Empat Hati Yang Saling Terkait

1490 Kata
Matahari pagi sudah datang menjelang. Nathan masih terlelap dengan wajah lelah. Sementara Hana sudah terbangun dan berpakaian rapi kembali. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Hana menatap wajah suaminya itu lekat-lekat. Seulas senyum tipis pun kini terbit di wajahnya. Semalam Hana benar-benar tertidur nyenyak dalam hangatnya dekapan Nathan yang lembut. Walau awalnya Nathan bersikap seperti preman dan sempat membuat Hana syok, di penghujung malam sosok Nathan yang Hana kenal pun kembali muncul. Sosok yang hangat, lembut, dan romantis. Hana menyentuh wajah Nathan perlahan dengan jari telinjuknya. Seketika Nathan pun mengernyit. Hana tersenyum melihat raut wajahnya itu. Jemari Hana kini beralih menjelajahi batang hidung Nathan yang tinggi dan tajam. Sudah lama sekali Hana tidak melakukan kebiasaanya itu. Dulu biasanya Hana selalu melakukan hal itu setiap bangun tidur. Dia tidak akan langsung bangun dan menyiapkan sarapan pagi, melainkan bermain-main dulu dengan wajah Nathan hingga suaminya itu terbangun. “Sudah lama sekali aku tidak melakukan ini,” bisik Hana. “Melakukan apa?” tanya Nathan dengan suara serak. Deg. Hana tergelinjang kaget. Dia tidak menyangka Nathan akan menyahut ucapannya. Padahal Nathan masih memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian barulah dia mengucek-ucek matanya, lalu menatap Hana. “Lho... kenapa kamu sudah rapi sekali?” Nathan langsung bangun dari tidurnya. “S-sepertinya aku akan pergi sekarang... k-kamu pasti sudah ada jadwal kan, pagi ini? sebaiknya aku pulang sendiri saja,” jawab Hana. Nathan hanya diam sambil menggaruk-garuk lehernya. Hana pun beranjak meraih tasnya, lalu bermaksud untuk segera pergi. “A-aku pergi dulu—” “Tunggu...!” Nathan langsung meraih lengannya dan menggenggam erat. “A-ada apa?” Hana kembali berbalik. “Hari ini aku tidak ada jadwal syuting dan aku ingin membawa kamu ke suatu tempat,” ujar Nathan. Hana menatap tak percaya. Dia memiringkan wajahnya dengan mata menyipit. Apa dia salah dengar? Apa semua ini hanya ilusinasinya? Hana menempelkan telapak tangannya ke telinga, lalu menepuk-nepuknya pelan. Nathan pun tertawa melihat hal itu. “K-kamu kenapa, ha?” tanya Nathan sambil mencubit pipi Hana dengan gemas. “K-kamu tadi bilang apa?” tanya Hana. Nathan menghela napas sebentar, lalu meremas kedua pundak Hana dengan lembut. “Aku bilang... hari ini aku tidak mempunyai jadwal syuting dan aku akan membawa kamu pergi ke suatu tempat.” Hana terpaku mendengar penjelasan itu. Kedua bola matanya kini berkaca-kaca seiring ada aliran hangat yang terasa mengalir di dadanya. “Kenapa kamu diam aja? kamu tidak suka?” tanya Nathan. Hana menggeleng cepat. “Aku suka! Aku suka... suka sekali.” Nathan pun tersenyum, lalu mengecup kening Hana dengan ringan. “Kalau begitu aku mandi dulu sebentar.” “M-mandi?” tanya Hana. “Iya mandi.” Hana meneguk ludah, setelah itu dia pun menggigit bibirnya sambil menunduk. Nathan pun menatap geli, sedetik kemudian dia tertawa pelan. Nathan benar-benar lupa bahwa dia memiliki istri yang menggemaskan seperti itu. “Aku mandi dulu ya... kamu sendiri kan, sudah rapi. Ramburnya juga sudah diikat rapi. Jadi tidak perlu mandi lagi... padahal tadi—” “Aku juga mau mandi.” Hana memoyong pembicaraan dan langsung membuka ikat rambutnya kembali. “Hahaha....” Nathan tertawa sembari menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan wajah Hana. Hana yang merasa malu pun lekas memalingkan wajahnya. “Ya sudah... ayo kita buruan mandi!” Nathan mendorong pundak Hana dari belakang. Hana pun diam-diam tersenyum ketika Nathan mendorongnya seperti itu, tapi ketika hamnpir sampai di dekat pintu kamar mandi, handphone Nathan pun berdering. “Tunggu sebentar, ya,” ucap Nathan. Nathan bergegas mengambil handphone itu, tapi pupil matanya langsung bergetar ketika melihat nama yang tertera di layar. Nathan meneguk ludah dan langsung terlihat gelisah. Hana pun berjalan mendekat dan menatap heran. “Siapa?” tanya Hana. Nathan menatap liar ke arah lain memikirkan jawaban. “I-itu... salah satu staf film.” “Kenapa tidak diangkat?” tanya Hana lagi. Nathan memaksakan bibirnya tersenyum. “Tidak apa-apa... ini tidak penting kok.” Nathan melemparkan handphone itu kembali ke kasur. Namun baru beberapa langkah berjalan, handphone itu kembali berdering. “Sebaiknya kamu angkat saja... siapa tahu penting,” tukas Hana. Nathan tersenyum tipis. “Kalau begitu aku keluar sebentar ya... untuk menjawab panggilan ini.” Nathan bergegas pergi ke balkon dan mengangkat telepon itu dengan mata yang mengawasi Hana yang berada di dalam kamar. “Halo... kamu ke mana sih? dari kemarin tidak bisa dihubungi... kata staf agensi kamu mendapatkan libur selama tiga hari, kenapa kamu tidak menemui aku?” Samanta di seberang sana langsung merajuk. Nathan menelan ludah. “M-maafkan aku... aku mempunyai urusan penting.” “Urusan apa?” selidik Samanta. “N-nanti aku ceritakan ketika bertemu okey... sekarang aku harus segera pergi,” bisik Nathan. “I love you....” Nathan diam tidak membalas. “Kok kamu tidak merespon sih?” sergah Samanta. “I-I love you too....” Nathan menjawab dengan suara sepelan mungkin sambil menatap ke dalam kamar melalui jendela untuk memastikan Hana masih ada di dalam sana. Samanta pun mengakhiri panggilan itu. Nathan menghela napas lega sambil menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Sejenak dia memikirkan apa yang kini telah dia perbuat. Nathan tahu jelas bahwa perbuatannya saat ini sama saja dengan bermain api. Sewaktu-waktu dirinya bisa saja terbakar karena ulahnya sendiri. Nathan sendiri juga tidak mengerti akan perasaannya kepada Samanta. Dia memang mengakui pada Samanta bahwa dia mencintainya, tapi hal itu tidak sepenuhnya benar. Nathan tidak memiliki perasaan se-khusus itu kepada Samanta, namun dia tidak ingin kehilangan perempuan cantik itu. Di sisi lain Nathan sebenarnya berusaha melupakan sosok Hana. Namun sepertinya itu bukanlah suatu hal yang mudah. Hana sudah memiliki tempat tersendiri di hatinya. Jikalau disuruh memilih Hana dan Samanta, maka Nathan tidak akan mampu melakukannya. Nathan tersenyum tipis. “Apakah salah jika aku menginginkan keduanya...?” _ Di tempat berbeda, Samanta duduk menyilangkan tangan di d**a dengan wajah cemberut. Ada dua alasan yang membuatnya merasa kesal. Pertama karena dia tidak bisa bertemu dengan Nathan. Kedua karena dia harus menjalani syuting iklan dengan sang mantan kekasih yaitu Eshan. Samanta melirik Eshan yang duduk pongah di ujung sana, lalu memutar bola matanya malas ketika Eshan menatap ke arahnya. “Ngapain sih, lihat-lihat,” desis Samanta. Eshan tersenyum tipis, kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah pelan mendekati Samanta. Binar mata pria itu masih menyiratkan jelas bahwa dia belum bisa merelakan Samanta sepenuhnya. Hampir sama seperti Jonathan, Sebelumnya Eshan juga terlibat salah satu proyek film bersama Samanta. Terlalu mendalami peran itu, serta karena sudah menghabiskan banyak waktu bersama, mereka berdua pun terlibat cinta lokasi. Hubungan Samanta dan Eshan bahkan lebih intim di masa itu. Keduanya juga mengumumkan hubungan mereka kepada publik. Keduanya selalu menghabiskan waktu bersama. Ada banyak proyek kerja sama yang mereka miliki. Sampai kemudian Eshan berniat untuk melamar Samanta. Dia ingin mengukuhkan hubungan itu ke jenjang pernikahan, namun... Samanta menolaknya. Menurut Samanta pernikahan adalah suatu hal yang bahkan belum terbersit dipikirannya sama sekali. Masih banyak mimpi yang ingin dikejarnya di industri hiburan. Masih banyak pencapaian yang ingin diraihnya. Samanta adalah sosok wanita ambisius. Sejauh ini dalam urusan asmara dia tidak benar-benar memakai ‘perasaan’ di dalamnya. Bagi Samanta yang terpenting adalah dia bisa mendapatkan pria yang dia mau dan menghabiskan malam panjang bersamanya. “Apa kamu akan menjalani syuting dengan wajah seperti itu?” tanya Eshan. Samanta mendelik. “Cih... jangan khawatir... aktingku tidak pernah mengecewakan.” Eshan tersenyum tipis. Lama kelamaan senyumnya memudar saat dia menatap wajah itu lekat-lekat. “Kenapa kamu melihat aku seperti itu?” sergah Samanta. Eshan menelan ludah, lalu memilih duduk di samping Samanta. Keheningan pun sejenak menyebar. Samanta benar-benar cuek dan seperti tidak menganggap keberadaan Eshan. Perempuan itu kini sibuk memeriksa rambutnya yang sudah dibuat keriting untuk keperluan syuting kali ini. Penampilan Samanta memang selalu memesona. Dia terlihat cocok mengenakan apa saja dan mode apa saja, tidak peduli se aneh apapun itu. Seperti saat ini, Samanta mengenakan mode pakaian yang terkesan norak dengan warna yang bertubrukan. Dia mengenakan pakaian ketat dengan manik-manik warna kuning yang berkilau dipadu dengan celana warna merah yang memiliki rumbai-rumbai di bagian depannya.  Wajahnya pun juga dipulas dengan make up yang tidak tidak biasa. Bibirnya dipoles dengan lipstick warna ungu gelap dengan glitter yang berkilauan. Riasan matanya bergaya smokey eye yang membuat matanya terlihat setajam elang. Penampilannya itu pun dilengkapi dengan rambutnya yang sudah dikeriting halus. Aneh... Tapi Samanta tetap terlihat cantik dengan semua dandanan itu. “B-bagaimana hubungan kamu dengan Nathan? Ada rumor yang menyebar bahwa kalian sering bertemu diam-diam.” Eshan kembali memecah keheningan. Deg. Samanta langsung menatap tajam. “Kata siapa, ha? jangan pernah mencampuri urusan oran lain. Mau berkencan atau tidak itu urusan aku.” Eshan menyeringai pelan. “Aku hanya kasihan kepada rekan satu agensiku itu.” Samanta mengernyit bingung. “Kasihan? apa maksud kamu berbicara seperti itu?” “Ya... aku kasihan karena Nathan akan menjadi korban kamu berikutnya. Bagi kamu lelaki hanyalah pelampiasan dan kesenangan sesaat. Setelah puas bermain-main, kamu dengan mudah mencampakkannya.” Eshan berucap dengan mata sayu. Samanta tertawa pelan. “Jadi kamu merasa kalau aku sudah mempermainkan kamu?” “Bukankah memang begitu?” Samanta menatap tajam. “Aku tidak pernah mempermainkan siapa-siapa. Setiap akan menjalin hubungan aku selalu mengatakan bahwa aku hanya ingin bersenang-senang. Bukankah aku juga mengatakan hal yang sama kepada kamu waktu itu?” Eshan berdecak pelan, tapi kemudian dia mengangguk mengakui hal itu. “Aku tidak pernah mempermainkan kamu... kamulah yang dipermainkan oleh perasaan kamu sendiri. Kamu bermain dengan angan-angan tentang pernikahan yang menjengkelkan itu,” desis Samanta. Eshan menatap nanar. dia pun tersenyum menahan getir yang kini menggurat d**a. Salahnya memang karena sudah terlalu berharap. Salahnya memang karena sudah terhanyut dan lupa bahwa Samanta hanya ingin bersenang-senang dengannya. “Lalu sekarang... berapa lama kamu berencana ingin bermain-main dengan Nathan?” tanya Eshan. Samanta mengembuskan napas gusar, lalu bangun dari duduknya. Dia mengambil alat riasnya di atas meja, kemudian melangkah pergi. “Kasihan sekali Nathan...!” Eshan mengeraskan suaranya. Samanta menghentikan langkahnya, lalu mendongak ke belakang dan menatap Eshan dengan sorot mata tajam. “Tak perlu mengkhawatirkan Nathan... dia tidak akan bernasib sama, karena aku tidak akan sekedar bermain-main dengannya.” _ Bersambung    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN