkan keikut sertaannya dalam reality show bersama Samanta. Hal itu diketahui Hana setelah menonton salah satu acara gosip. Di satu sisi Hana merasa lega, tpi di sisi lain dia juga mulai merasa bersalah. Semakin hari Hana semakin disiksa oleh perasaannya sendiri.
“Apakah sekarang Nathan tidak peduli lagi padanya?”
“Apakah Nathan masih marah kepadanya?”
“Apakah Nathan sudah melupakan keberadaannya?”
Dua hari yang lalu Hana bahkan mencoba mengunjungi agensinya, tapi kali ini pengamanan di sana sudah lebih diperketat. Hana bahkan tidak bisa memasuki kawasan itu sama sekali karena dijaga begitu ketat. Meskipun begitu Hana sempat bertahan di sana dari pagi hingga sore hari dan tanpa sepengetahuannya, Nathan pun mengetahui perihal kedatangannya itu, namun tidak menggubrisnya sama sekali.
“Sekarang aku harus bagaimana? Apa aku harus menerima saja semua yang terjadi? Apa benar seperti kata Nathan... inilah risiko yang harus aku terima sebagai istri seorang bintang sepertinya?” Hana bertanya pada dirinya sendiri.
Tatapan Hana pun beralih pada kalender yang tertempel di dinding. Ada sebuah angka yang di tandai dengan tanda love menggunakan spidol warna merah. Hana meneguk ludah. Besok adalah ulang tahun pernikahan dia dan Nathan. Tahun lalu mereka masih sempat merayakannya dengan melakukan kencan rahasia.
Saat itu mereka berdua memutuskan jalan-jalan keluar kota. Namun perjalanan itu malah terasa melelahkan karena Nathan harus terus menerus menyembunyikan identitasnya. Sepanjang liburan itu Nathan dan Hana terus saja menghindari keramaian. Mereka juga segera pergi jika ada seseorang yang sudah menyadari identitas Nathan. Waktu itu Hana bahkan merasa bagai seorang buronan yang sedang melarikan diri.
Ya... sejak menjadi selebiritis, Hana memang kehilangan sosok Nathan secara perlahan.
“Apa dia ingat dengan hari esok?” bisik Hana.
Ada secercah harap yang kini mulai tumbuh di dalam hatinya, tapi Hana segera menepis harapan itu. Dia tidak mau lagi terluka karena kecewa. Dia tidak mau terlalu banyak berharap saat ini. Satu-satunya keinginannya hanyalah bisa menjalani kehidupan yang normal sebagai istri dari Nathan. Tapi apakah semua itu mungkin? Apakah Nathan mau mengakui rahasia mereka kepada publik?
Ting tong...
Tiba-tiba Hana dikejutkan oleh suara bel di luar sana. “Airin?” desisnya pelan.
Hana segera bergegas pergi keluar dan membukakan pintu. Dia pun langsung tersentak kaget. Ternyata itu bukan Airin, melainkan Ari yang kini tersenyum sambil melepas topinya.
“A-Ari...?”
Ari tersenyum canggung. “Hai... syukurlah kamu masih bangun. Aku pikir tadi kamu sudah tertidur.”
“Ada apa kamu malam-malam datang ke sini?” tanya Hana.
Ari menelan ludah, lalu menatap Hana lekat-lekat. “Nathan ingin mengajak kamu bertemu. Jadi aku diperintahkan untuk menjemput kamu ke sini.”
Hana termangu sejenak, setelah itu dia pun tidak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahnya. Hana menatap panik pada pakaian yang akan dikenakannya.
“T-tunggu sebentar ya! aku akan berdandan dulu...”
“K-kamu tidak per—” tangan Ari yang mengawang di udara untuk menghentikan Hana kembali ditariknya perlahan. Dia tidak tega melanjutkan kalimatnya. Dia juga tidak berani menyampaikan alasan kenapa Nathan ingin bertemu dengan Hana. Ari hanya bisa menghela napas, kemudian berbisik pelan sambil menatap Hana yang berlari menaiki anak tangga.
“Maafkan aku Hana... tapi aku sendiri pun tidak punya kuasa lagi untuk sekedar menasehatinya,” bisik Ari lirih.
_
Bersambung...