Crush On You At Petronas: Part 1

2236 Kata
"Love is not the mind thinks but what the heart feels." Fasha menjentikkan jari. Betul sekali kata-kata itu. Sementara Agni menutup buku yang diberikan oleh Fasha padanya. Semenjak Fasha menikah, keduanya semakin dekat. Ya, maksudnya, selama ini juga dekat. Hanya saja, bosnya ini tak pernah mau perduli persoalan asmara orang lain. Namun semenjak hamil hingga melahirkan......rasanya Fasha terlalu kepo akan urusan pribadinya yang begitu datar. "Jadi gunakan hati, Ag. Logika boleh-boleh saja. Tapi ada takarannya juga." Agni mengerucutkan bibirnya. Selama ini, ia selalu menggunakan hati dan hasilnya? Nol besar! Ia selalu putus dan berakhir dengan diselingkuhi. Ia sampai heran, apa salahnya? "Tapi cowok-cowok b******k itu.....," ia mengerem kata-katanya andai tak ingat kalau yang sedang bersama dengannya adalah bosnya. Ia tahu kalau Fasha lebih suka jika ia menganggapnya sebagai teman bukan sebagai atasan dan bawahan. Tapi Agni susah membuat keadaan menjadi setara karena apa? Ya, status Fasha sebagai anak presdir jelas memberatkan. Fasha terkekeh mendengar kata-katanya. Ia suka mendengar Agni memaki karena gadis itu memaki ketika sedang tidak dalam kondisi waras. Dan ia terkadang melihat sosok pemarahnya di dalam diri Agni yang juga sedang marah. "Cowok-cowok berengsek itu akan menyesal, Ag!" ucapnya menggebu-gebu. Ia sih gak pernah patah hati karena cowok-cowok b******k. Justru ia yang membuat mereka patah hati dan kadang sedikit dendam. Namun sialnya bagi mereka, tak ada yang benar-benar berani membalas dendam padanya. Ye lah! Mau berurusan sama ayahnya Fasha? Luka sedikit saja anaknya, satu turunan akan diperhitungkan semua oleh Fadli. "Lagian kamu gak mau itu sama si sekretaris barunya Ardan? Dia kayaknya suka tuh sama kamu pas dikenalin seminggu lalu. Si Ardan sampai nanya-nanya aku." Agni menggaruk-garuk tengkuknya. Tiba-tiba merinding kalau mengingat laki-laki itu. "Gak ada yang lebih waras, Bu?" tanyanya pelan dan Fasha langsung terbahak. Ya sih, pikir Fasha. Ia juga heran bagaimana Ardan bisa mendapatkan sekretaris yang kelakuannya tak beda jauh dari Ardan. Yang membedakan hanya tampang. "Kali-kali aja bisa waras sama kamu." Agni mendengus. "Sama hidup sendiri aja udah ribet. Boro-boro ngurusin orang biar waras." Fasha terkekeh. "Nanti kalau kamu menikah akan begitu," ucapnya sambil tersenyum. Ia kan sudah menikah jadi paham rasanya. Sementara Agni malah agak parno kalau diajak berbicara pernikahan. Bukan apa-apa sih. Ia punya pengalaman buruk dengan para mantan. "Emangnya kamu mau cari cowok kayak apa sih?" Agni menghela nafas. Ia masih fokus menyetir meski kadang juga lelah memikirkan hidupnya sendiri. "Aku gak lihat tampang," ujarnya. Toh semua mantannya juga gak ada yang ganteng. Yang jadi masalah adalah bukan hanya tampang yang jelek tapi juga akhlak. "Sama ya bertanggung jawab. Mandiri. Gak bergantung sama orangtua." Fasha mengangguk-angguk. Itu tidak susah dicari menurutnya. Mungkin karena ia dikelilingi para sepupu lelaki yang bertanggung jawab. Tapi Agni? Bah, kalau ingat ini ia ingat sayu kisah dengan lelaki yang sudah menjadi mantannya. Di mana lelaki itu sangat tidak bertanggung jawab. Masa untuk uang bulanan selalu meminta padanya? Padahal status saja masih pacaran. Alasannya sih meminja tapi Agni tahu kalau uang itu tidak akan dikembalikan. Alhasil? Ya putus lah. Belum menikah saja, Agni sudah merasa dirampok seperti itu. Dikiranya mencari uang itu gampang? Hampir semua lelaki yang tertarik pada Agni selalu menilainya sebagai perempuan mandiri, pekerja keras dan mapan. Mungkin karena melihat pekerjaannya yang sangat mapan dan di perusahaan besar. Mereka mengira Agni mendapatkan gaji yang sangat besar. Oke, perkiraan mereka memang tidak salah. Yang salah adalah pikiran mereka. Memangnya Agni bekerja untuk menghidupi mereka? Belu menikah saja, Agni sudah tekor. Padahal ia juga perlu mengirim uang untuk keluarganya. Sekalipun menikah dengan seorang lelaki, tugas mencari nafkah itu jelas bukan tugas Agni melainkan tugas para lelaki. Apa jadinya kalau malah perempuan yang bekerja keras mencari uang sementara suaminya ongkang-ongkang kaki di rumah? "Belum ketemu yang sepeti itu?" Agni mengangguk-angguk. Kalau sudah dapat, mungkin ia sudah mengajaknya untuk menikah. Tapi sialnya belum. Makanya ia jomblo diusia menjelang 28 tahun ini. Sementara Fasha tersenyum kecil. "Jodoh akan datang diwaktu yang tepat kok, Ag," hiburnya. Kalau ia sih memang tidak terlalu memikirkan pernikahan atau omongan orang dulu. Jadi tak pernah pusing kepala. Agni juga begitu selama tinggal di Jakarta. Ia baru pusing kepala ketika pulang ke kampung halamannya. Bah! Gosip ia belum menikah saja bisa sampai ke desa sebelah. Agni hanya mengangguk-angguk pelan. Lagi pula, ia juga sudah pesimis tentang pernikahan itu. Kenapa? Entah lah. Mungkin karena hatinya yang hampa saat ini atau kah memang belum waktunya? "Eh kita mampir sebentar ya," tuturnya yang membuat Agni berdeham. Gadis itu membelokan mobil Fasha. Omong-omong, ia akhirnya belajar menyetir mobil semenjak setahun terakhir. Yeah, sejak bosnya divonis hamil setahun yang lalu, ia dipaksa bosnya untuk menggantikannya menyetir. Selama ini memang bosnya yang menyetir. Coba pikir? Bos mana lagi yang berbuat seperti ini untuk bawahannya? Ia kira hanya bosnya. Dan itu lah alasan ia betah bekerja dengan perempuan ini meski terkadang membuatnya dongkol dan stres dengan segala pekerjaan. Tapi setidaknya, Fasha selalu menghargai kerja kerasnya dan selaku mengiyakan tiap ia meminta cuti panjang. Tak lama, keduanya turun. Tujuan mereka bukan kantor ini tapi kantor lain yang jaraknya sekitar setengah jam dari sini. Tapi bosnya masih punya keperluan. Begitu tiba di lantai atas, ia jadi tahu apa keperluan bosnya. Apa? Bertemu suami! Hadeeh! Agni menepuk keningnya! Jadi menyesal karena ikut turun dari mobil. Tapi kalau tak turun, ia juga bingung. Bosnya pasti akan lama kalau sudah begini. "Widiiiih!" seru salah seorang lelaki. Agni langsung memutar bola matanya. Baru saja tak sengaja bersitatap dan itu sudah membuatnya kesal. "Ada jomblo menahun!" ledeknya yang membuat Agni ingin sekali menyepak pantatnya hingga mendarat di Bali atau ujung dunia sekalian. Tapi sialnya, ia tak berani melakukannya di tengah keramaian. Mungkin ia akan pikirkan pilihan ini nanti. "Mau mati?!" Akhirnya ia hanya bisa berkata galak seperti itu. Cowok itu malah terkekeh. Ia selalu menganggap wajah galak milik Agni itu sebagai sesuatu yang lucu. "Santai, Ag! Santai! Gue masih harus nganterin bos nih!" tuturnya yang dibalas Agni dengan dengusan. Sementara cowok itu menghampiri bosnya yang duduk bergabung bersama dengan Fasha. Agni memilih duduk agak jauh untuk menghindari privasi keluarga bosnya. Ia menyimak satu per satu wajah dari para sepupu bosnya. Ada yang berwajah lawak. Pertama kali melihatnya sudah membuat Agni terpingkal. Sungguh pesona yang tak terduga. Bahkan Agni sempat naksir tapi malah jadi illfeel setelahnya. Entah karena apa, Agni juga lupa. Lalu ia melihat lelaki yang menurutnya paling ganteng. Yeah, ada dua sih karena keduanya berwajah sama. Sayangnya, keduanya sudah menikah. Lebih tepatnya, yang ia sempat kagumi baru saja menikah dan yang satu lagi, katanya kembali pada istri pertama. Meski kejadian itu sudah berlangsung setengah tahun lalu, tapi beritanya sangat anyar. Sehingga siapapun tahu. Saat mendengar kabar itu pun, Agni sungguh-sungguh sulit percaya. Karena ia sangat mengenal lelaki itu dan tak percaya dengan segala pemberitaan yang ada. Bekerja di perusahaan ini membuatnya sangat hati-hati dalam mengambil sebuah kesimpulan dari berbagai pemberitaan yang kebanyakan hanya ingin mengalihkan isu, menggiring opini masyarakat bahkan agar masyarakat melupakan apa yang sebenarnya terjadi. Lalu wajah Agni berpindah pada lelaki lain yang dulu fotonya sering ia temukan di ruangan bosnya. Agni tak tahu apa yang terjadi. Tapi sepertinya bosnya pernah menyukai lelaki itu. Kemudian ia berpindah lagi pada wajah cowok setengah bule. Ya ganteng sih tapi bukan seleranya. Dulu, saat pertama kali melihatnya, lelaki itu terlihat sangat muda. Kalau sekarang? Ya masih muda tapi dibandingkan dengan dulu tentu berbeda jauh. Apalagi kedewasaannya semakin menguar ketika sudah mempunyai anak. Terakhir...... Agni menoleh ke arah pintu lift yang terbuka. Beberapa perempuan keluar dari sana. Aaaah. Agni mengangguk-angguk. Ia jadi paham kenapa bosnya ikut berkumpul di sini. Karena ternyata, para sepupu perempuannya ikut datang. Ia juga melihat istri-istri dari para lelaki itu turut datang. Ada yang dengan perut buncit, ada yang menggendong anak. Tapi yang paling ribut..... "ADIIIIIITTT! ITU LARIIIIIIN TANGKEEEEEEP!" Agni terkekeh kemudian geleng-geleng kepala. Selalu saja rusuh, pikirnya. Tapi melihat mereka bersama menjadi kebahagiaan tersendiri baginya. @@@ "Kapan menikahnya kalau begitu, nduk?" Ia hanya biaa mendengus mendengar kata-kata yang keluar dari ibunya itu. Ia hendak izin untuk berangkat ke Malaysia besok pagi. Seperti biasa, ada pekerjaan di sana bersama bosnya dan akan lama. Bosnya tentu akan berangkat membawa anak dan suaminya. Ia akan menyingkir seperti biasanya. Kalau dulu, ia selalu berada di samping bosnya. Tapi itu saat bosnya belum menikah. Kalau sekarang tentu saja berbeda. Ia juga tahu diri. "Agni matiin nih kalo Ibuk nanya-nanya itu lagi!" ancamnya. Ibunya hanya tersenyum kecil mendengarnya di sana. "Lagi pula, Buk. Syukuri aja lah dulu apa yang Agni punya sekarang. Allah kasih untuk bekerja agar bisa bantu Ibuk. Urusan nikah ya nanti. Kalau sudah ketemu jodohnya juga akan menikah." "Kalau ndak dicari ya mana bisa?!" Agni mengerucutkan bibirnya. Ia memang tak berniat mencarinya. Biar kata orang bilang kalau jodoh pasti bertemu tapi memang harus ada usaha agar pertemuan itu terjadi. Agni menghela nafas. Memangnya ia tak mencari? Biar kata, ia sibuk bekerja tapi ia tetap mencari kok. Kadang suka cuci mata kan kalau bersama bosnya ketika menemui klien dan segalanya. Tapi tak satupun tertarik padanya. Mengingat itu hanya membuatnya memijit kening. Maka keluar lah jurus selanjutnya.... "Jodoh itu kan sudah ada yang atur, Buk. Agni pernah baca, untuk apa memusingkan suatu hal yang sudah tertulis dengan jelas oleh-Nya?" Ibunya malah bertambah panjang mengomelinya. Ia menepuk kening sambil menahan tawa. Sungguh tak ada habisnya kalau berbicara mengenai jodoh dengan ibunya ini. Ia bukannya tak mau menikah. Semua perempuan juga ingin menikah. Tapi mau apa dikata jika belum bertemu jodohnya? Jadi sabar saja. Nikmati apa yang ada. Syukuri apa yang ada. Allah memberikannya status lajang hingga saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menikmati hidup serta kesempatan untuk membahagiakan orangtua. Iya kan? Usai mematikan telepon, ia beralih pada laptopnya. Ia baru saja menyalakannya dan sudah mendapat beragam email. Seperti biasa, bosnya selalu hobi menganggu jam istirahat. Mau sudah menikah atau belum untuk urusan ini rasanya sama saja. Hal yang membuatnya tersenyum kecil. Tapi bosnya adalah orang tersantai tentang pernikahan. Sedari dulu, bosnya bukan orang yang hobi mengeluhkan sesuatu dan ia selalu mencontoh hal itu. Pernah ia bertanya kenapa bosnya hanya fokus pada masa depan dibandingkan mengeluh tentang berapa beratnya pekerjaan ini. Tahu apa katanya? "Opa saya pernah bilang, Ag, bahwa segala sesuatu itu harus disyukuri selagi ada. Biar kata pekerjaan ini melelahkan tapi kenyataannya menghasilkan uang untuk menopang kehidupan. Sementara di luar sana, banyak yang belum memiliki pekerjaan. Ah jangan kan pekerjaan, mereka bahkan tidak bisa memiliki kualifikasi pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan mapan di kantoran. Maka itu, kamu harus bersyukur karena diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk memiliki apa yang orang-orang di bawahmu ingin miliki." "Bersyukur, Ag," tuturnya pada diri sendiri. Memang tidak ada hal lain yang membuat kita bisa nyaman untuk hidup selain bersyukur. Iya kan? Kemudian ia berjalan menuju dapur apartemennya. Ia mengambil beberapa makanan untuk dinikmati di depan laptop. Namun begitu duduk kembali di depan laptop, ia tersedak membaca pesan yang baru saja masuk ke laptopnya. Pesan ponsel yang ia buka di laptop. Agniii! Buka pintuuuu! Ia berdesis. Tak lama, ia mendengar suara pintu digedor. Agni terkesiap dan langsung mengambil baju yang tergantung. Ia terlalu sering bersama Fasha sehingga terlalu sering bersiaga. Tapi tidak malam ini seharusnya. Walau tak urung, ia segera keluar dan begitu membuka pintu..... "Aswin kenapa?" tanyanya dengan kaget. Teman sekantornya memapah lelaki itu. Tak lama, satu perempuan lagi berlari masuk ke dalam apartemennya. Ia melirik ke sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang ganjil di depan apartemennya kemudian ia mengunci pintu. "Mabuk?!" tanyanya kaget. Ia baru menelaah kata-kata yang tadi diucapkan Ridho. Ridho baru saja membaringkan tubuh Aswin dia tas sofa. Tapi eh tapi, Agni baru sadar. "Dia mabuk kenapa lo bawa ke sini hah?" Dua orang di depannya ini kompak nyengir. "Tadi kita ke klub bawah," tuturnya. "Terus inget kalo lo tinggal di apartemen ini." Heiish. Agni berdesis. "Terus dia kenapa mabok?" tanyanya sembari berjalan menuju dapur. "Dicekokin sama cewek. Tadi mau diperas!" jawab si perempuan yang bernama Milana. Dua orang itu adalah teman sekantornya. Milana adalah sahabat Aswin sedari kecil. Sama-sama dari kampung dan merantau ke Jakarta. "b**o!" Kedua orang terkikik-kikik. "Namanya juga patah hati, Ag. Apa-apa juga jadi bodoh!" Agni menoleh seketika. "Patah hati?" tanyanya. Seingatnya Aswin punya tunangan di kampung. "Lah? Belum tahu? Beritanya heboh kali di kantor!" sahut Milana. "Kantor mana yang lo maksud hah?" Milana terkekeh. Ah ia lupa kalau ia pindah kantor. "Biasa, si Agni ketinggalan berita. Kelamaan gaul sama bos Asha sih lo! Jadi kudet!" Agni hanya berdesis. Ya, semua orang juga tahu sih kalau bosnya tidak pernah perduli pada segala macam gosip. Tapi ia setuju akan hal itu. Untuk apa memperdulikan sesuatu yang bukan urusannya? "Tunangannya Aswin nikah sama om-om. Aswin gak terima ditinggalin begitu jadi nyamperin tuh cewek. Terus si Aswin lagi dikejar-kejar bodyguard-nya cewek itu." "Terus apa hubungannya sama mabok-mabokan?" Milana menggaruk tengkuk. "Ya kan dia lagi patah hati, terus kita ajak aja main. Eeeh ternyata banyak mata-mata di sana. Si Aswin diikutin tapi gak sadar. Yang sadar justru Pak Farrel!" "Terus?" "Si Aswin mau dibikin tidur tadi sama cewek yanht ternyata suruhan si bodyguard!" Kening Agni mengerut. "Kenapa mereka harus menyuruh cewek buat nyelakain Aswin dibandingkan dengan mereka membereskan sendiri urusannya? Bukannya itu lebih gampang?" tanyanya. Itu logika paling masuk akal menurutnya. "Lo lupa?" Agni malah semakin bingung. "Dia bawahan Pak Farrel. Kalo main terang-terangan, yang ada urusannya jadi urusan perusahaan!" Aaah. Agni mengangguk bodoh. Ia lupa. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN