Aku Hanya Ingin Bertemu Sebentar Saja

1566 Kata
Hana sudah berada di dalam taksi yang melaju pelan di tengah padatnya jalanan ibukota. Hari ini dia memutuskan untuk mendatangi kantor agensi Nathan, walaupun sebenarnya hal itu haram hukumnya untuk dilakukan. Hana tidak peduli lagi. Nathan adalah suaminya. Dia ingin bertemu. Dia ingin menyampaikan segala gundah yang sudah menggerogoti hatinya. “Kenapa harus macet, sih?” keluh Hana. Pandangan Hana beralih pada keadaan di luar taksi. Sepanjang mata memandang dia menemukan banyak potret Nathan yang terpampang jelas di berbagai baliho dan juga papan-papan iklan yang berukuran raksasa. Ada yang menampilkan sosok Nathan menyeduh segelas kopi, ada potret Nathan yang sedang menggunakan produk pencuci wajah untuk pria, dan ada juga layar besar elektronik yang menampilkan Nathan sedang melakukan gerakan olahraga. “Sejak kapan dia jadi setampan itu?” Hana terpaku menatap salah satu papan iklan yang memperlihatkan senyum Nathan yang menawan. Mobil pun kembali merangkak pelan. Bersamaan dengan itu segala kenangan di masa lalu kembali memenuhi ruang ingatan Hana. Dia teringat saat pertama kali datang ke ibukota bersama Nathan untuk mengadu nasib. Saat itu semua terasa sulit. Mereka berdua bahkan pernah sempat tinggal di daerah kumuh karena tidak punya cukup uang untuk membayar kontrakan rumah. Saat itu Nathan bekerja serabutan sebagai kuli bangunan. Tak lama setelah itu Hana juga sempat bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi makanan ringan, tetapi karena jam kerja yang terlalu padat akhirnya Hana sering jatuh sakit dan akhirnya keluar dari pekerjaan itu. Pahit getir kehidupan sebagai perantau pun mereka kecap hampir setahun lamanya. Sampai akhirnya secara tak sengaja Nathan dan Hana bertemu dengan sosok Ari yang notabene adalah teman masa kecil Nathan. Perjumpaan tidak sengaja itu juga yang akhirnya membawa Nathan pada kehidupannya yang sekarang. Singkat cerita saat itu Nathan pergi menemani Ari yang harus menyerahkan suatu berkas pada mbak Yessy. Ternyata sosok CEO itu langsung tertarik pada Nathan yang memang memiliki wajah yang rupawan. Nathan pun mulai ditawari sebagai pemain figuran, namun ternyata pesonanya mampu menarik perhatian penonton hingga akhirnya Nathan bertumbuh menjadi bintang utama. Hana mendesah pelan, lalu melayangkan pandangannya pada langit di luar sana. “Aku benar-benar sangat merindukan kamu....” _ “Udah kelar latihannya?” Ari melemparkan sebotol air mineral dingin kepada Nathan. Nathan menyambur air mineral itu, lalu meneguknya dengan terburu-buru. Dia baru saja selesai melakukan olahraga di pusat kebugaran yang disediakan khusus oleh pihak agensi. Cucuran keringat masih mengalir pelan di wajah dan lehernya. Otot-otot tubuhnya kini terpampang jelas dalam balutan pakaian olahraga tanpa lengan yang berwarna hitam itu. “Akhir-akhir ini intensitas kamu olahraga semakin banyak karena proyek film terbaru itu, ya?” tanya Ari lagi. Nathan menganguk. “Yah... semua harus benar-benar sempurna.” “Tapi kenapa kamu diminta buat fokus ngebentuk badan?” Ari menatap heran. Nathan menyeringai. “Kabarnya di film kali ini ada adegan ranjangnya.” Deg. Mata Ari langsung membulat. Sesaat dia membeku dengan bibir menganga. Hingga kemudian barulah dia menyenggol pundak Nathan seraya terkekeh pelan. “Gila! kamu nerima? Bukannya dulu kamu pernag bilang nggak mau menerima adegan yang seperti itu?” Nathan meneguk ludah. “Bagaimana lagi... aku harus profesional dalam bekerja.” Tiba-tiba Ari teringat sesuatu. “Terus bagaimana dengan Hana? Apa dia menyetujuinya?” Nathan menghela napas. “Dia tidak perlu tahu semua tentang pekerjaan aku.” Ari terdiam. Dalam hati dia bertanya-tanya sejak kapan Nathan menjadi dingin seperti itu. sebelumnya dia selalu membawa Hana di setiap apapun yang akan dikerjakannya. Dia juga selalu menyebut nama Hana setiap waktu. Dia selalu bercerita tentang Hana sepanjang hari. Namun akhir-akhir ini Ari bahkan tidak pernah lagi mendegar Nathan menyebut nama itu. “K-kamu baik-baik aja, kan sama Hana?” Nathan tidak menjawab dan malah berjalan pergi. Ari hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala dan segera menyusul Nathan yang sudah jauh di depan sana. Saat melewati lorong yang berdindingkan kaca, Nathan dan Ari melihat kerumunan karyawan dan para staf yang menatap ke bawah sana. Mereka berdua pun mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi. Samar-samar Nathan pun mulai bisa mendengar percakapan orang-orang itu. “Gila! siapa tuh cewek? berani banget dateng ke sini?” “Dia udah diusir sedari tadi, tapi masih aja ngotot pengen masuk ke sini.” Nathan dan Ari saling pandang, lalu ikut melihat. Deg. Pupil mata Nathan langsung bergetar menatap sosok di bawah sana. dia mengenal sosok perempuan yang mengenakan hodie berwarna merah itu. Dia mengenal perempuan yang saat ini sedang ditangani oleh pihak keamaanan itu. “H-Hana....” Nathan masih menatap nanar. Sedangkan Ari sudah berlari pergi untuk melakukan sesuatu. Di bawah sana Hana masih terlihat berbicara dengan pihak keamanan. Sesekali dia juga terlihat hendak menerobos masuk dan selalu digagalkan oleh pihak keamanan itu. Nathan menelan ludah, dia ingin pergi ke sana dan menghentikan kekacauan itu. “Katanya dia mau ketemu sama Nathan! Gila dia pasti seorang fans fanatik.” Deg. Komentar dari salah satu staf itu membuat Nathan mengurungkan langkahnya. Salah satu dari staf itu pun mendekatinya dan menatap dengan wajah prihatin. “Sebaiknya anda segera pergi ke lantai atas. Takutnya nanti situasinya tidak aman dan bisa menimbulkan kekacauan. Kami akan segera menangani perempuan gila itu.” Nathan tidak bisa berkata-kata. Bersamaan dengan itu Ari kembali muncul dengan napas tersengal-sengal dan segera menarik lengan Nathan untuk pergi. “Kamu dipanggil Mbak Yessy,” ucapnya dengan napas memburu. _ Kedatangan Nathan langsung disambut mbak Yessy dengan wajah masam. Dia menatap sengit, lalu menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Nathan pun hanya menunggu dengan perasaan yang campur aduk. Pikirannya masih tertuju pada Hana yang ada di luar sana. Mbak Yessy pun bangun dari kursinya dan berjalan mendekati jendela kaca, lalu melihat ke bawah. “Kenapa dia datang ke sini?” “S-saya juga tidak tahu, Mbak. Dia tidak memberikan kabar apa-apa,” jawab Nathan. Mbak Yessy menatap tajam. “Bukannya saya sudah bilang kepada kamu bahwa dia tidak boleh muncul di sini! Hah... saya benar-benar tidak mengerti dengan orang-orang yang berpikiran kolot. Apa dia tidak paham kalau itu bisa membahayakan kamu, ha?” Nathan terpekur diam. “M-mungkin dia ingin bertemu dengan Nathan, Mbak. Kan, mereka sudah cukup lama tidak bertemu,” sela Ari dengan suara bergetar. Mbak Yessy tertawa keras. “Hahahaha... klise sekali!” Nathan meneguk ludah. Jemarinya kini sudah mengepal kuat. Tak lama setelah itu barulah dia memberanikan diri menatap mbak Yessy. “M-maafkan saya,” ucap Nathan dengan suara lirih. Hening. Mbak Yessy hanya diam sambil melipat tangan. Setelah beberapa saat berlalu, barulah dia kembali bersuara. “Jadi sekarang bagaimana?” mbak Yessy beralih menatap Ari, Ari terkejut dan langsung menjawab tergagap. “S-saya akan membereskannya.” _ Hana masih saja bersikeras untuk menerobos masuk ke dalam. Dia tidak peduli pada bentakan dan juga berbagai kalimat ancaman yang sudah dilontarkan oleh pihak keamanan. Walau berbadan mungil, tetapi tingkah Hana nyatanya sudah membuat petugas keamanan itu kalang kabut. “Saya mau ketemu sama Nathan!” pekik Hana. Petugas keamanan yang memiliki kumis meliuk-liuk itu menatap lemas. “Jangan sampai nanti saya main kekerasan, ya! sebaiknya kamu pergi sekarang selagi saya masih bicara baik-baik.” Hana menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Sesulit inikah untuk menemui suaminya sendiri? Setinggi itukah tembok pembatas yang kini menghalangi mereka berdua? Bibir Hana mulai berkedut menahan tangis. Petugas pengamanan itu masih menceramahinya. Sejatinya Hana sudah menyerah, tetapi kedua kakinya bagai terpaku ke tanah. “I-ijinkan saya masuk sebentar saja!” Hana kembali memohon. Petugas keamanan itu mulai kehilangan kesabarab. Dia menatap tajam dan langsung  menyentak lengan Hana dengan kasar. Namun ketika baru hendak menarik Hana, tiba-tiba seseorang meraih pundaknya. “Biar saya yang urus dia.” “A-Ari...!” Hana tersenyum sumringah dan Ari pun segera menyeretnya pergi dari sana. “Ayo ikut aku!” “N-Nathan di mana?” tanya Hana sembari terus melangkah. “Kenapa kamu datang ke sini?” “K-karena dia tidak memenuhi janjinya. Sebelumnya Nathan mengatakan kalau dia akan menemui aku setelah konser itu selesau, tapi dia malah tidak datang.” Ari mengembuskan napas dalam. “Sekarang ayo kita temui dia!” Ari pun membawa Hana ke sebuah persimpangan jalan yang sepi. Ari sibuk memerhatikan keadaan sekitarnya sambil berbicara dengan seseorang di telepom. Tak lama kemudian sebuah mobil van warna putih berhenti tepat di depan mereka. Ari pun segera mengangkat dagunya mengisyaratkan agar Hana segera masuk ke sana. Deg. Pintu mobil sudah tertutup rapat dengan keadaan mobil yang tidak melaju. Hana menatap sosok bertopi lengkap dengan masker yang menutup wajahnya. Perempuan itu menelan ludah. Sudah lama sekali dia tidak melihat binar mata itu. “N-Nathan....” Nathan membuka topi dan maskernya perlahan. Hana pun menatap wajah suaminya itu lekat-lekat. Haru dan sendu kini melebur jadi satu. Hal itu ditandai dengan senyuman yang tergurat dan setetes bening yang menetes di pipinya. Jemari Hana pun perlahan terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun begitu dia hampir menyentuhnya, Nathan malah memalingkan wajahnya. Deg. Hana menatap nanar. Dia kini menyadari raut wajah Nathan yang terlihat kesal. Sosok superstar itu bahkan tidak balas menatapnya dan hanya menghadap lurus ke depan. “A-ada apa?” tanya Hana. Nathan menatap sengit. “Kamu kenapa pakai acara datang ke sini, ha?” “A-aku—” “Kamu nggak tahu apa, kalau tindakan kamu ini berbahaya sekali? Kamu sadar nggak sih sama apa yang kamu lakukan ini?” Nathan melampiaskan kekesalannya. Hana menatap nanar. Kenapa Nathan malah membentaknya? Harusnya dia yang marah karena Nathan tidak menepati janjinya. Harusnya dia yang memaki pria itu. “Aku datang ke sini karena tidak menepati janji kamu,” tutur Hana. “Bukannya aku sudah mengirimi kamu surat? Kamu nggak baca surat itu?” Hana meneguk ludah. “Dari malam itu hingga detik ini nomor handphone kamu tidak pernah aktif lagi. Lalu apakah salah kalau aku berinisiatif ingin menemui kamu?” “Iya! Yang kamu lakukan itu sepenuhnya salah,” jawab Nathan. Deg. Hana terhenyak dengan d**a yang terasa sesak. Nathan tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia bahkan tidak pernah membentaknya seperti sekarang ini. Ke mana perginya senyuman yang menghangatkan hati itu? ke mana hilangnya tatapan teduh yang menenangkan itu. Hana tidak lagi mengenal suaminya itu. Dia merasa seperti sedang berbicara dengan orang asing. “Aku harus segera pergi karena ada jadwal syuting,” ucap Nathan kemudian. “T-tapi—” Hana baru hendak kembali bersuara, tetapi Nathan sudah membuka pintu mobil dan keluar dari sana. Setelah itu Nathan kembali melongokkan wajahnya ke dalam mobil. Hana pun menatapnya dengan mata sayu. Dia mengira akan mendapatkan kata-kata yang menenangkan hatinya. Dia sempat berharap Nathan akan tersenyum padanya. Tetapi Nathan hanya menatap hambar dan mengatakan hal yang malam membuat perih dihatinya. “Jangan pernah datang ke sini lagi!” _ Bersambung...        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN