Merawat Satu Sama Lain

2782 Kata
Chua: Merawat Satu Sama Lain "Cowok tadi ganteng, ya." Fokus gue yang tadinya ke layar ponsel jadi menoleh ke samping. Lakka barusan duduk di kursi kemudi dan memasang seatbelt-nya. Gue mengangguk, mengiakan. "Iya, emang." kata gue, lalu balik sibuk sama ponsel di tangan. "Lo naksir?" canda gue ke Lakka. "Sembarangan!" katanya nggak terima, kemudian menarik ujung rambut gue. Gue cuma balas cengengesan aja lihat wajah kesal Lakka karena gue tuding naksir cowok tadi. Emang bener, sih. Cowok tadi cakep banget. Badannya gede, lebih tinggi dari Lakka, wajahnya kebule-bulean, hidungnya mancung, tapi sayang, gue tetep nggak suka. Dari dulu gue menghindari cowok-cowok macam Aree. Sok asyik, sok akrab, padahal mah lelaki kardus! Gue yakin nih, bukan cuma gue doang yang dia ajak kenalan di mal tadi. Melihat tampilannya yang keren dan didukung sama wajah cakepnya, juga hidungnya yang bikin salah fokus, nggak bakal ada cewek yang menolak diajak kenalan sama Aree. "Kenapa nggak mau diajak kenalan tadi?" tanya Lakka tanpa menoleh. Gue melihat ke sekeliling. Ternyata mobil Lakka udah jalan keluar parkiran mal. Saking asyiknya gue nimbrung di grup chat—yang isinya cuma gue, Deta, sama Yuvin, tapi ramenya ngalahin pasar ikan. Gue sampe nggak sadar kalau mobil Lakka udah jalan lumayan jauh. "Kenapa nggak mau, Wa? Cowok tadi cakep padahal." Berasa kayak disindir nggak, sih? "Kalau kenalan udah." jawab gue lalu menyibakkan rambut ke belakang. "Namanya Aree," Lakka menoleh ke gue sebentar, terus fokus lagi ke jalanan. "Pertanyaan lo salah. Harusnya lo nanya, 'kenapa nggak mau dideketin dia?' gitu." Kepala Lakka manggut-manggut, tapi belum mengeluarkan suaranya lagi. Sepanjang perjalanan menuju ke apartemen, gue sama Lakka nggak saling bicara lagi selain percakapan terakhir kita tadi. Mungkin Lakka mau fokus nyetir aja, lagian bahaya kalau bolak-balik noleh ke gue, ntar nggak fokus, nyawa gue bisa melayang kalau-kalau mobil Lakka menabrak pengendara lain. Gue biarin aja Lakka sibuk nyetir, sedangkan gue masih asyik sahut-sahutan sama dua temen gue di grup chat. Deta masih aja memborbardir gue dengan pertanyaan yang sama, dan belum gue jawab sampe sekarang. "Lo ngekos di mana, nyet?" Deta mengirim chat pake pertanyaan yang sama kayak sepuluh menit lalu. Kemudian, Yuvin ikut nimbrung, nggak kalah hebohnya. "Lo nggak banting setir jadi baby sugar, kan?" "Sialan!" umpat gue, Lakka sampe menoleh. Cowok itu nggak tanya-tanya lagi. Kayaknya paham kalau emang u*****n itu bukan buat dia. Lah, lagian ngapain gue mengumpat ke Lakka? Dia kan nggak rese kayak dua temen gue ini. Baby sugar? Sembarangan aja kalau punya mulut si Yuvin! Gue bukan baby sugar, ya! Gue pacarnya Lakka! Tapi... kalau dipikir-pikir, apa bedanya gue sama baby sugar kayak yang dimaksud Yuvin? Tempat tinggal, gratis. Makan, apa lagi! Gue merasa dibiayain sama Lakka. Bukan sekadar ngasih makanan sama tempat tinggal gratis doang. Tapi, kan, Lakka pacar gue! "Kenapa?" Lakka balas melirik ke gue. "Nggak apa-apa." jawab gue, lalu menggeleng. "Dia nggak jawab, Ta. Jangan-jangan bener lagi." Satu chat dari Yuvin barusan masuk ke grup. Dan nggak lama, Deta bales. "Jahat lo, Vin! Eh, tapi bener nggak sih, Wa?" "Gue cerita nih..." Gue menarik napas dalam-dalam sebelum mengetik sesuatu ke grup chat. Cerita jangan, ya? Nanti mereka mikir yang aneh-aneh karena gue tinggal sama pacar, lagi. "Wa..." Gerakan jari gue di layar seketika berhenti waktu Lakka memanggil gue dengan wajah seriusnya. "Apa?" tanya gue, terus lanjut ngetik lagi. "Kenapa lo nggak mau dideketin sama cowok tadi?" Lakka menanyakan hal ini sampe dua kali. Kalau aja gue sama dia kayak pasangan lainnya yang jadian karena emang sama-sama suka, gue bakal ngira kalau dia lagi cemburu. Tapi nggak mungkin juga, sih. Secara ini Lakka. Jadi nggak mungkin banget.  "Kan gue udah ada lo," jawab gue pada akhirnya. "Kalau gue belum jadi pacar lo, udah gue gebet si Aree tadi." kata gue diselingi sama cengiran lebar. Gue nggak bisa mendefinisikan orang yang lagi cemburu itu kayak gimana. Selama ini gue cuma denger cerita temen-temen gue aja. Orang cemburu juga beda-beda reaksinya. Ada yang marah, ngambek, atau lebih parahnya ada yang bisa kasar ke ceweknya. Makanya pas Lakka nanya-nanya si Aree, rasanya nggak mungkin kalau dia lagi cemburu. Lagian mana ada orang cemburu dengan ekspresi macem itu, sih! "Sori nih, ya. Sori aja," kata gue mengantongi ponsel ke dalam saku jaket. "Gue pernah janji ke diri sendiri. Kalau suatu hari gue punya pasangan, entah itu pacar atau suami, gue nggak mau membagi diri gue sama cowok lain. Mungkin lo bakal bilang gue kolot, tapi gue benci sama orang yang punya pasangan, tapi masih mau-mau aja dideketin sama cowok lain." Sebenarnya gue agak kesel sama reaksi Lakka waktu Aree secara terang-terang mau deketin gue. Harusnya gue tahu kalau Lakka ini orangnya susah ditebak. Sehari dia bisa jadi ketus, besoknya dia bisa berubah soft banget. "Gue penasaran, Wa, lo beneran nggak pernah suka sama cowok?" "Gimana, ya," gumam gue meletakkan satu tangan di kepala. "Kalau cuma sekadar suka ya, pernah. Tapi nggak bisa dibilang naksir juga. Gue nggak punya waktu buat mikirin cinta-cintaan. Tiap gue nulis, gue cuma fokus ke sana. Seandainya ada orang yang kesandung depan gue, nih, mungkin gue nggak bakal noleh." Lakka berdecih nggak percaya, tapi setelah itu dia ketawa pelan. *** Satu bulan. Iya. Udah satu bulan gue tinggal sama Lakka. Menjabat sebagai pacar sekaligus pembantunya. Ah, nggak, nggak. Gue nggak pernah merasa dijadiin pembantu sama Lakka. Malah sebaliknya, dia memperlakukan gue dengan sangat-sangat baik. Kalau boleh jujur, gue merawa dirawat sama cowok cantik itu. Selama menjadi pacarnya, Lakka tahu banget tentang gue. Dia paham kalau pacarnya ini doyan makan, doyan ngemil, nggak ada berhenti ngunyah tiap ada makanan nganggur. Gue nggak tahu Lakka dapet inisiatif darimana. Tiap dia abis keluar, Lakka nggak pernah nggak bawa tentengan yang isinya camilan sama s**u kotak berbagai rasa. Jadi, kulkas Lakka yang dulunya cuma diisi air minum, sayur sama telur, jadi penuh sama camilan gue, juga es krim. Jangan lupakan itu. Itu baru makanan. Lakka bukan cuma memperhatikan makanan apa aja yang gue makan. Tetapi juga soal merawat diri. Lakka beliin gue skincare dong! Sekitar dua minggu yang lalu Lakka ngasih gue paperbag—isinya skincare dari salah satu brand yang gue tahu harganya nggak murahan. Waktu gue tanya ini buat gue atau bukan, dia cuma mengangguk dan bilang, “Pake yang rutin, jangan bikin gue sia-sia muterin mal buat beliin ini doang.” Ngomongnya sih pake nada ketus, tapi gue tahu, Lakka tulus beliinya. Gue merasa nggak terhina. Seriusan. Malahan gue terharu. Lakka boleh judes, ketus, kalau ngomong suka blak-blakan. Cuma, Lakka ini tipe cowok yang sangat-sangat peka. “Kenapa lihatin gue kayak gitu?” Lakka sadar kalau gue lagi lihatin dia. “Nggak.” gue menggeleng pelan. Bukan tanpa alasan gue memperhatikan cowok yang lagi duduk di ujung sofa sana. Gue lihat akhir-akhir ini Lakka jadi super sibuk. Pagi abis sarapan dia langsung pergi, sore baru balik, malamnya dia keluar lagi. Gue nggak mau nanya-nanya, takut Lakka nggak nyaman nantinya. Makanya gue diem, tapi nggak jarang gue nunggu dia pulang dulu baru gue pergi tidur. “Lo belum makan apa pun, Kka, cuma sarapan doang aja tadi.” Nggak jarang gue selalu mengingatkan Lakka buat makan. Entah itu sarapan, makan siang dan malam. Lakka nggak pernah protes apa pun yang gue masak. Cuma, porsi makan Lakka memang nggak banyak. Kadang, gue suka malu sendiri. Porsi makan gue lebih banyak dari Lakka. “Gue belum laper, Wa,” kata Lakka tanpa mengalihkan pandangannya dari majalah di tangan. Pengin banget gue bilang ke Lakka untuk menaikan berat badannya. Paling nggak bikin pipi dia agak tembem, gitu. Pipi Lakka tuh tirus banget. Belum lagi badannya yang kurus banget. Sebelum mulut gue dengan laknat mengomentari berat badan Lakka, gue berusaha mencari cara bagaimana supaya Lakka bisa menaikan berat badannya tanpa harus gue paksa. Karena itu nggak nyaman. “Btw, gue belum makan loh, Kka...” pancing gue sambil melirik dia sesekali. “Bakso bukan termasuk makan ya, Wa?” sindir Lakka masih fokus sama majalahnya. Gue meringis geli. Setengah merutuki diri gue karena bisa-bisanya bilang belum makan, padahal gue udah makan semangkuk bakso tadi. “Kan nggak pake nasi, Kka,” kata gue sok memelas. Gue berusaha menarik perhatian Lakka dari majalah di tangannya. Entah udah berapa lama cowok itu sibuk berkutat sama majalah fashion, dan mengabaikan gue yang sedang berusaha membuat dia bangun dan segera pergi buat makan. “Belum kenyang?” Lakka mengangkat kepalanya, menatap gue. “Mau makan apa?” tanyanya. Kedua sudut bibir gue tertarik membentuk senyuman lebar. “Lo pengin makan apa?” Lakka mengerutkan dahi. “Kok nanya gue? Kan lo yang mau makan.” Gue mendengus, lalu mendorong kaki Lakka yang naik ke atas sofa. Dia kembali sibuk sama majalahnya dan nggak berpindah ke mana-mana. Dari dulu gue suka heran sama orang yang susah banget kalau disuruh makan. Apa susahnya sih? Tinggal duduk manis, makanan disiapin, buka mulut doang, dan menikmati makanan yang masuk ke perut. Gitu doang, lho. Tapi kayaknya susah banget. Sampe bikin gue gemes sendiri rasanya. “Ngambek,” sindir Lakka waktu gue beranjak dari sofa. Lakka masih anteng-anteng aja gue lihat. Masih sibuk sama majalah. Gue meninggalkan Lakka di sofa dan berjalan menuju dapur. Gue bingung mau makan apaan. Karena gue emang sengaja mau masak nunggu Lakka, tapi nggak tahunya yang ditungguin malah males makan. “Tolong bikinin mi, Wa,” Gue noleh ke belakang. Cowok cantik itu tahu-tahu berdiri di samping gue dengan ekspresinya yang minim itu. “Jangan makan mi mulu lah, Kka,” keluh gue membalikkan badan menghadap Lakka. “Lainnya aja ya. Mau gue bikinin apa? Bilang aja,” Udah badannya makin kurus. Yang dia makan mi mulu, mi terus. Sedoyan itu si Lakka sama mi instan. Kadang-kadang malah dia makan mentah sama bumbunya. “Gue bikinin omlet pake bihun aja, mau, nggak?” tawar gue, lalu membuka kulkas. “Enak kok, Kka. Nanti gue tambahin ayam atau udang. Mau, ya?” Cowok itu belum memberikan reaksi apa-apa selain diam di tempatnya. Sebelum Lakka mengiakan, gue udah menyiapkan bahan-bahannya. Waktu gue memasang apron ke badan, Lakka mengambil alih tali yang mau gue ikat ke pinggang. “Gue mau tidur bentar, nanti bangunin kalau udah mateng ya.” katanya sambil memasang tali apron di pinggang gue. Gue mengangguk penuh semangat, lalu menepuk-nepuk bahu dan kepalanya dengan lembut. “Tidur aja gih. Nanti gue bangunin.” *** Usaha gue buat bikin Lakka menaikkan berat badan kayaknya lumayan berhasil. Walaupun tetep susah buat diajakin makan, tapi gue nggak pernah kehilangan ide buat bikin Lakka nggak lupa untuk makan. Setiap malam, sebelum kita pergi tidur. Gue selalu nanya ke Lakka. Dia pengin makan apa. Atau ada makanan yang mau Lakka gue masakin. Beberapa kali dia menyebut makanan yang dia pengin. Ada yang mudah buat dibikin, ada yang lumayan susah sampe bikin gue harus ngubek-ngubek youtube buat dipelajarin lebih dulu. Sekarang gue sama dia lagi ada di ruang tamu. Gue sih kayak biasanya. Bergelut sama kerjaan nulis gue. Lakka lagi rebahan di atas sofa sambil mainan ponsel. “Wa,” Lakka memanggil gue pelan. Suaranya lesu, dia baru aja balik—entah darimana gue nggak tahu. Percaya atau nggak, satu bulan gue tinggal sama Lakka. Gue nggak pernah tahu dia kerja apaan. Kalau dilihat dari tampilannya waktu pergi pagi-pagi, Lakka jelas bukan pekerja kantoran. Dia nggak setiap hari pergi, tapi lebih sering menghabiskan waktunya di ruang kerja. Oh, ya. Ada satu lagi yang bikin gue penasaran. Tiga kali dalam seminggu dia selalu pergi dan baru balik tengah malam. Pengin banget gue nanya sebenarnya, cuma takut dia nggak nyaman. “Wa...” Lakka memanggil lagi. Bisa gue rasakan tangan Lakka berada di atas kepala gue, menepuknya pelan. “Hm,” gumam gue tanpa mengalihkan pandangan ke layar laptop. “Gue pengin makan nasi pecel deh, Wa,” Oke. Kata-kata Lakka berhasil membuat gue menyudahi kegiatan menulis gue.  “Mau makan pecel?” tanya gue, Lakka mengangguk-angguk. “Bikin sendiri bisa nggak, Wa?” Gue mengernyitkan dahi. “Bikin sendiri?” Lakka mengangguk lagi. Sambil membenarkan letak kacamata Lakka yang turun hingga ke tengah-tengah hidung cowok itu, gue mengingat-ingat apakah gue bisa bikin bumbu pecel sendiri. “Bisa sih, Kka,” kata gue, matanya tampak berbinar. “Tapi nggak ada bahannya di kulkas. Mau belanja dulu?” Cowok itu diam sebentar. Yang tadinya sedang rebahan di sofa, sekarang jadi duduk bersandar dengan malas-malasan. “Lama dong, Wa,” bibirnya mencebik. “Ya nggak apa-apa. Asal lo makan aja.” “Pasti gue makan.” gumamnya. “Tapi kasian lo juga.” Kepala cowok itu terangkat mencari letak jam di dinding. Gue ikutan mengarahkan pandangan mata gue ke jam di dinding. Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat sekarang. “Besok gue buatin deh. Tapi sekarang lo makan yang ada dulu aja,” gue menutup laptop dan berbalik menghadap ke Lakka. Posisi gue ada di bawah sofa. Lakka masih duduk bersandar malas-malasan di sana. “Ya udah.” katanya terdengar pasrah. “Bikinin mi aja ya, Wa, gue udah lama nggak—" “NGGAK ADA MAKAN MI, YA, KKA! BOCAH BANGET DIBILANGIN!” Lakka langsung nyengir waktu gue bilang kayak barusan. Makan mi mulu, heran! Ya emang enak sih. Gue juga doyan. Tapi, kan, Lakka dalam tahap menaikan berat badan. Selain nggak sehat, gue mau Lakka mengurangi makanan-makanan instan. “Galak banget, sih.” Lakka menarik punggungnya dari sandaran sofa lalu mengelus rambut gue. “Ketularan