Sisi Lain Lakka

2498 Kata
 Chua: Sisi Lain Lakka Baru sehari gue tinggal sama Lakka. Yang tadinya mau jadi pembokat cowok itu supaya bisa dapat tempat tinggal sama makan gratis, mendadak berubah status jadi pacar cowok cantik itu. Reaksi gue sendiri waktu Lakka ngajak pacaran, kayak yang, "Hah? Apaan nih?" tapi cuma gue pendam dalam hati doang. Selebihnya yang gue lakukan memandangi dia selama beberapa detik seolah mencari sesuatu dari raut wajahnya yang biasa-biasa aja. Lakka nggak bercanda. Jelas aja. Kalau Lakka sampe bisa ngajak gue bercanda dengan wajah minim ekspresinya, gue mau sungkem sama dia langsung. Muka boleh cakep banget, tapi tolong ekspresinya dong. Minim banget. Heran. Di usia gue yang ke duapuluh tujuh tahun, nggak pernah ada satu cowok pun yang ngajak gue pacaran. Tapi bukan berarti nggak ada yang naksir gue ya. Karena nyatanya ada beberapa cowok yang suka sama gue, tapi nggak pernah ada yang berani bilang langsung ke gue. Kebanyakan dari mereka cuma titip salam sama Deta atau Yuvin-salah satu teman cowok gue. Deta bilang, banyak cowok yang tertarik sama gue. Tapi gue sendiri nggak tahu bentukan cowok yang naksir sama gue. Sampe gue pikir si Deta sama Yuvin aja yang mau bikin gue geer, nih. Kalau emang ada cowok yang tertarik sama gue, mana emangnya? Gue jalan wara-wiri sendirian nggak ada yang ngajakin gue kenalan kok. "Lo terlalu cuek." kata si Deta waktu gue bilang dia boong soal cowok-cowok yang naksir sama gue. "Jadi cewek yang peka dikit kenapa sih. Yang cantik, yang kalem, jangan makan mulu lo gedein." Deta nggak pernah berhenti mengomentari kebiasaan buruk gue sebagai cewek. Soal gue yang suka bangun siang lah. Gue malas merawat diri, gue terlalu cuek dan nggak peduli sama orang-orang di sekitar-padahal selama ini katanya banyak cowok yang memperhatikan gue lah. Gini, lho, kalau memang cowok-cowok itu suka sama gue, ya harus terima apa adanya dong! Mau gue gini lah, gitu lah. Kan itu hak gue sebagai manusia. Gue orangnya nggak pernah peduli sama komentar orang-orang tentang gue, selama gue nggak mengusik hidup orang lain. Kenapa nggak? Gue lebih respect sama cowok yang mau menerima gue apa adanya. Kadang-kadang gue berpikir. Sebenarnya apa yang salah sama gue? Gue boleh urakan, gaya gue emang agak kayak cowok. Tapi penampilan gue sama kayak cewek-cewek di luaran sana. Gue bisa make up, tentu aja. Gue pun masih bisa membedakan mana eyeshadow sama blush on, mana lipstik, mana pensil alis. Terus, apa yang harus diubah dari diri gue lagi? Nggak ada. Mereka aja yang ribet. Gue mah ogah kalau harus repot-repot berubah cuma supaya bisa dipandang orang lain. Sori, itu bukan gue banget. "Lain kali kunci pintu kamar mandinya." Suara familiar dari pintu membuat atensi gue berpaling dari bayangan diri sendiri di cermin kepada sosok Lakka. "Cuma gosok gigi kok." gue kembali menatap cermin dan menggosok gigi. Tampilan Lakka saat bangun tidur nggak ada bedanya sama penampilan dia sehari-hari. Biarpun rambutnya berantakan, matanya setengah melek, minus kacamata, nyatanya cowok itu nggak bisa kelihatan jelek. Gue nggak berhenti bertanya-tanya, ini Ibu sama ayahnya secakep apa sampe punya anak kayak Lakka? Gue bisa melihat Lakka dari pantulan cermin di depan gue. Cowok itu mengambil sikat gigi dan membalurinya dengan odol. Dia cuek kayak biasanya. Nggak ada yang berubah meskipun status kita udah jadi pacar sekarang. Selesai menggosok gigi, gue beralih mencuci muka gue. Lakka masih asyik sikat gigi, tapi matanya setengah melek. Gue cuek aja sih. Dengan santainya membasuh muka lalu menarik handuk di bahu gue kemudian keluar kamar mandi lebih dulu. Mau masak apa buat sarapan hari ini, ya? Sambil menggosok muka gue pake handuk kecil, gue jalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan gue sama Lakka. Sebelum bergelut sama alat-alat masak, gue bikin s**u cokelat dulu buat Lakka. Oke. Pake air dingin. Hampir aja gue lupa mau nuangin susunya pake air panas. Tapi begitu gue inget Lakka lebih suka pake air dingin, ya nggak jadi. Susu cokelat Lakka udah gue buat, udah gue taruh juga ke meja makan supaya bisa diminum langsung sama Lakka. Gue menyampirkan handuk ke bahu dan bersiap masak. Gue sempat bingung mau bikin apaan. Isi kulkas penuh. Lengkap semua bahan-bahannya karena memang kemarin kita baru aja belanja. Banyak bahan gini malah bikin gue bingung mau bikin apaan. "Bisa bikin capcay, nggak?" Lagi-lagi Lakka muncul di pintu. Tadi di pintu kamar mandi, sekarang pintu dapur. Ini orang apa jailangkung, sih? "Bisa nggak, Wa?" tanya Lakka, lagi. Belum sempat gue jawab, cowok itu keburu pergi. Gue menggaruk kepala gue, sambil mengingat-ingat apakah gue bisa memasak capcay kayak yang Lakka maksud? Kalau makan capcay sering. Tapi kalau bikin... nggak pernah kayaknya. "Gue bisa bikinnya, tapi males." Lakka balik ke dapur membawa gelasnya yang udah kosong. "Lo masak, gue yang ngasih tahu apa aja bahannya." "Ya udah." nggak banyak ngomong, apa lagi membantah. Gue mengiakan seperti permintaan Lakka. Cowok itu gue lihat menarik kursi panjang kemudian menyeretnya di dekat meja dapur lalu duduk sesekali menyebutkan bahan dan bumbu apa aja yang harus gue gunakan buat bikin capcay. Bahan-bahan udah siap di depan mata. Lakka nggak ada pergerakan sama sekali kecuali protes setiap kali gue salah motong ukuran sayurannya. "Jangan besar-besar potongan wortelnya, Wa!" protes Lakka di belakang gue. "Segini?" gue menoleh ke Lakka, "Apa segini?" tanya gue sambil menunjukkan dua potongan berbeda. "Kayak gitu..." Lakka menunjuk potongan wortel yang lebih kecil. Kepala gue mengangguk dan ganti ke bahan-bahan lain. "Bumbunya diulek aja, Wa," Lakka bersuara, dia masih duduk anteng di kursinya. "Jangan diblender." Gue mengiakan lagi. Setiap kali Lakka bilang begini, gue cuma iya-iya doang. Lagian gue juga setuju apa kata Lakka, "Gue lebih suka bumbunya diulek. Lebih enak aja," kata Lakka. "Apa cuma gue doang yang gitu, ya?" "Nggak kok." sahut gue. "Nyokap gue juga bilang gitu." Ibu gue di kampung nggak pernah menghaluskan bumbu pake blender. Mau masak apa pun, bumbunya sebanyak apa pun, masih mau-mau aja kalau disuruh ngulek. Nggak mengeluh capek. Katanya sih, bumbu yang diulek sama dihalusin pake blender, tuh beda rasanya. "Duh!" gue berhenti mengulek, gue lupa sama sesuatu kayaknya. "Kenapa?" tanya Lakka. Gue meringis, setengah nyengir. "Gue lupa masak nasi." Lakka turun dari kursinya. "Gue aja yang masak nasinya. Lo lanjut bikin capcay aja. Bumbu sama bahan-bahannya udah semua, kan?" "Udah." gue mengangguk. "Bentar, gue ambil berasnya dulu." *** Perubahan status gue yang sekarang jadi pacar Lakka nggak membuat gue jadi besar kepala, terus bisa ongkang-ongkang kaki doang di tempat si Lakka. Kayak tadi pagi misalnya. Gue masih bikinin Lakka s**u, bikinin dia sarapan walaupun dia juga bantuin. Bersih-bersih apartemen dia-minus kamarnya Lakka, karena gue sendiri agak gimana gitu masuk kamar cowok. Kalau gue intip sih, Lakka cowok yang rapi kok. Setiap gue lihat dari luar, kamar Lakka nggak pernah kelihatan berantakan. Waktu udah menunjukan pukul lima sore. Gue kelar bersih-bersih, masak juga buat makan malam, jadi tinggal dipanasin aja kalau Lakka mau makan. Selesai sama semua pekerjaan rumah, gue pergi mandi. Dan, di sinilah gue sekarang. Duduk lesehan di lantai ditemani sama laptop yang menyala terang di atas meja. Beberapa hari ini gue jadi nggak konsen buat nulis. Selain karena abis diusir dari tempat kos. Gue sekarang juga tinggal sama Lakka, dan nggak jarang waktu luang gue habis untuk mengerjakan tugas-tugas rumah-biarpun Lakka juga nggak nyuruh sih. Tapi nggak enak aja. Gue kan udah numpang, masa iya gue nggak tahu diri sih. Gue memandangi layar laptop gue nelangsa. Satu bulan. Hampir satu bulan gue mengerjakan novel ini tapi nggak kelar-kelar. Tahu berapa banyak yang gue tulis? Belum dapet satu bab. Nggak nyampek sepuluh halaman yang gue tulis. "Geli, anjir." maki gue waktu membaca ulang tiap halaman yang selesai gue ketik. Bersamaan gue yang ngedumel sama hasil karya gue sendiri, suara pintu Lakka yang terbuka bikin gue refleks menoleh ke belakang. Wangi parfum Lakka langsung tercium seketika. Bukan wangi maskulin kayak cowok-cowok pada umumnya. Wanginya seger, gitu. Kayak apa ya..., lebih mirip kayak wangi bayi. "Pergi." Gue mendengus. Belum gue tanya, Lakka udah jawab duluan. Nggak mempedulikan sosok Lakka, gue lanjut fokus ke layar laptop. "Selama gue pergi, jangan asal bukain pintu buat orang." "Hm," gumam gue. "Gue pergi dulu." kata Lakka, cowok itu menenteng jaketnya. *** Nggak tahu udah berapa lama gue menguap. Gue merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan menguap sekali lagi sampai mata gue berembun. Gue menghela napas panjang. Dari tadi nggak membuahkan hasil apa-apa selama gue duduk dan sibuk sama laptop di atas meja. Yang gue lakuin berjam-jam cuma ngetik-delete-ngetik-delete-sampe gue bosen mampus. Capek mata gue memperhatikan laptop kelamaan. Gue bangun dan jalan ke dapur untuk mengambil air minum sama camilan. Gue mau istirahat dulu ah. Siapa tahu abis ngemil, otak gue jadi lebih lancar ntar. Gue balik ke ruang tamu-tempat gue duduk lesehan dari tadi. Mata gue udah berat, tapi keinginan untuk lanjut menulis nggak ada habisnya. Biarpun yang dilakuin ngetik sama hapus doang, nyatanya gue masih semangat. Mulut udah penuh sama makanan, laptop gue udah nyala lagi. Gue merenggangkan badan, menggerakkan kepala ke kanan lalu ke kiri sampe bunyi. Oke. Kita mulai lagi. Dan hasilnya masih tetap sama. "Anjir!" kesal karena nggak membuahkan hasil apa-apa, gue menutup laptop gue pada akhirnya. "Nulis cinta-cintaan lebih susah. Mending gue nulir horor sekalian!" Dua bungkus keripik kentang dan sebotol air dingin udah tandas tanpa gue sadari. Gue segera bangun dan beres-beres meja sebelum Lakka dateng dan ngomelin gue karena meja di ruang tamu malah berantakan. Gue buang bungkus snack yang kosong, mengisi botol air dan kembali memasukkannya ke dalam kulkas. Begitu gue balik ke ruang tamu, gue baru sadar kalau sekarang udah malem banget. Udah mau jam sebelas. Lakka ke mana, ya? "Gue lupa nggak punya nomor dia." gumam gue menatap layar ponsel. Lucu nggak, sih? Gue sama Lakka pacaran tapi masih kayak yang biasa aja. Gue nggak mengharapkan bisa seperti pasangan lainnya. Karena gue pun nggak pernah membayangkan bisa pacaran sama Lakka. Gue juga biasa aja sama dia. Lakka pun sama. Kan itu alasan dia ngajak gue pacaran. "Gue laper." gumam gue sambil mengelus perut. Gue kalau udah sibuk nulis, suka lupa sama hal-hal lain. Sampe melewatkan makan sama minum. Gue aja baru sadar kalau belum makan malam. Udah jam sebelas lewat, dan belum ada tanda-tanda Lakka pulang. Gue cuek aja, toh Lakka anak cowok. Ngapain harus dikhawatirin kalau Lakka belum pulang? Gue menarik kursi panjang sembari menunggu masakan gue selesai dihangatkan. Mata gue udah sepet banget kayaknya. Rasanya pengin rebahan aja sekarang, tapi gue belum makan. Perut gue kalau belum diisi makanan suka nggak bisa tidur. Seriusan. Hampir aja gue jatuh dari kursi karena nyaris ketiduran. Ponsel gue tiba-tiba berdering, bikin gue refleks mengumpat. "CHUAAAA!" Tadinya gue ngantuk, mendadak langsung melek seketika. "LO DI MANA? KENAPA NOMOR BARU BISA DIHUBUNGIN SEKARANG? LO TINGGAL DI MANA, WA?" Deta mencerocos di telepon dan cuma gue balas sambil manggut-manggut. Selain kelaparan, gue juga ngantuk parah. "Eh, bentar," gue menyela Deta yang belum berhenti mengoceh di seberang sana. "Ntar gue telepon lo deh." "Beneran, ya? Lo belum jawab pertanyaan gue, Wa." "Iya, Ta. Iya." Klik. Sambungan telepon terputus. Gue buru-buru mematikan kompor lalu berjalan ke pintu. Barusan gue mendengar pintu dibuka, siapa tahu itu Lakka. "Lah, abis kecebur di got mana lo?" tanya gue heran melihat Lakka pulang dalam keadaan basah kuyup. "Di luar hujan." jawab Lakka membuka jaketnya. Badan Lakka basah kuyup. Wajahnya memberengut mirip kayak anak kecil yang lagi ngambek. "Tunggu di kamar mandi," gue menahan cowok itu sebelum masuk ke kamarnya. "Gue ambilin handuk sama baju ganti lo." tanpa menunggu jawaban Lakka, gue masuk ke kamar cowok itu untuk mengambil handuk sama baju ganti. *** Gue nggak tahu sebenarnya Lakka abis darimana. Gue nggak nanya-nanya karena emang nggak terlalu peduli sih. Cuma, waktu lihat Lakka pulang dalam keadaan basah kuyup dan wajah super senewen jadi bikin gue nggak tega membiarkan Lakka gitu aja. Lakka udah ganti pake setelan piama dan duduk di meja makan. Rambutnya masih setengah basah, dan wajahnya tetap cemberut kayak tadi. "Minum dulu tehnya, Kka," kata gue meletakkan secangkir teh supaya badannya lebih hangat. Baru mau gue tinggal ke dapur, gue denger Lakka bersin-bersin. "Lo belum makan, kan?" tanya gue agak keras karena lagi di dapur. "Belum lah." "Gue kirain lo udah makan." Gue keluar dari dapur sembari membawa piring, sendok sama gelas. Dari tempat gue berdiri gue lihat Lakka masih menekuk wajahnya. Sebenarnya yang lagi dia cemberutin tuh, siapa sih? Peralatan makan sama makanan yang udah gue hangatin udah ada di meja makan. Lakka nggak mengeluarkan suara sama sekali selain sibuk menuangkan nasi sama lauk-pauk di piring. Sambil mengunyah nasi di dalam mulut, gue nggak berhenti memandangi Lakka. Beberapa kali dia mendorong piringnya menjauh, lalu bersin-bersin lagi. Gue hampir selesai makan. Melihat Lakka yang kayaknya bakalan terserang flu bikin gue agak cemas. Gue takut ketularan ntar. "Lo ada persediaan obat nggak?" tanya gue memutari meja makan. "Ada." jawab Lakka, suaranya terdengar kurang jelas. "Lo taruh mana?" "Di kotak obat." "Maksud gue, kotak obatnya lo taruh mana Lakka?" kata gue gemas, gue berkacak pinggang di samping kursi Lakka duduk. Lakka nggak menghabiskan makanannya. Baru beberapa kali menyendokkan nasinya, Lakka sudah mendorong piringnya ke samping. "Ayo, gue bantu masuk kamar. Abis itu gue bikinin teh lagi sama bawa obat buat lo." "Gue bisa jalan sendiri, Wa." kata Lakka datar. "Ya udah." kata gue akhirnya. Lakka nggak suka sama perhatian yang berlebihan kayaknya. Makanya waktu dia mau balik ke kamar sendiri, gue pun mengiakan daripada ntar malah berantem. "Abis minum obat, langsung tidur aja lo." nasihat gue waktu udah duduk di tepi ranjang Lakka. "Kalau butuh apa-apa panggil gue aja." gue menyodorkan obat ke Lakka. Lakka versi sehat aja nggak banyak ngomong. Apa lagi Lakka versi lagi sakit. Malah nggak ngomong apa-apa selain diem atau menatap gue. "Wa..." "Ya?" gue menoleh ke Lakka. "Gue boleh minta tolong sama lo?" tanya Lakka tanpa ekspresi. Di mana-mana mah orang minta tolong tuh bilangnya yang manis, atau minimal senyum. Kalau Lakka mah nggak. Masih aja judes. Lakka beringsut ke sudut ranjang seolah memberi isyarat ke gue supaya naik ke atas ranjangnya. "Ngapain?" "Usapin kening gue dong." "Hah?" gue bengong. Lakka menepuk-nepuk sisi ranjangnya. Gue menurut. Nggak tahu kenapa ya, kalau sama Lakka tuh selalu merasa aman aja. Seolah gue yakin banget kalau Lakka nggak bakal ngapa-ngapain. Nggak akan berbuat kurang ajar sama gue. Lakka menarik selimutnya sampai ke d**a. Cowok itu berbaring, matanya terpejam. Gue masih belum gerak walaupun posisinya udah duduk di samping dia. Gue bingung, Lakka nyuruh gue apa emangnya? "Usap kayak gini, Wa," mata Lakka tahu-tahu terbuka dan narik tangan gue, kemudian meletakkannya di keningnya. "Agak memalukan sih," gumam Lakka pelan. "Dari dulu tiap kali gue demam selalu diusap gini sama Mama," cowok itu menatap gue sebentar dan tersenyum kecil. "Makanya sebisa mungkin gue nggak boleh sakit. Gue tinggal sendiri, Mama tinggal sama Papa di Bandung." Badan gue setengah membungkuk. Ibu jari gue dengan sendirinya bergerak mengusap kening Lakka yang terasa hangat. "Nyaman banget kalau diusap gini, ya?" Gue memperhatikan bibir kering Lakka yang bergerak. "Iya." katanya. Abis itu Lakka nggak bersuara lagi. Gue masih mengusap keningnya sembari memandangi Lakka. Satu hal yang baru gue ketahui dari cowok di samping gue ini. Sisi lain seorang Lakka. Dia lucu. Ternyata Lakka anak Mama. Haha! 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN