“Kamu yakin akan melakukan itu, ha? please Nath... kamu pikirkan lagi semua matang-matang... apa kamu tega melakukan hal itu kepada Hana?” suara Ari di telepon terdenga panik.
Nathan memejamkan matanya sejenak. “Semua ini demi kebaikan Hana.”
“Kebaikan Hana? Nath... sekaran ini aku benar-benar tidak bisa lagi mengerti sama kamu. Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran kamu? Apa kamu tidak menyayangi Hana lagi?” suara Ari terdengar sedikit meninggi.
“Justru karena aku sayang kepada dia. Aku tidak ingin lagi Mbak Yessy menyebut-nyebut nama Hana lagi dengan bibir kotornya itu! karena itulah aku melakukan ini.”
Hening. Helaan napas Nathan kini terdengar sesak. Sedangkan Ari juga tidak lagi bersuara. Nathan tidak terima bahwa Ari menyalah artikan keinginannya. Dia tidak mungkin melakukan itu dengan niat yang buruk. Satu-satunya tujuan Nathan adalah melindungi Hana.
“Kamu harus paham bahwa yang aku lakukan ini adalah sebuah niat baik,” ucap Nathan lagi.
“Terserah... jika itu memang mau kamu. Hanya saja aku khawatir apakah Hana akan menganggap itu sebuah kebaikan atau malah sebaliknya....”
Tut... tut...
Nathan tertegun mendengar kalimat itu. Ari pun sudah memutus sambungan teleponnya. Tatapan Nathan beralih pada Hana yang melangkah riang menghampirinya. Senyum di wajahnya begitu merekah. Hana terlihat begitu bersemangat padahal tadi sebelumnya dia masih terlihat murung.
“Kita akan ke mana?” tanya Hana.
Nathan tersenyum tipis. “Hmmm... rahasia!”
Hana mencubit pinggang Nathan dengan raut wajah sadis. “Kamu mau main rahasia-rahasiaan sekarang?”
“A-aduh aduh... sakit, Na! Ternyata cubitan maha dahsyat kamu itu masih ada, ya.” Natah berucap sambil mengusap-usap pinggangnya yang terasa perih.
“Iya dong! hal seperti itu perlu dilestarikan,” cibir Hana. “Tapi serius... kamu mau mengajak aku ke mana?”
Nathan menggenggam tangan Hana perlahan, lalu mengecupnya pelan. Perlakuan itu tentu saja membuat Hana merasa bagai melambung di udara. Jiwanya yang sudah terlalu lama terbelit sepi seakan menemukan secercah harmoni yang mulai mendendangkan nada indah. Hatinya yang sudah lama tandus sepertinya mulai menumbuhkan bunga-bunga asmara yang bisa dilihat dari pancaran binar matanya.
“Kamu kenapa, sih?” Hana menarik tangannya dengan wajah memerah.
Nathan tersenyum, lalu meraih tangan Hana kembali dan menggenggamnya erat. “Pokoknya itu adalah tenpat yang bagus sekali. Di sana juga sangat aman dan terkendali. Aku yakin kamu akan menyukainya.”
“J-jadi kita bisa bebas berkeliaran di sana?” Hana menatap takjup.
“Iya,” jawab Nathan.
“Kamu tidak perlu memakai topi dan masker?” tanya Hana lagi.
Nathan tertawa pelan, lalu mengangguk. “Iya... tidak akan ada yang melihat kita di sana.”
Hana melonjak girang dan segera menarik kemeja Nathan untuk segera masuk ke dalam mobil. “Kalau begitu ayo cepat kita pergi! Lebih cepat lebih baik!”
“Hana....” panggil Nathan ketika Hana melangkah hendak memasuki mobil.
“I-iya?” Hana kembali menoleh.
“Kamu percaya kan, sama aku?” Nathan menatap lekat-lekat dengan raut wajah yang sangat serius.
Hana menelan ludah. Entah kenapa ekspresi Nathan itu terasa sedikit ganjal. Dia sempat merasa sedikit aneh akan pertanyaan Nathan, tapi kemudian Hana kembali tersenyum lebar.
“Tentu saja... tentu saja aku percaya sama kamu!”
_
Sepanjang perjalanan Hana tidak henti mengulum senyum. Melakukan perjalanan jauh bersama Nathan seperti ini merupakan salah satu harapannya yang akhirnya terwujud. Hana benar-benar tidak menyangka bahwa hari seperti ini akan datang menghampirinya. Ternyata inilah defenisi dari pelangi setelah badai. Setelah pertikaian panjang yang melelahkan, akhirnya Hana bisa mengecap manisnya kebersamaan dengan sosok yang paling dicintainya itu.
Semua memang terasa bagai keajaiban bagi Hana. Kebersamaannya dengan Nathan yang sejatinya belum berlangsung terlalu lama itu bahkan seakan mampu menghapus semua luka yang bersarang sebelumnya. Segala kerinduan, kesedihan dan rasa sepi yang mengikat kini menguap tak bersisa. Hari bersejarah seperti ini pun telah tiba. Hari dimana Nathan tidak lagi terlihat sebagai sosok superstar yang dimiliki oleh banyak orang. Hari ini Nathan menjadi milik Hana sepenuhnya.
“Kenapa kamu senyum-senyum terus dari tadi?” tanya Nathan sambil sesekali melirik kepada Hana.
Hana berdehem dan merapikan rambutnya. “Siapa yang senyum-senyum?”
Nathan menggeleng pelan, lalu membentangkan telapak tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya masih sibuk memegang setir mobil.
“A-ada apa?” tanya Hana sambil menatap tangan itu dengan heran.
Nathan tersenyum, lalu meraih tangan Hana dan menggenggamnya erat. Hana pun sontak menelan ludah. Walau sudah berstatus suami istri, walau sudah pernah menyentuh setiap inci tubuh Nathan sepuas hatinya, tapi tetap saja...
Perlakuan Nathan benar-benar membuatnya melayang dalam rasa bahagia yang terus memuncak.
“Kamu tahu kan, bahwa semua yang terlihat di televisi itu bukanlah aku yang sebenarnya... kamu tidak perlu menghiraukan gosip-gosip miring yang beredar. Kamu juga tidak perlu memikirkan hal yang aneh-aneh. Satu hal yang harus kamu ingat adalah inilah aku di dunia nyata. Sepenuhnya milik kamu! Jadi kamu tidak perlu meragukan itu,” ucap Nathan.
Hana mengangguk tanda mengerti. Dia pun juga mengakui bahwa dirinya mungkin memang sedikit egois dan selalu bersikap gegabah hingga membuat Nathan dalam bahaya.
“Maafkan aku juga karena selama ini sering bertindak gegabah dan mendatangkan masalah untuk kamu.” Hana berkata lirih.
Nathan menatap lembut, lalu meremas tangan Hana lebih kuat lagi. “Sudahlah... kita tidak perlu lagi membahas apa yang sudah terjadi di masa lalu. Toh, kalau di hitung-hitung... maka kesalahan aku sama kamu sudah tidak bisa terhitung lagi.”
Hana menggeleng cepat. “Aku sudah melupakan semuanya. Aku paham bahwa kamu menjadi seperti itu karena stress dengan pekerjaan kamu. Iya kan?”
Nathan mengangguk sambil tertawa. “Syukurlah kamu sudah mengerti.”
Perjalanan mereka pun terus berlanjut. Gedung-gedung tinggi pencakar langit sekarang sudah tidak lagi terlihat dan berganti dengan rimbunnya pepohonan serta hampatan bukit yang luas. Hana tidak tahu pasti di mana mereka berada saat ini, tapi yang jelas lokasi ini sudah berada cukup jauh dari pusat kota. Mengingat mereka sudah berkendara kurang lebih selama lima jam.
Semakin lama suasana di depan sana terlihat semakin gelap karena daun pohon yang begitu rindang. Jalanan aspal itu pun juga makin mengecil hingga akhirnya berganti dengan jalanan berbatu yang membuat mobil menjadi oleng ke kiri dan ke kanan.
Hana menatap bingung pada jalanan di depannya. “Sebenarnya kita mau ke mana?”
“Sebentar lagi kita akan sampai,” ucap Nathan.
Mobil pun terus melaju menelusuri jalanan berbatu itu. Ada begitu banyak belokan dan tanjakan tajam yang ditemui di sepanjang perjalanan. Sepanjang mata memandang hanya pohon dan semak belukar saja yang terlihat. Tidak ada satu pun rumah warga ataupun orang-orang yang terlihat melintas.
Setelah menembus pekatnya hutan belantara, akhirnya mobil menapaki sebuah jalanan aspal yang bagus. Hana pun menatap jalanan yang meliuk-liuk itu dengan takjup. Tatapannya pun kemudian terpaku pada sebuah bangunan mirip kastil yang berdiri kokoh di atas sana.
“B-bagaimana bisa ada tempat seperti ini di tengah hutan?” tanya Hana.
Nathan tersenyum tipis. “Kamu suka kan?”
Hana mengangguk cepat. Matanya kembali sibuk melihat keadaan sekitar kastil itu. Mobil pun kemudian berhenti tepat di depan teras kastil itu. Hana keluar dengan mulut menganga lebar. Bangunan itu terlihat begitu unik dan cantik sekali. Dindingnya dipenuhi oleh tempelan batuan mirip batu pualam yang bulat dan berwarna warni. Bangunan berlantai dua itu juga memiliki atap segiiga yang begitu tinggi dan menjorok ke depan. Selain itu di sisi kiri dan kananya ada semacam menara tinggi yang ditutupi atap dengan model yang sama. Benar-benar terlihats seperti kastil berukuran mini. Apalagi di atas sana juga terdapat sebuah balkon dengan pagar besi yang melengkung.
“Udara di sini benar-benar segar.”Hana menghirup napas dalam-dalam.
Hana segera mengeluarkan handphone-nya. Dia ingin mengabadikan setiap sudut tempat itu yang begitu indah. Namun begitu melihat layar, Hana mengernyit heran.
“Apa di sini memang tidak ada sinyal?” tanya Hana.
Nathan meneguk ludah. “I-iya di sini tidak ada sinyal dan akses internet sama sekali.”
Hana mengangguk tanda mengerti. Tidak lama kemudian pintu utama bangunan itu pun terbuka. Sepasang suami istri berusia renta langsung berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Nathan dan Hana. Mereka tersenyum ramah dengan wajah yang sudah mengerut.
“M-mereka siapa?” Hana menatap bingung.
“Perkenalkan ini adalah Mbok Asih dan suaminya Pak Wadiman.” Nathan memperkenalkan kedua orang itu kepada Hana.
Hana menjabat tangan kedua orang itu dengan tersenyum canggung. Dia masih terheran-heran dan tidak mengerti kenapa mereka ada di sini. Padahal tadi Nathan sempat mengatakan bahwa hanya akan ada mereka berdua saja di sana.
“Mereka adalah penjaga tempat ini,” ucap Nathan kemudian.
Hana pun tersenyum tanda mengerti. Benar saja, tempat seperti ini tentu harus mempunyai orang yang dipekerjakan untuk merawatnya. Belum habis keterkejutan Hana karena kemunculan dua orang tadi itu, tiba-tiba Hana dikagetnkan dengan kemunculan beberapa orang lelaki berbadan tegap dengan kacama hitam yang membuat penampilan mereka terlihat menyeramkan.
Hana langsung bersembunyi di balik punggung Nathan. “M-mereka siapa?”
Nathan berbalik dan menatap Hana lekat-lekat. “Mereka adalah orang-orang yang akan menjaga kamu.”
Deg.
Hana sama sekali tidak mengerti dengan maksud dari kalimat itu. Bersamaan dengan itu sebuah mobil bermuatan barang pun juga datang memasuki halaman tempat itu. Hana semakin tidak mengerti. Terpal yang menutupi bak belakang mobil itu pun dibuka oleh dua orang pria yang merupakan supir dan orang yang ada di dalam mobil itu. Begitu terpal itu tersingkap, Hana pun tercekat.
Dia mengenali kursi santai yang biasanya dipakai untuk duduk di teras lantai dua rumahnya. Dia mengenali perabotan-perabotan yang sedang diturunkan oleh orang-orang itu. Lemari pakaian, kaca berhias, karpet bulu yang empuk, semua itu adalah barang-barang favorit Hana yang dipakai sehari-hari di rumahnya.
“K-kenapa....” tenggorokan Hana terasa kering. Dia menatap Nathan dengan sejuta tanya yang kini bergelayut di benaknya.
Nathan hanya menunduk dan menghindari tatapan mata Hana.
“Kenapa barang-barang itu dibawa ke sini?” Hana menarik lengan kemeja Nathan dengan jemari bergetar.
“Maafkan aku... tapi ini adalah yang terbaik untuk kita semua,” ucap Nathan lirih.
Hana menelan ludah. “Apa maksud kamu berbicara seperti itu?”
Nathan mengangkat wajahnya perlahan, lalu menatap Hana lekat-lekat. “Maafkan aku... mulai sekarang... kamu akan tinggal di sini sementara waktu....”
_
Bersambung...