Cerita Tentang Rindu

1541 Kata
Peringatan dari Nathan nyatanya tidak bisa menghentikan Hana. Perempuan itu terus saja mendatangi kantor agensinya setiap hari. Hana masih membutuhkan penjelasan atas sikap Nathan waktu itu. Hingga detik ini Nathan tidak lagi menghubunginya. Hana tidak mempunyai akses sama sekali untuk berkomunikasi dengan suaminya itu. Hari ini Hana kembali mendatangi kantor agensi Nathan. Kali ini dia membawa sekotak kue putu yang langsung diberikannya kepada petugas keamanan. Sang petugas keamanan itu hanya bisa menghela napas. Dia bahkan tidak punya energi lagi untuk sekedar mengusir Hana. “Silakan dimakan, Pak... kuenya enak lho,” ucap Hana.   “Apa kamu tidak capek datang ke sini setiap hari?” tanya petugas keamanan yang juga sudah terbiasa dengan kehadiran Hana. Hana tersenyum lemah. “Kenapa bapak tidak marah-marah lagi sama saya?” Petugas keamanan itu menggeleng pelan. “Karena semua itu percuma. Kamu benar-benar keras kepala. Sebenarnya apa alasan kamu melakukan ini semua? Datang ke sini setiap hari dan hanya menghabiskan waktu dengan sia-sia.” “S-saya hanya ingin bertemu dengan Nathan,” jawab Hana. “Hahahaha... dunia sekarang memang berbeda ya. Sampai segitunya kamu mengidolakan seseorang hingga kehilangan akal sehat. Jadi fans itu boleh-boleh saja, tapi kamu tidak boleh menjadi gila seperti ini,” sahut bapak itu. Hana menatap petugas keamanan itu dengan sorot mata tajam. Lama kelamaan bola matanya mulai memerah. Sang petugas keamanan pun terkejut melihat raut wajah tidak biasa itu. “S-saya bukannya bermaksud menghakimi kamu. Saya hanya mau menase—” “Saya bukanlah seorang fans seperti yang Bapak bilang.” Hana langsung memotong pembicaraan. Petugas itu menatap bingung. “Lalu kamu siapa?” “S-saya....” Hana tidak meneruskan kalimatnya. “Kamu anti fans-nya?” tanya bapak itu lagi. Hana tersenyum getir. Dalam hatinya dia berbisik. “Aku adalah istrinya....” _ Nathan baru saja selesai melakukan syuting untuk sebuah iklan yang dibintanginya. Hari ini dia sudah berkegiatan sejak pagi buta. Rasa lelah dan penat kini terasa menyiksa. Dia bahkan hanya bisa mencuri-curi waktu untuk tidur beberapa jam saja dalam sehari. Tapi semua kerja keras itu setimpal dengan apa yang didapatkannya. Honor Nathan untuk sebuah iklan kini naik berkali-kali lipat dibandingkan sebelumnya. Pundi-pundi rupiah mengalir dengan sangat deras. Bagi Nathan hal itu memang sebuah mimpi yang sudah sejak lama didambakannya. “Apa setelah ini masih ada kegiatan lainnya?” tanya Nathan. Ari langsung mengecek jadwal harian Nathan. “Ada. Nanti jam 16.00 sore ada live interview bersama salah satu program gosip di saluran televisi swasta.” Nathan menghela napas panjang seraya memejamkan matanya. Cukup lama dia terdiam dengan mata yang masih terpejam. “S-sepertinya Hana masih saja mendatangi kantor agensi setiap hari,” ucap Ari kemudian. Nathan kembali membuka matanya mendengar kabar itu. “Apa Mbak Yessy mengetahuinya?” Ari lekas menggeleng. “Selama satu minggu ke depan Mbak Yessy akan ada di Bandung karena beliau turut mengurus Festival Film Bandung untuk tahun ini.” “Syukurlah.” Nathan menghela napas lega. “Nanti malam kamu tidak memiliki agenda apa-apa lagi... apa kamu tidak mau berkunjung sebentar untuk menemui Hana?” tanya Ari. Nathan menelan ludah. “Entahlah... lihat saja nanti.” Selesai dengan prosesi syuting iklan, Nathan, Ari dan beberapa anggota staf yang lain segera beranjak menuju sebuah stasiun televisi swasta untuk melakukan agenda berikutnya. Seperti biasa, sebelum proses live interview dimulai Nathan kembali dirias agar tampil sempurna. Dia bahkan mengenakan merek brand ternama dari ujung kepala hingga kakinya. Setelah semua siap, Nathan beranjak menuju studio tempat syuting berlangsung. Sang host acara itu pun menyambut Nathan dengan hangat. Tidak lama kemudian lampu lighting kamera mulai menyala dan proses syuting pun segera dimulai. _ Di tempat lain, Hana terpaku menatap sosok Nathan di layar televisi. Sang suami saat ini tengah melakukan wawancara langsung dalam sebuah program gosip. Nathan terlihat begitu tampan dalam balutan jas berwarna merah maroon yang dikenakannya. Senyumnya begitu sumringah setiap menyambut pertanyaan dari pembawa acara itu. “Terakhir kamu sempat dirumorkan sudah memiliki seorang kekasih, apakah itu benar?” Nathan langsung menggeleng seraya tersenyum.”Tidak. Tentu saja semua itu tidak benar.” “Wah... mubazir sekali ya, hahaha. Kalau saya memiliki wajah tampan dan karir yang mulus seperti kamu, saya pasti sudah menggaet banyak wanita,” canda pembawa acara itu. “Saya ingin fokus pada karir saya terlebih dahulu... saat ini saya tidak punya waktu sama sekali untuk urusan asmara,” sahut Nathan. Hana langsung mencibir mendengar pengakuan itu. Dia sebenarnya enggan untuk menonton acara itu lebih jauh karena masih merasa kesal kepada Nathan. Namun melihat Nathan berbicara di layar televisi sedikit banyaknya mampu mengobati rasa rindu. Hana sendiri juga tidak tahu dengan apa yang dia rasakan saat ini. Amarah dan rindu terus saja membuatnya terombang ambing. Hana pun terus saja memerhatikan sosok suaminya itu dengan tatapan sendu. “Hmmm...lalu seperti apa kriteria perempuan yang kamu sukai?” tanya pembawa acara itu lagi. Nathan terlihat berpikir sebentar, Hana pun cukup antusias menunggu jawaban Nathan. Dia lekas mengambil remote TV dan menaikkan volumenya lebih keras lagi. Seulas senyum pun kini terbit di wajah perempuan itu. “Apa dia akan menyebutkan ciri-ciri aku?” bisik Hana. Di layar kaca, Nathan masih tersenyum simpul. Kemudian dia menghela napas, lalu menjawab pertanyaan itu. “Nanti akan saya jawab setelah saya menemukannya....” Jawaban itu membuat sang pembawa acara tertawa, sedangkan Hana menatap nanar dengan senyum yang perlahan surut.  Pembawa acara kembali melontarkan pertanyaan.“Apa kamu memiliki pengalaman pribadi di masa lalu ketika jatuh cinta kepada seseorang? Mungkin saja kamu mempunyai cerita unik dan berkesan. Misalnya adakah hal-hal gila yang pernah kamu lakukan saat jatuh cinta?”   Pertanyaan itu membuat Hana teringat akan sebuah kejadian di masa lalu. Sebuah kenangan yang membuat kedua sudut bibirnya kembali terangkat. Saat itu Hana masih duduk di kelas 1 SMA, sedangkan Nathan sudah duduk di kelas 3 SMA. Sebagai siswi baru, saat itu Hana mendapatkan hukuman dari salah satu senior untuk bernyanyi di depan semua peserta MOS. Suara merdunya ternyata sukses menarik perhatian banyak orang. Nama Hana pun seketika langsung menjadi buah bibir termasuk di kalangan para kakak kelasnya. Saat itu ada seorang kakak kelas yang menyatakan perasaannya kepada Hana, namanya Ditto. Sosok berkulit hitam manis itu menembak Hana saat hari terakhir masa orientasi siswa berlangsung. Sebenarnya Hana juga sedikit menyimpan perasaan pada kakak kelasnya itu dan bermaksud untuk menerimanya. Namun apa yang terjadi? Tiba-tiba Nathan membeberkan semua keburukan Hana. Mulai dari kebiasaan tidurnya yang berantakan. Rambutnya yang mengembang sepuluh kali lipat di pagi hari. Hobi aneh Hana yang suka berbicara dengan boneka, sampai perihal jengkol yang merupakan makanan favorit Hana. Nathan membeberkan semua itu secara gamblang. Karena Nathan memang begitu mengenal Hana. Mereka tumbuh di panti asuhan yang sama. Kejadian itu tentu saja membuat Hana merasa malu bukan kepalang. Dia berlari pulang ke panti asuhan dan bersembunyi di dalam gudang hingga semua orang kewalahan mencarinya, termasuk Nathan. Pria yang memiliki mata berwarna cokelat dengan alis menukik tajam itu begitu merasa bersalah. Nathan mencari Hana ke semua tempat yang dia ketahui, sampai akhirnya dia menemukan Hana yang sudah terlelap di dalam gudang. Nathan pun langsung membangunkan Hana denga raut wajah cemas, tetapi gadis itu langsung marah dan memaki-makinya. Hana pun melampiaskan kekesalannya dengan melempari Nathan dengan ebrbagai benda-benda yang bisa dijangkaunya. Hana tidak habis pikir kenapa Nathan melakukan itu dan ketika Hana menanyakan alasan Nathan melakukan itu semua, jawaban yang terlontar dari bibirnya adalah... “Karena aku menyukai kamu....” Hana tersenyum mengingat kejadian itu. Dia sama sekali tidak menyangka Nathan akan menjawab seperti itu. Karena sebelumnya Nathan tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia menyukai Hana. Nathan bahkan selalu cuek dan bersikap dingin, tidak jarang dia juga hobi memarahi Hana yang memang sering diam-diam menyelinap dari area panti asuhan untuk pergi bermain bersama teman-temannya. Tatapan Hana pun kembali terpaku pada layar televisi. “Saya tidak punya cerita seperti itu,” jawab Nathan sambil tertawa. Hana meneguk ludah. Ada kecewa yang menjalar di hatinya. Sebenarnya apa yang dia harapkan? Nathan tentu saja tidak akan menceritakan hal itu. Dia bahkan tidak mengakui status pernikahannya kepada publik, jadi mana mungkin dia membagikan cerita seperti itu. “Bodohnya aku karena sempat berharap,” desis Hana sembari mematikan televisi itu. Hana beranjak naik ke lantai dua. Ruangan itu masih terlihat begitu kosong dan hampa. Hanya ada sebuah sofa beserta meja yang kini sudah berdebu. Hana bahkan jarang naik ke lantai itu. Dia hanya menghabiskan waktunya di lantai bawah. Tatapan Hana pun beralih pada dinding yang terlihat kosong. Sebelumnya ada banyak foto dia dan Nathan yang menggantung di sana, termasuk potret pernikahan mereka. Namun semua itu diambil oleh pihak agensi Nathan saat mbak Yessy kebetulan datang berkunjung. Menurut mbak Yessy keberadaan foto-foto itu sangat membahayakan Nathan. Awalnya Hana berniat untuk menyimpan foto-foto itu sendiri, tapi mbak Yessy bersikeras dan akhirnya membawa pergi semua foto-foto itu. Semua jejak pernikahan mereka memang diamankan secara ketat. Hingga buku nikah Nathan pun juga dipegang oleh pihak agensi. Hana tidak mempunyai apa-apa lagi yang bisa menunjukkan bahwa dia adalah istrinya Nathan. Tidak ada jejak yang tersisa. Tidak ada lagi potret-potret kenangan mereka berdua sama sekali. Hana melangkah gontai menuju beranda lantai dua itu. Hembusan angin langsung menerpa wajahnya. Matahari di ujung sana terlihat hampir terbenam sepenuhnya. Hana tersenyum menatap senja yang sedikit memberikannya ketenangan. Bias cahaya kemerahan itu kini menerpa wajahnya. Membuat raut wajah sendu itu semakin terlihat jelas. Hana pun larut dalam lamunan panjang. Hatinya terus bertanya-tanya sampai kapan dia akan menjalani kehidupan yang seperti ini? sampai bila dia harus menahan hatinya sendiri? Tiba-tiba Hana dikejutkan dengan sebuah taksi yang memasuki halaman rumahnya. Hana meneguk ludah dan terus memerhatikan dengan jantung berdebar kencang. Separuh dirinya mulai merajut harap, separuhnya lagi mulai memperingatkan agar Hana tidak terlalu nerharap lebih jauh. Namun kali ini sepertinya dewi fortuna mulai berpihak. Air mata Hana langsung tergenang di pelupuk matanya begitu melihat sosok yang keluar dari dalam taksi itu. Meskipun wajahnya ditutupi oleh topi dan masker, tapi dia bisa langsung mengenalinya. Hana pun tersenyum seiring dengan air matanya yang menetes pelan. Bersamaan dengan itu bibirnya pun bergerak menyebut nama itu dengan suara lirih. “Nathan....” _ Bersambung... 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN