"Menjadi tertinggi bukan tujuan. Yang menjadi tujuan justru keselamatan banyak orang. Bagaimana caranya kita membangun ini tidak hanya dengan material terbaik tetapi juga kinerja terbaik," tuturnya yang disambut banyak tepuk tangan.
Agni mencatat semua yang didiskusikan sepanjang rapat sejak pagi. Ia mengetiknya pada laptop mini yang ada di depannya. Kemudian langsung mengirimkan seluruh notulensinya pada semua peserta rapat bahkan sebelum mereka keluar dari ruangan ini. Saat para peserta sudah selesai berbasa-basi, Agni sibuk memberesi barang-barangnya juga milik bosnya. Mereka sudah memiliki gedung tersendiri di Kuala Lumpur. Sekian lama hanya di Singapore atau menumpang di gedung milik Regan. Beberapa bulan lalu, Fasha memang meluaskan jejaring usahanya.
"Kalau kamu mau jalan, jalan saja, Ag. Aku mau pulang," tuturnya. Agni hanya mengiyakan saja tanpa banyak bicara. "Kamu kenapa?" tanya Fasha. Rasanya aneh karena Agni tak begitu bawel hari ini. Tapi gadis itu hanya hah-heh dan hah-heh karena sibuk dengan laptop mininya. Fasha menggelengkan kepala kemudian mengambil tasnya. "Ah ya, Ag. Cari pasangan. Jangan sendirian terus," pesannya sebelum menutup pintu. Hal yang membuat Agni menghela nafas. Lelaki tidak ada dalam prioritasnya saat ini.
Sementara itu.....
"Kamu ada hubungan apa dengan Agni?" tanya bosnya dengan santai sembari memainkan ponsel. Seperti biasa, ia selalu menghubungi istrinya tiap detik. Tapi istrinya yang nakal itu, tak kunjung membalas. Entah ke mana lagi perginya perempuan itu. Seketika, ia menyesal karena mengizinkannya keluar. Sementara Aswin terbatuk-batuk mendengar pertanyaan itu dan Ridho menahan tawa. Rasanya aneh karena mendengar bosnya tiba-tiba menanyakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan urusan kantor. Kemudian bosnya mendongak karena Aswin tidak menjawab. Lelaki itu mengusap mulutnya usai minum dengan agak terburu-buru.
"Gak ada, bos."
"Temen, bos."
Jawaban yang keluar sungguh berbeda. Ridho mengatakan apa dan Aswin mengatakan apa. Bos mereka, Farrel, hanya mengernyitkan kening. Namun beberapa detik kemudian ia berkata lagi dengan wajah datarnya.
"Jangan sampai urusan asmara terbawa ke dalam urusan kantor," tuturnya kemudian beranjak dari bangkunya. "Kalian lanjut saja, saya balik dulu," tuturnya sekalian pamit. Hal yang membuat Aswin menghela nafas panjang sementara Ridho menepuk bahunya berkali-kali sambil tertawa.
"Gue kira dia mulai perduli hal-hal semacam ini," tutur Ridho. "Tapi ternyata tetap urusan pekerjaan."
Aswin malas mendengarnya. Ia menyudahi acara makan siang ini dengan cepat. Sepertinya, bosnya sadar kalau ia terus menatap Agni selama rapat tadi. Sementara gadis itu, sibuk dan terlalu fokus pada apa yang diketiknya. Ia bukan tertarik pada Agni. Hatinya hanya gelisah karena pertengkaran kasat mata kemarin ketika mereka baru tiba di hotel. Rasanya aneh karena berseteru seperti itu. Meskipun, ia memang sering meledek Agni. Tapi hatinya tak pernah seghndah ini ditambah lagi, ia merasa harga dirinya jatuh hanya karena urusan mabok-mabokan ini. Oke-oke, ia memang lalai untuk urusan ini. Bahkan kemarin bosnya juga mengiriminya pesan. Apa pesannya?
Apa yang terjadi Aswin? Saya mencium bau alkohol di sekitarmu.
Lagi-lagi Aswin hanya bisa menghela nafas panjang. Usai meneguk habis minumannya, ia segera beranjak. Ridho geleng-geleng kepala melihat kepergiannya. Ia tetap bertahan di bang ku demi menghabiskan makanan yang masih banyak tersisa di sini. Sementara Aswin baru saja menghentikan langkah ketika ia malah berpapasan dengan Agni di pintu restoran. Gadis itu hanya berjalan dengan menegakkan kepalanya tinggi-tinggi dan berpura-pura tak melihat Aswin yang mematung di sebelahnya dan sedang menatapnya.
"Ya!" panggilnya. Entah kenapa, ia malah memanggil kemudian menarik tangannya kuat-kuat. Akibatnya? Tubuh Agni oleng karena kakinya tertekuk heels dan hilang keseimbangan. Alih-alih jatuh ke lantai, ia malah jatuh ke pelukan Aswin yang sontak saja menjadi pusat perhatian. Ridho yang juga melihat hanya bisa ternganga di bangkunya dengan tatapan syoknya.
"Woaaaaa."
Seruan kagum menyadarkan kedua orang yang saling bertatapan di tengah-tengah pintu itu. Agni yang tersadar langsung mendorong Aswin jauh-jauh darinya hingga lelaki itu terpental ke lantai. Sementara Agni sudah berlari sambil menutup muka dan menenteng kedua heels-nya. Bos Aswin, yang tadi hendak kembali ke restoran karena merasa meninggalkan sesuatu itu menjadi saksi paling dekat melihat adegan tadi. Agni melewatinya yang sama terkejutnya dengan semua orang yang ada di sana. Sementara Agni sudah mengutuk Aswin di dalam hati.
Oke, Aswin sama sekali tak perduli jika banyak pasang mata yang melihatnya. Tapi kenapa bosnya juga harus melihat? Astaga!
@@@
Dan kabar itu tentu menyebar luas berkat mulut Ridho. Entah apa yang lelaki itu katakan, kabar itu sangat viral di kantor. Bahkan banyak yang mengira Aswin dan Agni benar-benar memiliki hubungan tapi keduanya mungkin bertengkar. Mereka berasumsi seperti itu. Bahkan Farrel, sebagai bos Aswin pun percaya. Ia hanya terlalu kaget hari itu karena ia melihat bagaimana cara Aswin menarik lengan Agni dengan begitu romantis. Hingga Agni mendarat ke dalam pelukannya. Ia masih terngiang-ngiang dengan adegan itu. Fasha? Sesekali ia memerhatikan wajah Agni yang tampak serius. Dari sekian banyak kisah tentang Agni, tentu saja hal ini sangat mengagetkan. Tapi ia tak bertanya sedikit pun karena sepertinya mood Agni masih buruk tentang ini. Maka itu, sebelum pulang, ia menaruh coklat di atas meja Agni. Beberapa menit kemudian Agni kembali dan mendapati cokelat itu. Tapi malah salah paham dan mengira kalau Aswin yang menaruhnya di sana. Ia yang sudah menahan emosi selama beberapa hari ini, menahan diri agar tak meledak, tiba-tiba memiliki alasan untuk melabrak Aswin setelah ini.
Ia menyudahi pekerjaannya dengan cepat. Sebelum jam lima sore waktu Kuala Lumpur, ia memberesi semua barangnya. Kemudian berjalan dengan langkah-langkah panjang menuju lantai di bawahnya di mana kantor kecil bos Aswin berada. Selama di Kuala Lumpur, mereka memang menyewa porsi kecil dari gedung ini untuk bekerja sekaligus memantau kinerja para staf di Jakarta. Agni hendak masuk ketika tiba di lantai di mana kantor Aswin berada namun tiba-tiba memelankan langkahnya saat melihat keberadaan Farrel dibalik jendela.
Ia langsung menepikan tubuh saat merasa kalau lelaki itu melihat ke arah jendela. Tangannya tampak sibuk dengan ponsel yang kemudian dijepit di antara bahu dan telinga. Tak lama terdengar keriuhan perempuan. Ketika Agni menoleh, ia baru sadar siapa yang datang. Tentu saja istri dari bos Aswin itu juga bersama Bunda. Perempuan paling cantik menurutnya meski sudah dimakan usia. Bermenit-menit kemudian, kedua perempuan itu keluar dengan bos Aswin. Agni menghela nafas. Setelah memastikan ketiga orang itu berjalan gak jauh, Agni berjalan memasuki kantor kecil itu. Ia membuka pintu dengan agak keras hingga mengagetkan Aswin dan Ridho yang ada di dalamnya. Kedua lelaki itu menoleh tapi Ridho menyemburkan tawa saat melihat aksi Agni saat menampar Aswin dengan batangan coklat yang dibawanya.
"Ya! Jangan coba-coba bikin rumor baru!" serunya kemudian membalik badan dan pergi begitu saja sambil mengibas rambutnya. Aswin yang tak tahu apa-apa tentu saja ternganga dengan mulut penuh batangan coklat. Ridho sudah terkapar di lantai dengan tawa.
@@@
"Apa salah gue coba?"
Ia masih tak habis pikir dengan Agni yang tiba-tiba datang dan melabraknya. Ridho masih tertawa. Keduanya sedang berjalan kaki menuju Menara Petronas. Aah, tujuannya bukan untuk menaiki menara itu. Mereka berencana untuk mampir ke Suria KLCC, yaitu mall yang berada tepat di bawah Menara Petronas. Omong-omong, menara ini adalah menara kebanggaan bangsa Malaysia. Menara ini pernah menyabet gelar sebagai menara tertinggi namun kini tergantikan oleh menara 101 yang ada di Taiwan.
"Lagian, lo yang kenapa? Katanya gak ada hubungan apa-apa tapi meluk-melukin si Agni!" sembur Ridho. Lelaki itu berjalan sambil menenteng kopinya. Keduanya berjalan santai dari kantor. Baju yang dikenakan pun masih kemeja kantor. Sore-sore begini enaknya mampir ke mall sebelum kembali ke hotel. Mereka sudah terlalu sering datang ke sini. Negara ini bagai rumah kedua bagi mereka.
Mendengar itu, Aswin hanya menghela nafas. Ia juga tak habis pikir dengan apa yang dilakukan. Bahkan bosnya juga berkomentar tadi pagi. Apa kata bosnya?
"Kalau serius sama perempuan, jangan menyakiti bahkan melukai perasaannya."
Padahal selama ini bosnya tak pernah ikut campur dalam urusan asmaranya. Tapi haaaah. Sudah lah. Rasanya Aswin pun bagai kehilangan akal. Jangan tanya alasan kenapa ia tiba-tiba menarik lengan Agni. Meski awalnya ia hanya berniat untuk mengajak Agni berbicara. Namun yang terjadi malah makin runyam. Ia tahu kalau Agni pasti marah besar atas kejadian kemarin tapi ia masih tak terima karena menurutnya iti adalah unsur ketidaksengajaan semata. Bukan karena ia mencari-cari kesempatan. Bah!
"Tuh-tuh, terlampau jelas."
Ridho sudah mengambil kesimpulan sendiri. Lagi-lagi Aswin hanya bisa menghela nafas pasrah. Ia memang tak bisa menyangkal.
"Terus gue harus gimana?"
Ia baru bertanya saat sudah duduk santai di sekitar kawasan mall. Mereka memang hendak masuk tapi Ridho tertarik dengan taman yang ada di belakang mall ini. Yang menghadap ke arah air pancuran. Pada jam-jam tertentu, pancuran ini akan menampilkan lampu beberapa warna yang membuatnya tampak indah dan cantik. Namun ini masih terlalu sore. Sekitar satu jam lagi, magrib baru akan menyapa.
Ridho terkekeh mendengar pertanyaan yang menurutnya lucu. "Ya selesaikan apa yang terjadi antara lo dan Agni."
Aswin malah semakin pusing memikirkannya. Ia juga bingung dengan apa yang terjadi. Semua hanya bermula dari kesalahpahaman dan kini menjadi runyam.
"Omong-omong tentang cewek itu," Ridho teringat lagi. Aswin menoleh. Ia masih memikirkan Agni. Makanya keningnya hanya berkerut mendengar pertanyaan yang belum selesai dari mulut Ridho. "Dia beneran nikah sama mafia? Atau cuma sekedar jadi kekasih gelap? Atau yaa...lo tahu bagaimana kejamnya dunia kan."
Haaaah. Aswin menghela nafas. Ia bahkan hampir melupakan hal itu. Namun entah kenapa, hal itu justru tak menjadi masalah yang sangat berarti lagi.
"Saran gue, lebih baik jangan ikut campur. Mau lo masih sayang atau enggak sama itu cewek."
Itu tentu saja peringatan dari Ridho. Ini lebih mengerikan menurutnya.
"Lo tahu kan? Pak Ardan hampir mati gara-gara itu. Gue gak mau benar-benar berkunjung ke kuburan lo."
Aswin mengaduk-aduk minuman dengan sedotannya. "Gue juga gak ngerti," tuturnya. Ia tak mengerti dengan perasaannya. Sejujurnya, ia sudah lama putus dengan perempuan itu. Tapi ia tak mau menganggapnya telah putus dan selalu menganggap masih berhubungan. Ia sampai lupa kapan ia dan mantannya benar-benar memutuskan hubungan. Boleh dibilang, ia memang tipe orang yang tidak mudah menerima kenyataan hidup. Seringkali menolak dan terus bertahan pada apa yang diyakini. Karena menurutnya, itu lah caranya bertahan untuk hidup. Sekalipun semuanya sudah tak sama. "Tapi setidaknya, dia harus hidup dengan baik."
Ridho menggelengkan kepala. Kemudian telunjuknya mengarah pada Aswin. "Gak ada yang salah dengan rasa keperdulian lo yang terlalu tinggi itu. Tapi yang jadi masalah justru cara lo menunjukkan rasa perduli lo. Kalo lo sampai mati karena hal semacam itu gimana?"
"Kalau memang harus mati ya mati."
"Gak gitu caranya bodoh!"
Aswin tahu tapi tak mau perduli. "Terus gue harus diam begitu?"
Nada suaranya naik sedikit. Ridho terkekeh kecil.
"Saat Pak Farrel diterpa gosip miring, menghamili mantan Puteri Indonesia, lo pikir gue bisa percaya? Setiap hari gue sama dia, gue hapal kebiasannya. Gue hapal semua kelakuannya. Mana mungkin gue percaya? Gue tahu kalau semua orang pasti memiliki sisi jahat. Tapi jika ada pun, gue yakin Pak Farrel akan melakukan kejahatan yang lain bukan jadi raja m***m apalagi sampai menghamili anak orang," tuturnya menggebu.
Ridho mengangguk-angguk. Ia sempat termakan dengan semua kabar miring kala itu. Bahkan sempat bersikap agak sungkan ketika terus berinteraksi dengan bos mereka. Namun kini sudah kembali seperti semula.
"Jadi gue pikir, gue yakin kalau dia butuh sesuatu atau ada sebab lain yang membuatnya sampai melakukan itu, Dho. Sekalipun mantan, dia itu orang yang pernah jadi bagian dari hidup gue juga."
"Sekalipun apapun yang lo lakuin selama ini ke dia gak pernah dihargai?"
Lama-lama Ridho agak marah mendengarnya. Bukan apa-apa, baginya bodoh dan terlalu perduli itu memang hampir tak ada bedanya jika orang itu adalah Aswin. Lelaki yang menurutnya terlalu baik.
"Bukan begitu."
Ia masih menyangkal. Ridho menggelengkan kepalanya. "Kayaknya lo memang perlu dihajar Agni sekali lagi."
Aswin berdecak. Kenapa bawa-bawa gadis itu lagi?
"Jangan terlalu perduli hidup orang lain, Win. Kita gak bisa jadi malaikat untuk semua orang dan gak semua orang akan senang dengan berbagai bantuan lo kasih itu. Alih-alih merasa diperdulikan, jangan-jangan mereka merasa dikasihani?"
"Kalo gue bantuin lo, lo merasa kayak gitu?"
"Lo harus paham konteksnya Aswin. Untuk urusan mantan lo itu, apapun alasannya, lo gak ada berhak lagi di sana. Kalo lo datang lagi ke dia, gue gak akan melarang apalagi bantuin lo apapun. Itu terserah lo. Ini peringatan terakhir gue."
@@@