Kencan Pertama

2490 Kata
Chua: Kencan Pertama Kurang dari dua hari gue tinggal bareng Lakka, gue jadi tahu sedikit banyak tentang cowok itu yang gue yakin nggak semua orang tahu. Di luar, Lakka emang kelihatan kalem dan nggak banyak bicara. Oke, itu bener. Tapi, Lakka nggak terlalu pendiam juga kok. Ada sisi lain seorang Lakka yang kadang bikin gue mengerutkan dahi. "Ini, seriusan, Lakka?" Ya gimana nggak bingung, sih. Lakka yang menurut gue kalau ngomong pedes, ekspresinya yang gitu-gitu aja ternyata bisa jadi orang yang super soft cenderung ke manja. Misalnya kayak kemaren, tuh. Lakka pulang dalam keadaan basah kuyup. Dari ujung rambut sampe ujung kaki basah semua. Gue sempat melemparkan candaan gue dengan nanya, "Lah, abis kecebur di got mana lo?" dan, ya, seperti biasa. As always Lakka... dia cuma menjawab ala kadarnya. Dia bilang, "Di luar hujan." tiga kata doang. Nggak ada embel-embel lainnya atau minimal menjelaskan kenapa dia bisa kehujanan, padahal yang gue tahu, dia ke mana-mana selalu bawa mobil. Semalaman gue menjaga Lakka yang sedang demam sampe nggak sadar ikutan tidur di samping Lakka. Waktu gue membuka mata dan lihat ke jendela, ternyata sudah pagi. Gue mencari-cari letak jam di dinding, begitu menemukan benda bulat itu gue cuma menguap dan beranjak dari ranjang. Selesai mencuci muka dan menggosok gigi, gue lihat Lakka masih tidur. Tadi sempat gue cek suhu badannya dan ternyata udah lumayan mendingan. Nggak sepanas kayak semalam. Gue cemas, tentu aja. Tapi gue cemas bukan karena dia pacar gue. Gue cemas karena dua hal: pertama, karena takut ketularan. Dan yang kedua, gue takut salah. Seumur hidup gue, gue nggak pernah merawat orang sakit. Kalau ada teman kos yang sakit atau Deta yang kebetulan lagi nggak ada siapa-siapa di rumahnya, gue lebih memilih mengantar Deta ke Dokter—daripada harus merawat, apa lagi sampe ketiduran kayak lagi nemenin Lakka semalam. Hal yang gue lakuin nggak banyak selama menjaga Lakka. Normalnya aja, sih. Gue cuma suruh makan, bikinin teh, terus gue kasih obat penurun panas biar nggak makin demam. Udah, gitu aja. Gue niatan mau ngompres aja nggak. Iya. Setakut itu gue merawat orang sakit. Takut salah aja sama apa yang gue lakuin nanti. Kalau orangnya malah parah, gimana? "Wa..." Gue berhenti mengaduk sayur bayam di dalam panci lalu menoleh ke belakang. Tepat di kursi makan, cowok itu duduk dan memanggil nama gue beberapa kali. "Bikinin gue s**u cokelat, ya." Lanjut mengaduk sayur bayam di dalam panci setelah gue masukin garam, gue menyahut. "Pake air panas aja, ya, Kka?" Kali ini Lakka menoleh. Matanya yang nggak dibingkai kacamata itu menatap punggung gue hingga menyipit. "Iya." jawabnya, lalu duduk bersandar ke punggung kursi. Lakka nggak protes waktu gue bilang pake air panas buat bikin s**u cokelatnya. Dia cuma bilang, "Iya." dan setelah itu ngomong apa-apa lagi. Gue menuangkan sayur bayam yang udah masak ke dalam mangkuk besar. Sambil menunggu air panas untuk bikin s**u cokelatnya Lakka, gue memindahkan beberapa masakan yang udah matang ke meja makan. "Cuci muka dulu lah, Kka," kata gue sesekali memperhatikan wajah Lakka yang agak pucat. "Masih panas badan lo?" tanya gue sembari meletakkan sebelah tangan gue ke pinggang. Lakka nggak menjawab, dia malah narik tangan gue yang menempel di pinggang, jadi ke kening dia. "Gimana?" Sebentar, sebentar... Gue mau menarik napas dalam-dalam lebih dahulu sebelum kedua sudut bibir gue tertarik dan dengan laknatnya membentuk cengiran. Tolong, masa gue gemas sama Lakka yang jelas-jelas setahun lebih tua di atas gue? Dia bukan bayi, ah, itu jelas. Tapi, kalau kalian lihat ekspresi yang barusan ditunjukkin sama Lakka, lengkap sama gerakan tangannya yang menarik tangan gue dan dia letakkan di keningnya, gue yakin anak-anak perawan orang bakal ambyaaar kalau kata abege jaman sekarang. Asal kalian tahu, ya. Bangun tidur, Lakka langsung keluar kamar dan minta dibikinin s**u. Belum cuci muka, gosok gigi, rambut acak-acakan, matanya yang menyipit tiap kali melihat ke gue karena nggak pake kacamata, dan lihat.... bahkan gue bisa melihat ada kotoran di ujung matanya, tapi kok... dia masih ganteng? "Bersihin, tuh! Ada belek di mata lo." gue melempar tissue ke Lakka lalu kembali ke dapur. Gue berusaha bersikap kayak biasanya biarpun gue nggak bisa bohong—kalau gue terkesima sama wajah bantal dia yang masih aja kelihatan cakep luar biasa. Gue menggeleng-gelengkan kepala sesekali memukul kening gue pelan. Wah, nggak bener nih. Lakka bikin gue oleng pagi-pagi. "s**u gue mana, Waaa," Berhenti bikin gue gemes, kenapa, sih! Nggak sehat nih jantung gue. "Iya, iya. Sabar kenapa sih, Kka!" sahut gue mengaduk s**u di dalam gelas. Gue keluar membawa segelas s**u cokelat hangat buat Lakka. Nggak tahu dia doyan apa nggak, karena Lakka selalu bikin susunya pake air dingin ketimbang air hangat. Gue nggak tanya kenapa dia lebih suka pake air dingin ketimbang air hangat. Harusnya kan enakan pake air hangat, dong. Apa lagi buat pendamping sarapan. "Makasih, Wa," lagi-lagi dia menunjukkan wajah bak anak kecilnya itu. Diam-diam gue meremas kesepuluh jari gue—menahan diri supaya nggak sembarangan menarik pipi Lakka, atau malah gilanya mencium cowok itu. Gue berdeham pelan. Lebih baik gue menyelesaikan tugas dapur gue, terus makan, dan mencari kegiatan lain sebelum gue tambah gila karena terlalu gemas sama cowok itu. "Wa," Lakka memanggil gue. Barusan aja gue duduk, udah di panggil-panggil Lakka. Gue memperhatikan dia, setiap detail hal yang dia lakuin selalu bikin gue nggak berkedip. "Kenapa?" tanya gue, berusaha santai. Gue lihat dia lagi mengusap kedua ujung bibirnya membersihkan sisa-sisa s**u yang menempel, lalu menjilati ujung jarinya dengan super polos. "Apaan, Kka?" ulang gue setengah gugup, tapi tetap memberanikan diri menatap Lakka. Tenang aja, sih. Gue cukup jago untuk menguasai diri kalau ada mahluk menggemaskan model Lakka begini. Kalau aja gue nggak kuat iman, mungkin sekarang udah gue samperin Lakka, terus gue cium dia sampe rasa gemas gue berkurang. Eh. Kok gue jadi sering mikir cium-cium, sih? Nggak. Otak gue pasti bermasalah. Mungkin juga efek demam Lakka yang kayaknya nular. Makanya gue jadi oleng. "Lo sibuk nggak?" tanya Lakka setelah sepuluh detik cowok itu diam. "Gue pengangguran, btw," gue memasang wajah masam. Cowok itu mengangkat kepalanya dan balas menatap gue sekarang. "Nggak usah