lo.” sahut gue, ketus. Lakka cuma haha-hihi doang lihat gue kesel sama dia. *** Pagi-pagi kita udah kedatangan tamu. Mana tamunya nggak tahu diri lagi. Ke sini cuma ada butuhnya doang kalau kata Lakka. “Ke sini cuma mau numpang makan, mana pake ngajak temennya lagi.” Lakka muncul di tengah-tengah gue sama tamu—Lucky—adeknya Lakka sendiri. Selama gue pacaran sama Lakka, gue udah kenal sama beberapa orang terdekat Lakka. Salah satunya ya, Lucky ini. Lucky dan Lakka. Dua orang bersaudara yang sifatnya jauh beda banget. Muka boleh sama cakepnya. Tapi cara bicara, menatap orang, bersikap, Lucky jauh lebih ramah dari Lakka. Waktu pertama kali cowok itu ketemu gue, dia udah menunjukkan sosoknya yang memang hangat. “Temen lo mana, Ky?” tanya gue ke Lucky. “Lagi jalan ke sini, Kak.” Lucky mencomot ayam goreng di piring. “Kak, mau nasi dong!” Cowok itu menyodorkan piring kosongnya ke gue. “Ambil sendiri!” Lakka menyahut. “Jangan mau disuruh-suruh, Wa. Kalau mau minta sesuatu, jangan lupa bilang 'minta tolong' yang sopan dikit sama yang lebih tua, Ky.” Lucky mencebikkan bibirnya lucu. Lakka mengatakan hal yang benar sih. Cuma caranya aja yang menurut gue kurang pas. Dia bisa bilang baik-baik ke Lucky, nggak perlu pake diketusin gitu. “Iya. Iya, Bang.” Lucky mengangkat piringnya lagi. “Kak, minta tolong ambilin nasi dong.” Gue pengin ngakak, sumpah. Lucky biarpun kelihatan bandel, tapi dia anak yang penurut. Lakka bilang gini, dia iya-iya aja. “Tambahin dikit, Kak," kata Lucky meminta tambahan nasi di piringnya. Perlu diketahui. Lucky sama gue punya selera dan porsi makan yang sama. Gue seneng tiap kali Lucky ke sini, gue jadi ada temen ngobrol sama makan. Lakka kalau udah lihat gue sama Lucky, Lakka cuma geleng-geleng doang. “Pantesan Bang Lakka jadi gemukan, orang lo masakin mulu. Enak lagi.” Lucky melirik Lakka. “Kak Chua, kalau udah bosen sama Bang Lakka, pacaran sama gue aja ya? Enakan pacaran sama—aduh! Bang Lakka apaan, sih!” sembur Lucky nggak terima karena Lakka memukul kepalanya menggunakan sendok. “Buruan makan terus pergi ke kampus!” Lakka melengos, cowok itu asyik makan lagi. Kita bertiga makan dengan tenang sekarang. Nggak ada satu pun di antara gue, Lakka sama Lucky yang mengeluarkan suara. Ya gimana sih, tiap kali Lucky mau ngomong, baru melirik ke gue, Lakka udah menatap horor ke cowok itu. Pas lagi asyik makan, bel berbunyi. “Temen lo tuh.” kata Lakka menunjuk Lucky. “Buka pintunya, Ky,” perintah Lakka. “Gue lagi makan, Bang.” sahut Lucky dengan mulut penuh. “Gue aja yang buka. Lo berdua lanjut makan.” gue beranjak dari kursi dan meninggalkan Kakak-adik tersebut. “Makasih, Kak Chua!” teriak Lucky. Suara bel beberapa kali berbunyi. Gue buru-buru lari ke depan supaya teman Lucky nggak terlalu lama menunggu. Kasian anak orang, takut jamuran kalau gue biarin berdiri di depan pintu dalam keadaan perut kosong. “Temennya Lucky—eh?” Kata-kata gue tertelan kembali ke tenggorokkan. Sosok ganteng di depan gue ini sama terkejutnya. Alisnya yang tebal jadi nyureng. “Masuk aja, Ar!" seru Lucky di belakang gue. “Lah, lo kan cowok yang...,” tunjuk gue ke temennya Lucky. “Lo kenal sama Aree, Kak?” Lucky ikut-ikutan menunjuk cowok itu. “Ar, sejak kapan kenal sama calon Kakak ipar gue, nih? Kak Chua bukan salah satu cewek yang pernah lo kerdusin, kan?” cerocos Lucky, bikin Aree memberengut.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN