"Udah sadar?" sapanya. Ia terus memantau gerak tubuh Aswin. Cowok itu terbatuk saat membuka mata dan yang dilihat olehnya pertama kali adalah Agni. Secara spontan, ia menutup diri dengan selimut tapi kemudian merasa bodoh. Hal yang ia cek kemudian adalah baju ditubuhnya yang ternyata masih lengkap. Agni menggelengkan kepala melihat kelakuannya. Kenapa ia yang terlihat b***t dan m***m pada lelaki sih? Kesannya kan begitu. Padahal cowok ini yang tidur di kamarnya. Dan lagi, ia mau menaruh Aswin yang mabuk semalam di mana? Toilet? Sofa? Setidaknya ia masih punya rasa kemanusiaan. "Makan tuh," tuturnya sembari menaruh baki makanan di atas nakas. Ia memang masuk ke kamar ini untuk mengantar makanan. Mana tahu kalau Aswin akan terbangun disaat yang sama. Sementara itu, Aswin malah gelagapan sendiri.
"Lo ngapain di sini?" tanyanya. Ia masih panik sendiri. Dengan senang hati, Agni menoyor kepalanya tanpa manusiawi. Jujur saja, ia biasanya elegan dan agak menjaga sikap. Terlebih ia terlalu sering bersama bosnya yang memang elegan. Tapi, terkadang hilang kendali di hadapan lelaki ini. Entah kenapa. Ia juga tak tahu jawabannya.
"Ini kamar gue woi!" tukasnya.
Aswin makin bingung. Pikiran-pikiran negatif dan penuh dengan kecurigaan pada diri sendiri menghiasi kepalanya. Andai Agni tak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, ia sudah berpikir melakukan hal-hal aneh dengan Agni. Padahal....
"Lo mabok? Inget? Ke klub di bawah? Terus dibawa noh sama Ridho!" semburnya biar Aswin cepat sadar. Tapi cowok itu hanya mendesis karena sakit di kepala yang tiba-tiba menyerangnya. Kemudian ponselnya yang berada di samping baki, berdering. "Buruan siap-siap! Tim udah mau berangkat!" tutur Agni. Ia tak sengaja melihat layar ponsel Aswin di mana bos lelaki itu menghubunginya. Alih-alih menjawab, Aswin malah berlari ke kamar mandi.
Ridho dan Milana sudah kembali ke apartemen masing-masing tadi, sekitar jam lima pagi. Mereka juga harus bersiap untuk berangkat ke kantor. Eh hanya Milana yang akan berangkat ke kantor. Kalau Ridho sih akan berangkat ke bandara. Agni juga. Ia tak mau tertinggal penerbangan. Kebetulan Ridho satu apartemen dengan Aswin. Cowok itu sengaja balik untuk membereskan barang sekaligus membawa barang milik Aswin. Saat Agni baru keluar dari kamar, saat itu lah Ridho muncul dengan dua buah koper. Keningnya mengernyit melihat betapa besarnya koper yang dibawa itu.
"Banyak amat! Mau pindahan?" tanyanya. Ridho tergopoh-gopoh membawa masuk dua buah koper itu.
"Lo kayak gak tahu Pak Farrel aja. Dia tak terduga. Tujuan boleh aja ke KL. Setelah itu belum tahu akan tinggal berapa lama dan....."
"Dan?"
"Dia pasti bawa istrinya."
"Terus apa hubungannya sama lo?"
"Itu artinya, gue sama Aswin akan lebih ribet karena bos gak ada."
"Bukannya malah enak kalo bos lo gak ada?"
"Lo kayak gak tahu Pak Farrel aja."
Agni hanya mengangguk-angguk santai saja. Setidaknya bosnya masih lebih manusiawi, pikirnya. "Eh iya, bos lo udah resmi cerai sa--"
"Itu udah berita udah lama kali. Lo ketinggalan banget!"
Agni terkekeh. Ya sih. Ia terlalu sibuk bekerja dan mengurusi kesendiriannya dibanding dengan apa yag terjadi di sekitarnya.
"Biarkan bos gue bahagia dengan istrinya karena dengan begitu hidup gue juga akan aman," tuturnya sembari merebahkan tubuh di atas sofa.
Agni sedang mengunci koper kecilnya. "Apa hubungannya dengan hidup lo?"
Haaah. Ridho menghela nafas panjang kemudian ia mendudukan diri. "Kalo bos gue lagi bucin, dia jadi lupa sama kerjaannya."
Agni terbahak mendengarnya. "Bucin?"
Ridho mengangguk-angguk antusias. Satu kantornya pun tahu bagaimana kelakuan bosnya ketika bermain ponsel. Kadang senyum sendiri, kadang gila sendiri. Lucu sih melihatnya karena mirip ABG alias Anak Baru Gede yang baru pertama kali jatuh cinta.
"Dia hobi pulang cepet dan gak betah lama-lama di kantor."
Agni terkekeh. Ia baru saja berdiri kemudian berjalan menuju kulkas dan mengambil sebotol minuman. Lalu ia menaruhnya ke dalam tas.
"Keajaiban punya istri di rumah kali."
"Ya sih. Bertahun-tahun gue gak pernah lihat dia ke cewek sampai kayak gitu," tuturnya kemudian matanya dan mata milik Agni kompak teralihkan ke arah pintu kamar yang terbuka. Aswin baru keluar dari sana, masih dengan baju yang sama dengan semalam. "Heh! Ganti noh baju lo! Tuh koper lo!" tutur Ridho. Tanpa banyak bicara, Aswin mengambil kopernya kemudian kembali masih ke dalam kamar Agni. "Jadi?"
Kening Agni berkerut mendengar pertanyaan itu. Mata Ridho mengedip-edip dengan senyuman nakal. "Lo ngapain aja sama Aswin selama-aaawwwwww!"
"Makan tuh otak m***m lo!" seru Agni sembari menampar tubuhnya dengan keras.
@@@
Tentu saja Agni berangkat bersam dengan dua lelaki ini. Tadinya ia berniat untuk naik taksi sendiri tapi Ridho menawarkan untuk berangkat bersama jadi ya sudah. Itu pilihan yang lebih baik. Hemat ongkos dan mereka akan tiba di waktu yang sama.
"Kali ini naik pesawat komersil atau nyewa?" tanya Agni. Ia tak tahu informasi penerbangan. Biasanya memang hanya datang dengan membawa passpor kemudian berangkat.
"Sepertinya nyewa. Pada bawa keluarganya."
Agni mengangguk-angguk. Ia melirik ponselnya yang hening. Biasanya, bosnya akan merusuhinya disaat akan terbang begini. Tapi ketika sepi begini, itu pertanda kalau bosnya juga sedang sibuk dengan urusan keluarga. Dan...haaiisshh ia baru terpikir satu hal apa yang akan terjadi hingga tanpa sadar ia menepuk keningnya.
"Kenapa?" tanya Ridho yang duduk di sebelahnya. Aswin hanya melirik dari kaca spion taksi yang mereka tumpangi. Cowok itu mendadak diam sejak tadi.
"Pasti jadi baby sitter lagi gue! Hadeh!" keluhnya yang membuat Ridho terbahak.
Dalam bayangannya, ia akan menjaga anak laki-laki satunya dari bosnya. Membayangkannya sudah pusing kepala. Ya memang sih bayi tidak menyebalkan justru menyenangkan. Tapi terakhir ia menjaga bayi kecil itu, ia dikentuti bahkan harus memberesi sisa kotorannya. Mengingat itu membuatnya jengkel.
"Kayaknya kali ini gak akan dititipin ke elo deh."
"Siapa yang jamin?"
Ridho menunjukan layar ponselnya ke arahnya. Terlihat foto di sana, di mana keluarga konglomerat itu berfoto ria di bandara. "Barangkali mereka ada acara keluarga."
Agni menghembuskan nafas lega saat melihat wajah istri dari bos besarnya, Fadli. Setidaknya ia akan bebas dari anak kecil yang satu itu. Wajah gantengnya kadang membuat Agni sebal. Mungkin karena menyadari ketampanannya, tatapannya terkadang songong sekali dan membuat Agni ingin sekali menjitak kepalanya. Tapi ia tak berani. Kalau berani melakukannya, ia tak akan bekerja lagi di sini. Pasti sudah didepak jauh-jauh oleh bosnya.
Satu jam kemudian, mereka tiba di bandara. Benar lah isi foto yang ditunjukan Ridho tadi. Isinya keluarga konglomerat Adhiyaksa dan juga Manggala. Ia segera check in dan mengikuti langkah-langkah para bos dan keluarganya. Mereka tampak bahagia, riuh dan rusuh sekali. Barangkali sudah lama tak ke luar negeri bersama jadi heboh? Ah entah lah. Agni masa bodoh untuk persoalan keluarga orang lain. Lebih baik ia pikirkan diri sendiri yang belum memiliki keluarga. Eeehh!
"Aaag!"
Bosnya memanggil. Ia segera berjalan dan tak lama sudah mendapat tugas. Tentu saja tidak akan menjaga bayi kecil lucu yang berusia hampir setahun itu. Saat ini, bayi kecil itu sedang duduk di pangkuan ayahnya yang memegang Ipad. Asyik bermain di sana. Ia menghela nafas lega melihatnya.
"Kamu coba cek email. Ada banyak permintaan klien yang harus dicek," titah sang bos. Agni mengiyakan lantas kembali ke bangkunya. Namun baru saja ingin duduk, terdengar panggilan untuk memasuki pesawat yang disewa. Agni tak jadi mengeluarkan laptopnya. Ia akan mengerjakannya di pesawat saja. Ia mendapat kursi hampir di belakang. Berhubung tadi check in bersama Aswin dan Ridho, kedua lelaki itu yang menemaninya duduk dalam satu baris yang sama.
"Ngomong makasih kek apa kek ke Agni. Udah dibantuin tuh, dikasih kamar buat nginep dan gratis lagi!" nyinyir Ridho begitu duduk. Agni memutar kedua bola matanya. Ia tahu kalau kata-kata itu hanya untuk meledeknya.
Ridho duduk di tengah, Aswin duduk paling dekat dengan jendela. Sementara Agni duduk bersebrangan dengan....
"Heiish!" ia mendesis tanpa sadar saat tak sengaja menoleh ke arah kanannya dan mendapati lelaki yang aneh itu. Lelaki yang kini tersenyum sambil berdeham-deham ke arahnya. Tidak bosnya, tidak pula sekretarisnya entah kenapa mampu membuatnya illfeel. Oke, bos lelaki itu masih lebih enak dipandang. Lah ini?
Ridho yang juga melihat kelakuan aneh lelaki itu, akhirnya menyemburkan tawa. Namun ia segera menutup mulutnya dikala semua kepala yang ada di dalam pesawat ini menoleh ke arahnya. Agni menoyor kepalanya dengan pelan dan berupaya memejamkan mata sembari mengabaikan para pramugari mulai memperagakan petunjuk keselamatan sebelum pesawat benar-benar meninggalkan landasan.
@@@
Bosnya dan keluarga besarnya tentu menginap di rumah keluarga. Ia sih belum pernah berkunjung ke sana. Katanya privasi dan lagi, itu adalah rumah keluarga Opa Adhiyaksa. Rumah orangtuanya yang direnovasi besar-besaran setahun terakhir. Sementara para karyawannya menginap di hotel yang lokasinya sekitar setengah jam dari kediaman Adhiyaksa itu. Agni baru saja menurunkan ponselnya. Seperti biasa, tidak ada istilah libur jika urusannya dengan Fasha. Bosnya itu baru saja mengingatkannya dengan beberapa pekerjaan yang harus ia kumpulkan untuk diberikan pada Fasha sebelum jam makan malam. Ia tak yakin kalau bosnya datang ke sini untuk bersenang-senang.
Ia mengambil kunci kamarnya usai check in hotel. Kemudian bergerak menyeret koper kecilnya menuju lift.
"Aag!"
Seseorang tiba-tiba menariknya hingga ia gagal melangkah masuk ke dalam lift. Pintu lift pun tertutup karena ulah orang yang baru saja memencet tombolnya. Dan seseorang itu.....
"Yang tadi mata-mata. Biasa, mafia bayaran," tuturnya dengan santai. Padahal seingat Agni, mereka belum bicara lagi sejak naik taksi tadi pagi. Agni hanya mendengus. Ia kembali menunggu pintu lift.
"Kenapa menyelamatkan gue sementara lo sendiri gak bisa menyelamatkan diri sendiri?" sindirnya begitu masuk ke dalam lift yang kosong. Kening Aswin hanya mengerut. Cowok itu juga ikut naik bersamanya. "Mabok di klub!"
Aaah. Tiba-tiba ia merasa bodoh karena berpura-pura menyelamatkan Agni dari orang asing yang bahkan tak berbuat apapun dan tak tahu apapun. Itu hanya cara Aswin mengajaknya mengobrol. Ia tentunya ingin mengucapkan terima kasih tapi gengsi. Mengingat, ia memang hampir tak pernah akur dengan gadis ini. Ia juga bingung kenapa hubungannya dan Agni seburuk ini.
"Siapa yang membual tentang itu?"
Agni tertawa mengejek. Matanya bahkan sampai menjuling kemudian ia melipat kedua tangan di depan d**a. Ia melihat pantulannya sendiri di dinding lift.
"Itu cara mempertahankan harga diri?"
Telak sekali. Aswin sampai kehilangan kata-kata untuk membela diri. Ia memang salah jika ingin berbohong di hadapan Agni. Pengalaman pahit karena terlalu sering diselingkuhi lelaki membuat Agni sangat sensitif terhadap segala sesuatu yang berbau mulut kebohongan para lelaki. Ia seperti memiliki sensor yang bisa mendeteksi sebuah pengkhianatan.
"Yayaya! Cowok memang selalu begitu kalau sudah terpojok. Alih-alih mengakui kesalahan, malah terkesan mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar sekalipun kenyataan berkata salah," lanjutnya. Ia berjalan keluar dari lift dengan anggun.
"Jangan menggeneralisasi semua lelaki seperti itu."
Kata-kata itu terdengar tajam. Tampaknya, baru saja ada yang tersinggung. Agni hanya berdecih dan berjalan meninggalkan Aswin yang termangu.
"Itu cara perempuan bertahan dari luka," tutur Ridho yang ternyata menyimak semua kejadian itu. Cowok itu menepuk-nepuk bahu Aswin kemudian berjalan menuju lift dan memencet tombolnya. Ia hendak turun untuk mencari makan siang. Perutnya lapar sekali. Tadi ia sudah makan di pesawat. Tapi entah kenapa, ia masih saja lapar.
Aswin malah semakin bingung dengan apa yang sebetulnya terjadi. Kata-kata yang diucapkan Agni tadi terdengar seperti sedang sangat marah. Tapi apa salahnya? Apa karena ia menumpang tidur di kamar gadis itu? Aaah sebetulnya ia enggan disalahkan untuk hal itu karena ia tak pernah meminta Ridho dan Milana untuk membawanya ke apartemen Agni. Ia pun tak sadar jika ia datang ke sana karena tujuannya memang hanya datang ke klub untuk menyelesaikan permasalahan dengan para penguntit tapi malah berakhir begitu.
Sementara itu, Agni baru saja menutup pintu kamarnya. Gadis itu melepas sepatu tingginya dengan lunglai kemudian melemparnya semaunya. Ia juga mendorong kopernya hingga terhenti begitu saja di pojok kamar. Tak lama, ia sudah membanting tubuhnya di atas ranjang hotel yang sangat empuk. Rasanya batinnya lelah sekali. Perasaan marah yang tiba-tiba menyeruak telah berhasil menguras habis tenaganya. Padahal ini baru hari pertama. Ia setidaknya masih bisa bersantai ria selama beberapa jam ke depan karena bosnya pun pasti paham kalau perjalanan yang tak seberapa jauh ini tetap lah melelahkan.
"77," ucapnya dan pelayan itu mengangguk. Aswin kembali memasukan kartu kredit kantor ke dalam dompetnya. Ini bukan bentuk korupsi. Bosnya sendiri yang memberikan kartu kredit ini untuk membeli kebutuhannya. Dan memesan makanan untuk orang lain adalah kebutuhannya. Ia baru saja memesan makanan untuk Agni. Anggap saja itu adalah bentuk terima kasihnya biar tak dianggap tak tahu diri. Lagi pula, ia belum melihat gadis itu keluar dari kamarnya sejak tiga jam yang lalu.
@@@