"Astaga!"
Agni menepuk kening. Keluarga nenek dan kakek dari anak kecil ini sudah pulang tadi pagi. Lalu tiba-tiba bosnya mengetuk dan meminta tolong untuk menjaga bocah kecil ini sebentar. Oke-oke, hanya sampai siang, pikirnya. Tapi permasalahannya tetap lah bukan itu.
"Zieeeel! Jangan yang ituuuu!" teriaknya. Ia baru saja keluar dari kamar mandi lalu berlari hingga nyaris berbaring di lantai demi menangkap ponselnya yang hampir jatuh ke lantai. Dalam hitungan tiga, ponsel itu berhasil ia selamatkan. Bocah yang nyaris menghancurkan ponselnya hanya menatapnha dengan polos. Tak paham kalau ia hampir membuat Agni pusing tujuh keliling cuma karena satu ponsel. Oke, ponsel rusak bisa beli baru. Tapi permasalahannya bukan itu. Data-data di dalamnya sangat lah penting. Yang boleh memperbaikinya hanya teknisi perusahaan karwna ini akan menyangkut segala hal dan Agni masih berada di Kuala Lumpur. Perlu waktu lumayan lama untuk menunggu perbaikannya jika itu sampai rusak. Pekerjaannya akan terganggu dalam sekejab.
"Ayo kita keluar!" tuturnya. Ia tak bisa membiarkan bocah kecil ini menghancurkan barang yang lain. Jadi akhirnya, ia menggendongnya keluar dari kamar hotel. Tepat sekali, berpapasan dengan Aswin yang juga keluar dari kamar depannya. Semalam, Aswin dipindahkan ke kamar itu gara-gara pendingin ruangannya tidak mau menyala ditambah tombol air hangatnya juga rusak di kamar sebelumnya.
"Awas mati anak bos," tutur Aswin. Cowok itu menekan tombol untuk menutup pintu lift. Agni berdesis sembari menatapnya dengan tatapan galak dari samping.
"Nih! Coba urus!" tuturnya sambil menyerahkan Aziel dan Aswin gelabakan menggendongnya. Anehnya Aziel malah terkekeh. Apalagi saat Aswin mengajaknya main di dalam lift. Ia tertawa terpingkal-pingkal. Agni semakin senewen melihatnya. Ia akui kalau ia memang tidak menyukai anak kecil. Tapi itu karena ia canggung jika berhadapan dengan mereka. Alasan lainnya mungkin karena belum terbiasa.
"Bu Asha sampai jam berapa? Ini bocah gue aja yang bawa. Dari pada mati di tangan lo," ejeknya begitu keluar dari lift. Agni berdesis. Ia hendak mengambil Aziel tapi dihalangi Aswin. "Dibilangin gue aja!"
"Gue bodol! Gue yang disuruh jagain ini anak!"
"Lo gak bisa!" balasnya yang membuat Agni benar-benar dongkol mendengarnya. Ia tahu kalau ia tak bisa menjaga anak kecil. Tapi tak perlu meninggikan suara. Apalagi ia sampai tersinggung dan matanya berkaca-kaca. Aswin merasa bersalah melihat wajah Agni yang mendadak sendu. Gadis itu mengambil paksa Aziel darinya lalu berbalik pergi. Aswin menghela nafas. Bertengkar lagi. Ia yang salah lagi. Hal-hal sepele tapi malah menjadi keributan besar antaranya dan Agni. Kenapa harus seperti ini? Ia memijit kepalanya, pusing tiba-tiba.
"Nangis beneran tuh. Tapi gengsi ngakuin kalo nangis. Lo apain lagi dah?" omel Ridho. Ia mendengar beberapa karyawan lain bilang kalau Aswin memarahi Agni di tempat umum lalu gadis itu malu dan berjalan pergi sambil menjatuhkan air mata. Aswin masih menyembunyikan diri. Selain malu atas kejadian tadi, ia juga merasa bersalah. Lagi pula, ia hanya khawatir kalau Aziel diurus Agni. Melihat cara Agni menggendong Aziel saja sudah salah. Jadi ia pikir kalau ia perlu turun tangan untuk membantu. Namun Agni tidak suka dan yaah begitu lah pertengkaran terjadi. Ridho menggelengkan kepalanya. Tak sehari pun keduanya tak bertengkar.
Setelah berpikir lama dan berkeinginan untuk menebus kesalahannya, Aswin berdiri. "Dia di mana?" tanyanya pada Ridho. Ridho hanya mengendikkan bahu. Ia mana tahu.
@@@
"Ada banyak hal yang masih harus diperbaiki."
"Rencana pengembangan perusahaan harus dipikirkan lagi berarti," simpul Farrel. Fasha mengangguk. Itu memang benar.
Beberapa manajer perusahaan mereka yang berkantor di Kuala Lumpur juga memiliki pendapat yang sama. Mereka juga menyampaikan solusi yang sekiranya bisa dilakukan. Fasha dan Farrel menyimak dengan serius. Selesai meeting, Farrel langsung beranjak. Fasha meliriknya. Terasa aneh karena Farrel cepat sekali beranjak.
"Tumben," celetuknya pelan tapi Farrel masih mendengar.
"Fara nungguin," tuturnya lantas segera pamit. Fasha mengangguk-angguk. Ia lupa kalau istri Farrel akan terus di sini. Pandu juga sama. Tapi lelaki itu sedang ada kunjungan ke pemerintahan Malaysia bersama anggota DPR lainnya.
Farrel berjalan menuju lift. Keningnya mengerut melihat Agni berlari-lari mengejar bayi kecil yang baru bisa berjalan itu. Ia menggelengkan kepala. Padahal Aziel tidak seaktif dua saudara kembar anak Dina dan Adit, sepupunya. Tapi gadis itu kewalahan mengurusnya. Kalau mengurus dua gadis kecil itu, ia jamin akan pecah kepalanya.
Begitu keluar dari lift di lantai lain, Farrel dikejutkan dengan kehadiran Aswin. Farrel ke kanan, Aswin juga ke arahnya. Farrel ke kiri, Aswin juga sama. Kening Farrel sampai berkerut-kerut.
"Ada apa?" tanyanya. Pintu lift hampir tertutup lagi gara-gara Aswin tapi Farrel menahannya lalu keluar.
"Gak ada, Pak," tuturnya meragu. Ia hendak mengatakan sesuatu tapi bingung cara mengatakannya. Belum lagi pikiran lain yang masih ia pertimbangkan. Jadi akhirnya memutuskan untuk tidak mengatakan apapun pada Farrel.
"Kamu istirahat saja kalau begitu," tutur Farrel. "Saya mau jalan-jalan sama istri saya," pamitnya. Tapi sekretarisnya itu masih mengikuti langkahnya. Farrel menghentikan langkah lalu menatap Aswin yang menggaruk-garuk tengkuk. Tingkah anehnya tak bisa disembunyikan. "Tadi saya lihat Agni di lantai atas," tuturnya lantas kembali melanjutkan langkah. Mendengar nama Agni disebut, Aswin langsung berlari. Farrel kembali menatapnya untuk sesaat kemudian menggelengkan kepala. "Kalau suka bilang aja," gumamnya. Seperti ia. Kalau suka pada perempuan ya langsung ajak ta'aruf. Gagal ta'aruf coba lamar secara paksa. Jika punya kredibilitas unggul dan percaya diri yang tinggi, dijamin tak akan ditolak calon mertua seperti dirinya. Meski calon mempelainya yang menolak. Hihihi. Jodoh itu patut diperjuangkan dan Farrel juga punya keyakinan kalau ia memang berjodoh dengan perempuan itu. Ia mendapat keyakinan dari mana? Entah lah. Farrel pun tak paham. Keyakinan itu datang begitu saja dan berakhir indah meski banyak luka.
"Love?" panggilnya begitu membuka pintu. Dan perempuan itu sudah menghela nafas. Agak-agak kesal karena dikunci di dalam kamar dan tak boleh ke mana pun sampai Farrel kembali. Hidupnya memang terkekang semenjak bersama lelaki ini. Tapi ia akui, kalau ia juga sukarela menjalankannya.
"Katanya cuma sejam ih, Ayaaaang!"
Itu omelan yang sekaligus merengek. Farrel terkekeh. Sementara itu, Aswin baru tiba di lantai atas. Ia tak tahu lantai atas mana yang dimaksud Farrel. Jadi akhirnya, ia menyusuri satu per satu lantai di atas lantai yang tadi di mana ia berpapasan dengan Farrel. Ini adalah cara yang paling bodoh namun terasa masuk akal.
"Gak ada," gumamnya. Ia mengitari seisi lantai kemudian kembali naik lift. Tak lupa bertanya pada beberapa petugas yang lewat. Siapa tahu ada yang melihat Agni. Toh mereka juga sering datang ke sini. Kalau petugas lama pasti kenal.
Namun nihil. Ia berpindah lantai lagi dan naik ke atas lagi. Setelah bermenit-menit mengitari, ia tak menemukan Agni. Hingga masuk ke lift lagi....
"Kamu ngapain?" tanya Fasha. Perempuan itu ada di dalam lift. Aswin hanya nyengir. Kebetulan sekali, pikirnya. Ia memang mencari Agni dan perempuan ini pasti mencari sekretarisnya itu.
@@@
"Kalian pacaran?" tanya Fasha sambil mengambil Aziel dari Agni. Agni ternganga mendengar ucapan itu. Ia menggeleng kuat, menolak mentah-mentah pertanyaan itu.
"Enggak-enggak, Buu! Enak aja! Aku masih waras masa sama dia ih? Orangnya udah emosian terus--"
"Katain aja terus. Hina aja terus," dongkolnya. Fasha terkekeh sembari melihat kedua orang ini. Sementara Agni mendengus. Ia merasa benar dengan segala kata-katanya tentang Aswin yang ia kenal.
"Lanjutkan," titah Fasha. Ia sudah pergi sambil menggendong Aziel. Bocah cilik itu puas berlari-lari. Bajunya bahkan basah karena perlu dan Agni juga kelelahan mengurusnya. Ia selalu heran kenapa Aziel selalu berhasil membuatnya selelah ini. Jadi ia memutuskan untuk kembali ke kamar hotel tapi langkahnya dicegat Aswin. Cowok itu tidak menarik tangannya melainkan menghadang langkahnya. Wajah galak Agni langsung menerpa. Berbeda dengan tadi. Sisi lemah Agni yang malah keluar. Agni tak bermaksud cengeng sebetulnya. Ia hanya kecewa karena tidak dipercaya menjaga Aziel. Padahal bosnya saja percaya menyerahkan Aziel padanya.
Agni berdesis. Cewek itu hendak berbelok ke arah lain tapi lagi-lagi Aswin menahan langkahnya.
"Sorry soal tadi," ungkapnya jujur. Ia tak punya alasan khusus apapun kenapa ia tiba-tiba bersuara tinggi. Namun satu-satunya yang masuk akal adalah ia takut Agni mencelakai Aziel. Hanya itu. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Aziel, Agni pasti tamat riwayatnya.
Mendengar itu, Agni mendengus. Wajah sangarnya masih mendominasi. "Kalau begitu, AWAS!" galaknya.
Aswin menggaruk tengkuk sembari membalik badan melihat Agni yang pergi begitu saja. Ia terkadang bingung dengan urusan ini dengan Agni. Karena ia tak tahu apakah Agni memaafkannya atau tidak. Ketika muncul esok hari pun, Agni sudah bersikap biasa saja padanya. Itu yang selalu terulang dan ia merasa aneh dengan itu.
Agni memang tipe orang yang tidak mau mendendam. Kalau ia mau melakukan itu, ia bisa saja melakukannya. Tapi melupakan akan lebih menenangkan hidupnya. Dan lagi, untuk apa mendendam? Tak ada untungnya. Hanya mengotori hati dan membuatnya susah sendiri. Lebih baik ia jalani saja apa yang ada di depan mata. Masa depannya jauh lebih berharga.
"Ngapain?" tanyanya galak ketika membuka pintu dan mendapati Aswin hendak mengetuk pintu kamarnya tapi cowok itu berlagak merapikan rambut. Agni berjalan melewatinya dengan elegan. Tak mau ambil pusing dengan sikap Aswin barusan. Cowok aneh itu memang suka mencari petaka dengannya. Membuatnya emosi lalu hipertensi adalah kewajiban. Lagi pula, kapan mereka akur sehari saja? Rasa-rasanya tak pernah.
"Lo ikutan acara malam ini?" tanyanya. Malam ini adalah acara gathering di perusahaan Adhiyaksa yang ada di Kuala Lumpur.
Agni berdeham. Gadis itu menekan tombol lift. Matanya tampak galak melihat Aswin yang menjajari langkahnya.
"Ngapain lo nanya-nanya?" dumelnya yang membuat Aswin ternganga. Saat Agni sudah menghilang dari lift ia menendang-nendang pintu lift hingga kakinya sakit. Sakit kesalnya karena dicueki begitu. Ridho yang duduk sarapan di bangku dan tak jauh dari keduanya, terbahak di bangkunya.
@@@
"Satu-satunya yang membuat lo lebih manusiawi itu kucing ya," ledek Ridho. "Bahkan perlakuan lo pada kucing lebih manusiawi dibanding sama Aswin."
Agni hanya mendengus mendengarnya. Ia sedang makan siang lalu melihat kucing itu mengeong dari luar. Jadi lah ia bawakan saja sisa ayam yang sudah ia makan setengahnya untuk kucing liar yang entah bagaimana bisa menyasar ke area eksklusif ini.
"Dia lagi hamil, jong. Masa gue diem aja, kagak ngasih makan?" dumelnya. "Lu liat nih perutnya, gede bajay!"
Ridho terkekeh. Ia tadi baru keluar dari gedung yang akan digunakan untuk gathering. Ia ikut bertanggung jawab untuk acara nanti malam.
"Gue hampir gak pernah lihat lo ikut acara gathering di gedung."
Agni tak menanggapinya. Ia berpura-pura sibuk dengan kucing yang sedang ia berikan makan.
"Oi!"
"Gue denger dodol!"
Ridho tertawa. Ia ikut berjongkok melihat kucing yang sedang disuapi Agni.
"Kenapa lo gak pernah mau ikut."
"Males. Rempong tauk. Kudu dandan tebel begitu. Makek heels tinggi banget. Kaki gue bisa bengkak besoknya."
"Apa bedanya sama heels ini?" tanyanya sembari menunjuk heels yang sedang dipakai Agni.
"Ya beda lah! Tingginya aja cuma dua senti."
Ridho menggelengkan kepala. "Gue gak paham apa yang membedakan heels setinggi ini dengan yang biasa dipakai di acara gathering."
Agni mendengus. "Coba lo jadi cewek. Entar malem gue dandanin lo biar tau rasanya."
Ridho tergelak. Itu cara konyol mempermalukan diri. Ia bisa dicap tidak waras oleh bosnya.
"Lo gak ada ide lain yang lebih spektakuler?" ejeknya dan Agni mendengus untuk ke sekian kalinya. Kemudian gadis itu berdiri dan berjalan menuju kran air terdekat untuk mencuci tangan.
"Bukannya kerjaan lo belum selesai ya?"
Ia tahu kalau mengurus acara di gedung itu tidak ada waktu istirahatnya. Ridho terkekeh. Cowok itu mengambil duduk di kursi panjang laku membuka botol airnya. Ia hendak pulang sebentar ke kamar hotelnya dan melihat Agni dengan kucing di samping hotel.
"Manusia juga butuh waktu istirahat. Lo belum jawab pertanyaan gue," tuturnya yang membuat Agni menghela nafas.
"Jawaban gue gak penting. Apapun alasannya, itu urusan pribadi gue."
"I know. Tapi pasti ada alasannya," simpul Ridho dengan senyuman kecil. "Terus apa rencana lo malam ini?"
"Bukan urusan lo!" tukasnya lantas meninggalkan Ridho yang terbahak. Keduanya tak tahu kalau Aswin memantau dari kejauhan. Lalu lelaki itu menghela nafas. Ia teringat obrolannya dengan Ridho tadi.
"Lo gak merasa kalau Agni itu agak aneh? Dia selalu keluar dari lingkarna pergaulan. Berakhir dengan kesendirian. Alasan terluka menurut gue hanya kedok. Tapi dia memang tidak selalu nyaman dengan orang lain."
Aswin berdeham mendengar itu. Sejujurnya ia tahu sedikit tentang masa lalu Agni. Bukan karena terlalu perduli pada gadis itu. Ia hanya tak sengaja waktu itu. Gadis itu pernah dikhianati sahabat sendiri. Bukan hanya kekasih yang dirampas tapi juga harta kehidupan. Bahkan difitnah berhutang hingga miliyaran. Agni tidak menyangkal karena semua dokumen itu memang atas namanya meski bukan ia sejatinya yang berhutang. Judulnya? Sahabat tidak tahu diri.
@@@