diperjelas," katanya, datar. "Jadi, ngapain lo nanya, padahal lo udah tahu jawabannya." Sambil menikmati sarapan dengan menu sederhana. Cuma rempeyek udang, sayur bayam, tahu, tempe serta sambal, gue sama Lakka sesekali mengobrol, tapi nggak banyak karena emang lagi makan. Takut kesedak ntar. "Jalan-jalan. Mau, nggak?" Gerakkan tangan gue berhenti, sesendok nasi penuh yang hampir aja masuk ke dalam mulut jadi gue letakkan lagi di piring. "Lo ngajak gue?" "Ngajak pacar." "Lah, gue dong berarti." Lakka meletakkan sendoknya di piring. "Pacar gue cuma lo, btw," Tatapannya serius, lebih ke jengkel kayaknya karena gue malah mengeluarkan kata-kata bodoh—padahal jelas-jelas cuma gue pacarnya Lakka. "Mau, nggak?" tanya Lakka menuang air ke dalam gelas kosong. Sambil menggigit rempeyek udah yang mendadak alot, "Dibayarin tapi, kan? Gue nggak punya uang kalau disuruh bayar sendiri." "Kayaknya waktu pembagian otak lo nggak dateng, ya." Mata gue membulat. Antara kurang paham sama merasa nggak terima karena secara nggak langsung dia mengolok gue. "Kalau gue yang ngajak, gue juga yang bayarin," kata dia siap-siap berdiri membawa piring kotornya ke dapur. "Mana ada cowok yang biarin ceweknya ngeluarin uang sendiri waktu kencan." suara Lakka mendadak samar-samar karena cowok itu masuk ke dapur. Ya mana gue tahu, b**o. Gue aja baru pertama kali pacaran. Lagian nih, ya, emang kenapa kalau ceweknya juga ngeluarin uang buat kencan sama cowoknya? Sori nih, ya, gue bukan tipe-tipe cewek yang apa-apa harusnya cowoknya yang bayar. Selama bisa saling gantian. Kenapa, nggak? "Mau nggak, Wa?!" teriak Lakka dari dalam dapur. "Iya, iya." "Buruan makannya! Sekalian bawa piring-piring kotornya." *** Kata Lakka, gue bisa memanfaatkan kencan pertama kita untuk novel yang gue tulis. Lakka masih ingat alasan gue ngajak dia pacaran saat kita di kafe beberapa minggu yang lalu. Gue cuma manggut-manggut aja sambil memperhatikan para pasangan yang tengah memasuki ruangan teater. Iya. Lakka ngajak gue nonton. Film cinta-cintaan yang bikin gue muak. "Harus banget duduk di pojok." dumel gue waktu Lakka jalan lebih dulu untuk sampai ke set duduk kita berdua. Ini bukan kemauan gue atau Lakka ya. Kita terpaksa duduk di kursi paling pojok karena emang semuanya penuh. Cuma dua kursi itu aja yang tersisa, dan mau nggak mau gue cuma iya-iya aja waktu Lakka selesai membayar dua tiket sama makanan serta dua gelas minuman. Bukan apa-apa, ya. Gue punya pengalaman nggak enak duduk di kursi paling pojok. Mana film cinta-cintaan lagi. "Gue masih inget waktu lo ngelabrak salah satu penonton," bisik Lakka saat kita udah duduk. Tuh, kan. Lakka aja masih inget hal apa yang udah gue lakuin di bioskop terakhir kali. Kira-kira itu pertemuan ketiga gue sama Lakka. Kafe, acara hajatan, lalu di bioskop. Dan lagi-lagi gue mempermalukan diri sendiri di depan Lakka. Abisnya gimana, dong. Gue yang lagi stress mikirin naskah. Dipaksa nonton film di bioskop sama Deta dan Yuvin—tapi sialnya malah dapet kursi beda-beda. Deta ada di set depan, Yuvin ada di tengah-tengah, dan gue ada di pojok, mana jejeran sama orang pacaran. Sepanjang film berjalan gue nggak fokus waktu itu. Pertama karena filmnya yang emang kurang menarik, atau mungkin juga karena film menye-menye bukan selera gue. Suara berisik dari samping gue persis bikin gue senewen. Gue berusaha fokus sama film di layar, tapi bangke banget emang dua orang di samping gue. Udah berisik, spoiler, eh, malah cium-ciuman sampe bikin makanan gue jatuh. Bukannya minta maaf, pasangan remaja itu malah menatap gue, seolah-olah gue ini alien. "Lo sensi banget sama orang pacaran kayaknya, Wa," Lakka berbisik lagi. Dia yang bikin gue inget kejadian memalukan itu, dia juga yang bikin bayangan itu buyar seketika. "Emang waktu itu, mereka beneran ciuman?" Lakka menoleh ke gue. Biarpun pencahayaan nggak terlalu terang, cuma dari layar yang menyala, gue bisa lihat wajah Lakka dengan jelas. "Iya." gue mengangguk. "Udah ciuman di tempat umum, nggak tahu diri lagi!" "Mungkin karena lo jomlo, mereka pasangan. Makanya lo senewen sendiri." "Dih." gue mendorong wajah Lakka supaya menjauh. "Mereka terlalu getol ciuman sampe bikin makanan gue jatuh, Kka." "Jadi, yang bikin lo ngelabrak mereka tuh apa, Wa?" tanya Lakka, "Karena lo iri saat itu lo jomlo, makanan lo jatuh, atau malah pengin kayak mereka tapi nggak ada pasangan?" Sepasang mata dan mulut gue membulat bersamaan. Bisa-bisanya Lakka bilang kayak barusan. Karena gue kesel, gue pukul aja bahu Lakka. Cowok itu mengaduh, lalu menaikan letak kacamatanya sesekali tertawa kecil. "Lo mau emang?" tanya Lakka mendekatkan bibirnya ke telinga gue. "Mau apaan?" gue balik nanya ke dia. Entah pandangan gue yang salah atau nggak, gue lihat Lakka nyengir sekarang. Gue merinding. Lakka mendekatkan dirinya sampai lengan cowok itu menyentuh kulit tangan gue. Dia mendekat, suara kekehan kecil Lakka bisa gue dengar jelas di telinga gue. "Ciuman." bisiknya, bikin bulu kuduk meremang. "Kayak mereka, tuh..." Gue belum sempat memaki Lakka. Waktu satu jari cowok itu menunjuk ke dua orang di arah kanan, mata gue membelalak. Tuh, kan! Lagi-lagi gue menemukan pasangan m***m! Gue bengong, dan Lakka malah menertawakan ekspresi bodoh gue. "Jadi, mau juga kayak mereka, nggak?" "Kka," "Ya?" "Milih diem, atau gue tendang sampe jatoh?" *** Nggak ada yang istimewa menurut gue dari acara kencan gue sama Lakka. Kita makan, nonton, muter-muter mal sampe bikin kaki gue pegel. Nggak ada bedanya kayak gue lagi jalan sama Deta dan Yuvin. Yang bikin beda cuma orang yang ngajak gue jalan. Pacar. Apa cuma gue doang yang geli tiap menyebut pacar? Apa karena Lakka pacar pertama gue, jadi rasanya agak kagok gitu kalau disebut atau diinget. Kalau lagi diem, atau nggak sengaja inget Lakka, gue suka bergumam sama diri sendiri. "Beneran gue udah punya pacar, nih?" gitu terus yang muncul di kepala gue. Rasanya masih canggung. Iya, secanggung hubungan gue sama Lakka. Nggak bisa dibilang canggung-canggung banget, sih. Gue sama Lakka mulai banyak ngobrol, malahan tadi pas di bioskop gue dijailin mulu sama dia sambil menunjuk dua anak remaja yang lagi asyik ciuman. Yang gue maksud canggung, tuh, kita sendiri. Setiap kali gue lihat pasangan yang wara-wiri, mereka gandengan, rangkulan, malah ada yang suap-suapan. Kalau dilihat modelannya Lakka sama gue yang justru geli, gue malah nggak yakin bisa kayak pasangan lain. "Gue ke toilet dulu, Wa," kata Lakka menepuk bahu gue pelan. "Ya udah, sana. Gue tunggu di sini." Lakka masuk ke dalam toilet cowok, sedangkan gue milih menunggu Lakka di lorong sambil mainan ponsel. "Hai." Kayak ada suara... "Kenalan dong." Kepala gue yang tadinya menunduk, otomatis mendongak waktu menyadari ada sepasang kaki di depan gue. "Gue?" satu kata itu keluar dari mulut gue, terus menunjuk diri sendiri. "Iya, elo." Cowok ini salah orang apa gimana, ya? Gue melirik ke kanan dan ke kiri, mungkin aja dia salah orang, bukan gue yang dimaksud kali. Tapi gue lihat lagi, di lorong ini cuma ada gue sama cowok itu doang. Ada sih beberapa petugas kebersihan yang lewat, tapi cowok juga. "Boleh kenalan, kan?" Gue masih diem, belum memberi respons apa-apa selain kerutan di dahi. Perdana gue diajak kenalan sama cowok, mana cakep lagi. Kalau aja ada Deta di sini, mau gue tunjukin dengan bangga karena akhirnya ada cowok yang berani ngajak gue kenalan langsung. "Aree," cowok itu mengulurkan tangannya ke gue. "Chua." jawab gue, tapi nggak berniat membalas uluran tangan Aree. "Ngapain di sini sendirian? Nungguin temen, ya? Gue temenin boleh?" "Lagi nunggu cowok gue." Aree menaikan satu alisnya, lantas tertawa. "Beneran nungguin cowok lo? Bukan temen yang lo akuin pacar supaya menghindar gue ajak kenalan, kan?" "Lah, kita kan udah kenalan." Aree cuma senyum. Dia berusaha mengajak gue ngobrol. Gayanya sok akrab, sok asyik. Gue males sama cowok modelan kayak Aree gini. "Ayo, Wa," Lakka barusan keluar dari toilet cowok, gue menarik punggung gue dari dinding, kemudian mendekati Lakka. "Udah, kan?" tanya gue. "Iya." Lakka mengangguk. Gue sama Lakka udah mau jalan, tapi Aree malah berdiri di tengah-tengah menghadang langkah gue dan Lakka. "Ada apa?" tanya Lakka kepada Aree. Aree nggak merespons, dia malah menatap gue sambil menyodorkan ponselnya. "Gue minta nomor lo." Gue sama Lakka tatap-tatapan. "Buat apaan?" "Buat gampang deketin lo," Aree senyum lebar. Gue melirik Lakka, cowok cantik—yang dua hari lalu resmi jadi pacar gue cuma menatap Aree datar. Nggak heran. Lakka selalu gitu setiap menatap orang asing. Sama gue dulu juga gitu kan.... "Lo pacarnya?" Aree balas menatap Lakka, lalu menunjuk gue. "Iya. Kenapa?" tanya Lakka, tenang. "Gue deketin cewek lo, boleh nggak, nih?" Wah, sedeng nih cowok. Lakka diam selama beberapa detik seolah sedang berpikir. Nggak lama kemudian dia mengangguk. "Silakan," gue melongo, "Tapi lo tanya dulu, dia mau nggak lo deketin." Kedua cowok itu kompak menatap gue. Kalau Lakka sih biasa-biasa aja. Dan, Aree, kelihatan banget kalau dia yakin gue mau dideketin sama dia. "Lo mau dideketin sama dia?" tanya Lakka ke gue. "Emang lo izinin?" gue malah balik nanya. "Iya, kalau lo mau." jawab Lakka santai. Ganti Aree yang kelihatan bingung sekarang. Gue menegakkan badan dan menatap Aree sebentar, kemudian bergumam. "Nggak. Makasih." kata gue setengah nyengir. Lakka kelihatan puas sama jawaban gue. "Udah dijawab barusan," kata Lakka kalem, "Permisi." Lakka mengangguk-anggukkan kepalanya, lantas menarik hoodie gue, meninggalkan Aree yang masih terbengong-bengong. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN