Hana masih tidak percaya dengan sosok yang kini duduk di depannya. Nathan akhirnya pulang ke rumah.Saat ini mereka berdua sudah duduk di ruang tamu. Hana juga sudah menyuguhkan segelas teh, namun Nathan belum menyentuhnya sama sekali. Sudah sekitar tiga puluh menit berlalu, tetapi Nathan masih belum bersuara. Dia bahkan belum melepaskan topinya dan hanya menunduk. Sepertinya Nathan masih merasa bersalah. Dia hanya duduk terpekur dengan jemari yang berpilin.
Hana menatap sosok suaminya itu lekat-lekat. Awalnya dia berniat untuk memakinya, awalnya dia ingin mengutarakan semua kekesalannya karena tidak bisa menemuinya. Namun setelah berpikir-pikir lagi, Hana mengurungkan niatnya. Yang terpenting sekarang adalah Nathan sudah berada di depan matanya. Hana tidak mau menghabiskan waktu yang berharga itu hanya untuk bertengkar. Hana ingin memanfaatkan waktu bersama Nathan dengan sebaik-baiknya.
Hana pun tersenyum pelan. “Ayo diminum tehnya, nanti keburu dingin, lho.”
“I-iya.” Nathan terlihat sedikit terkejut dengan respon Hana yang biasa saja.
“K-kenapa kamu tiba-tiba pulang?” tanya Hana dengan nada ragu-ragu.
Nathan mengangkat wajahnya perlahan. “Bukannya ini yang kamu mau?”
“M-maksud aku apa kamu sudah punya waktu senggang?”
Nathan mengangguk. “Hmm... malam ini aku tidak punya jadwal apa-apa lagi.”
Hana reflek bangun dari duduknya dan tersenyum lebih lebar lagi. “K-kamu nginep di rumah kan? Tunggu... aku akan segera masakin makanan kesukaan kamu.”
“T-tapi....”
Nathan baru hendak menjawab, tapi Hana sudah berlari menuju dapur. Nathan pun bangun dari duduknya dan melangkah pelan menyusul Hana. Perempuan itu dengan sigap langsung menyiapkan segalanya. Ketika menyadari keberadaan Nathan, Hana pun tersenyum.
“Kamu istirahat aja dulu! Nanti kalau masakannya udah jadi aku panggil lagi,” ucap Hana.
Nathan hanya menatap nanar. Sebenarnya dia berencana untuk tidak menginap, namun dia jadi tidak tega mengatakannya saat melihat Hana yang sudah sibuk dengan peralatan masaknya.
“A-aku ke kamar dulu ya... aku akan tidur sebentar,” pamit Nathan.
Hana yang sedang asyik memotong sayuran pun mengangguk masih dengan senyuman di wajahnya.
Nathan beranjak menuju kamarnya. Seketika aroma khas pewangi kamar itu langsung menusuk hidung. Itu adalah aroma lavender kesukaannya. Sudut bibir pria itu pun sedikit terangkat. Dia merebahkan badannya sejenak untuk mengusir lelah. Lama kelamaan suara deru napasnya terdengar semakin berat. Kedua kelopak matanya mulai sayu dan Nathan pun akhirnya terlelap.
_
Setelah berkutat sekian jam di dapur, Akhirnya Hana menyelesaikan ritual memasaknya. Meja makan kini sudah dipenuhi oleh aneka jenis makanan dengan aroma yang lezat. Ada goreng ikan patin cabe merah dicampur jengkol, ada gulai telur kuah manis yang dicampur dengan buncis, ada rebusan pucuk ubi yang merupakan lalapan favorit Nathan. Nahkan Hana juga menyempatkan untuk membuat beberapa biji perkedel kentang yang juga sangat disukai oleh suaminya itu.
“Okey... semuanya sudah selesai, waktunya membangunkan Nathan,” bisik Hana.
Hana melangkah menuju kamarnya, tapi kemudian langkah perempuan itu terhenti. Dia mengendus bau badannya sendiri yang sekarang sudah berbau masakan. Hana pun tidak jadi masuk ke dalam kamarnya dan segera berbelok ke kamar mandi.
Makanan sudah tersaji. Hana pun sudah tampil cantik dalam balutan daster motif batik kesukaannya. Dengan langkah riang dia pun segera menuju kamar untuk membangunkan Nathan. Hana membuka pintu kamar itu perlahan dan mendapati Nathan yang sudah terlelap.
“Kenapa kamu terlihat begitu kurus?” desis Hana saat menyadari bahwa dagu suaminya itu semakin meruncing.
Hana duduk di samping ranjang itu dan menatap Nathan lekat-lekat. Lama sekali dia mamatut-matut wajah itu dengan mata sayu. Beberapa lama kemudian tiba-tiba dadanya terasa sesak seiring bola matanya yang mulai terasa panas. Hana sendiri juga tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan saat ini. Dia sama sekali tidak sedih. Dia juga sama sekali tidak marah. Tapi kenapa dia menangis?
Setetes air mata Hana pun terjatuh dan mengenai wajah Nathan. Hana langsung terkesiap dan cepat-cepat menyeka air matanya. Sedangkan Nathan langsung terbangun dan mengusap wajahnya itu sambil menatap heran.
“K-kamu menangis?” tanya Nathan.
Hana yang masih memalingkan wajah tidak langsung menjawab. Dia masih sibuk menyeka air mata. Setelah itu barulah dia kembali menoleh, lalu mengangkat bahunya. “Nggak kok! aku nggak nangis.”
“T-terus ini apa?” Nathan mengusap-usap ujung jarinya sendiri.
“M-mungkin air dari atas sana,” sanggah Hana.
Nathan pun terdiam. Sorot matanya kini terpaku pada pipi Hana yang masih basah. Keheningan pun sejenak menyebar. Nathan perlahan bangun dari tidurnya dan mengusap pipi Hana itu dengan lembut.
“Maafkan aku,” bisik Nathan pelan.
Ucapan Nathan justru membuat deru napas Hana menjadi tidak beraturan. Tak lama kemudian bibirnya mulai bergetar, Hana terlihat kesulitan menahan tangis. Nathan pun segera menarik Hana ke dalam pelukannya. Sontak tangis perempuan itu pun pecah dalam dekapan sang suami. Hana terus menangis dengan bahu bergetar. Nathan pun mengusap kepalanya lembut sambil terus mengulang-ulang kalimat yang sama.
“Maafkan aku....”
“Maafkan aku....”
_
Setelah cukup tenang, akhirnya Nathan dan Hana beranjak ke meja makan. Hana tampak sumringah mengambilkan aneka lauk pauk itu untuk sang suami. Nathan pun hanya bisa meneguk ludah melihat porsi makanan yang kini sudah menggunung di piringnya. Nathan bermaksud untuk mencegah Hana mengambil lebih banyak lagi, tapi bibirnya terasa kelu untuk membantah. Nathan masih merasa bersalah karena sudah membuat Hana menangis.
“Ini... kamu harus menghabiskannya.” Hana menyerahkan piring itu seraya tersenyum dengan matanya yang masih sembab.
Nathan mengambil piring itu sambil tersenyum gamang. Dia sendiri merasa ngeri melihat tumpukan makanan itu. Masalah lainnya adalah sebenarnya Nathan sedang manjalani diet ketat untuk menyambut proyek film selanjutnya. Dua minggu terakhir ini bahkan dia sudah menyingkirkan nasi dari menu makanannya sehari-hari.
“Ayo buruan dicoba! Kamu pasti suka,” sergah Hana.
Nathan pun tersadar dari lamunannya dan mulai menyantap hidangan itu. Karena sebelumnya sudah terbiasa makan dalam porsi makan yang kecil, Nathan merasa kesulitan menghabiskan semua makanan itu. Perutnya sudah terasa penuh dan sakit, tapi tatapan Hana membuatnya terus memaksakan diri untuk menyuap makanan itu.
“Apa kamu mau tambah lagi?” tanya Hana saat melihat piring Nathan yang hampir kosong.
Nathan lekas menggeleng dengan mulut terisi penuh. “A-aku sudah kenyang,” ucapnya dengan suara yang kurang jelas.
Hana menyipitkan matanya. “Kenapa kamu makan sedikit sekali? Biasanya kamu bisa nambah sampai tiga kali. Apa masakan aku kurang enak?”
“Nggak kok! masakan kamu enak banget malah. Aku hanya kekenyangan. Sebenarnya tadi sebelum ke sini aku juga sudah makan dengan porsi lumayan banyak. Nanti kalau perutnya udah agak legaan aku akan makan lagi,” jawab Nathan.
Malam pun semakin larut. Hana dan Nathan menghabiskan waktu untuk mengobrol ringan seputar kegiatan Nathan belakangan ini. Mereka juga membahas tentang keberhasilan konser Nathan terakhir kali. Nathan sebenarnya sudah merasa sangat lelah dan ingin kembali beristirahat, tapi Hana masih sama menyerbunya dengan berbagai pertanyaan yang tidak ada habisnya.
“Terus kamu sudah persiapan untuk single terbaru lagi?” Hana menatap antusias.
Nathan tidak menjawab. Kelopak matanya kini sudah terasa berat. Dia bahkan terus saja menguap dan berusaha keras melawan rasa kantuk yang sudah menyerang. Menyadari hal itu Hana pun berhenti bertanya. Hana menatap Nathan perlahan, lalu tertawa pelan.
“Kamu sudah mengantuk ya? kalau begitu ayo kita segera tidur.” ajak Hana.
Nathan pun mengangguk cepat. Keduanya segera beranjak menuju kamar, namun sebelum masuk ke dalam kamar, Nathan menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Hana.
“Aku mau ke kamar mandi sebentar.” Nathan pun berbelok ke kamar mandi.
Awalnya Hana ingin menunggu di kamar saja, namun keisengan perempuan itu kumat. Dia bermaksud untuk mengejutkan Nathan dan menyusulnya di ke kamar mandi. Hana pun menjinjit langkah pelan agar Nathan tidak mendengar suara langkah kakinya. Sesekali Hana juga menutup mulut untuk menahan tawa. Malam ini Hana terlihat begitu bersemangat, tapi begitu sampai di depan pintu kamar mandi, Hana terkejut. Dia mendengar suara Nathan yang sedang memuntahkan isi perutnya.
Di dalam kamar mandi, Nathan terus saja memasukkan jari telunjuknya ke dalam tenggorokannya dan kembali memuntahkan makanan yang sudah dia telan. Kegiatan itu pun dia lakukan berulang-ulang hingga perutnya terasa kosong. Dia tidak boleh menghancurkan program dietnya. Setelah selesai, Nathan pun segera mencuci mulutnya dan keluar dari sana. Ketika baru membuka pintu dia pun tergelinjang kaget karena Hana sudah berdiri di sana dan menatapnya dengan raut wajah sedih.
“Kamu memuntahkan makanannya?” tanya Hana.
Bola mata Nathan bergerak liar memikirkan sebuah alasan. “N-nggak kok! aku nggak sengaja memuntahkannya. Perut aku memang terasa mual dari tadi kemarin. Selalu begitu setiap makan. Makanya tadi aku memilih makan sedikit saja,” jelas Nathan.
Raut wajah Hana pun berubah cemas. “Kamu sakit?”
Nathan tersenyum lega. “A-aku sudah minum obat kok. Sebaiknya sekarang kita tidur yuk!”
Hana pun mengangguk setuju. Perempuan itu segera bergelayut manja di lengan Nathan dan mereka berdua pun bergegas masuk ke dalam kamar.
Setiba di kamar Hana langsung memeluk Nathan dengan sangat erat. Dia membenamkan wajahnya di d**a Nathan sambil menghirup aroma tubuh pria itu dalam-dalam. Hana benar-benar merindukan aroma tubuh itu. Dia benar-benar merindukan hangatnya pelukan Nathan. Tidak lama kemudian Nathan mengangkat dagu Hana perlahan dengan jari telunjuknya. Pasangan suami istri pun saling tatap, lalu tersenyum. Sedetik kemudian Nathan mmendaratkan sebuah kecupan lembut di bibir Hana.
Nathan pun mendorong Hana hingga tubuh perempuan itu terhempas ke atas ranjang. Hana pun sudah bersiap di tempatnya. Dia ingin melepaskan semua hasrat dan kerinduannya pada lelaki pujaan hatinya itu. Saat ini Nathan masih melumat bibirnya dengan lembut. Jemari Hana pun bergerak ingin melepaskan pakaian yang dikenakan oleh Nathan. Namun ketika Hana ingin menyibak pakaiannya, Nathan segera menarik diri menjauhi Hana dan merebahkan kepala di bantal miliknya.
Deg.
Hana menatap langit-langit kamarnya dengan nanar. Cukup lama dia terdiam karena tidak mengerti dengan situasi yang baru saja terjadi. Tak lama setelah itu Hana menoleh menatap Nathan yang kini menutupi wajahnya menggunakan lengannya sendiri.
“K-kamu kenapa?” tanya Hana.
Nathan menyingkirkan lengan yang menutupi wajahnya, lalu menatap Hana dengan mata sayu. “Maafkan aku... tapi saat ini aku begitu lelah, sebaiknya kita beristirahat saja.”
Nathan segera berbalik membelakangi Hana. Perempuan itu pun hanya bisa meneguk ludah. Matanya terpaku menatap punggung Nathan dalam waktu yang cukup lama. Rasa sesak kembali memenuhi rongga dadanya. Tanpa dia sadari aliran hangat pun kembali menetes pelan. Dalam hati Hana pun mulai bertanya-tanya.
“Sebenarnya apa arti pernikahan bagi mereka saat ini...?”
_
Bersambung...