"Can we start now?"
Ridho mengangguk. Tak lama, layar berganti. Profil perusahaan untuk pencapaian tahun ini telah ditayangkan. Ridho fokus menyimak tayangan sembari mendengar suara-suara laporan dari tim lain di telinganya. Sementara Aswin tampak memerhatikan sekitar. Ia berdiri di samping Ridho tapi sama sekali tak fokus melihat apa yang sedang terjadi. Terlebih ke deretan karyawan. Ia melihat semua kursi dan tidak melihat gadis itu di mana pun. Terakhir, ia hanya melihatnya mengobrol dengan Ridho tadi sore. Selebihnya? Ia tidak melihat. Lalu malam ini juga tak terlihat. Gadis itu ke mana?
"I don't think that's gonna be a good way for them!"
Aswin menoleh. Ia tak tahu kenapa kakinya membawa langkahnya keluar dari keramaian gedung. Alih-alih mendengar panggilan Ridho tadi, ia malah berada di sini. Ia melihat sekitar kemudian memutuskan untuk pergi ke hotel. Satu-satunya tempat yang ia tahu kalau ada kemungkinan Aswin akan berada di sana.
"Is everything okay?"
Banyak bule di sekitarnya yang memang menginap di hotel. Aswin hanya mendengar kalimat-kalimat itu lalu melewatinya. Sebetulnya, tak ada niat dalam hati untuk mencari Agni. Tapi wajah murunnya kadang sering terbayang. Gadis itu tampak tak menikmati hidup.
"Pakcik!" panggilnya. Semenjak sering datang ke sini, ia selalu memanggil semua orang yang lebih tua dan berjenis kelamin laki-laki, dengan panggilan ini. "Ada perempuan yang kurus, tinggi, kecoklatan, rambutnya sering diikat macam ni, matanya lebar, lewat sekitar ni?" tanyanya.
Kening lelaki tua itu berkerut-kerut. Ia tampak berpikir tapi kemudian menggeleng. Aswin menghela nafas. Ia bahkan bertanya ke beberapa petugas, tapi tak satupun melihat Agni lewat atau berada di sekitar sini. Lebih tepatnya, tak ada yang memerhatikan.
Aswin berjalan menuju lift. Begitu masuk dan keluar lagi, ia tiba di depan kamar Agni lalu merasa bodoh. Untuk apa ia berada di sini? Hahahaha. Ia menepuk kening kemudian berjalan keluar dari sana dan kembali ke gedung di mana acara gathering sedang berlangsung.
"Pusing kepala gue," tutur Ridho. Aswin baru saja membuka pintu belakang dan berpapasan dengan Ridho yang mau keluar.
"Kenapa?"
Keduanya berdiri di tengah-tengah pintu.
"Barusan mas gue nelpon."
Aaah. Aswin mengangguk-angguk. Ia kira terjadi sesuatu yang buruk dengan acara ini. Tapi ternyata bukan. Ridho mengajaknya keluar, mengobrol di dekat bangku yang berada tak jauh dari taman.
"Ada apa?"
Ridho menghela nafas panjang. "Biasa urusan duit. Selalu minta ke gue. Tiap bulan."
"Mas lo?"
Ridho mengangguk. "Nikah mau, punya istri mau, punya anak mau tapi menghidupinya gak mau."
Aswin diam mendengarnya. Mereka tak pernah membicarakan hal se-privat ini. Mungkin Ridho percaya padanya tak akan membeberkan hal ini pada orang lain. Di sisi lain, sepertinya Ridho juga sudah lelah menyimpannya sendirian.
"Gue yang harus biasa hidupnya. Bayangin, dia disuruh kerja gak mau. Istrinya sampai jadi babu di rumah orang. Gak punya rasa tanggung jawab sama sekali sama keluarga."
"Terus lo ngapain biayain?"
"Kasihan."
Aswin mengangguk-angguk. Memang kedilemaan yang hakiki.
"Memangnya dari sebelumnya kerja?"
"Kerja. Terus kena PHK. Disuruh nyari kerja, katanya belum dapat yang kayak sebelumnya. Padahal kerja apa aja lah dulu, gak usah mikir gengsi. Duit gak ada, nasi gak ngebul di dapur. Tapi dalam pikirannya, ada gue. Adiknya yang masih jomblo dan gaji besar."
Aswin mengangguk-angguk. Ia menepuk bahu Ridho sebagai tanda empati.
"Padahal urusan rumah tangganya sama sekali bukan urusan gue."
Ridho menghela nafas. Tampak lelah dengan semua beban yang harus ia tanggung.
"Rasanya pengen gue bawa kabur istrinya."
Aswin tertawa mendengar kata-kata itu. "Jangan gila!"
"Bukan gila. Tuh cewek sialnya lebih milih mas gue yang kere itu dibanding gue."
Aswin melongo. "Seriusan?"
Ridho mengangguk dengan wajah serius. "Dia mantan gue yang akhirnya naksir Mas gue. Yaaa memang Mas gue lebih ganteng dari segi fisik. Tapi apa gunanya ganteng kalau pemalas dan gengsian?" ia menarik nafas dalam. "Gue yakin, dia malu dengan hidupnya sekarang karena meskipun bukan nikah dengan gue, kenyataannya gue secara tidak langsung yang menghidupi dia."
"Masih punya rasa?"
Ridho tertawa. "Untuk sesuatu yang sudah berakhir ya namanya berakhir. Gak ada istilah nyambung atau apapun."
"Termasuk kalau suatu saat, dia kepengen balik sama lo?"
Ridho tertawa lagi. "Itu terjadi setengah tahun lalu."
Aswin makin melongo mendengarnya. "Terus?"
"Gue bilang kalau dia sinting."
Aswin terkekeh. Memang benar.
"Gue tahu, dia menyesal karena hidupnya ditelantarkan Mas gue. Padahal gue udah bilang sejak awal. Bukannya mau jelekkin keluarga sendiri. Gue hanya jujur. Mas gue itu bukan tipe pekerja keras. Dia gengsian. Dia malas. Dia juga kurang bertanggung jawab. Suka lari dari masalah juga. Apa yang model begitu yang dia harapkan untuk menjadi pasangan hidup? Ketika diajak kerja sama aja susah? Gak usah lah menghidupi istri, bantu keuangan orangtua aja dia beralasan kalau dia mau fokus menabung. Tapi saat nikah, semuanya dari orangtua gue. Bacot doang gede tapi gak ada tindakan sama sekali."
"Terus sekarang, bakal lo kasih?"
Ridho mendengus. "Sudah tujuh bulan gue hidupin dia dan istrinya. Bulan ini, gak akan lagi. Gue tunggu dia apakah berani datang ke gue dan sujud di kaki gue demi duit."
@@@
"Kenapa sih semua orang harus menyuruh menikah?" jengkelnya. Unek-unek dalam hati itu akhirnya keluar juga. Ia lelah dengan berbagai desakan ibu dan keluarganya. Lalu tadi saat melakukan panggilan video dengan teman-temannya, ia kembali disindir tentang pernikahan. Mentang-mentang hanya ia yang belum menikah. Memangnya salah?
"Itu karena katanya menjadi kodrat bagi perempuan tapi tidak bagi laki-laki."
Agni menoleh. Yang muncul tentu saja bukan orang yang membuat Agni kesal melainkan Yuni. Gadis itu baru datang tadi siang dan harusnya berada si gedung. Tapi lihat lah, ia juga berakhir di sini. Di depan Petronas yang cukup ramai dan mendengar dumelan Agni yang menyendiri sedari tadi.
Yuni turut bergabung dengannya. Duduk di sebelahnya dengan banyak pikiran yang ada di kepalanya.
"Katanya kesetaraan gender tapi yang menghina justru sesama gender. You got that right?"
Agni hanya menghembuskan nafas. Yang menghina status jomblonya pun teman perempuan sendiri. Bukannya saling mendukung disaat seperti ini, ia malah dihina. Bekerja keras untuk seorang perempuan bagi mereka adalah sebuah ambisme yang harus dihapus. Karena korelasi negatif yang terjadi, seperti lupa harus berumah tangga, lupa mengurus suami dan anak bagi yang sudah menikah. Padahal tidak semua perempuan begitu. Justru sebaliknya, banyak perempuan meskipun ia bekerja keras dan mengejar karirnya tapi keluarganya tetap harmonis. Jika di kondisi kan dalam hal lain, misalnya seorang istri di rumah dan mengurus keluarganya, apakah ada jaminan tidak terjadi perceraian? Bukan kah peluangnya juga sama? Sama-sama lima puluh persen?
"Aku juga capek mendengar kata-kata orang. Sekarang lebih asyik hidup sendiri. Yang penting hidup kita punya nilai. Dikasih karir lebih berarti sesuai dengan usah kerja keras kita."
"Biasanya mereka yang suka menyinyir dan sudah menikah, iri melihat perempuan-perempuan seperti kita dan masih bisa bergerak bebas. Mereka merindukan kebebasan yang sama. Tapi di sisi lain, ada tanggung jawab pula. Keirian yang hakiki. Menghujat hidup perempuan jomblo seperti kita dan setelah gue pikir. Tahu apa yang membuat mereka iri?"
Yuni mengendikkan bahu.
"Iri dengan apa yang lo punya. Selain kebebasan sebagai perempuan lajang tapi harta dan jabatan yang tidak bisa mereka pilih. Contohnya temen gue. Nikah muda. Ia dan suaminya masih honorer hingga saat ini. Gaji honorer di kampung gue itu cuma dua jutaan lewat dikit. Kalau gaji keduanya digabung hanya empat jutaan lebih. Beda jauh sama gaji kita di kantor. Itu bahkan gak sampe setengahnya dan kita hanya menghidupi hidup sendiri."
"Itu salah mereka karena memilih jalan itu. Harusnya, kalau masih bisa mengusahakan hal lain, misalnya karir ya usahakan saja dulu."
"Tapi alasannya pasti sama. Takut susah mencari suami yang katanya setara."
"Itu standar mereka saja yang terlalu rendah. Aku percaya. Semakin tinggi kualitas perempuan, ia bisa mendapat lelaki yang hebat melalui tangan Tuhan. Tidak ada yang tidak mungkin jika melibatkan Tuhan di dalamnya."
Kalimat yang sungguh membuat Agni tersentil. Sudah lama rasanya ia tak mendengar kata-kata yang menenangkan. Bahkan ibunya pun sibuk merusuhinya agar segera menikah. Sementara baginya, pernikahan itu sangat lah tidak mudah. Ada banyak hal yang ahrus dipikirkan.
"Dan menikah dalam usia yang tidak muda itu tak masalah bagiku. Karena yang namanya jodoh kan tidak ada yang tahu. Urusan rejeki kain seperti anak, tidak harus datang dari rahim kita. Karena banyak juga perempuan yang sudah kama menikah dan belum dikaruniai anak. Jadi urusan masing-masing itu memang sudah diatur Tuhan. Urusan hamba-Nya hanya berdoa dan berusaha. Yang salah itu, kalau sudah tahu melajang, tak ada usaha untuk mendekatkan diri pada Tuhan, tak ada perubahan pula dalam kehidupannya."
Ini pembicaraan yang sungguh berat.
"Lalu apa rencanamu?"
Agni menoleh.
"Merasa hidupmu berguna meski sendiri?"
Agni tersenyum kecil. "Jadi sekretaris bos besar bukan kah pencapaian tertinggi dalam hidup gue?"
Yuni tertawa. "Dengan gaji seharga Terios per bulan? Itu lebih dari cukup loh."
Hahaha. Agni tertawa. Gajinya tidak sebesar itu. Tapi kalau bosnya merasa ia pantas mendapatkan sebegitu besar, bosnya tak segan memberikannya. Dalam beberapa kali kesempatan, ia tak memungkiri kalau Fasha memang menggajinya sebesar itu. Mungkin karena Agni lah yang selalu menemaninya. Bahkan Agni memang menemaninya dari nol hingga berada di titik sekarang. Rasa terima kasih yang tak akan pernah cukup.
@@@
Yuni pergi. Gadis itu katanya mau menghabiskan makan malam sendirian di restoran yang ada di mall tepat di bawah Petronas. Sementara Agni masih duduk di tempat yang sama, menatap air mancur dan lampu warna-warni di sekitar. Ia merasa kesepian jika sedang seperti ini. Namun terkadang, tak memungkiri kalau ia merasa bersyukur dengan kondisi ini. Hal-hal yang mungkin tidak akan pernah bisa didapatkan orang lain.
"Tuh!" seru Ridho. Ia menyenggol lengan Aswin. Tadi mereka keluar dari pintu lain dan baru ini melihat keberadaan Agni. Ridho memang harus kembali karena pekerjaannya belum selesai. Jadi cowok itu sengaja berjalan lebih dulu usai memberi kode pada Aswin untuk mendekat Agni. Alih-alih menghampiri, Aswin malah masuk lagi ke dalam mall untuk membeli kopi lalu keluar dan menghampiri Agni. Tangannya terulur memberikan kopi pada Agni. Gadis itu mendongak. Baru menyadari kalau ada sepasang kaki di dekatnya. Agni mendongak dan mendapati Aswin dengan senyum anehnya. Kenapa aneh? Karena menurut Agni, Aswin tak pernah tersenyum tulus ke arahnya.
"Setidaknya seseorang harus menikmati kopi malam ini."
Agni mendengus. Ia masih enggan mengambilnya. Akhirnya, Aswin menaruhnya di samping Agni uang sedang duduk. Sementara lelaki itu duduk di atas batu lain, tak jauh dari harapan Agni.
"Lo sama sekali gak niat ikut acara?"
"Apa urusannya sama lo dan untuk apa lo di sini? Bukannya lo perlu berada di sana?"
"Gue yang bertanya lebih dulu. Gak sopan menjawab pertanyaan orang lain dengan pertanyaan juga."
"Itu hak gue."
Aaah. Aswin kehilangan kata-katanya. Benar juga. Kemudian ia berdeham. Sebetulnya ada hal penting dibandingkan memancing pertengkaran dengan Agni. Aswin tahu kalau mood Agni memang tak pernah baik padanya. Tapi bukan alasan untuk berhenti meladeni Agni kan?
"Apa yang lo pikirkan?"
"Apapun itu, bukan urusan lo."
Aswin terkekeh. Setiap pertanyaannya dibalas dengan ketusan. Meski ia bertanya dengan sangat sopan.
"Gue gak lagi kepengen bertengkar."
Agni mendengus mendengar itu. Ia juga tak lagi mengajak bertengkar. Aswin menghela nafas.
"Terus ngapain lo ke sini?"
"Lo tahu? Ada hal-hal yang kadang perlu damai," ia menghela nafas panjang. "Untuk seukuran cewek kayak lo yang menghindari keramaian dengan keramaian juga bukan kah aneh? Kenapa gak nyari tempat yang lebih sepi kalau untuk menghindari kenyataan?"
"Gue bukannya di keramaian tapi menghindari obrolan basa-basi yang tidak penting. Gue menjawab ini juga sekaligus sebagai sindiran untuk keberadaan lo di sini."
Aswin terbahak. Kehadirannya memang tak diharapkan. Agni bahkan heran kenapa cowok ini mendadak ada di sini.
"Is there something wrong?"
Agni mendengus. Bukan Aswin yang bertanya melainkan bule-bulenyang ada di sekitar mereka. Malam ini, Petronas memang ramai. Ya sama lah dengan malam-malam sebelumnya. Aswin menoleh ke arah bule-bule itu lalu kembali menatap Agni.
"Lo tahu fakta dibalik bangunan tinggi itu?"
Aswin mengalihkan pembicaraan. Ia menunjuk Petronas dengan dagunya. Agni hanya menghela nafas. Ia sedang malas berbasa-basi tapi cowok ini terus memancing emosi dan mengajaknya bicara meski dengan emosi.
"Gedung itu adalah sepasang menara kembar yang pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia pada tahun 1998-2004, sebelum dilampaui oleh Burj Khalifa dan Taipei 101."
"Terus?" jengkelnya.
"Gue memaknai mereka lebih dari sekedar bangunan kembar yang jika kehilangan satu. Maka akan membuat yang lain juga kehilangan. Maka seperti itu lah acara gathering kantor, Agni. Bukan sekedar acara reuni atau basa-basi. Tapi soal kebersamaan yang ada di dalamnya dan cara bos memperlakukan karyawan yang sudah bekerja keras untuknya. Itu penghargaan yang sangat layak."
Agni menatapnya keki. Ia beranjak lantas menepuk kening Aswin yang malah membuat cowok itu terdorong dan seketika tercebur ke dalam air mancur. Tentu saja disimak banyak orang. Agni ternganga. Kaget dengan dorongan tangannya Lalau lari terbirit-b***t sambil tertawa.
@@@