Hana menatap cahaya lilin yang terlihat remang sambil memangku lututnya sendiri. Malam ini tiba-tiba saja alat pembangkit listrik yang digunakan di kastil tua itu rusak. Mbok Asih pun mengantarkan lilin itu ke kamarnya dengan semangkok bubur ayam yang masih mengepulkan asap, tetapi Hana tidak menyentuh makanan itu sama sekali. Ini sudah hari kedua baginya bermalam di sana.
Sekelebat kejadian hari itu masih membekas jelas diingatannya. Bagaimana Nathan membujuk dan meyakinkan Hana bahwa ini adalah solusi yang terbaik bagi mereka berdua. Nathan mengatakan bahwa semua ini bertujuan untuk melindungi Hana. Dia mengatakan semua ini demi kebaikan Hana. Sekeras apapun Hana memikirkan alasan itu, tetap saja...
Hana merasa Nathan sudah membuangnya.
Hari itu Nathan bahkan tidak berlama-lama berada di kastil tua itu. Dia hanya sekedar mengantarkan Hana. Meyakinkannya untuk mau tinggal di sana, kemudian segera pergi meninggalkan Hana bersama orang-orang asing yang tidak dikenalnya itu. Harapan Hana akan sebuah liburan bahagia bersama sang suami pun kandas sudah.
Sekarang dia berakhir di tempat ini. Jauh tersembunyi di tengah hutan. Tanpa jaringan internet, tanpa televisi, tanpa handphone. Dia tidak memiliki akses untuk terhuung ke dunia luar. Dia bahkan tidak tahu dimana letak persis daerah ini. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi buruk yang datang dalam sekejap mata. Akan tetapi tidak seeprti biasanya. Kali ini tidak ada lagi air mata, tidak ada lagi sanggahan, tidak ada lagi perdebatan. Mungkin Hana sudah terlalu penat untuk menangis. mungkin dia terlalu lelah untuk berkata-kata. Hana hanya pasrah menerima semua yang datang sebagai bagian dari jalan hidupnya.
“Non... ini saya bawakan teh s**u dicampur jahe.” Terdengar suara mbok Asih dari luar sana.
Hana hanya menghela napas pendek, mbok Asih pun masuk ke dalam membawakan minuman itu menggunakan nampan. Selain minuman itu, dia juga membawakan Hana beerapa macam buah-buahan yang masih segar. Mbok Asih meletakkan nampan itu di atas meja, lalu beralih menatap Hana,
“Katanya sebentar lagi alatnya bener, Non... jadi nggak usah khawatir. Sebentar lagi lampunya nyala, kok,” ucap mbok Asih.
Hana diam seribu bahasa. Sejak menempati rumah itu dia bahkan tidak pernah berbicara sama sekali baik kepada mbok Asih maupun pak Wadiman. Namun sejahu ini mereka selalu memerhatikan kebutuhan Hana. Mbok Asih selalu siaga menyiapkan sarapan, makan siang, cemilan dan juga makan malam. Selain itu dia juga menyiapkan pakaian ganti, menyiapkan air panas untuk Hana mandi dan merapikan kamar tidurnya.
“Apa Non Hana memerlukan sesuatu yang lain?” tanya mbok Asih sebelum keluar.
Hana mengangkat wajahnya perlahan. “Apa Mbok bisa mengeluarkan aku dari sini?”
Hening. Mbok Asih tentu saja tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Hana pun tersenyum lemah. Mbok Asih tiba-tiba ikut duduk bersimpuh di depan Hana, lalu menatap perempuan itu lekat-lekat.
“Jauh-jauh hari sebelum Non Hana sampai di sini... Tuan Nathan sudah berpesan kepada saya... katanya dia akan membawa istrinya ke sini. Dia meminta saya untuk menjaga Non Hana sebaik mungkin dan memastikan Non Hana selalu dalam keadaan yang baik-baik saja,” ucap mbok Asih.
Hana sedikit tertarik mendengar cerita itu. “Apa dia mengatakan alasannya kenapa dia membawa aku ke sini?”
“Katanya dia tidak ingin Non Hana terluka karena orang-orang disekitarnya,” jawab mbok Asih.
Hana menatap bingung mendengarkan jawaban itu. Orang-orang terdekatnya? Siapa yang Nathan maksud?
“Tuan Nathan benar-benar sudah menyiapkan tempat ini sebaik mungkin untuk menyambut kedatangan Non Hana... beliau akan memastikan semua kebutuhan Non Hana terpenuhi,” kanjut mbok Asih.
Hana tertawa pelan. “Tapi kenapa... kenapa aku malah merasa kalau dia sudah membuang aku, Mbok?”
Mbok Asih tersenyum. “Kadang... seseorang memang menunjukkan kepeduliannya dengan cara yang sedikit berbeda. Tuan Nathan pasti mempunyai alasan kuat kenapa dia melakukan ini semua... tapi menurut saya pribadi, dari cara Tuan Nathan bercerita... sorot matanya benar-benar menyiratkan ketulusan untuk melindungi Non Hana.”
Hana tertegun. Separuh dirinya mulai termakan ucapan mbok Asih, namun separuhnya lagi masih merasa marah kenapa Nathan melakukan semua itu dengan cara seperti ini. Harusnya dia meminta pendapat Hana terlebih dahulu, harusnya dia membeberkan alasan yang lebih masuk akal, harusnya dia menjelaskan latar belakang kenapa dia melakukan ini semua.
Benarkah Nathan melakukan semua ini semata-mata untuk melindunginya?”
_
Pagi ini akhirnya Hana memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Dia berjalan keluar kastil mungil itu dan bemain-main di halaman depan. Di ujung sana tepat di dekat gerbang terdapat sekelompok orang yang sedang berjaga-jaga. Pengawasan di tempat ini benar-benar dilakukan sangat ketat. Hal itu pun semakin membuat Hana bertanya-tanya.
“Apa aku berada dalam bahaya?” bisik Hana.
Tidak banyak yang bisa dilakukan Hana di tempat itu. Dia cepat merasa bosan dan lelah. Satu-satunya aktivitas yang bisa membuatnya membunuh waktu hanyalah dengan membaca buku. Hana beranjak ke sebuah kursi yang berada di taman belakang bangunan itu. Suasana di taman itu begitu asri dan rindang. Selain itu juga terdapat kebun mawar merah yang semakin menyemarakkan keindahan tempat itu.
“Sepertinya aku akan banyak menghabiskan waktu di sini daripada di dalam sana.” Hana kembali menatap bangunan tua yang masih saja menyeramkan di matanya itu.
Satu hal yang menjadi fokus Hana saat ini adalah janji yang diucapkan oleh Nathan. Dia berjanji akan mengunjungi Hana setiap akhir pekan. Dia berjanji akan datang seminggu sekali untuk menemuinya. Namun saat ini Hana tidak ingin berharap terlalu banyak. Dia mulai memikirkan dirinya sendiri. Mencari kenyamanannya sendiri dan juga melakukan apa yang bisa dia lakukan di sana.
“Hari ini biar aku saja yang memasak, Mbok,” ucap Hana yang tiba-tiba datang memasuki dapur.
“T-tapi, Non...”
“Nggak apa-apa kok. Mbok bantu aku untuk menyiapkan bahan-bahannya saja.” Hana tersenyum sambil meraih sebuah celemek yang tergantung di dinding.
Mbok Asih pun cukup terkejut melihat kemampuan Hana memasak. “Ternyata Non Hana pinter sekali masaknya,” puji mbok Asih.
Hana tersenyum tipis. “Dulu aku selalu memasak tiga kali sehati untuk Nathan, walaupun hanya menu yang sederhana.”
“Wah... pantas Tuan Nathan begitu menyayangi Non Hana... sudahlah cantik, pinter masak lagi,” sahut mbok Asih.
Senyum di wajah Hana pun memudar. Dia menatap mbok Asih dengan mata sayu, lalu berbisik lirih.
“Entahlah... aku sendiri juga tidak tahu lagi apakah dia masih menyayangi aku atau tidak.”
“Apa Non?” mbok Asih tidak bisa mendengar ucapan Hana.
Hana pun menggeleng cepat. “Tidak apa-apa kok, Mbok... sini irisan bawang merahnya!”
Selesai memasak, Hana juga sibuk menata ulang posisi kamarnya. Dia berinisiatif menyingkirkan benda-benda antik yang memenuhi kamar itu. Hana bahkan meminta Pak Wadiman dan beberapa orang pengawal untuk membawa ranjang yang ada di dalam kamar itu keluar. Ranjang itu berbentuk klasik dengan empat tiang tinggi di setiap ujungnya lengkap dengan bingkai kayu diatasnya sebagai tempat menggantungnya kelambu. Kamar yang tadinya terlihat penuh dan sempit itu pun seketika berubah menjadi lapang.
Hana pun tersenyum lega melihat itu semua. Tidak ada lagi cermin bulat besar di sudut kamar yang terlihat menyeramkan di malam hari. Tidak ada lagi lemari-lemari tua yang berderit di malam hari. Dia bahkan juga menyingkirkan karpet yang terbuat dari bulu harimau yang sebelumnya membentang di kamar itu.
Setiap hatinya ada saja yang selalu dikerjakan Hana. Di lain hari dia juga sibuk membantu pak Wadiman berkebun meski pak Wadiman sudah wanti-wanti melarangnya. Ya, Hana tidak lagi menghabiskan waktunya untuk berdiam diri seperti sebelumnya. Dia tidak lagi membiarkan sepi membelenggunya. Hana memastikan tangannya selalu sibuk. Dia sengaja membuat dirinya lelah setiap hari. Karena hanya dengan cara itulah dia bisa menyingkirkan segala pikiran tentang Nathan dikepalanya. Karena hanya dengan tubuh lelah itu jugalah dia bisa cepat terlelap di malam hari.
Setidaknya begitulah cara Hana untuk menyelamatkan diri dari sepi yang selalu bersiap untuk membelit dirinya.
_
Tanpa terasa satu minggu pun sudah berlalu. Jika memang Nathan menepati janjinya, maka dia akan datang di hari ini. Sejak pagi Hana sudah sibuk memasak aneka menu makanan kesukaan Nathan di dapur. Selain itu dia juga sedikit berdandan di hari ini. Hana memulas wajahnya dengan bedak secara perlahan. Ketika sedang menatap pantulan bayangannya di cermin, Hana pun jadi teringat pada kejadian di masa lalu.
Hana merasakan sebuah dejavu. Dia juga pernah seperti ini sebelumnya. Menyiapkan makanan untuk Nathan, berdandan untuk menyambut kedatangannya, namun dia malah tidak datang. Gerakan tangan Hana pun terhenti seiring suara helaan napasnya. Hana mengambil sebuah tisu, lalu menyeka riasan di wajahnya kembali. Dia juga melepaskan ikatan rambutnya, menanggalkan anting yang tadi sudah dipakainya dan terakhir dia juga mengganti pakaiannya dengan baju biasa kembali.
Tatapan Hana pun beralih keluar jendela kamarnya. “Sedangkan ketika dekat saja dia tidak punya waktu untuk datang, apalagi sekarang?”
Hana menertawai dirinya sendiri yang masih saja berharap terlalu banyak. Harusnya dia sadar kalau Nathan hanya mencoba membuatnya tenang. Hana beranjak turun ke lantai bawah di mana semua makanan sudah tersaji di atas meja. Langit di luar sana pun mulai menggelap. Sepertinya dugaan Hana benar, Nathan tidak akan datang.
“Lho... kenapa pakaiannya diganti lagi, Non?” tanya mbok Asih yang muncul dari arah dapur.
Hana tersenyum tipis. “Aku lebih nyaman berpakaian seperti ini.”
Mbok Asih pun beralih emnatap keluar pintu. sepertinya dia juga menanti kedatangan Nathan. Melihat hal itu Hana pun tersenyum pelan. “Dia tidak akan datang, Mbok,” ucap Hana.
Mbok Asih menatap bingung. “T-tapi bukannya kata Non Hana... Tuan sudah berjanji akan datang?”
Hana hanya tersenyum. “Lebih baik sekarang Mbok panggil semua pengawal yang ada di depan untuk menyantap semua hidangan ini.”
“T-tapi Non... bagaimana nanti kalau Tuan datang?” mbok Asih masih merasa ragu.
Hana menggeleng cepat. “Dia tidak akan datang!”
Mbok Asih pun akhirnya menuruti perintah Hana untuk memanggil semua orang yang ada dikediaman itu. Meja makan bulat yang panjang itu seketika menjadi penuh saat barisan pria tegap duduk di sana. Ada lima orang pengawal ditambah Hana, mbok Asih dan juga pak Wadiman yang sudah duduk di sana. Mereka pun awalnya terlihat sedikit malu-malu. Bahkan Hana sedikit kesulitan untuk memaksa mereka duduk.
“Ayo semuanya silakan dimakan!” ucap Hana yang duduk di kursi paling ujung.
Para pengawal itu pun saling pandang, lalu mengambil makanan dengan sedikit malu-malu.
“Terima kasih makananya!”
“Selamat menikmati!”
“Ayo ditambah lagi lauknya jangan malu-malu!”
Suasana yang awalnya canggung itu pun mulai mencair. Pak Wadiman bahkan sesekali melontarkan candaan yang emmbuat semua orang tertawa. Hana pun juga merasakan semacam perasaan yang membuat dadanya terasa hangat.
Ketika sedang asyik bersenda gurau, tiba-tiba semua langsung terdiam dengan sorot mata tertuju ke arah pintu. Para pengawal itu pun dengan cepat bangun dari duduknya dan berbaris rapi. Pak Wadiman dan mbok Asih juga terkejut dan bangun dari duduknya. Semua orang bangun dan beranjak dari meja itu menyisakan Hana seorang diri yang masih menatap nanar.
Hana menatap tidak percaya. Sedangkan Nathan kini tersenyum sambil melepas topinya. Apakah ini sebua mimpi? Hana bangun dari duduknya dan berjalan mendekati Nathan. Dia menyentuh wajah Nathan perlahan. Nathan pun meraih tangan itu, lalu mengecupnya. Terasa hangat, berarti ini bukan mimpi.
“Ternyata kamu benar-benar menepati janji....”
_
Bersambung...